JALAN PULANG

By cimut998

35.1K 1.8K 217

Setelah berada di desa Giung Agung, Ahmad merasa jika dirinya selalu berhalusinasi. Ia kerap melihat bayangan... More

Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Bab 33
Bab 34
Bab 35
Bab 36
Bab 37
Bab 38
Bab 39
Bab 40
Bab 41
Bab 42
Bab 43
Bab 44
Bab 45
Bab 46
Bab 47
Bab 48

Bab 25

615 36 2
By cimut998

"Bagaimana ini Pak, Adiba belum juga ditemukan. Apa kita harus menerobos daerah terlarang?" Tanya salah satu warga.

"Jangan! Pasti dia masih berada di sekitar sini, ayo cari lagi!" Titah Pak Sulaiman. Ia sendiri takut untuk masuk ke kawasan terlarang. Kabar angin mengatakan jika di tengah hutan terdapat satu pohon besar yang dikuasai oleh bangsa jin. Jika ada yang berani masuk ke sana, nyawa pun menjadi taruhannya.

Matahari kian naik, cahaya putih keemasan tampak menyilaukan mata. Dengan berat, Adiba mencoba membuka kedua matanya. Luka di kakinya masih terasa sakit. Adiba mencoba untuk berdiri, namun luka tersebut menyebabkan kaki kirinya bengkak. Ia pun kembali terjatuh ke tanah.

"Aduh, ssstttt." Adiba merintih sambil mengurut kakinya yang lebam.

TEK!

Terdengar bunyi ranting kayu yang patah. Bukan patah dari dahannya melainkan karena pijakan kaki. Adiba beringsut ke belakang, ia memaksa kakinya untuk bergerak. Dengan langkah terseok-seok, Adiba mencoba mencari tempat persembunyian. Dilihatnya ada pohon besar di depan, segera Adiba bersembunyi dibalik pohon tersebut.

Sekujur tubuhnya bergemetar. Adiba berusaha mengatur pernapasan agar tak terdengar ngos-ngosan. Detak jantungnya terpacu lebih cepat, gadis cantik itu tampak sangat ketakutan.

Dari kejauhan, Adiba mendengar suara tapak kaki yang berjalan mendekat. Adiba mengintip dengan sebelah mata, ia melihat ada dua orang yang sangat ia kenali. Salah satunya adalah Pak Sulaiman.

"Ke mana lagi kita mencari Adiba, Pak. Ini sudah pagi, nanti para warga akan curiga dengan kita," ucap warga tersebut.

"Kau benar! Kita hentikan dulu pencariannya, sekarang kita pulang." Titah Pak Sulaiman dengan raut wajah putus asa. Pak Sulaiman juga menyuruh warga tersebut untuk memberitahu rekan yang lain. Lalu, ia perlahan berjalan menjauh dari lokasi persembunyian Adiba, kemudian hilang di telan rimbunnya pepohonan.

"Alhamdulillah," Adiba mengembus napas lega. Ia menyenderkan punggung ke batang pohon, dengan wajah menengadah ke langit. Linangan air mata kembali luruh, tangisnya pun pecah.

"Bapak ..."

***

"Assalamu'allaikum, Abah. Maaf, ada orang yang ingin ketemu sama Abah," ucap Amara sambil mengetuk pintu kamar Kiai Sobirin.

Tak lama kemudian, Kiai sepuh itu muncul dengan berpakaian rapi.

"Abah mau ke mana?" Tanya Amara penasaran. Ia agak terkejut dengan penampilan bapaknya. Kali ini bukan lagi baju koko yang beliau kenakan, melainkan kemeja putih lengkap dengan serban di kepala.

"Mau ketemu tamu Abah. Abah mau pergi bersama tamu Abah, ada urusan. Mungkin, Abah juga akan menginap. Jangan ke mana-mana, tolong malam ini di rumah saja. Matikan semua lampu sesudah isya, segeralah tidur. Ingat, tidak boleh ada satu pun cahaya di rumah ini." Jawab Kiai Sobirin sambil memberi pesan kepada Amara.

"Baik, Abah. Tapi kenapa? Bu—

"Lakukan saja, Ra. Semua demi kebaikanmu. Abah sayang sama kamu, Nduk. Abah pergi dulu ya, Assalamu'allaikum." Potong Kiai Sobirin sembari melenggang pergi meninggalkan anak gadisnya tercengang dengan mulut terbuka.

"Wa'allaikumussalam. Abah mau ke mana? Tumben pergi tidak bilang dulu. Biasanya, jauh hari sudah bilang sama aku. Apa ini ada kaitannya dengan kedatangan orang tua Ilham tempo hari? Atau ..." Amara mulai menerka-nerka. Untuk urusan apa bapaknya pergi sampai harus menginap? Jika tak terlalu genting, mana mungkin Kiai Sobirin meninggalkan pondok dan menginap di luar?

Kalimat-kalimat itu terus menghantui pikiran Amara. Entah kepada siapa ia akan bertanya. Amara langsung teringat dengan Ilham. Segera Amara pergi ke Pondok, gadis itu begitu penasaran dengan urusan bapaknya.

Setibanya di ruangan para pengajar, Amara celingukan mencari ustazah Siti. Perempuan itulah yang bertugas menyimpan buku data para santri. Di lihatnya ustazah Siti sedang duduk di kursi, sambil mengerjakan tugas-tugasnya sebagai pengajar.

"Assalamu'allaikum, Ustazah?"

"Wa'allaikumussalam, ada apa Ra? Tumben ke sini," Balas Ustazah Siti sembari menoleh ke arah Amara yang sudah berdiri di hadapannya.

"Maaf, apa saya boleh lihat catatan data santri bernama Ilham, Ustazah? Saya ada perlu dengan dia. Tetapi, saya tidak tahu di mana rumahnya," tanya Amara. Ia dilanda rasa gugup yang hebat, ini kali pertama ia berurusan dengan seorang laki-laki. Kalau bukan karena khawatir, mungkin Amara akan mengabaikan ucapan bapaknya tadi.

"Ilham? Pengawas kelas yang temannya Ahmad itu ya?" Ustazah Siti berbalik tanya.

Amara segera menganggukan kepala.

"Sebentar ya, saya carikan dulu. Kalau boleh tahu, ada urusan apa ya? Jarang-jarang loh, kamu mencari tahu tentang laki-laki. Apa jangan-jangan dia ca—

"Tidak ada urusan apa-apa, Ustazah. Saya hanya disuruh Abah, ya ... disuruh Abah." Potong Amara. Tubuhnya bergemetar hebat. Ia terpaksa berbohong, untuk mengelabui ustazah Siti yang terus memberinya pertanyaan.

"Owalah, disuruh Pak Kiai to. Bilang atuh dari tadi, kan saya bisa langsung cari," sahut ustazah Siti sembari mengambil beberapa tumpuk buku. Memilah satu persatu buku tersebut.

"Ini dia, semua data santri seangkatan Ahmad ada di sini, termasuk Ilham. Tolong dikembalikan kalau urusan Pak Kiai sudah selesai." Ustazah Siti menyodorkan sebuah buku ke Amara. Gadis itu mengambil buku tersebut. Kemudian segera berpamitan dengan ustazah muda itu.

Amara kembali ke rumah dengan tergesa-gesa. Pandangannya hanya tertuju ke depan. Melewati jalanan di koridor Pondok. Ia juga sempat menyapa beberapa ustaz yang kebetulan sedang santai di depan kamar para santri. Namun, saat hendak berbelok ke arah jalan pulang, ia tak sengaja bertemu dengan Oliv.

Amara menghentikan langkah, ia memandang ke arah Oliv yang sedang mengobrol dengan beberapa santriwati. Dengan hati berdebar, Amara berjalan melewati Oliv dan santriwati yang lain.

"Assalamu'allaikum," sapa Amara sambil menundukkan kepala.

"Wa'allaikumussalam," balas Oliv dan yang lain.

"Darimana, Ra?" Tanya Oliv dengan pandangan tak suka. Menjadi anak seorang Kiai memang tak selamanya menyenangkan. Adakalanya, banyak orang yang tak suka kepada Amara, terlebih gadis itu sangat akrab dengan Ahmad, pemuda yang dikagumi banyak santriwati, termasuk Oliv.

"Dari kantor, Liv." Jawab Amara singkat. Kemudian kembali melanjutkan perjalanan.

"Kalau sudah punya calon suami, jangan coba-coba selingkuh, Ra. Ingat, karma. Lagian, tidak baik kan seorang anak Kiai ketahuan selingkuh," ucap Oliv dengan nada suara tinggi. Ia sengaja mengeraskan suaranya supaya Amara dapat mendengar dengan jelas. Para santriwati yang lain pun terkekeh-kekeh bersamaan.

Amara mempercepat langkah. Mencoba mengacuhkan kata-kata Oliv. Meskipun telinganya sayup-sayup mendengar percakapan mereka dari kejauhan. Semua yang dikatakan gadis itu tidak benar. Tidak ada yang namanya calon suami. Yang ada hanya seorang teman. Ya, ia masih menganggap Ilham sebatas teman. Meskipun nanti, jika mereka berjodoh, Amara tetap menganggap Ilham sebagai teman hidup, tidak lebih. Sebab dihatinya, masih ada nama Ahmad.

Sebuah mobil avansa berwarna hitam berhenti di depan sebuah rumah kecil yang terbuat dari kayu. Rumah kecil yang terletak di dekat hutan itu, terlihat sedikit ramai. Ada beberapa orang yang sengaja menunggu kedatangan sang tamu.

Saat sang tamu turun dari mobil, seseorang menyambutnya dengan hangat.

"Selamat datang Pak Kiai," sambut Pak Usman.

"Apa semuanya sudah berkumpul, Man?" Tanya Kiai Sobirin.

"Sudah, Pak Kiai. Semua sudah hadir, kecuali Pak Parta." Jawab Pak Usman.

"Baikah kalau begitu. Mari segera mulai rapatnya." Pinta Kiai Sobirin sambil berjalan memasuki rumah tersebut, diiringi dengan beberapa orang yang menjemputnya di Pondok beberapa jam lalu.

Pak Usman, Pak Heru, dan beberapa warga desa Giung Agung tengah berkumpul bersama Kiai Sobirin. Hadir juga Kiai Habidin rekan sejawat Kiai Sobirin. Mereka akan membicarakan perihal kejadian di desa. Termasuk pula upaya penyelamatan Ahmad yang sedang di tawan oleh Ipul dan Pak Sulaiman. Dan tak lupa, mencari tahu keberadaan Indah yang sampai saat ini masih hilang.

Informasi tentang Ipul sudah di dengar oleh Kiai Sobirin. Sebab, Kiai itu memang sengaja memasang telepon di rumah salah satu warga, supaya lebih mudah berbagi informasi.

"Pak Kiai, saya sudah menjalankan tugas untuk membujuk Adiba supaya pergi dari rumah. Saya juga sudah mengutus orang untuk menjaganya di gubuk. Maaf, kalau boleh tahu, kenapa Adiba bisa terlibat? Bukankah dia belum lahir, ketika tragedi itu terjadi?" Pak Usman memulai percakapan.

Kiai Sobirin menghela napas panjang. Ia memandang semua orang di dalam rumah itu. Ada perasaan bersalah yang menghinggap dihatinya. Masa lalu yang buruk, sudah merubahnya menjadi manusia terkeji saat itu. Beliau ingat betul, berapa banyak manusia yang menjadi korban. Bahkan orang yang dicintainya pun turut menjadi korban kebejatannya.

"Sebelumnya, saya mau meminta maaf kepada Bapak-Bapak semua. Saya harap, dengan kejujuran saya nanti, Bapak-Bapak tidak membenci saya. Semua yang saya lakukan saat ini, sebagai penebus dosa yang telah saya lakukan di masa lalu. Saya bergabung dengan kelompok ini supaya saya bisa membantu membasmi para kelompok tudung hitam yang ternyata masih bertahan sampai sekarang. Saya benar-benar minta maaf, jika dulu saya bertindak diluar batas. Saya minta maaf, Bapak-Bapak ..." Kiai Sobirin bersujud di hadapan semua orang yang hadir di sana. Pak Usman dan Pak Heru segera mencegah Kiai Sobirin. Mereka juga merasa sungkan jika sang Kiai melakukan hal tersebut.

"Jangan lakukan itu, Pak Kiai. Kami mohon, kembalilah duduk." Pinta Pak Usman.

Kiai Sobirin menyeka air di ujung mata. Semua yang hadir pun saling berbisik. Baru kali ini, mereka melihat Kiai Sobirin menangis. Ada sesuatu yang menyentuh di hati mereka. Namun, mereka juga sulit memahami isi hati sang Kiai.

"Sebenarnya, apa yang ingin Pak Kiai sampaikan? Kami akan mencoba memahaminya." Kata Pak Heru. Ketua RT itu juga penasaran. Terlebih, ia sudah tidak sabar untuk segera menemukan Indah.

"Sebenarnya, Adiba adalah anak kandung saya dari istri pertama saya, Maimunah." Ucap Kiai Sobirin.

"Apa!" Semuanya berteriak secara serentak. Pak Heru, Pak Usman dan yang lain terkejut mendengar pengakuan Kiai Sobirin. Mereka tak menyangka jika Kiai kondang itu ternyata ayah kandung Adiba. Lantas, siapa sebenarnya Pak Parta? Kenapa Adiba justru diasuh orang lain?

Suasana menjadi hening. Semua yang hadir tiba-tiba terdiam. Hanya kedua mata mereka yang terlihat saling melirik.

Continue Reading

You'll Also Like

21K 2K 30
[COMPLETED] Seri Cerita TUMBAL Bagian 5 Baru saja selesai menyelesaikan kasus yang berhubungan dengan hal gaib, Manda tiba-tiba saja mengalami muntah...
15.3K 2.3K 20
❗WARNING❗ [JANGAN BACA SENDIRIAN] ~FOLLOW SEBELUM BACA~ Hani menghilang dari rumah secara tiba-tiba pada ulang tahunnya yang kedelapan. Katna tetangg...
316K 27.7K 28
Warga sekitar menyebutnya Rumah Dukun. Rumah yang pernah ditinggali oleh Dukun terkenal desa ini. Rumah terkutuk yang kini aku tinggali.
239K 20K 23
Malapetaka pun terjadi, ketika suamiku pergi haji dengan uang pesugihan. Teror demi teror pun datang, hingga mengancam nyawa. Apa yang harus kulakuka...