JALAN PULANG

By cimut998

35.6K 1.8K 217

Setelah berada di desa Giung Agung, Ahmad merasa jika dirinya selalu berhalusinasi. Ia kerap melihat bayangan... More

Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Bab 33
Bab 34
Bab 35
Bab 36
Bab 37
Bab 38
Bab 39
Bab 40
Bab 41
Bab 42
Bab 43
Bab 44
Bab 45
Bab 46
Bab 47
Bab 48

Bab 24

610 37 0
By cimut998

"Hehe, maap." Ucap Yudi sambil cengengesan. "Lepaskan tali ini, biar saya bersihkan air kencingnya." Lanjut Yudi.

"Dasar manusia jorok!" Maki Ipul, sambil melepas ikatan di tangan dan di kaki Yudi. Ia juga tidak mau jika disuruh membersihkan air kencing orang lain.

"Cepat bersihkan! Awas, jangan coba-coba untuk kabur!" Ancam Ipul. Tak lama kemudian pria itu pergi sambil menutup pintu dengan keras.

Yudi mengangguk, lalu segera melepas sarung. Kemudian berjalan menuju pintu, mengintip keadaan Ahmad.

"Bagaimana caranya supaya bisa kabur dari sini? Saya harus segera membantu Mas Ahmad," lirih Yudi sembari terus berpikir.

Sementara Yudi mencari cara untuk kabur, Pak Sulaiman pergi menuju kediaman Pak Parta. Setibanya di sana, Pak Sulaiman berulang kali mengetuk pintu, namun tak jua sang pemilik rumah keluar.

"Assalamu'allaikum, Ba Adiba!" Panggil Pak Sulaiman. Hening, tidak ada sahutan dari dalam. Pak Sulaiman mulai curiga, lalu ia membuka paksa pintu rumah Pak Parta.

Setelah berhasil membuka pintu, Pak Sulaiman segera masuk ke dalam untuk mencari keberadaan Adiba, namun sayang gadis itu tak berada di dalam.

"Gawat! Adiba pergi,"

Tiga puluh menit yang lalu, sebelum kedatangan Pak Sulaiman, seseorang datang berkunjung ke rumah Pak Parta. Seseorang tersebut berusaha membujuk Adiba supaya mau pergi dari rumah. Firasatnya mengatakan,  gadis tersebut sedang berada dalam bahaya. Awalnya Adiba menolak, namun ketika mendengar penjelasan sang orang misterius, Adiba pun menuruti perkataannya.

Dengan cepat Adiba lari menuju hutan. Ia mencari gubuk tua yang sengaja dipilih orang misterius untuk tempat bersembunyi. Namun, Adiba kesulitan mencari gubuk itu. Semunya tampak gelap. Hanya beberapa pohon dan tanaman liar yang ia lihat. Itu pun karena terkena cahaya rembulan. Tanpa penerangan apa pun, Adiba nekat menerobos gelapnya malam.

"Aarrggh!" Teriak Adiba saat kakinya tersandung bongkahan kayu yang melintang di atas tanah. Gadis itu terjatuh, ia menopang tubuhnya dengan kedua tangan. Tangisan di matanya kian pecah saat mengingat ucapan orang tersebut. Di temani cahaya rembulan, Adiba terisak sendiri di tengah hutan yang dipenuhi pepohonan rindang. Gadis itu terus menangis tanpa berhenti.

Kembali ke Pak Sulaiman, pria tua itu segera kembali ke rumah. Dengan langkah tergesa-gesa, Pak sulaiman sampai tak sadar telah di sapa oleh Pak Heru. Pria itu mengabaikan keberadaan Pak Heru yang sedari tadi memanggilnya dari arah belakang.

Merasa curiga, Pak Heru bergegas membuntuti langkah Pak Sulaiman. Tak seperti biasanya, Pak Sulaiman bersikap seperti itu. Pak Heru menduga jika pria tua itu sedang menyembunyikan sesuatu.

Saat tiba di kediaman Pak Sulaiman, Pak Heru bersembunyi di bawah pohon dekat dengan jendela. Ia mencoba mencari celah supaya bisa mengintip aktifitas yang dilakukan Pak Sulaiman.

"Gawat Pul! Gawat!" Pak Sulaiman datang dengan raut wajah panik.

"Ada apa, Man? Coba bicara yang jelas." Titah Ipul.

"Adiba tidak ada di rumah,"

"Apa! Bodoh kamu, Man. Saya bilang juga apa, gadis itu pasti tahu sesuatu. Cepat kumpulkan semua warga, cari gadis itu sampai dapat! Kalau bisa, bunuh saja dia! Saya sudah tidak menginginkannya lagi!" Ipul dengan wajah geram, memberi perintah pada Pak Sulaiman. Pria itu lekas pergi menuju beberapa rumah di sekitarnya. Lagi-lagi, Pak Sulaiman tidak menyadari keberadaan Pak Heru yang sedari tadi menguping di bawah jendela. Pria itu berjalan setengah berlari tanpa menoleh sedikit pun. Entah disengaja atau tidak, hanya Pak Sulaiman yang tahu, apa arti tindakan tersebut.

"Astaghfirullahaladzim, Popon?" Pak Heru menutup mulutnya dengan kedua tangan, saat mengetahui siapa yang diajak bicara oleh Pak Sulaiman. Dari lubang sebesar biji mata, ia juga melihat Ahmad yang tengah terikat di sebuah tiang kayu. Pemuda itu masih tak sadarkan diri. Darah yang mengalir di kepalanya, perlahan mengenai lengan baju.

"Saya harus menemui Usman," imbuh Pak Heru segera berlari menembus semak belukar yang tumbuh di sekitar rumah Pak Sulaiman. Kepalanya sudah tak bisa berpikir jernih lagi. Popon yang dikabarkan telah meninggal dunia, ternyata masih hidup. Apakah selama ini ia sudah dibohongi oleh pemuda yang sudah dianggapnya seperti anak sendiri itu?

Yudi yang mendengarnya pun hanya bisa diam sambil terus berpikir. Isi kepalanya seakan penuh dengan berbagai macam kata-kata. Kepalanya terasa pening, memikirkan masalah yang menyeret dirinya.

"Kok bau ya," ucap Yudi sambil mengendus aroma tak sedap di sekelilingnya. Ia baru ingat, tentang bau tersebut. Harusnya ia membersihkan air kencing, namun dirinya justru larut lamunan.

"Kenapa harus terkencing sih, kan jadi repot sendiri." Gerutu Yudi menyeka air kencing dengan sarung, kemudian keluar kamar mencari air.

Popon yang sedari tadi berdiri mengamati, hanya melotot ke arah Yudi. Kedua matanya membesar seakan hendak keluar dari tempatnya. Tetapi, di mata Yudi justru sangat berbeda. Yudi melihat Popon bak manusia terbungkus kain kafan yang berdiri menatapnya dengan tatapan tajam. Bulu kuduknya seketika berdiri. Yudi sangat ketakutan, namun ia berusaha melawan rasa takut dengan segera menutup mata. Ia takut akan mengompol lagi untuk kedua kalinya.

"Saya harus segera bertindak. Kalau tidak, bisa-bisa gadis itu mengacaukan semuanya. Parta, anakmu memang menyebalkan sama sepertimu!" Umpat Popon.

***

Tubuh tertelungkup penuh darah yang mengering di sekujur tubuh itu dibiarkan begitu saja. Sang pemimpin memang sengaja memajang tubuhnya, sebagai peringatan kepada siapa pun yang berkhianat. Bahkan ia juga menaruh kepala sang pemilik tubuh tepat di samping tempat ia duduk. Agar semua pengikutnya bisa melihat dengan jelas wajah orang yang sudah mengkhianatinya. Bukan satu dua kali ia memegal kepala orang, namun sudah beberapa puluh kepala yang ia tebas.

Seseorang sengaja berjalan menghampiri sang pemimpin, membisikkan sesuatu di telinganya. Wajah yang sedari tadi muram, mendadak berubah sumringah. Ia tersenyum lebar mendengar berita yang disampaikan orang tersebut.

"Bagus, terima kasih." Ucap sang pemimpin. "Kau memang pengikutku yang terbaik," pujinya.

Orang tersebut tersenyum kecil sambil tersipu malu. Kemudian orang tersebut kembali lagi ke barisan lingkaran orang-orang yang sedang merapalkan sesuatu untuk sang junjungan.

"Dasar penjilat!" Sindir rekannya yang sedari tadi mengamati tingkah orang tersebut.

"Bilang saja kau iri," tukasnya sambil duduk dengan kaki bersila.

"Sebesar apa pun usahamu menyembunyikan kebenaran itu, pada akhirnya aku tahu siapa putri kandungku, Sobirin." Lirih sang pemimpin.

***

Matahari di ufuk timur sebentar lagi terbit. Para ayam jantan mulai saling berkokok. Suaranya terdengar sahut-menyahut. Dari kejauhan terlihat beberapa bola cahaya yang tengah berlari ke sana ke mari. Bola-bola cahaya itu menerobos semak-semak. Ada pula yang terlihat menaiki bukit. Rombongan beberapa orang tengah kesulitan mencari seorang gadis kecil.

Mereka adalah para warga suruhan Pak Sulaiman. Para warga yang masih setia kepada sang pemimpin, yang dipercaya membawa keberuntungan semasa hidup. Sang pemimpin yang menyelamatkan nyawa mereka dari tragedi berdarah lima belas tahun yang lalu.

"Cari gadis itu sampai ketemu. Jangan biarkan dia lolos. Bisa-bisa dia membongkar rahasia identitas kita. Saya yakin, ada pengkhianat lagi di antara kita. Cepat cari! Sebelum matahari semakin naik, dan para warga lain terbangun!" Titah Pak Sulaiman dengan nada suara tinggi.

Satu persatu, para warga itu menerobos hutan. Hutan adalah satu-satunya tempat yang paling dituju. Sebab, tak mungkin Adiba bersembunyi di dalam rumah warga. Pak Sulaiman memang tak begitu dekat dengan Adiba, namun ia paham dengan sifat gadis bercadar itu. Adiba gadis yang pemalu, ia hanya keluar rumah jika ada kepentingan, selebihnya ia sering berdiam diri di rumah.

Setelah sekian lama mencari di sekitar hutan, Pak Sulaiman dan yang lain masih belum bisa menemukan keberadaan Adiba. Pak Sulaiman khawatir jika Adiba justru melangkah lebih jauh ke dalam hutan. Di sana ada sesuatu yang coba ditutupi oleh sekelompok orang. Sesuatu yang tidak boleh dimasuki oleh sembarang orang, sesuatu yang berbahaya dan juga mengerikan.







Continue Reading

You'll Also Like

53.5K 4.5K 19
Safira dan Kaivan baru saja pindah ke sebuah rumah dinas di tengah perkebunan sawit. Rumah yang berdiri sendiri, tanpa ada satupun tetangga. Mereka t...
29.2K 3.1K 21
Wirma, si pemakan mayat. Itu yang tertulis didalam sebuah artikel, aku sebagai penulis horor yang suka berkelana untuk mencari bahan cerita. Tertarik...
317K 27.8K 28
Warga sekitar menyebutnya Rumah Dukun. Rumah yang pernah ditinggali oleh Dukun terkenal desa ini. Rumah terkutuk yang kini aku tinggali.
8.4K 1K 10
Jika ada kejadian mistis yang disebabkan oleh hantu yang menempel ke tubuh kita dari suatu tempat, kita bisa dengan mudah mengusirnya kembali dengan...