Another Pain (END) ✔

By goresanlaraf

243K 14.9K 974

[COMPLETED] [BELUM DI REVISI] Mereka pernah berkata, jika rumah adalah tempat ternyaman untuk pulang. Mereka... More

I •Hati yang terbalut luka•
II •Yang tak pernah teranggap•
III •Berjuang untuk diri sendiri•
IV •Keluh dan rasa sakit•
V •Terlalu sulit berdamai dengan hati dan keadaan•
Vl •Sosok yang mengingatkannya pada masa lalu•
VII •Khawatir•
VIII •Hari terpenting dan hancur•
IX •Diary depresiku•
X •Kisah tentang duka•
XI •Pulang untuk kembali terluka•
XII •Aku bukan pembunuh•
XIII •Tak berujung•
XIV •Semangat hidup yang di patahkan•
XV •Sembunyi di balik tawa•
XVI •Berkorban•
XVII •Tuhan masih menyayanginya•
XVIII •Hati nurani yang telah hilang•
XIX •Terlalu letih•
XX •Berarti•
XXI •Pupusnya sebuah asa•
XXII •Tak lagi bersama•
XXIII •Tak lagi utuh•
XXIV •Menghindar•
XXV •Hadir untuk di acuhkan•
XXVI •Masa sulit•
XXVII •Rasa yang terpendam•
XXVIII •Ketulusan hati•
XXIX •Kebahagiaan itu semu•
XXX •Sakit yang mendalam dan keputusan•
XXXI •Bukanlah segalanya•
XXXII •Tak akan sendiri•
XXXIII •Selalu salah•
XXXIV •Permainan tanpa garis finis•
XXXV •Opera Tuhan•
XXXVI •Masih disini merakit luka•
XXXVIII •Dalam belenggu•
XXXIX •Setiap sesak mengandung luka•
XL •Mimpi itu tak lagi tentang kebahagiaan•
XLI •Untaian kata yang tak sampai•
XLII •Paksaan untuk tetap bertahan•
XLIII •Bunga merekah yang tak akan pernah layu•
XLIV •Berselimut dengan kenangan•
XLV •Untuk diri yang tak ingin terluka lagi•
XLVI •Luka yang telah pergi dan tak akan kembali•
• Timbal balik kehidupan
AYO KENALAN SAMA DHEGA
• MEMORABILIA
• Hidup setelah kehancuran

XXXVII •Rapuh yang terbalut indah•

4.5K 273 30
By goresanlaraf

🎵 Playing song : Lyodra - Di banding dia 🎵

“Ketika seseorang bertanya perihal kebahagiaan kepadaku, aku tak segan menjawab ‘mereka.”

—Regi Sabiru

SELAMAT   MEMBACA
.
.
.
.
.

—Preview bab sebelumnya

     “Gua tau, meski gua gak rasain apa yang lo rasain. Tapi, lo masih punya gua ... Lo masih punya anak-anak, Gi. Gua mohon gua gak mau denger kata-kata itu lagi.”

     “Ikhlasin gua kalau misalnya nanti gua kalah sama keadaan, apapun yang terjadi kalau gua pulang duluan...

     “Gua gak mau ada yang nangisin kepergian gua nantinya.”

     “Gua gak mau ada yang terluka karena kepergian gua.”

• Another Pain •

     Regi mengembangkan senyum, kepalanya menatap ke depan—riuh remaja-remaja SMA yang bercanda ria memasuki gerbang sekolah. Begitupula dirinya, akhirnya kini—tepat di hari ini, Regi kembali ke sekolah. Kembali ke tempat dimana ia menimba ilmu.

     Puk! Seseorang menepuk bahunya pelan, Regi menoleh sejenak dengan wajah yang masih berseri—lalu kembali menatap aula gerbang sekolahnya.

     Udara segar yang ia hirup mampu melancarkan pernapasannya. Serta rasa rindu yang selama ini bersemayam di benaknya, terbalas sudah.

     “Akhirnya gua balik sekolah lagi,” ujarnya tampak bahagia.

     Sedangkan lelaki di sampingnya terkekeh lalu ikut menimpali, “Banyak yang nanyain lo, tau.”

     Mendengar hal itu membuat Regi tersenyum remeh.

     “Nyariin Reyga kali, bukan gua,” sanggahnya.

     “Gak percaya? Tanya Ciko.” Danu menatap seseorang di sisi kanan Regi, lah kembali berbicara, “Ya gak, Cik.”

     Ciko mengangguk mantap, lalu setelahnya Regi tertawa. Dan Danu serta Ciko menatap sahabat satu-satunya mereka itu dalam. Yang mana, tawa yang selama ini tidak mereka lihat, tawa yang selama ini bersembunyi di balik luka-luka Regi—kini akhirnya mampu mereka tatap kembali.

     “Pasti pada kaget pas lo masuk sekolah, ntar. Kayaknya hampir seminggu lo gak masuk?”

     “Baru enam hari,” koreksi Regi.

     “Ya sama aja hampir seminggu itu,” Danu memutar bola matanya malas.

     “Gua kangen mie ayamnya Bu Siti, Nu.”

     “Lah, baru kemaren Bu Siti nanyain lo ke kita.” itu suara Ciko.

     “Kalau gitu ntar gua mau makan mie sepuasnya.”

     “Gak usah aneh-aneh, deh, lo Gi ... baru aja keluar rumah sakit.” Danu tampak  menggerutu tak setuju.

     “Ya kan, emang udah langganan, mau diapain lagi?”

     Mereka terdiam, sedangkan Regi malah memilih melangkahkan kedua kakinya memasuki gerbang sekolah. Hingga setelah mereka terdiam cukup lama, pada akhirnya mereka menyusul Regi.

• Another Pain •

     Sepanjang kakinya melangkah di area sekolah, Regi tiada henti mengumbar senyum. Bahkan sampai tak terlihat jika begitu banyak beban di tubuhnya. Seolah seperti memasuki sekolah barunya ketika menyadari ada yang menyapa dirinya. Jika kemarin ia terluka, dan hari ini Regi begitu bahagia.

     Karena seperti itulah hidup yang Regi jalani. Berlarut-larut dalam kesedihan malah membuatnya semakin tertekan. Ia hanya mau menghabiskan setiap detik dalam hidupnya sebelum nanti ia tak bisa lagi melakukannya, mungkin.

     Langkah kaki Regi tiba terhenti saat sebuah mobil melintas memasuki area sekolah. Tak hanya dirinya, bahkan sebagian dari siswa-siswi yang melintas memilih berhenti di tempat. Regi tahu mobil siapa itu. Ya, mobil Ayahnya.

     Bahkan Regi sendiri tak ingat, apakah ia pernah di antar ke sekolah dengan Ayahnya. Sepertinya tidak.

     Tak lama keluarlah sosok lelaki paruh baya yang bahkan semalam sempat bertengkar hebat dengannya. Lalu di susul dengan pintu belakang yang terbuka. Itu Reyga, saudaranya.

     Dan semua siswa yang melihat pun lekas berbisik-bisik.

     “Kamu belajar yang bener, nanti pulang sekolah Papa jemput.” Adli berujar dengan kedua tangan yang merapikan dasi yang di kenakan Reyga.

     Tak ingin banyak bicara karena sejatinya Reyga masih marah dengan Ayahnya. Ia hanya menganggukkan kepala lalu lekas meraih tangan Ayahnya dan mengucap salam.

     Begitu juga Adli adalah Ayahnya, orang tuanya. Reyga masih ingin menghormati lelaki itu.

     “Yaudah masuk dan ingat...” Adli menggantungkan ucapannya, lalu kedua manik matanya melirik tepat dimana Regi berdiri tak jauh dari mereka sejenak sebelum kembali menatap Reyga. “Jangan dekat-dekat dengan Regi, atau Papa akan langsung pindahin sekolah kamu.”

     Kedua tangan Reyga mengepal erat saat mendengar hal itu, tak banyak bicara lagi ia lekas melengos pergi memasuki lobby sekolah.

     Adli merapikan jasnya, akan tetapi sebelum itu ia menatap kembali Regi yang juga menatapnya. Tatapan Adli bagaikan tatap yang penuh rasa kebencian, begitu tajam dan menusuk.

     Hingga pada akhirnya memasuki mobilnya dan meninggalkan area sekolah. Tepat saat itu juga bisikan-bisikan itu mulai terdengar.

     “Kan bener kalau dia tuh di benci Ayahnya.”

     “Jadi bener kalau dia penyebab ibunya meninggal?”

     “Pantes di benci.”

     “Kalau di bandingin sama Reyga jelas jauh beda, sih. Reyga anak teladan, selalu peringkat satu dan orangnya disiplin. Kalau Regi? Suka bikin onar, gak jelas.”

     “Gak usah di dengerin omongan sampah kayak gitu,  mereka hanya orang-orang bodoh yang sok tahu akan hidup orang.”

     Regi menatap lelaki dia sebelahnya, Bima.

     “Tapi semua yang mereka omongin bener.”

• Another Pain

     “Regi?”

     Regi yang baru saja dari kamar mandi, menghentikan langkahnya saat panggilan itu tertuju padanya. Seorang guru perempuan dengan balutan batik berwarna oranye lengkap dengan hijab yang senada—menghampirinya dengan beberapa tumpukan buku di tangan.

     “Iya, Bu, ada apa?” jawabnya mencoba se-ramah mungkin.

     “Bisa Ibu minta tolong? Reyga saudara kamu bukan?”

     Regi terdiam sejenak, sebelum akhirnya mengangguk dengan senyuman. “Ah, iya Reyga saudara saya, Bu.”

     “Nah, kalau begitu bisa kan kamu antarkan buku ini ke kelasnya?” tukasnya lalu menyodorkan buku itu kepada Regi. Regi yang sigap langsung menerima buku itu.

     “Baik, Bu saya antarkan ke kelasnya Reyga.”

     “Makasih, ya, Regi ... Ibu ada rapat soalnya,” jawab Guru tersebut sebelum pada akhirnya mencelos pergi meninggalkan Regi yang belum sempat berucap.

     Tidak ambil pusing, Regi lekas kembali berjalan—menaiki tangga ke lantai 3, tempat dimana kelas Reyga berada. Sesaat menaiki tangga yang lumayan melelahkan, entah sekarang beraktifitas sedikit Regi langsung merasa kelelehan.

     Apa mungkin efek penyakitnya? Ah, Regi tidak peduli. Ia tidak mau di anggap lemah oleh siapapun.

     Sesampainya Regi di depan kelas Reyga, sejenak matanya menatap kelas tersebut. Sudah begitu lama Regi tidak mengunjungi kelas itu—menjemput Reyga dan mengajaknya ke kantin sekedar makan bersama.

     Entah, Regi pun lupa kapan terakhir kali mereka makan bersama.

     “Eh, Regi? Nyari Reyga, ya?” seorang gadis yang menenteng air minum, berhenti tepat di hadapan Regi.

     Regi tersenyum tipis sambil mengangguk. “Reyga mana?”

     “Tuh,” tukasnya sembari menunjuk bangku belakang dengan dagunya.

     “Oke, makasih.”

     Siswa-siswi yang berada di kelas itu seketika memandanginya, Regi merasa jika dirinya kini menjadi bahan tontonan. Tapi ia tak peduli, ia kemari hanya bertugas memberikan buku kepada Reyga.

     Reyga yang tampak asik mengobrol dengan beberapa teman sebangkunya, tiba-tiba berhenti saat tahu dirinya sudah berada di sana. Tatapan mereka saling beradu. Reyga yang tertegun, sedangkan Regi yang bingung harus bagaimana memulai pembicaraan.

     “Rey, gua—

     “Gua ke toilet dulu, guys.”

     Ucapan yang terpotong membuat Regi jengkel, apalagi saat tahu jika Reyga yang tiba-tiba saja memutus tatapan mereka dan beranjak pergi dari sana.

     Apakah Reyga menjauhinya?

     “Lo hindarin gua? Kenapa?” berhasil mencekal lengan Reyga, Regi mencoba bertanya—mencari penjelasan pada saudaranya.

     “Gua mau ke kamar mandi, gua kebelet kencing,” jawabnya ketus. Regi yang mendengar nada bicara Reyga melongo.

     Semua pun hening.

     “Lo—

     Reyga memegang tangan Regi lalu melepaskan tangan itu dari lengannya—menatap lelaki itu dalam.

     “Kita gak ada urusan, kan, Gi? Jadi gua mau ke kamar mandi, oke?” ujarnya lagi, tapi kali ini penuh penekanan.

     Regi mengangguk, ia meletakkan buku itu di atas meja sedikit berbunyi keras dan itu hampir membuat seisi kelas tertegun.

     “Gua cuman di suruh Bu Laras nganterin buku ini ke lo.”

     Deg! Reyga terkejut dengan nada Regi yang tak terkesan lebih dingin.  Matanya beralih menatap buku yang tadi Regi bawa. Lalu setelahnya menatap kepergian Regi tanpa sepatah kata lagi padanya.

     Kedua tanga Reyga meremat sisi baju seragamnya. Dalam hati ia berucap, “Maafin gua, Gi.”

• Another Pain •

    Asap yang berasal dari sebatang rokok mengepul di udara. Katakan jika lelaki itu begitu nakal dan bandel sehingga begitu berani merokok ketika dirinya masih berada di area sekolah. Akan tetapi, hanya dengan menghisap rokok pikirannya terkadang terasa lebih ringan.

     Apalagi kejadian tadi, kejadian yang tak pernah ia duga. Reyga yang tiba-tiba saja dingin kepadanya, Reyga yang tiba-tiba saja menghindarinya. Bahkan nada bicara yang terkesan dingin.

     Regi rasa Reyga benar-benar tidak ingin berinteraksi kepadanya. Apa ini semua ada kaitannya dengan sang Ayah?

     Regi menghela napas panjang, ia kembali menghisap rokoknya dan duduk di pembatas atap sekolah—sesekali menatap langit di bawah teriknya sinar matahari.

     Mengeluarkan ponselnya, Regi membuka aplikasi pesan. Dan di sana tertera pesan dari Reyga. Dengan mengapit puntung rokoknya di mulut, Regi membuka pesan tersebut dan membacanya.

     Aneh, bahkan sebelum kejadian tadi, Reyga masih peduli menanyakan keadaanya. Akan tetapi ketika ia menghampiri anak itu, semua berubah.

     “Gua gak paham sama jalan pikiran lo semua,” cetusnya sedikit bergumam yang mana langsung meletakkan ponselnya di sebelah ia duduk.

     Regi kembali menghisap rokok.

     Persetan dengan penyakitnya, persetan dengan kesehatannya. Regi hanya ingin menenangkan pikiran saat ini. Pikiran-pikiran rumit yang bersarang di kepalanya.

     “Beginikah hidup seorang penyandang kanker sekaligus parasit dalam keluarga?”

• Another Pain •

     “Gi, Regi bangun ... udah bel pulang.”

     Regi mengerjap, menatap Bima yang mengguncang tubuhnya lalu ke arah para teman sekelasnya yang sudah bergegas keluar kelas. Duduk menyandarkan tubuhnya di kepala bangku, Regi membawa tangannya untuk memijit pangkal hidungnya. Sedikit pusing.

      “Pusing?” melihat itu Bima bertanya, ia sedikit waspada.

     Kepala Regi menggeleng cepat, lalu ia berdiri dan lekas menyambar tasnya. Akan tetapi, baru ingin berjalan tiba-tiba saja ia terhuyung dan hampir saja jatuh kebelakang jika saja Bima tidak menahan tubuhnya.

     “Gua bonceng aja baliknya, ya?”

     Regi menatap Bima sembari berdecak, “Kayak apaan aja, gua cuman pusing dikit baru bangun tidur.”

     Bima hanya menghela napas, lalu memilih untuk diam dan mengikuti Regi dari belakang—berjaga-jaga jika saja Regi kembali terhuyung.

     “Bim,” panggil Regi.

     “Apa?”

     “Gua nginep di rumah lo, ya? Hari ini doang, lagi kangen sama Bunda.”

     Bima memutar bola matanya jengah. “Tinggal tidur apa susahnya, sih? Ngapain pake ijin segala.”

     “Ya kan, bukan rumah gua. Makanya gua ngomong ke lo sebagai tuan rumah.”

     “Gak usah tinggal di apartemen lagi,” timpal Bima, sejenak menatap Regi yang berjalan di sampingnya. “Rumah gua rumah lo juga, punya gua punya lo juga. Gak usah ngerasa apa-apa ngerepotin gua. Gua keluarga lo,” lanjutnya.

     Dan Bima bergegas melangkahkan kakinya mendahului Regi yang terkekeh di belakang. Entah Regi tidak tahu bagaimana nasib hidupnya jika tidak ada Bima.

     “Oi monyet, tungguin!” Regi berjalan sedikit berlari menyusul Bima yang sudah agak jauh. Bahkan saking cepatnya anak itu berjalan—Regi hampir kewalahan mengikutinya.

     Tahu kan kalau sekarang fisiknya tidak sekuat dulu?

     “Buset lama amat lo berdua, oi!” celetuk Danu sedikit meninggikan suara. Anak itu sudah duduk di atas motor, di temani Ciko yang malah menyeruput es teh dengan santainya.

     Bima hanya diam, dia memilih menghampiri motornya.

     “Si Regi mana, Bim?” tanya Ciko saat tak menemui Regi bersamanya.

     “Lah ngapain dia di sono?”

     Bima menatap Regi yang berdiri tak jauh dari gerbang sekolah, menatap keluar—lebih tepatnya menatap mobil sedan hitam. Yang Bima tahu mobil itu milik siapa.

     Dengan langkah terburu-buru Bima menghampiri Regi.

     “Ngapain kamu liatin saya?“ Adli yang merasa di tatap oleh Regi merasa tak suka.

     Menatap lelaki itu dengan senyuman tipis, Regi menanggapi, “Regi cuma mau liat Reyga.”

     “Cih.”

     Adli tetaplah Adli, yang sama sekali tidak akan pernah peduli dengan Regi. Bahkan setelah kejadian semalam, kini Adli pun menampilkan wajah yang biasa saja—wajah yang sama sekali tidak merasa bersalah.

     Hingga akhirnya Adli melambaikan tangannya, lalu tak lama datanglah sosok yang Regi maksud. Sosok yang ingin Regi tanyakan mengapa anak itu menjauhinya.

    “Ayo pulang jagoan Papa,” ungkap Adli lalu merangkul bahu Reyga. Dan sialnya Regi sedikit iri melihatnya.

     “Rey, tunggu.” Regi berhasil memanggil Reyga, membuat anak itu dan Adli memberhentikan langkahnya—sedikit melirik kebelakang, tepat dimana Regi berdiri.

     “Apa alesan lo jauhin gua, Rey? Gua ada salah sama lo?”

     Mendengar hal itu hari Reyga memanas, jujur jika ia tidak merasa sakit mendengarnya. Akan tetapi apa boleh buat, ini demi kebaikan anak itu sendiri.

     “Ayo, Pa pulang ... Reyga capek.”

     Alih-alin menjawabnya, Reyga malah lekas masuk ke dalam mobil dan membiarkan Regi yang masih berdiri di sana dengan pertanyaan-pertanyaannya.

     “Lihat, bahkan tidak ada lagi yang peduli dengan kamu.”

     “Pasti ulah Papa, kan?”

     Adli berjalan mendekati Regi, berdiri tepat di samping telinga anak itu lalu berbisik, “Siapa yang kamu maksud Papa? Jangan harap saya menganggap kamu anak, karena bagi saya anak saya hanya Reyga, Alan dan Aubrey.”

     “Dasar tidak berguna, cih.”

     Selepas Adli berucap hal serupa, Regi hanya diam. Bahkan satu perlawanan pun tidak ada. Regi membiarkan Adli pergi begitu saja.

• Another Pain •

     Regi hanya membaca pesan singkat yang ia dapatkan dari Bima, sesaat setelah ia mengunjungi Bunda Nara melepas rindu lalu ia kembali pamit pergi tepat saat Bima sedang membeli sesuatu di swalayan. Ya, Regi sengaja. Karena jujur, Regi masih memikirkan tingkah laku Reyga saat di sekolah tadi.

     Ia memang pernah mengacuhkan Reyga. Tapi saat anak itu mengacuhkannya, rasanya tidak nyaman dan sakit. Yang sejujurnya, sedari ia kecil, ia lebih banyak menghabiskan waktunya dengan Reyga. Dan Reyga-lah orang yang paling Regi sayang setelah Ibunya.

     Melupakan hal yang sedang terjadi, Regi menutup ponselnya dan kembali menaruhnya ke dalam kantong celana. Lalu tiba-tiba saja lelaki setengah baya itu menyodorkan secangkir teh hangat padanya, Regi pun mengambilnya sembari menunduk sopan.

     “Kamu yakin mau berhenti?” tanya sosok itu yang ternyata adalah Pak Jeremy, pemilik kafe tempat ia berkerja akhir-akhir ini. Sekaligus orang yang sudah begitu baik padanya.

     “Saya merasa tidak enak dan juga tidak bertanggung jawab, Pak. Makanya dari pada saya sering absen tidak masuk, saya pilih keluar saja,” jelasnya.

     Jeremy yang mendengar hal itu hanya mampu menghela napas, menatap Regi di hadapannya dalam.

     “Saya juga tidak bisa memaksa kamu, Regi. Padahal tidak apa-apa, kamu seorang pelajar SMA pasti berat sekolah sembari mencari uang.”

     Regi hanya tersenyum tipis, sembari berkata dalam hati. “Sangat berat, Pak. Apalagi saat tahu jika Papa saya tidak menginginkan saya lagi.”

     Regi terdiam, lalu ia kembali menyadarkan dirinya ke dunia nyata.

     “Saya sangat berterimakasih sama Pak Jeremy karena sudah menerima saya sebagai karyawan di sini. Maaf jika selama bekerja saya banyak kekurangannya, Pak.”

     “Tidak Regi, kamu sangat hebat. Kamu anak yang luar biasa. Bapak yang harus bilang terima kasih ke kamu karena sudah menjadi diri kamu yang kuat dan hebat, mampu bertahan hingga detik ini.”

     Regi sedikit tertegun.

     “Orang tua kamu pasti bangga memiliki anak seperti kamu.”

     Kedua mata Regi memanas, rasanya begitu sesak. Entah mengapa ia tak tahu.

     “Tapi saya selalu di tuding penyebab kematian Mama saya, Pak.”

• Another Pain •

     Alan berdiri di balik mobil hitam, menyembunyikan tubuhnya semabri sesekali menatap sosok lelaki yang lebih muda darinya di sana—bercengkerama dengan lelaki setengah baya, sembari sesekali tertawa.

     Ya, katakan saja Alan mengikuti adiknya sedari tadi. Alan menguntit Regi semenjak anak itu berada di rumah Bima. Alan hanya ingin memastikan jika adiknya itu baik-baik saja.

     Nyatanya Alan baru sadar jika selama ini Regi bekerja di salah satu kafe dekat kantornya. Bodoh, begitulah ucapan yang pantas Alan dapatkan.

     Selama ini ia sangat tidak memperhatikan adiknya. Dan bahkan Alan tidak tahu jika adiknya bekerja mencari uang karena semua akses hidup anak itu di putus oleh Ayahnya.

     Penyesalan Alan semakin besar, serta rasa bersalahnya kepada anak itu.

     Lama menunggu sang Adik di balik mobil yang menutupi tubuhnya, akhirnya ia melihat lelaki setengah baya yang tadi berbicara kepada adiknya kembali masuk ke dalam. Dan Regi, anak itu berjalan menuju motornya. Alan tidak tahu hendak kemana lagi anak itu.

     Intinya Alan ingin mengikuti adiknya.

     Hingga gerak-gerik mencurigakan berhasil Alan tangkap dari seorang bertubuh lumayan tinggi, lengkap memakai hoodie hitam—berjalan mendekati adiknya.

     Pisau? Ya, Alan melihat jika orang itu memegang pisau di tangan kirinya.

     Tidak, Alan harus menghentikannya. Ia tahu jika orang itu pasti akan mencelakai Regi.

     “RE AWAS!”

     SETT BRAK!

     “Woi! Bangsat!”

     Regi berhasil mencegah orang itu yang hendak menusuknya, hanya saja pisau itu mengenai telapak tangannya. Ingin ia kejar tapi rasa sakit itu membuat ia mengurungkannya—membiarkan orang itu berlari pergi.

     Beberapa orang di situ terlihat terkejut saat darah menetes dari telapak tangannya.

     “Kamu ngak apa-apa?” Alan lekas berhambur—berjongkok dan menatap seluruh badan Regi, meyakinkan jika adiknya tidak apa-apa. Sebelum melihat ada darah di telapak tangan Regi. “Tangan kamu?”

     Regi yang terheran-heran hanya mengernyitkan dahi sembari berkata, “Abang?”

• Another Pain •

     Dengan telatennya Alan mengobati telapak tangan Regi yang terluka akibat goresan pisau. Tadinya Alan ingin membawa Regi ke rumah sakit agar luka itu di jahit, tetapi adiknya menolak dan berakhirlah di sini—di apartemen Alan sendiri.

     Apartemen yang sengaja Alan beli tanpa sepengetahuan siapapun, termasuk Ayahnya.

     Regi menahan rasa perih yang luar biasa saat Alan mulai mengoleskan obat pada lukanya, sembari memikirkan satu hal—siapa orang tadi dan ada masalah apa dia dengannya?

     “Udah beres, tapi jangan sampai kena air,” tukas Alan ketika ia sudah menyelesaikan tugasnya mengobati adiknya yang terluka.

     Dan saat itu juga perasaan canggung pun menguasai Regi. Ia hanya diam sembari melihat-lihat apartemen Alan yang baru saja ia singgahi. Tidak besar memang, tapi sangat rapi.

     Seketika Regi tersenyum culas, Kakaknya masih sama—tetap perfectionis.

     “Kamu mau makan apa? Belum makan 'kan pasti?”

     Alan yang baru saja datang sesuai meletakkan peralatan obatnya, lekas duduk di hadapan Regi—menanyakan suatu hal yang selama ini tak pernah terlontarkan dari mulut lelaki itu.

     Regi diam, tiba-tiba saja ia merasa gugup.

     Menjatuhkan tangannya di atas bahu Regi, mencengkeramnya sedikit.

     “Re Abang tanya lho, kamu mau makan apa? Atau mau Abang masakin?” tanyanya lagi.

     “Ngak usah, Bang,” Regi menggeleng pelan. “Tadi udah makan di rumahnya Bunda.”

     Alan hanya mengangguk, lalu senyap pun kembali menguasai ruanganan. Rasa canggung satu sama lain membuat mereka hanya terdiam. Tak ada obrolan lebih dalam, hanya saja mereka masih terlihat ragu.

     “Abang kenapa nolongin aku?” hingga akhirnya Regi-lah yang membuka suara terlebih dahulu—menatap Alan dalam, seperti butuh jawaban yang pasti.

     Alan berdiri, berjalan mendekati jendela apartemen. “Karena sudah tugas Abang.”

     Regi yang mendengar hal itu pun malah terkekeh.

     “Tugas?” Regi bertanya sembari menatap nanar punggung Alan. Lalu kembali berbicara, “Terus, selama ini lari kemana tugas Abang sebagai seorang, Kakak?”

     Deg! Alan terdiam, mulutnya bungkam seribu bahasa. Pertanyaan Regi membuatnya seolah-olah mati rasa.

     Alan berbalik dan hendak berbicara, tapi Regi buru-buru berdiri dan menyela.

     “Aku gak mau hanya karena begini, aku di kasihani,” cicitnya lirih.

     “Bukan begitu, Re ... Abang—

     “Makasih udah di obatin. Regi pamit, Assalamualaikum.

     Tanpa mendengarkan apapun lagi dari Alan, Regi lekas pergi meninggalkan lelaki itu. Meninggalkan Alan yang tak mampu lagi berbuat apa-apa selain terdiam karena merasa tertohok akan ucapan sang Adik.

     Dan di sana, selepas menutup pintu apartemen Alan, Regi masih terdiam di tempat—seketika air matanya pun menetes. Dengan gerakan kasar, Regi lekas mengusap kedua matanya berharap air mata itu tak keluar lagi.

     Namun kenyataannya air matanya semakin keluar.

     “Bisa gak 'sih acuhin aja gua kayak dulu? Saat lo semua benar-benar gak peduli ada apa enggaknya gua.”

     “Apa harus sekarat dulu baru gua di peduliin?”

Hai aku balik, maaf kalau agak panjang ya haha.
Semoga gak bosen. Dan stay di sini sampai Regi ending.
Dan makasih banyak buat yang udah support aku.
Love u guys ❤️

Continue Reading

You'll Also Like

228K 20.8K 33
Part di rombak dari awal⚠️ TETEP VOTE MESKI UDAH END. ⚠️ JADILAH PEMBACA YANG BIJAK. ⚠️ CERITA ADA UNTUK DI BACA, BUKAN DI PLAGIAT. ⚠️ KARYA SENDIRI...
1.2K 83 39
Bukan hanya kisah cinta yang biasa dialami oleh hidup manusia, tapi juga tentang arti sebuah perjuangan. Perjuangan yang bukan sia-sia, tapi disia-si...
963K 29.7K 42
-please be wise in reading- ∆ FOLLOW SEBELUM MEMBACA ∆ Tentang Vanila yang memiliki luka di masalalu dan tentang Vanila yang menjadi korban pelecehan...
61.9K 2.8K 64
{Revisi tanpa menghapus keseluruhan part} Ini kisah tentang Alfaero Revandra, laki-laki malang dengan sejuta lukanya. "Andai raga ini bukan milik-Ny...