JALAN PULANG

By cimut998

35.6K 1.8K 217

Setelah berada di desa Giung Agung, Ahmad merasa jika dirinya selalu berhalusinasi. Ia kerap melihat bayangan... More

Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Bab 33
Bab 34
Bab 35
Bab 36
Bab 37
Bab 38
Bab 39
Bab 40
Bab 41
Bab 42
Bab 43
Bab 44
Bab 45
Bab 46
Bab 47
Bab 48

Bab 22

613 38 5
By cimut998

"Mas ..." Yudi menatap Ahmad penuh tanya. Begitu juga dengan Ahmad. Keduanya memikirkan hal yang sama. Untuk apa Pak Usman datang ke rumah Pak Heru? Dan bagaimana ia bisa selancang itu masuk ke rumah orang tanpa permisi? Bukankah Pak Usman depresi, setelah kehilangan cucunya?

Segala macam pertanyaan seolah berputar-putar di kepala. Ahmad dan Yudi hanya bisa bersembunyi di dalam kamar. Mencoba mencari tahu apa tujuan pria tua itu.

"Ke mana Heru! Apa dia tidak ingat hari ini diadakan rapat. Kalau sampai tidak datang, bisa-bisa lelaki tua itu marah sama saya!" Gerutu Pak Usman. Pria tua itu mengambil sebatang rokok, lalu menyulutnya dengan korek api. Asap mengepul di udara. Perlahan kepulan asal itu lenyap, tertiup angin. Dengan raut wajah kesal, Pak Usman segera pergi dari rumah Pak Heru.

Setelah kepergian Pak Usman, Ahmad dan Yudi bergegas keluar dari kamar Indah. Mereka seakan lupa, untuk apa masuk ke kamar gadis cantik itu.

"Saya harus segera kembali ke Pondok, Mas. Saya akan menemui Ilham secepatnya. Saya juga akan meminta bantuan kepada Kiai Sobirin. Siapa tahu, beliau bersedia membantu." Ucap Ahmad sambil terus mengamati sekitar. Siapa tahu akan ada lagi yang datang.

"Mas, apa Mas Ahmad benar-benar yakin, mau kembali ke Pondok? Saya takut Mas, kalau nanti justru Mas Ahmad akan mengalami banyak kendala. Soalnya ..." Yudi secara sengaja menghentikan kalimatnya. Pemuda itu terlihat tegang.

"Soalnya apa, Mas?" Tanya Ahmad penasaran.

"Soalnya saya benar-benar khawatir dengan keadaan Mas Ahmad. Apalagi dengan kondisi kepala di perban. Saya takut, Mas Ahmad kenapa-kenapa di jalan." Yudi berbohong. Sebenarnya ia ingin sekali menceritakan tentang permintaan Pak Parta, namun segera ia mengurungkan niat. Yudi tidak mau menambah beban pikiran pemuda itu.

"Saya akan baik-baik saja, Mas. Mas Yudi tak perlu risau," balas Ahmad.

Yudi menganggukkan kepala, lalu menghela napas panjang. Kepalanya terasa amat berat. Memikirkan diri sendiri saja sudah sulit, kini ia harus memikul tanggung jawab yang lebih berat, menjaga Adiba.

***

ALLAHU AKBAR ... ALLAHU AKBAR

Suara azan kembali menggema memecah keheningan senja. Matahari dengan senyumnya yang menawan, melambai penuh lembut. Perlahan jingganya mulai tenggelam. Menyisakan kilau yang menyembul dari celah langit abu-abu. Sampai detik ini, hanya suara tonggeret yang terdengar. Seakan mengambil alih peradapan manusia di desa Giung Agung. Melodi yang dilantunkan perlahan memecah kesunyian. Menjadikan huru-hara langkah kaki yang hendak bersembunyi, dari pekatnya malam.

"Hari ini tidak ada yang datang untuk shalat berjemaah ya, Mas?" Tanya Ahmad pada Yudi. Setelah percakapan mereka selesai siang tadi, Yudi segera berpamitan pulang. Sementara Ahmad kembali ke kamarnya. Merapikan beberapa baju, mengemasnya ke dalam tas.

Keputusannya untuk kembali ke Pondok sudah bulat. Ia harus meminta bantuan kepada Kiai Sobirin dan juga Ilham. Peristiwa janggal yang terjadi, membuatnya lupa apa tujuan sebenarnya. Isi kepalanya sekarang bukan lagi menjaga Adiba, tetapi mengungkap misteri di desa tersebut. Ia merasa jika hal itu perlu dilakukan, supaya bisa secepatnya tahu siapa dalang dibalik semua ini. Perbuatan yang disangka baik itu, justru membuatnya semakin terjerumus ke dalam jurang yang gelap. Bahkan, untuk meraih setitik cahaya pun, ia merasa kesulitan. Apalagi, menemukan jalan pulang. Hal itu menjadi harapan tabu yang menguasai alam sadar.

"Tidak ada, Mas. Mana berani mereka keluar rumah. Saya saja kalau tidak karena terpaksa, milih shalat di rumah saja. Kenapa harus membahayakan diri, cuma sekadar shalat di mushola. Shalat di rumah juga sama saja." Balas Yudi.

"Mas Yudi tidak boleh bicara seperti itu. Justru kita harus melawan rasa takut dengan cara mendekatkan diri kepada Allah. Semua yang terjadi, sudah menjadi bagian dari takdir. Mas Yudi tidak boleh putus asa seperti itu," kata Ahmad dengan nada lembut.

"Ya, Mas." Singkat Yudi. Ia segera berikamah. Beberapa menit kemudian keduanya melaksanakan shalat maghrib secara khidmat.

Setengah jam berlalu. Dari kejauhan terlihat seseorang tengah berlari ke arah mushola. Dilihatnya, ada dua orang pemuda yang tengah membaca ayat suci Al-Qur'an. Orang tersebut segera mempercepat langkah. Berlari sekencang mungkin, menghampiri kedua pemuda tersebut.

"Tolong! Tolong!"

Ahmad dan Yudi segera beranjak dari duduknya, setelah mendengar teriakan orang tersebut.

"Tolong! Tolong saya!"

"Pak Sulaiman? Ada apa Pak?" Tanya Ahmad panik melihat Pak Sulaiman yang tiba-tiba datang dengan raut wajah ketakutan.

"Tolong saya, Mas. Tolong saya!" Jawab Pak Sulaiman dengan tubuh bergemetar.

"Ya, Pak. Kami pasti bantu. Tolong katakan apa yang terjadi," pinta Ahmad berusaha menenangkan Pak Sulaiman yang sedari tadi kelimpungan. Beberapa kali juga ia menoleh ke arah belakang dengan wajah pucat.


"A-da mayat, Mas. Mayat!" Seru Pak Sulaiman.

"Mayat?" Ucap Ahmad dan Yudi secara bersamaan.

"Ya, Mas. Ada mayat!" Pak Sulaiman mengulang kalimatnya.

"Mayat siapa, Pak? Di mana?" Ahmad semakin penasaran. Sementara Yudi, beberapa kali terlihat mengelus tengkuk. Ia berusaha membuang rasa takut. Meskipun sekujur tubuhnya ikut bergemetar.

"Di- di rumah!" Tandas Pak Sulaiman.

"Ayo kita ke rumah Bapak sekarang!" Titah Ahmad. Pak Sulaiman mengangguk cepat. Keduanya segera menuju kediaman Pak Sulaiman. Yudi dengan langkah lamban mengikuti dari belakang.

Setibanya di rumah Pak Sulaiman, ketiganya bergegas masuk ke dalam. Rumah yang terbuat dari kayu itu tampak gelap gulita. Padahal tidak sedang mati listrik.

"Di mana mayatnya, Pak?" Tanya Ahmad.

"A‐ ada di dapur, Mas." Jawab Pak Sulaiman menunjuk arah belakang rumah.

"Mari kita periksa!" Ajak Ahmad, namun saat hendak menuju dapur, Yudi dengan cepat menahan langkah Ahmad dengan menarik tangannya.

"Tunggu, Mas. Apa Mas Ahmad tidak curiga pada Pak Sulaiman? Pak Sulaiman punya banyak tetangga loh, Mas. Kenapa harus minta tolong sama kita? Kan bisa sama tetangganya, Mas."

Seketika Ahmad terdiam. Benar yang dikatakan oleh Yudi. Kenapa Pak Sulaiman tidak meminta tolong kepada orang terdekat, tetapi justru sengaja lari menuju mushola.

BUK!

BUK!

Keduanya pun jatuh tertelungkup dengan darah yang mengalir dari bagian belakang kepala. Mereka berdua kehilangan kesadaran.

"Rasakan itu! Akhirnya aku bisa melampiaskan kebencianku selama ini padamu, Bocah tengik!" Ucap rekan Pak Sulaiman.

"Kita bawa mereka ke dalam," titah Pak Sulaiman.

Pak Sulaiman dan rekannya menyeret tubuh Ahmad dan Yudi secara bergantian. Ahmad diikat di sebuah tiang kayu. Sementara Yudi dikurung di dalam kamar. Tentu saja dengan ikatan di tangan dan kakinya.

"Mau kau apakan dia? Kamu yakin, dia yang dimaksud oleh sang pemimpin?" Tanya Pak Sulaiman.

"Tentu saja, Siapa lagi." Jawab rekannya.

"Apa yang membuatmu yakin, saya lihat dia pemuda baik-baik." Balas Pak Sulaiman.

"Dia memang pemuda baik- baik, tetapi jika terus dibiarkan hidup, dia akan menjadi bumerang buat kita. Sekarang saya mulai paham, kenapa pria tua itu sangat menjaganya. Ternyata dia adalah anak Ki Alif. Ketua dari Tudung Putih." Jelas sang rekan.

Kedua mata Pak Sulaiman terbeliak lebar mendengar penuturan rekannya. Dia sangat terkejut ketika nama itu disebut. Peristiwa kelam yang terjadi pada masa itu, kini tertampang jelas di matanya.

Peristiwa di mana ia beserta rekan yang lain, dengan sadis membantai satu keluarga. Bahkan ia juga masih ingat saat dirinya menggorok leher seorang gadis kecil yang tidak bersalah.

"Ja-jadi dia anaknya Nunung?" Tanya Pak Sulaiman dengan tubuh bergemetar.

"Tentu saja." Tukas sang rekan. "Lupakan dia! Perempuan itu memang pantas mati! Dia tega mengkhianati kita dan memilih menikah dengan musuh bebuyutan kita. Saya rasa, kematian mereka bukan sekadar dijadikan tumbal, tetapi untuk memperluas kekuasaan." Imbuhnya.

Pak Sulaiman terkulai lemas, ia bahkan menjatuhkan diri ke lantai. Ada sesak di dalam dadanya. Bagaimana pun, ia merasa bersalah karena telah membiarkan orang lain membunuh mantan istrinya. Tangis Pak Sulaiman pecah. Ia terisak cukup keras, hingga membuat rekannya geram.

"Dasar lemah! Kau itu seorang bajingan, Man. Pantang untuk menangis!" Sindir rekan Pak Sulaiman.

"Bagaimana pun, dia itu mantan istriku. Dia perempuan yang baik," ujar Pak Sulaiman.

"Mana ada perempuan baik yang mau selingkuh dengan lelaki lain, Man? Mana ada!" Bantah sang rekan.

Pak Sulaiman hanya terdiam. Semua yang dikatakan orang itu tidaklah benar. Mantan istrinya tidak seperti itu. Mereka sepakat bercerai dengan cara baik-baik. Nunung adalah perempuan terhormat. Ia bahkan menjaga muruahnya sebagai perempuan di saat masih menjadi istrinya. Pak Sulaiman begitu mencintainya. Dia tidak ingin perempuan itu terjerumus ke lembah kemaksiatan. Namun, ia benar- benar tak menduga, jika Nunung menikah dengan Ki Alif, yang jelas-jelas adalah musuhnya.

Peristiwa masa lalu membuatnya terus merasa bersalah. Bahkan seberapa banyak ia menangis pun tak akan bisa menebus dosa yang telah ia lakukan. Membunuh anak dari perempuan yang ia cintai.

"Argh!" Yudi merasakan sakit di bagian kepala. Ia segera terperanjat ketika menyadari kedua tangan dan kakinya terikat.

"Di mana aku," lirihnya sambil mengedarkan pandangan. Kamar yang ditempatinya sangat asing. Sayup-sayup Yudi mendengar seseorang tengah mengobrol dari luar. Yudi berusaha mengintip siapa orang tersebut. Tetapi, ikatan di kakinya begitu kuat. Jangankan berdiri, mengesot pun ia tak mampu.

Continue Reading

You'll Also Like

233K 19.2K 29
Kisah tentang teror dari sosok bernama Nek Ipah yang dialami seorang anak bernama Dani (7 tahun). Tidak hanya Dani saja, bahkan penduduk kampung pun...
37.7K 3.1K 49
Kumpulan kisah horor dan misteri yang dialami oleh para narasumber di sebuah wilayah yang dipercaya sebagai sarangnya para dedhemit. Cerita ini sebel...
209K 22.7K 24
"Semenjak nenek meninggal, suasana rumah jadi menyeramkan. Nenek suka datang di waktu malam, mengetuk pintu dan jendela. Kadang juga bernyanyi dan me...
15.3K 2.3K 20
❗WARNING❗ [JANGAN BACA SENDIRIAN] ~FOLLOW SEBELUM BACA~ Hani menghilang dari rumah secara tiba-tiba pada ulang tahunnya yang kedelapan. Katna tetangg...