Boyfriend With Benefits

Por xerniy

193K 2.3K 82

[21+] Asmara Senjani hanya ingin lulus kuliah tepat waktu lalu bekerja demi menghidupi adik semata wayang dan... Más

Chapter 1 : Belas Kasih
Chapter 2 : Kesepakatan
Chapter 3 : Derita Si Kuno
Chapter 4 : Kencan Pertama
Chapter 6 : Peduli Apa?
Chapter 7 : Penculik
Chapter 8 : Bohong
Chapter 9 : Lebih Jauh
Chapter 10 : Satu Kasur
Chapter 11 : Berlindung
Chapter 12 : Perhatian Kecil
Chapter 13 : Jatuh Hati?
Chapter 14 : Terjebak
Chapter 15 : I Will Protect You

Chapter 5 : First Kiss

16.1K 204 12
Por xerniy

"Arven? Akhirnya kamu datang juga, Nak."

Asmara disambut suara lembut itu saat dia baru saja menuruni mobil, memijaki carport yang luasnya seperti lapangan bola. Sedangkan Arven yang tengah menutup pintu seketika menoleh dan tersenyum tipis. Ia menyambut kedatangan wanita parubaya itu dengan dekapan hangat.

Tak ada kemiripan, namun Asmara sembilan puluh persen yakin wanita ini adalah ibunya Arven. Lihat saja bagaimana manik beliau memandang Arven penuh kasih sayang, cinta, dan harapan.

"Sorry banget Arven telat."

Asmara lihat wanita itu mengangguk maklum. Menepuk bahu Arven.

"Nggak papa, yang penting kamu datang aja Mama udah senang kok. Mereka semua nungguin kamu di dalam." Lalu tatapnya beralih pada Asmara. "Eh, ini siapa?"

Seketika Asmara tersenyum kikuk, agak bingung menjawab apa namun ia ingat pesan Arven saat mereka di dalam mobil.

"Bilang aja kita baru resmi pacaran beberapa bulan."

"Lo harus bisa meyakinkan ibu gue kita sepasang kekasih."

"Dan jangan sekali-kali lo keceplosan panggil gue 'Pak' di hadapan mereka."

Ya Tuhan. Bagaimana kalau semua itu gagal?

"Aku Asmara pacarnya Arven tante, salam kenal." Dan yah Asmara berusaha melakukannya meski dengan satu tarikan napas panjang.

"Pacar?" Flora mengerjap kaget, menatap sang putra. "Sejak kapan kamu punya pacar, Ven? Kenapa baru kenalin ke mama?"

"Baru beberapa bulan kok tante, Arven sengaja nggak ngasih tau karena mau ngasih surprise," jawabnya spontan.

Arven bersedekap memberikan Asmara satu tarikan sudut bibir. Kerja bagus, batin pria itu sekarang.

"Surprise? Duh, mama beneran kageet lho, syukurlah, ternyata kamu masih normal Nak, mama kira... "

"Ma!" potong Arven seolah bisa membaca apa yang Flora katakan.

Flora terkikik. Tatapnya penuh minat kepada Asmara. "Kamu, siapa namamu tadi? Kamu cantik bangett."

"Asmara Senjani, Tante."

"Namamu juga estetik. Kenalin tante Flora mamanya Arven," Ia merangkul pundak Asmara. Memberikan senyum hangat tanda menerima kehadirannya sebagai kekasih sang putra. "Masuk yuk! Selamat datang di rumah Arven yaa. Ah bukan rumah dia tapi rumah orang tuanya. Arven punya rumah sendiri di daerah Menteng."

Asmara balas tersenyum. Tidak sesulit yang ia kira melakukan perintah Arven, meski ada rasa bersalah karena telah membohongi orang tua. Terlebih dari raut wajahnya Flora orang yang sangat welcome, membuat kegelisahan Asmara sedikit berkurang.

Ya hanya sedikit, karena sekarang ada hal rumit lain menunggunya ketika memasuki rumah bak istana itu.

Keluarga besar Arven, tengah bercengkrama di ruang tamu.

"Semuanya sini kumpul dengerin Mama," Flora berseru antusias. Sontak obrolan penghuni rumah perlahan menghening. "Lihat, siapa yang datang ke rumah kita? Namanya Asmara Senjani pacarnya Arven, iya anak mama sekarang udah punya pacar. Cantik, kan? Cantik lahh."

Asmara menunduk bersemu.

Seketika seluruh tatap mengarah padanya. Asmara tersenyum kaku, mendelik pada Arven yang justru mendaratkan pantat dengan santai di sofa. Mengambil segelas jus jeruk lalu menenggaknya sedang ujung mata melirik gadis itu.

"Enggak usah berlebihan bisa kali, Ma?" decaknya. "Ini bukan pertama kali dalam seumur hidup aku bawa cewek ke rumah."

"Diam deh, kamu yang punya pacar harusnya kenalin dia ke keluarga kita dong. Bukan malah Mama, gimana sih?"

Salah satu alasan mengapa Arven tidak suka membawa wanita ke rumah adalah ini, euforia Flora pasti terlalu berlebihan. Arven menghembuskan napas pasrah.

Sashi yang sudah tau tabiat sepupunya itu menebak, "Pacar beneran apa pacar sewaan nih? Nemu dimana?"

"Beneranlah njing. Ngapain gue nyewa-nyewa cewek?"

"Dih. Sok suci monyet!" ejeknya. Lalu Sashi mendekat dan mengulurkan tangan pada Asmara. "Hai, kenalin nama aku Sashi sepupunya Arven."

"Aku Asmara, Kak." Asmara menyambut uluran tangan itu disertai senyum ramah.

Sashi mendesah pendek, "Jangan kaku gitu dong. Anggap kita semua juga keluarga kamu oke?"

"Hehe o...ke pasti kok." Jujur Asmara termasuk orang yang suka nervous bertemu orang baru. Apalagi sebanyak sekarang. "Mara senang dikasih kesempatan bertemu keluarga Arven."

"Sekarang duduk yuk! Kamu pasti capek ngadepin kelakuan setan Arven. Oh ya, udah berapa lama kalian pacaran?"

Umpatan Arven terdengar. Sashi memang sialan. Wanita itu menjadi nomor dua manusia yang paling ia benci setelah Arkana.

"Udah jalan tiga bulan kak. Aku nyaman pacaran sama Arven."

"Wah baru yaa. Kalau umur kamu?"

"Umur?" Asmara menatap Arven di sofa seberang seolah meminta persetujuan atas jawaban yang akan ia lontarkan, namun pria itu hanya mengangguk malas sembari menyugar rambutnya ke belakang. "Emh baru dua puluh dua. Aku masih kuliah semester enam."

Sashi terkejut, kecurigannya ternyata benar. "Hah, kamu masih muda banget. Lo nggak pedofil kan, Ven?" tanyanya pada sang sepupu. Pria itu menghembuskan asap rokoknya ke samping.

"Emang kenapa? Suka-suka gue dong dapat yang lebih muda."

Sashi pun memutar bola matanya.

"Mara suka minuman apa ya biar mama buatin?" tanya Flora menghampiri, Asmara menggeleng.

"Eh jangan repot-repot tante. Air putih juga nggak apa-apa."

"Dia suka jus mangga," sela Arven. Asmara terkesiap dan mengerjap heran. Darimana pria itu tau minuman favoritnya? Apakah Arven sebenarnya cenayang?

Flora tersenyum menggoda membuat Asmara menunduk malu. "Nah gitu dong Ven, kasih tau mama kesukaan pacar kamu, tunggu mama buatin yaa Mara."

***

Asmara kira pesta yang dimaksud Arven adalah pesta besar dengan perayaan penuh lampu serta tamu, namun ternyata pesta itu adalah pesta makan malam keluarga yang dimana para tamu hanya berasal dari keluarga besar tuan rumah.

Sayangnya, Asmara merasa sedikit sulit mengakrabkan diri dengan mereka. Terlebih ia tahu kehidupan mereka sangatlah berbeda. Mereka kaya sedangkan dia berasal dari keluarga pas-pasan bahkan kurang. Olehnya, Asmara bingung ingin membuka obrolan semacam apa. Alhasil saat perlahan-lahan keluarga Arven pulang sebab malam sudah akan larut, dia justru berakhir duduk di bar room bersama pria itu.

Oh tentu saja bukan cuma berdua, ada juga teman-teman Arven yang datang sekitar dua orang. Mereka sibuk berbincang sembari bermain billiar.

"Sini," Arven menepuk kursi di sebelahnya. "Duduk sebelah gue, jangan jauhan."

Asmara mengangguk lalu mendaratkan pantatnya di sebelah pria itu. "Bapak mau ngomong?"

"Shut, panggil Arven, bego!" peringatnya.

"Ups!" Asmara membekap mulut. "Sorry-sorry, hehe."

"Eh-eh." Pria itu tiba-tiba menarik kursinya agar lebih merapat. "Kok malah dideketin?"

"Nggak papa. Gue pengen nanya beberapa hal aja ke elo," ujarnya setengah berbisik. Mungkin Arven takut percakapan mereka terdengar walau suara musik mendominasi bar. Ia pun berpikir mengapa tidak menanyakan kehidupan Asmara lebih dulu sebelum mereka datang kemari. Jadi dia tadi nggak cuma planga plongo saat ditanya Flora tentang Asmara.

"Banyak juga boleh kok." Gadis itu menyengir. "Mara siap jawab semuanya asal dibayar."

"Dih, mata duitan lo!"

Asmara pun tertawa. Ia berucap pelan, "Tapi Mara emang butuh duit, buat bayar semua kebutuhan rumah."

"Kenapa lo yang bayar? Ayah lo kemana?"

"Udah lama sakit, makanya nggak bisa kerja."

"Terus lo yang kerja?" Arven semakin penasaran kehidupan gadis ini.

"Iya, dua minggu lalu, Mara pernah ikut kerja part time di restoran fast food tapi dipecat karena sering telat."

Arven manggut-manggut. Sekarang ia mengerti betapa menyedihkannya hidup Asmara. Pantas gadis ini kesulitan membayar UKT Kuliah. Gurat kesedihan jelas terlihat walau Asmara berusaha menyembunyikannya. "Lo kerja ikut gue gimana?"

"Emang sekarang Mara nggak kerja? Kan kerjanya jadi pacar sewaan kamu," jawabnya polos dan Arven berdecak.

"Lo mau dapat duit setelah kita kencan doang. Kalo habis, terus lo ngemis gitu biar dapat penghasilan?"

"Hah? Bukan ngemis juga yaa. Mara bukan orang yang seperti itu."

Arven mendengkus. "Sini hape lo."

"Buat?"

"Sini cepet!"

Terpaksa, Asmara memberikan benda pipih keluaran lama yang ia ambil dari sling bang miliknya. Melihat Arven mengetikan nomor di kontaknya, lengkap dengan sebuah alamat yang Asmara tidak tau itu alamat rumah siapa.

Selesai, pria itu mengembalikan ponselnya.

"Simpan baik-baik, itu nomor manajer kafe gue. Seandainya lo butuh duit, lo bisa ikut kerja di sana jadi waitress."

Oh ternyata sebuah rezeki.

Asmara tersenyum lebar. "Makasih yaaa. Mara beruntung banget kenal kamu."

"Gue yang beruntung kenal lo."

Pipi Asmara memerah. "Padahal aku masih bingung kenapa kamu harus nyewa pacar. Kamu ganteng, mapan, terus orang tua kamu lengkap, kenapa nggak langsung nikah aja?"

"Itu urusan gue."

Huft. Asmara menghembuskan berat napasnya. "Dan Mara berhak tau karena Mara sekarang pacar kamu."

"Lo lupa isi kontraknya? Lo boleh nyari tau hidup gue sekarang tapi nggak dengan masa lalu gue. Just my outer life, not my past."

"Ih pelit. Orang pelit kuburannya sempit." Namun Asmara hanya berani menggumamkan pelan kalimat tadi.

"Ngomong apa lo barusan?"

"Enggak ada."

Ia turun, tak disangka tangannya di tahan oleh Arven.

"Sok merajuk. Enggak gue bayar tau rasa lo." Sialnya gadis itu kekeh beranjak. Bikin Arven gencar menahan tangannya. "Jangan keluar napasih."

"Mara haus tau."

"Mata lo minus apa gimana, banyak minuman di sini." Telunjuknya mengarah pada display bar. "Tuh, tinggal pilih pengen yang mana. Gue jamin semuanya nol persen alkohol. Lo bebas pilih sesuka hati."

Asmara tau ruangan ini menyediakan minuman, namun dia tidak pernah mencoba satu pun dari banyaknya botol yang berjejer tersebut. Dia takut, kata Ulfa beberapa di antaranya bisa membuat mabuk. Tetapi kata Arven tadi semuanya nol persen alkohol kan? Baiklah, dia tertarik mencoba satu.

"Ituu... rasa apa? Kayaknya enak."

Menatap arah telunjuk Asmara. Arven mendesah cepat. Rupanya masih banyak hal yang Asmara tidak tau.

"Mocktail lemon. Serius lo mau?"

Asmara mengangguk.

Tanpa banyak tanya lagi, Arven segera meminta pelayan bar menyajikan mocktailnya ke plisner glass. Asmara sampai menjilat bibirnya sebab minuman itu tampak sangat menyengarkan saat ditambah irisan lemon di atasnya.

"Makasih yaaa."

"Sama-sama Nona."

Menyeruput sedikit demi melepas dahaga, Asmara mendesah pelan tanda hausnya terbayarkan. "Ahh."

"Minumnya sambil duduk bocah."

"Arven!" pekik Asmara sebab Arven mengangkat tubuhnya ke pangkuan pria itu.

"Nih." Minuman yang diambil pun di kembalikan lagi. "Awas nggak lo habisin."

"Aku pengen turun."

"No! Habiskan di pangkuan gue. Lo ngerti akting nggak? Gue sengaja begini supaya kita terlihat kayak pacar sungguhan."

Mendengkus, Asmara pun pasrah menuruti perintahnya, meminum mocktailnya sambil duduk di pangkuan Arven, mereka berhadapan, hingga tak luput dari pandangan pria itu. Sesekali Arven mengambil alih sedotan dari mulutnya lalu ikut menghisap.

Asmara menunduk malu. Ia kira Arven akan jijik menggunakan sedotan bekas bibirnya.

"Ven," panggil Jovan-teman Arven, dia mendekat bersama Akash dan Asmara mendadak canggung.

"Anjir, nggak habis main di sini kan lo?"

"Main apa?" Asmara mengerjap polos. "Kita nggak ada main loh dari tadi cuma ngobrol."

"Sat... bangsat... gue nggak yakin dia beneran cewek lo, Ven," decak satunya yang berambut gondrong, dia adalah Akash.

"Polos amat kayak pantat bayi. Biasa tuh ya, tipe Arven yang goyangnya kuat di atas ranjang. Lah ini? Mungil amat kayak punya pak Supri," tambahnya yang disambut gelak tawa Jovan.

Arven malas meladeni berbagai olokan temannya itu, toh, dia menyewa Asmara bukan untuk memuaskan nafsunya. Dia hanya ingin membuktikan pada keluarganya bahwa dia bukan gay, menyangkal ucapan Viona bahwa dia masih pria tulen yang menyukai lawan jenis.

"Masih kurang yakin sih gue. Lo bener ceweknya Arven?"

"Bener kok," jawab Asmara di pangkuannya. Arven sesekali mengusap pipi Asmara guna meyakinkan dua teman laknatnya itu. "Kami baru pacaran tiga bulan, pak-eh, Arven emang nggak bilang ke siapa-siapa."

"Masa?" Akash bersedekap ragu. Satu sudut bibirnya tertarik menatap Arven. "Coba cium kalau dia beneran cewek lo, Ven."

"Ci-cium?" Dan Asmara membelalak terkejut.

Maka tanpa ragu Arven langsung mengikis jarak, menahan belakang kepala Asmara bergerak untuk kemudian menyatukan bibir mereka dan memberikan gadis itu ciuman yang lembut sekaligus dalam.

Asmara mencengkram jas Arven kuat-kuat.

Tuhan... Mulutnya seolah sedang dijajah.

Seguir leyendo

También te gustarán

6.9M 342K 74
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...
1.5M 13.9K 24
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) Hati-hati dalam memilih bacaan. follow akun ini biar lebih nyaman baca nya. •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan sa...
467K 33.6K 36
Adhitama Malik Pasya pernah menikah dengan gadis belia. Satu bulan pernikahan, lelaki itu terpaksa bercerai dari istrinya. Tujuh tahun berlalu, ia t...
1M 14K 22
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...