I DESERVE U

By marsh-melo

7.6K 989 607

Apakah sejatinya, cinta adalah tentang kepantasan? Berawal dari secarik kertas hukuman sialan dari sahabatnya... More

Prakata
1. Would U like to Be My Partner? [Joshua]
2. We've Never Been This Close Before. [Song Bora]
3. Am I ready for U? [Joshua]
4. What Do U Want From Me? [Song Bora]
5. U R The One I'm Worry About. [Joshua]
6. So Let Me Stay in Ur Arms, Just A Little Longer. [Song Bora]
7. We Have Each Other, So We Can Solve It Together. [Joshua]
8. But It's Harder Than I Thought. [Song Bora]
9. Come Here, And Try To Lean On Me. [Joshua]
10. U R The Hardest Project I've Ever Had. [Song Bora]
11. U R The Most Unpredictable Girl I've Ever Met. [Joshua]
12. U Make Me Feel (Un)Comfortable. [Song Bora]
13. U R So Close, Yet So Far. [Joshua]
14. I Just Wanna Make It Sure. [Song Bora]
15. So Tell Me The Reason. [Joshua]
16. Let Me Try My Best. [Song Bora]
17. And So Let Me Do My Part. [Joshua]
18. U Can Lean on My Little Shoulder Anytime. [Song Bora]
19. U Don't Hate Me, Do U? [Joshua]
20. Nothing Really Change, But Now.. I'll Try To Be Brave. [Song Bora]
21. I believe in U. [Joshua]
22. Tell Me Ur Way To Be Happy. [Song Bora]
23. Could I Make U Happy? [Joshua]
24. U Make Me Think That I'm Worthy Enough. [Song Bora]
25. Am I Just A Name For U? [Joshua]
Intermezzo #1 : U Deserve a Selca Time!
26. At Least, U Wanna Talk to Me. [Song Bora]
27. I Like U, More Than Yesterday. [Joshua]
28. U Hug Me Warmly, Even When U're Not Able to. [Song Bora]
29. Don't Worry, U're on My Guard. [Joshua]
30. Never Thought That I'll Like U This Much. [Song Bora]
31. I Wanna Be The One U Trust The Most. [Joshua]
32. It's Not That I Don't Trust U. [Song Bora]
33. U Did Well, Sweety. [Joshua]
34. U R The Most Comfortable Space of Mine. [Song Bora]
35. Cause Our Story is Not A Fault. [Joshua]
36. But U Don't Deserve This Pathetic Girl. [Song Bora]
37. At The End of The Day, I'm Not Much of A Help. [Joshua]
38. Why U Disregard Urself, When Ur Hug is My Only Space to Rest? [Song Bora]
39. Thank U, For Make Me Feel Like A Super Hero. [Joshua]
40. The More I Like U, The More I Brave. [Song Bora]
41. It Has To Be U And Me; No One In Between. [Joshua]
42. Do I Deserve To Be This Happy? [Song Bora]
43. Could I Even Sleep Well Tonight? I'm Not Really Sure. [Joshua]
44. Is It Right to Depend on U This Much? [Song Bora]
45. I Should've Hug U More Back Then. [Joshua]
47. It's Just My Way To Love U. [Joshua]
48. I Know Myself Better When I'm With U. [Song Bora]
49. Could I Be A Part of Ur Future Too? [Joshua]
50. What Kinds of Stupid Joke It is? [Song Bora]
51. I Won't Give Up on Us. [Joshua]
52. It's Me.. That Hurt Myself. [Song Bora]
53. I'm Sure, It's U. [Joshua]
54. Maybe I Have To Learn To Be Loved. [Song Bora]

46. What Should I Do Now? [Song Bora]

67 10 0
By marsh-melo

Kusandarkan tubuhku di sofa keras yang akan kupakai tidur malam ini. Sangkyun sedang keluar untuk membelikanku makan siang -- ya, jam tiga lebih seperempat masih kuhitung siang, toh matahari belum terbenam.

Ah, lelah juga. Jika terapi Ibu berjalan lancarpun, jadwal rawat inap Ibu masih dua hari lagi. Sampai akhir pekan ini, aku harus menerima ritme tidurku yang berantakan dan berusaha ekstra menahan kantuk di tengah kelas.

Tak pernah kusangka bahwa rasa kantuk itu akan mengantarkanku pada kejadian yang bikin pikiranku campur aduk hari ini, dan membuatku membatalkan sebuah janji temu yang kubuat sendiri. Andai kejadian tadi tidak terjadi, mungkin sekarang.. aku sedang tidur nyenyak di sofa apartemen Joshua yang lebih nyaman daripada sofa keras ini.

Tapi, tidak mungkin juga kan aku datang ke apartemennya dengan pipi lebam begini?

☆☆☆

Semua berawal dari rasa kantukku di kelas Ekonomi Investasi dan membuatku harus meminjam catatan pada Noh Minwoo. Dia meminjam catatan kelas Cyber Trade-ku sebagai gantinya. Aku tidak keberatan, toh, kami saling menguntungkan. Minwoo juga cukup dekat dengan Joshua, dan sejauh ini, dia bersikap baik padaku.

Penyesalanku baru muncul saat Minwoo menelponku sesaat setelah aku keluar dari ruang TU untuk mengumpulkan tugas pengganti kelas ARB.

"Sorry Bora, hampir aja saya lupa. Jadi gini, tadi tuh catatan kamu udah saya copy kan, tapi saya buru-buru turun soalnya ada urusan mendadak. Jadi.. saya titip tuh catatan kamu sama si Hyeyoon, tadi sih dia masih ada di ruangan 403."

Dahiku berkerut mendengar nama asing itu.

"Sekalian, dia mau copy juga katanya--"

"Hyeyoon? Yang mana ya.. orangnya?"

"Ah, itu lho, yang tinggi-tinggi, pake kacamata, tadi pake kaos putih-- lho, bentar, kamu.. kamu nggak kenal dia yang mana?" nada bicara Minwoo berubah panik. "Katanya dia bakal ketemu kamu lho di kelas ARB--"

"Kelasnya dibatalin," timpalku cepat. Tak sempat kusembunyikan rasa kesalku. "Dan saya nggak kenal sama yang namanya Hyeyoon."

Bukannya aku pelit catatan ya, hanya saja aku tidak biasa memberikan catatanku pada orang yang tidak kupercaya. Apalagi ini, tidak kenal sama sekali.

"Waduh," kaget Minwoo. "Bora, sorry banget. Serius, saya kira dia kenal sama kamu soalnya.. aduh, gimana ya? Saya udah jauh juga nih dari kampus.."

Mau bagaimana lagi. "Saya cari dia sekarang."

"Ah.. ya udah, kalo gitu. Sorry banget, Bora. Serius. Gue bakal tanggungjawab kalo catetan lo ilang, ya?"

"Hmm. Makasih infonya Minwoo," kututup telponku dengan sedikit kesal, sebelum melangkah lagi ke tangga gedung.

Sejujurnya aku tidak rela harus menaiki lantai empat untuk ambil buku catatan. Kalau benar si Hyeyoon-Hyeyoon itu meminjam catatanku, bukankah seharusnya dia yang berusaha mencariku untuk mengembalikannya?

Sungguh, kekhawatiranku masih sebatas itu, sampai akhirnya aku berada di ruang 403 dan menemukan bukuku tergeletak di lantai dalam keadaan terbuka.

Ada bekas jejak sepatu di salah satu halamannya.

Sial. Hyeyoon, siapapun dia, tidak benar-benar berniat meminjam catatanku ternyata.

"Nah, dateng juga orangnya."

Masih berjongkok memeriksa buku catatanku yang berdebu, aku menoleh ke belakang dan mendapati gadis jangkung berkacamata di ambang pintu. Dia tidak sendirian. Dia bersama Choi Mira.

Firasatku buruk.

"Omo omo, buku lo kenapa, Bora?" Mira, yang bajunya modis bernuansa pink dari kepala hingga kaki itu menghampiriku dengan sikap sok khawatir. "Kotor, ya? Wah, padahal tadi ditaro di meja, lho. Kok bisa ada di lantai, sih?"

Malas sekali aku menanggapi aktingnya yang buruk itu.. ha, dia perlu ikut kelas akting tambahan dalam masa training-nya di agensi nanti. Melihat sorot matanya saja, aku tahu kalau dia sedang menertawakanku.

Mengabaikan basa-basi Mira, aku berdiri mengambil bukuku dan menatap balik gadis jangkung yang sedari tadi menatapku sinis dari ambang pintu itu.

"Lain kali, kamu bisa temuin saya langsung kalo mau pinjem catatan. Saya bakal tetep pinjemin kok, kalo kamu bener-bener butuh, meskipun saya nggak begitu kenal kamu."

Cewek sinis itu terbahak mendengar sindiranku.

"Lo tuh lugu apa bodoh, sih? Lo pikir.. gue bener-bener butuh catetan lusuh lo itu?"

Sudah kuduga.

Aku dijebak. Si Hyeyoon-Hyeyoon ini ternyata adalah komplotan Mira.

Entah apa mau mereka sekarang. Aku harus bersiap diri untuk situasi terburuk.

"Jadi.. apa yang kamu butuhin dari saya sampai repot-repot bikin skenario murahan begini?"

Entah keberanian darimana yang menghinggapiku sampai ucapanku berhasil membuat Hyeyoon melotot kesal dan mengumpatiku.

Mungkin keberanian ini muncul dari ingatanku tentang Choi Mira dan segala tingkahnya yang menyulitkan Han Goeun juga -- kemungkinan besar -- menyulitkan Joshua selama ini, yang kerap berputar di kepalaku, sampai pernah terlintas di pikiranku untuk membuat perhitungan dengannya suatu hari nanti. Heol, ternyata kesempatan itu datang jauh lebih cepat dari perkiraanku.

"Gue yang butuh bantuan lo sebenernya."

Mira angkat bicara. Ia bangkit menepuk-nepuk rok necisnya yang kena debu lantai, lalu melempariku senyum paksa. Ia beranjak mengambil tasnya dan mengeluarkan sesuatu dari sana. Sebuah kotak merah marun segenggaman tangan.

"Lo kasih ini ke Joshua, ya?" pintanya sambil menyerahkan kotak beludru itu padaku. "Bilang gini aja sama dia, kalo.. ini hadiah terakhir yang bisa gue kasih sama dia. Lo bisa, 'kan?"

Dari bungkusannya saja, aku bisa tahu kalau itu adalah barang mahal. Mira berhasil memancing sejumput insekuritasku yang tidak bisa membelikan barang semahal itu pada Joshua. Hadiah 'terakhir', katanya? Oh, rupanya dia sering memberikan hadiah begini pada Joshua sebelumnya. Entah berapa won yang sudah dia keluarkan selama ini, yang jelas, tatapan liciknya itu seperti ingin berujar; hei, cinta lo nggak ada apa-apanya dibanding hadiah yang udah gue kasih sama cowok lo!

Dia benar-benar ingin membuatku merasa bodoh dengan menjadikanku perantara dirinya dengan Joshua rupanya. Rubah licik.

Tanpa menyentuh kotak mahal itu sedikitpun, kumasukkan buku lusuhku ke dalam tas dengan santai sebagai bentuk penolakan.

"Kamu aja yang kasihin hadiah itu ke Joshua langsung, tapi.. itu juga kalo kamu masih punya sedikit keberanian buat ketemu dia, sih."

Kali ini, ucapanku berhasil membuat ekspresi manis buatan Mira menguap dan berganti menjadi tatapan sinis dalam sekejap saja.

"A-apa? Keberanian.." ia terkekeh aneh, "heh, ngomong apa sih lo,? Si-siapa bilang gue nggak berani--"

"Kenapa panik? Kayak kamu punya dosa aja sama Joshua."

Provokasiku bekerja. Akhirnya aku bisa melihat sorot kebencian yang selama ini dia sembunyikan dibalik senyum manis itu.

"Lo emang nggak bisa diajak ngomong baik-baik ternyata," desisnya kemudian.

"Gue bilang juga apa, Ra. Sekali belagu, ya makin belagu lah," temannya si Hyeyoon itu memanas-manasi.

"Heh, bangs*t," umpat si necis itu selagi melangkah mendekatiku. "Lo pikir.. Joshua bener-bener suka sama lo? Sadar diri, jal*ng ! Lo tuh nggak ada bagus-bagusnya dibanding Joshua! Joshua cuma manfaatin lo--"

"Saya nggak berminat dengerin pemikiran tentang saya dan Joshua dari pengecut yang lempar batu sembunyi tangan kayak kamu, Choi Mira. Berhenti ngomong yang jelek-jelek tentang Joshua pake mulut kotor kamu itu," potongku, selagi melempar tatapan tak kalah tajam darinya, "berhenti ngenilai tiap orang pake standar kamu, karena nggak semua orang punya pikiran sesempit kamu."

Mira melotot murka. "Bangs*t--"

Seketika kurasakan bahuku ditarik paksa dari belakang dan saat tubuhku berbalik tanpa kendali, sebuah telapak tangan mendarat keras di pipi kiriku.

PLAK!

Sial. Aku kecolongan.

"Harusnya dari dulu gue tampar lo kayak gini biar lo sadar!" desisnya tertahan.

Tatapan galak dari balik kacamata cewek jangkung itu seketika membuatku sadar bahwa ia adalah cewek asing yang sengaja menabrakku di koridor waktu itu.

Tangannya melayang kembali dan hendak mendaratkannya di sebelah pipiku yang lain. Kali itu aku hendak menahannya, enak saja.. aku tidak berhak dapat tamparannya! Tapi tangan kekar seseorang sudah menahannya duluan dari belakang.

"Anjir, jangan ikut campur lo!" pekik Hyeyoon memecah keheningan kelas.

Mata Mira membelalak kaget melihat sosok yang berdiri di belakang Hyeyoon. Sementara Hyeyoon berusaha melepaskan lengannya dari cengkraman tangan itu dan berbalik ke belakang, hingga aku bisa melihat sosok itu dengan jelas. Hyeyoon -- dan aku, sama kagetnya.

Yoon Jeonghan.

Seketika raut wajah Mira berubah panik.

"J-Jeonghan.. lo.. lo salah paham. Gue nggak maksud--"

"Saya udah rekam omongan kalian daritadi." ucapnya selagi menghempas pelan lengan Hyeyoon. Telunjuk rampingnya itu menunjuk benda kecil di sudut ruangan. "Saya bisa cocokin rekaman saya sama tangkapan CCTV ruangan ini, toh, ini bukan blind spot."

Mira dan Hyeyoon memalingkan wajahnya yang memerah padam. Sepertinya kali ini bukan marah, lebih mirip ekspresi malu. Mereka benar-benar se-pengecut ini rupanya, bisanya menyerang yang lemah saja.

"Yah, gimana lagi? Kalian nggak punya pilihan lain. Mending cepet urus kepindahan kalian dari kampus ini, sebelum semua bukti yang saya pegang ngehancurin karir idol kalian di masa depan dalam sekejap mata."

Sejenak, ultimatum tegas Jeonghan pada dua pengecut ini membuatku ikut merinding. Jeonghan yang kutahu memang dingin, tapi.. ternyata dia bisa lebih dingin lagi. Sampai-sampai Mira dan Hyeyoon langsung mati kutu dan tidak bisa apa-apa selain memelototiku untuk terakhir kalinya, dan meninggalkan ruangan dengan langkah dihentak-hentak.

Jeonghan menghampiriku dan memindaiku dari kepala hingga kaki dengan tatapan khawatir. "Kamu nggak apa-apa?" lalu terkekeh ketir. "Ah, pertanyaan bodoh. Jelas-jelas kamu abis ditampar."

Jujur saja, meski kedatangan Jeonghan benar-benar kusyukuri, kedatangannya terasa agak janggal. Sikap Jeonghan terlalu tenang menghadapi Mira, dan kedatangan Jeonghan terlalu tepat saat aku berada dalam bahaya. Seolah ia mengikuti kami sebelumnya.

Ah, entahlah. Aku bingung.

"Kamu bisa ikut saya sebentar?" ucapnya kemudian. "Ada yang mau saya omongin, dan.. saya yakin, sekarang kamu pasti butuh penjelasan."

Aku tak punya pilihan selain mengikuti langkah Jeonghan, yang ternyata menuntunku ke sebuah vending machine terdekat. Dia membeli dua kaleng minuman dingin dan memberikan salah satunya padaku.

"Lumayan, bisa kamu kompresin ke pipi kamu buat sementara," ucapnya, sebelum duduk di salah satu kursi dekat mesin minuman itu dan membuka minumannya sendiri.

Berjarak satu kursi, aku turut duduk dan menempelkan minuman dingin itu di pipiku. Denging di telingaku mulai berkurang dan sudah cukup siap untuk mendengar penjelasan Jeonghan. Tapi dia diam saja.

"Jeonghan-ssi," kupecah hening di antara kami.

"Hmm?"

"Mira sama Hyeyoon.. apa mereka yang--"

"Ya. Mereka. Penulis rumor jelek hubungan kalian di forum fakultas," ucapnya. "Sebenernya ada tiga orang. Tapi kamu juga pasti udah tahu siapa yang satu lagi."

"Lee Seungjoon," lirihku.

Jeonghan mengangguk pelan. Mata sayunya menatap cola dingin di genggaman, lalu meneguknya sekali lagi.

"Terus, Joshua tahu semuanya?"

Sekali lagi ia mengangguk. "Dia tahu semia pelakunya--"

"Nggak, maksudnya.. apa dia tahu, kalo Jeonghan-ssi nyuruh mereka buat pindah kampus?"

Tentang Mira, Hyeyoon, dan Seungjoon yang jadi biang kerok rumor itu, jujur, itu tidak mengagetkan sama sekali. Yang lebih mengagetkan adalah Jeonghan yang menggelengkan kepala menanggapi pertanyaan terakhirku.

"Dia nggak perlu tahu dalam waktu dekat ini."

"Kenapa?"

Lagi, pertanyaan refleksku untuk mendebat seorang Yoon Jeonghan muncul begitu saja dari mulutku. Akibatnya, aku diberi tatapan itu lagi; tatapan datar namun menusuk yang membuatku merasa jadi orang yang amat bodoh. Seperti berujar, wawasanmu tentang Joshua masih seumur jagung, mundur sana!

"Gini deh, Bora. Buat masalah ini, tolong kamu percayain aja sama saya sampai akhir," timpalnya tenang, namun penuh penekanan. "Soalnya saya yang harus paling bertanggungjawab kalau sampai terjadi sesuatu sama kalian berdua."

Aku merasa payah sekali karena tidak mengerti situasi.

Apa sih yang membuat Jeonghan sebenci itu pada mereka?

Kenapa Joshua tidak boleh tahu tentang tindakannya?

Baiklah, selama ini.. aku cuek sekali pada lingkungan sekitar dan tak tahu caranya melindungi orang selain diriku sendiri. Sekalinya aku ingin sekali melindungi seseorang yang kusayangi, aku bingung setengah mati.

Lagi, aku penasaran sekali. Mengapa Jeonghan harus sampai sejauh ini? Sampai harus menjadi yang paling bertanggungjawab untuk hubunganku dengan Joshua?

"Kalo gitu.. apa yang bisa saya lakuin sekarang?" tanyaku putus asa. "Tolong kasih tahu saya. Dan, kalau saya bisa lakuin sesuatu buat bantu kamu, Jeonghan-ssi.. apa kamu bisa jelasin situasinya sejelas mungkin tentang masalah ini sama saya?"

Lalu, tatap Jeonghan berganti bingung.

☆☆☆

Permintaan Jeonghan selanjutnya sungguh di luar nalarku. Dia memintaku bekerjasama menjebak Lee Seungjoon seperti bagaimana ia memergoki Mira dan Hyeyoon.

Dipikir lama pun, aku masih tidak mengerti mengapa Jeonghan mati-matian ingin membuat tiga orang itu hengkang dari kampus. Padahal mereka cuma pengecut penyebar gosip murahan. Jeonghan benar-benar luar biasa. Dia masih punya waktu untuk mengawasi mereka selama ini.. bukankah dia sibuk belajar? Sampai-sampai minta bantuan Sungjae dan Seungwoo juga.

Aku tidak pernah tahu.. kalau pacaran itu begitu rumit, dan akan melibatkan banyak orang begini.

Jika bisa memilih, aku ingin memiliki hubungan yang biasa saja. Tanpa keributan, tanpa perhatian dan keterlibatan pihak yang tidak berkepentingan. Tapi sepertinya itu nyaris mustahil. Joshua adalah pusat perhatian anak kampus sejak hari pertama kakinya menginjak Kyung Hee.

Andai aku tidak pernah pacaran dengan Joshua, apa hidupku akan sedikit lebih tenang?

Argh.

Kulahap suap terakhir jajjangmyeon-ku dan menelannya sebelum sempat kukunyah sempurna. Kuteguk air putih agar mie yang kutelan cepat-cepat sampai dengan aman di kerongkongan. Aku harus tetap makan meski kehilangan selera.

Kutatap rerumputan hijau taman rumah sakit yang sedang lengang. Aku tidak buru-buru masuk ke dalam, toh sudah ada Sangkyun yang menunggui Ibu. Terlambat makan membuatku agak mual, aku butuh sedikit udara segar.

Pemikiran acak tentang aku yang tidak pernah pacaran dengan Joshua membuat kepalaku makin pening saja. Mana berhak aku berpikir begitu? Sekarang saja, aku rindu sekali pelukannya.

"Song Bora?"

Sebuah suara bariton mengusik kegiatan bengongku di gazebo. Aku mendongak, dan alisku terangkat seketika.

"Oh, Jeon Wonwoo," sapaku rikuh.

Dia tinggi sekali, leherku bisa patah kalau menoleh padanya lama-lama. Tangannya memegang parsel mini berisi buah-buahan.

"Lagi mau jenguk orang, ya?" tanyaku basa-basi.

"Ya. Saya mau jenguk Ibu kalian, Sangkyun cerita sama saya," balasnya. Heol. Rasanya memang terlalu kebetulan aku bertemu dengannya disini.

"Ah, gitu. Makasih sebelumnya," cengirku. "Ya udah, ayo.. saya antar sekarang--"

"Oh.. santai aja, nggak perlu buru-buru," ucapnya, selagi menatap bekas makanku, lalu menduduki tempat di seberangku.

Ia tampak kebingungan sejenak, sebelum kemudian menaruh parsel buah di atas meja untuk mengambil sesuatu dari tas punggungnya dan memberikannya padaku. Sebuah cold pack.

"Sangkyun bilang, kamu abis jatoh sampe pipi kamu lebam, jadi dia titip beliin ini buat kamu, sekalian.. pas saya tadi jalan kesini."

Astaga. Si bodoh itu.

Jauh-jauh merepotkan Wonwoo, padahal kan dia bisa minta kompres es pada suster yang sedang jaga disini kalau berniat membantuku. Jangan bilang ini--

'aku sempet ngekhayal punya kakak ipar kayak dia. Dia baik banget.'

Duh, memalukan! Semoga ini hanya prasangkaku yang keliru saja.

"Makasih, Wonwoo. Maaf, Sangkyun ngerepotin kamu terus."

Ia menggeleng cepat-cepat. "Nggak kok, nggak merepotkan sama sekali."

Kusobek bungkusan kompres es itu dan segera memakaikannya di pipiku. Selagi permukaan dinginnya menjalari pipiku yang masih terasa sakit, kami duduk berhadapan dalam hening. Sial, canggung sekali. Lebih baik kuminta Wonwoo duluan saja ke ruangan Ibu.

"Wonwoo--"

"Suratnya--"

Ha, sedari tadi diam, giliran bicara kami malah berebut waktu. Kami tersenyum rikuh. Astaga, surat ya. Surat itu masih terselip di paper bag di kamar dan belum sempat kubuka. Ya, pokoknya ada di suatu tempat di kamarku.

"Ah, suratnya belum sempat saya baca.. tapi secepatnya bakal saya baca kok," timpalku.

"Oh, iya. Santai aja, Bora. Bacanya kalau sempat aja."

Aku manggut-manggut. "Tapi.. kamu bukan balikin uang yang kemarin saya kirim, kan?"

Ia terkekeh kecil.

"Nggak, lah. Itu cuma.. apa ya, sesuatu yang mau saya bilang sama kamu sejak lama. Ya, pokoknya kamu baca aja deh."

Aku manggut-manggut lagi meski jawabannya sama sekali tidak menjawab rasa penasaranku.

"Kalau kamu udah baca suratnya.. kamu bisa kabarin saya?" tanyanya kemudian.

Sejenak, kutatap sorot mata Wonwoo dari balik kacamata minusnya itu.

Aku harap, itu bukan sesuatu yang akan memunculkan masalah baru di kehidupanku.

Ayolah, sekarang saja aku sudah capek sekali.

"Ya. Nanti saya kabarin," balasku akhirnya.

Wonwoo tersenyum simpul. "Makasih."

Baiklah, lebih baik kami ke ruangan Ibu sekarang karena kami sudah kehabisan bahan pembicaraan.

Masih menempelkan cold pack di pipi, aku menyusuri koridor rumah sakit bersama Wonwoo tanpa kata. Aku memang mempercepat langkah supaya cepat sampai. Kepalaku terlalu ruwet untuk menemukan ide basa-basi dengan Wonwoo kali ini. Dan sepertinya, Wonwoo juga tidak keberatan kudiamkan begitu.

Untunglah, kamar Ibu tidak begitu jauh dari taman. Oh? Minkyun di ambang pintu. Bibi sudah memberitahu keadaan Ibu padanya, rupanya.

"Minkyun," panggilku. "Sama Bibi? Ara ikut?"

Bocah itu mengangguk. Matanya menatap pipi kiriku. "Tapi Ara di ruko. Itu apa? Kompres?"

Kuanggukkan kepalaku cepat-cepat. Harus kualihkan pembicaraan sebelum Minkyun bertanya lebih jauh. "Ara sendirian? Kok--"

"Ara nggak dibolehin besuk sama Bibi. Si Sangkyun barusan ke ruko."

"Heh. Kak Sangkyun," koreksiku. Minkyun mendengus, ha, sepertinya mereka belum juga berdamai sampai sekarang. Lalu matanya melirik sosok di sampingku. Wonwoo menyapanya dengan anggukan.

"Pacar Kakak juga?" bisik Minkyun dengan tatap bingung. "Apaan, jadi Kakak punya dua pacar?"

Kontan bisikan yang keras itu membuat Wonwoo menggeleng kebingungan. Astaga, Song Minkyun.. bikin malu saja!

Sebentar, aku bahkan tidak ingat kapan aku memberitahu Minkyun kalau aku sudah punya pacar. Karena memang belum pernah bilang.

"Ngomong apa sih kamu--"

"Tuh," dagu Minkyun menunjuk kedalam ruangan, "pacar Kakak yang pertama lagi di dalem."

Omongan terakhir bocah itu membuar mataku membelalak seketika, sebelum menengok ke dalam ruangan, dan melihat Joshua berdiri di samping ranjang, mengajak Ibu bercengkrama.

Kusaku cold pack di tanganku seketika. Astaga, aku harus bagaimana sekarang?

---to be continued---

a/n:
author labil ini memutuskan untuk balik aja setelah update notice penuh drama meski statement dari oppa tentang hubungannya belum dan kecil kemungkinan dirilis juga. maafkan aku yang emosional ini, pembaca yang budiman. ternyata egoku menuntaskan tulisan ini masih lebih besar dibanding kesabaranku menunggu statement itu.

sama kayak subjudul pov bora kali ini, awalnya aku juga bingung harus ngapain. lebay ya, aseli. sampai akhirnya aku mutusin..

kayaknya aku nggak bakal unpublish cerita ini seenggaknya sampai cerita ini kutamatkan. kayaknya. semoga nggak labil lagi ya.

dan... terimakasih sudah menyempatkan hadir disini. sangat sangat sangat kuhargai itu. ♡

eiya, aku edit penulisan judulnya juga. Biar fresh aja hehe.

행복하세요 여러분 ♡

Continue Reading

You'll Also Like

5.9K 841 20
Jenang, Jipang, Liwet, Rumput, Terong, Talas, Jala dan Yangko adalah anggota Mapala angkatan 18 yang diresmikan melalui pelantikan penuh haru di punc...
7.3K 1.1K 33
"Aku tidak percaya dengan namanya cinta pada pandangan pertama. Kalau benar adanya, berarti dia ada kemungkinan untuk jatuh cinta dengan yang lain."...
42K 3.2K 11
[COMPLETED || PDF VERSION] Menjadi yang terpilih, bukan berarti dipilih. #1 hundy (20 April 2020) #1 wenhun (21 April 2020)
17.5K 1.2K 8
Ini adalah Fanfiction pertamaku tentang Daragon Aku harap kalian menyukainya~ ☺️ Kalian dapat meninggalkan saran dan kritik di kolom komentar~ Moho...