JALAN PULANG

By cimut998

35.3K 1.8K 217

Setelah berada di desa Giung Agung, Ahmad merasa jika dirinya selalu berhalusinasi. Ia kerap melihat bayangan... More

Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Bab 33
Bab 34
Bab 35
Bab 36
Bab 37
Bab 38
Bab 39
Bab 40
Bab 41
Bab 42
Bab 43
Bab 44
Bab 45
Bab 46
Bab 47
Bab 48

Bab 18

635 35 0
By cimut998

"Mas Ahmad, apa Indah sudah ditemukan?" Tiba-tiba Pak Heru datang menanyakan keberadaan putrinya.

"Belum, Pak." Singkat Ahmad. Ia terkejut dengan kedatangan Pak Heru yang mendadak.

"Ya Allah ..." ucap Pak Heru pasrah. Ia duduk lemas di samping Ahmad.

"Sabar, Pak. Istighfar, minta petunjuk sama Allah," ucap Ahmad menenangkan Pak Heru.

"Astaghfirullahaladzim," lirih Pak Heru.

Pak Soleh sejak tadi hanya diam memperhatikan. Ia tak berani buka mulut. Dirinya hanya duduk sambil terus mengedarkan pandangan, barangkali ada petunjuk yang bisa ditemukan.

Sampai larut malam, keberadaan Indah belum juga menemui titik terang. Pak Heru mulai putus asa. Sementara Pak Sulaiman, sudah lebih dulu berpamitan pulang. Hanya ada Ahmad dan Pak Soleh yang menemani Pak Heru di rumah mendiang Popon.

"Pak Heru, Mas Ahmad, saya pulang dulu. Sudah malam, insya Allah besok saya bantu cari lagi," pamit Pak Soleh.

"Ya, Pak. Terima kasih atas bantuannya. Maaf saya merepotkan Bapak," balas Pak Heru dengan menjabat tangan Pak Soleh.

"Tidak apa-apa, Pak. Sudah menjadi kewajiban saya untuk membantu. Kita sebagai manusia, memang seharusnya saling tolong menolong. Kalau begitu saya pamit, Assalamu'allaikum," Pak Soleh berpamitan pulang. Dengan langkah sedikit tergesa-gesa, pria itu berjalan keluar ruangan sambil menenteng lilin di tangan.

"Wa'allaikumussalam," Pak Heru dan Ahmad menjawab salam Pak Soleh secara bersamaan.

"Mas Ahmad kalau mau pulang, pulang saja. Saya akan menginap di sini. Tidak baik, rumah orang yang baru meninggal dibiarkan kosong. Siapa tahu, nanti tiba-tiba Indah kembali dan mencari saya," ujar Pak Heru. Wajahnya terlihat lelah, kantung matanya membengkak. Lingkaran hitam di bawah mata menandakan jika pria itu kurang tidur. Menjadi Ketua RT memang tidaklah mudah, ada tanggung jawab yang harus ia pikul. Berbagai macam masalah belum ada satu pun yang selesai, kini ditambah pula ia harus kehilangan putri satu-satunya, yang hilang entah ke mana.

"Saya di sini saja, Pak. Saya ju-

"Mas Ahmad pulang saja. Tolong cek keadaan rumah, siapa tahu Indah sudah pulang." Potong Pak Heru.

Sebenarnya Ahmad ingin sekali menemani Pak Heru, tapi sepertinya Pak Heru membutuhkan waktu untuk sendiri. Peristiwa-peristiwa aneh yang terjadi, cukup menguras tenaganya. Belum lagi sekarang, ia kehilangan anak gadisnya. Pasti mentalnya sangat tertekan.

"Lebih baik, Bapak saja yang pulang. Biar saya yang tidur di sini. Sudah waktunya Bapak istirahat. Nanti, kalau Indah ketemu, saya akan segera mengantarnya pulang." Ujar Ahmad.

Pak Heru tak bergeming. Tatapannya kosong. Kejadian malam ini sungguh tak masuk akal. Indah tiba-tiba menghilang setelah arwah Popon muncul. Pak Heru sedikit curiga kepada Indah. Ada yang mengganjal dihatinya, namun Pak Heru belum sepenuhnya mengerti apa yang mengganggu pikirannya. Segera Pak Heru menepis pikiran buruknya. Indah adalah gadis yang baik, santun, dan juga rajin beribadah. Tidak mungkin Indah melakukan hal-hal yang buruk.

"Pak Heru, Pak." Tegur Ahmad dengan lembut.

"Ya, Mas." Pak Heru gelagapan.

"Bapak pulang saja ke rumah. Bapak perlu istirahat, biar saya saja yang di sini." Pinta Ahmad.

"Tapi, Mas ... nanti kalau In-

"Tenang saja, Pak. Saya akan segera mengantarnya pulang, jika nanti Indah ditemukan. Yang terpenting sekarang, Bapak pulang, istirahatlah di rumah." Sela Ahmad.

Pak Heru menghela napas panjang. Pikiran sedang kalut saat ini. Pria itu tak bisa berpikir jernih lagi. Banyak sekali masalah yang harus ia hadapi. Kepalanya terasa berat, ingin rasanya merebahkan tubuh di atas kasur hanya untuk sekadar melepas penat. Walaupun hal itu tak akan mempengaruhi batinnya yang tengah gelisah.

"Apa Mas Ahmad yakin, akan menginap di sini?" Tanya Pak Heru ragu.

"Yakin, Pak. Saya akan menjaga rumah ini dengan baik. Pak Heru tak perlu risau," jawab Ahmad.

"Baiklah kalau begitu, saya mohon bantuannya ya, Mas. Saya juga mau meminta maaf, untuk tidak kenyamanannya selama di sini. Saya benar-benar minta maaf," Pak Heru beberapa kali menjabat tangan Ahmad untuk meminta maaf.

"Tidak apa-apa, Pak." Balas Ahmad sambil tersenyum. Ia mencoba untuk menjaga perasaan Pak Heru, walau dalam hati ingin sekali menanyakan banyak hal kepada pria itu.

"Saya pulang dulu, Mas. Terima kasih sudah membantu saya. Saya tidak tahu harus membalasnya dengan apa," ucap Pak Heru. Dalam remang cahaya lilin, wajah pria itu terlihat sedih.

"Sama-sama, Pak." Singkat Ahmad. Ia bingung harus berkata apalagi. Kepulangan Pak Heru justru membuat dirinya lebih nyaman untuk menyendiri. Ada banyak hal yang ia pikirkan saat ini, namun belum menemukan orang yang tepat untuk sekadar bercerita.

"Assalamu'allaikum," pamit Pak Heru sambil membawa kembali lilin yang sedari tadi ia letakan di atas meja.

"Wa'allaikummussalam," balas Ahmad.

"Jika nanti Mas Ahmad mengalami hal-hal yang aneh, segeralah pulang. Mungkin, ada orang yang sengaja mengganggu Mas Ahmad," imbuh Pak Heru, namun suaranya terdengar lirih, Ahmad hanya mendengar beberapa kalimat saja.

"Baik, Pak." Meskipun kurang tanggap, Ahmad segera menganggukan kepala. Berpura-pura mendengar apa yang Pak Heru katakan.

Pak Heru segera keluar dari rumah Popon. Menerobos kegelapan yang menyelimuti pemukiman. Di luar tampak lebih gelap. Tidak ada cahaya sama sekali. Ahmad hanya memandang bayangan Pak Heru, dari jendela. Walau jarak rumah Pak Heru dengan rumah Popon terbilang dekat, namun tetap saja kegelapan memenangkan situasi malam ini.

Kini tersisa Ahmad seorang diri. Hanya bertemankan cahaya lilin. Ia kembali duduk di ruang dapur. Dengan berbekal keberanian, Ahmad mencoba mengusir kegelisahan. Sebagai manusia biasa, Ahmad juga mempunyai rasa takut. Ia mengambil sebuah tasbih di dalam saku, membaca wirid untuk menenangkan diri. Dalam situasi apapun, kita sebagai umat manusia harus selalu ingat kepada Sang Pencipta. Kita harus belajar ikhlas menerima apa pun yang menjadi takdir kita. Mengeluh, boleh. Tapi menyerah jangan. Tuhan tidak akan menguji hambanya, di luar batas kemampuan.

***

Berpindah ke lain tempat. Busro keheranan melihat Ilham yang mondar mandir di kamar sambil terus menenteng sajadah. Wajahnya terlihat panik. Detak jantungnya berdegup kencang. Ia termakan omongan sendiri. Menjanjikan pertemuan dengan Kiai Sobirin, namun sampai saat ini ia belum juga berani menemui sang Kiai.

Percakapannya dengan Amara waktu itu, cukup membuatnya gelisah. Padahal niatnya hanya bercanda, namun ternyata Amara menanggapinya dengan serius. Ilham memang menyukai Amara, namun jika harus menikahinya sekarang, tentu saja ia belum siap. Usianya baru 19 Tahun, ia juga belum mempunyai pekerjaan. Mau dikasih makan apa nanti anak Kiai itu.

"Kamu kenapa, Ham? Aku lihat, banyak sekali yang kamu pikirkan." Tanya Busro.

"Aarrrgghh! Aku pusing, Ro. Aku salah omong. Mati aku, Ro! Mati!" Jawab Ilham. Ia mengambil posisi duduk, tapi saat hendak duduk, ia kembali bangkit, dan kembali riwa-riwi di depan Busro.

"Memangnya apa yang membuatmu pusing, Ham? Cerita saja, siapa tahu aku bisa membantu." Ucap Busro.

Ilham menghentikan langkah, kemudian berjalan mendekati Busro.

"Aku bilang ke Amara kalau aku akan menikahinya!" Katanya sambil mendekatkan wajahnya ke muka Busro. Wajahnya serius sekaligus tegang.

"Ya, baguslah. Kamu kan memang menyukainya, apalagi yang salah?" Tanya Busro sambil mendorong kepala Ilham agar menjauh dari wajahnya. Risih juga kalau berdekatan dengan sesama jenis.

"Bagus! Bagus gundulmu! Aku memang suka sama Amara, tapi kalau menikahinya aku belum siap." Ilham mendengul kesal.

"Loh, kok bisa? Kan kamu sendiri yang-

Tok! Tok!

Tiba-tiba terdengar seseorang mengetuk pintu.

"Siapa tuh," cetus Busro. Ilham hanya menggelengkan kepala, tanda tidak tahu.

"Siapa?" Tanya Ilham.

"Aku, Ham!"

Ilham meneguk saliva. Ia tahu siapa pemilik suara itu. Sementara Busro, terlihat menahan tawa.

"Tuh, calon istrimu datang." Ejeknya.

"Diam kamu! Semprul!" Ilham melempar sajadah ke muka Busro. Pemuda itu hanya tertawa kecil melihat Ilham yang salah tingkah.

"Ada apa, Ra?" Tanya Ilham ketika usai membuka pintu. Dengan senyum yang sedikit dipaksa, Ilham menyambut kedatangan Amara.

"Kamu ditunggu Abah," ucap Amara sambil mengulas senyum manis. Ilham terpana melihat Amara. Gadis itu memang mempunyai paras yang cantik. Dari sejak pertama kali masuk Pesantren, Ilham memang sudah menaruh hati pada gadis itu. Harapan ingin memiliki pun kandas setelah diketahui, Amara menyukai Ahmad. Namun, kali ini takdir sudah memberinya kesempatan, anehnya harapan itu tak seindah dulu. Ada ruang yang hampa selama bertahun-tahun. Ada rasa yang tak sama. Ada yang terlambat, namun berusaha diperjuangkan kembali meski tak seperti dulu.

"Maaf, Ra. Sepertinya aku harus jujur sama kamu. Sebenarnya, ucapanku waktu itu hanya sekadar bercanda. Aku tak serius mengatakan soal mahar. Waktu itu aku hanya ..." Ilham menjeda kalimat, saat melihat ekspresi Amara yang tiba-tiba berubah. Senyum manis itu tak lagi mengembang, bibir merah itu berganti datar.

"Kamu ditunggu Abah di rumah sekarang! Assalamu'allaikum." Amara segera pergi, tanpa memberi kesempatan untuk Ilham. Gadis itu melangkah dengan cepat, kemudian hilang di persimpangan jalan.

"Wa'allaikumussalam. Maafkan aku, Ra." Lirih Ilham.

Dengan mulut mengangga, Busro hanya geleng-geleng kepala mendengar ucapan teman sekamarnya itu. "Tega kamu, Ham." Ucapnya.

Ilham hanya menghela napas panjang, dan berjalan keluar kamar sambil menutup pintu. Dengan langkah gontai Ilham berjalan menuju kediaman Kiai Sobirin. Sebisa mungkin, ia mengatur pernapasannya. Tak bisa dipungkiri, detak jantungnya saat ini berdegup lebih cepat dari sebelumnya. Keringat bercucuran deras, Ilham dikuasai rasa takut.


Setibanya di depan rumah Kiai Sobirin, Ilham melihat ada beberapa orang di dalam. Ilham juga melihat ada beberapa mobil yang terparkir di halaman.

"Sepertinya, ada tamu. Tapi, kenapa Amara menyuruhku ke mari. Ada apa sebenarnya, jangan-jangan!" Ilham menghentikan langkah. Pikirannya mencoba menebak siapa tamu sang Kiai. Hatinya berdebar-debar. Jangan-jangan keluarga besar Kiai Sobirin yang sedang menunggu kedatangannya.

Ilham masih berdiam diri. Tidak ada niatan untuk mengetuk pintu. Tubuhnya bergemetar, ia benar-benar takut.

"Ilham!" Panggil seseorang dari arah belakang.

Ilham segera menoleh, raut wajahnya yang tegang kini berganti bungah saat mengetahui siapa yang memanggilnya tadi.

"Bapak!"

Ilham berlari menghampiri pria yang dipanggilnya bapak. Pria itu segera menyambut Ilham dan memeluknya erat.

"Kapan Bapak datang, Ilham rindu, Pak."

Dengan isak tangis, Ilham tenggelam dalam pelukan sang bapak. Sudah lama ia tak bertemu dengan bapak. Hampir enam bulan lamanya.

"Ajak Bapak kamu masuk, Ham." Tiba-tiba saja Kiai Sobirin muncul dari belakang.

"Pak Kiai," cetus Ilham. Pemuda itu terkejut dengan kedatangan sang Kiai.

"Silahkan masuk, Pak Asep." Ajak Kiai Sobirin.

"Terima kasih banyak, Pak Kiai."

Continue Reading

You'll Also Like

233K 19.2K 29
Kisah tentang teror dari sosok bernama Nek Ipah yang dialami seorang anak bernama Dani (7 tahun). Tidak hanya Dani saja, bahkan penduduk kampung pun...
7.4K 693 18
Berawal dari sebuah ide sederhana, hingga membuat mereka tersiksa. Berharap kalau liburannya akan baik-baik saja, tetapi yang terjadi adalah yang seb...
53.4K 4.5K 19
Safira dan Kaivan baru saja pindah ke sebuah rumah dinas di tengah perkebunan sawit. Rumah yang berdiri sendiri, tanpa ada satupun tetangga. Mereka t...
85.9K 9.7K 39
"Kau tahu, rasanya dikuliti pelan-pelan? Selembar pembungkus ragamu itu dikelupas, menyisakan daging yang masih kemerahan. Kau tak bisa menangis atau...