JALAN PULANG

By cimut998

35.3K 1.8K 217

Setelah berada di desa Giung Agung, Ahmad merasa jika dirinya selalu berhalusinasi. Ia kerap melihat bayangan... More

Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Bab 33
Bab 34
Bab 35
Bab 36
Bab 37
Bab 38
Bab 39
Bab 40
Bab 41
Bab 42
Bab 43
Bab 44
Bab 45
Bab 46
Bab 47
Bab 48

Bab 17

646 37 1
By cimut998

Mbok Inah bergegas menuju salah satu rumah penduduk. Mbok Inah sangat gelisah mendengar kematian Popon. Ia sangat takut, jika peristiwa silam terulang kembali. Peristiwa di mana banyak warga yang tak bersalah menjadi korban orang penganut sekte tertentu.

Beralih ke Ahmad, pemuda itu terus membuntuti langkah Pak Sulaiman, namun tiba-tiba ia berhenti. Ia baru teringat akan suatu hal.

"Ada apa, Mas? Kenapa berhenti? Kita sudah ditunggu warga yang lain," tanya Pak Sulaiman dari kejauhan.

"Kenapa tidak lapor polisi saja, Pak? Kematian Popon sangatlah tidak wajar," jawab Ahmad.

Pak Sulaiman terkejut mendengar jawaban Ahmad. Mengapa tak terpikirkan sejak awal. Mendengar ucapan Ahmad, Pak Sulaiman segera menghampirinya.

"Kamu benar, Mas. Memang seharusnya kita lapor polisi. Tapi, kalau menunggu polisi, pasti akan sangat lama. Jarak dari kota ke sini saja memakan waktu yang cukup lama. Apa polisi akan segera datang, jika kita lapor sekarang? Dulu saja, waktu kematian Aisah, polisi baru tiba di sini dua hari sesudahnya." Ujar Pak Sulaiman. Raut wajahnya sedikit sendu.

"Dua hari? Yang benar saja, Pak." Cetus Ahmad.

"Benar, Mas. Kami merasa kasihan dengan jasad Aisah. Belum lagi kami juga harus menunggu dokter forensik datang. Butuh waktu satu bulan untuk menyelidiki kematiannya. Dan pada akhirnya, kami semua kecewa karena pihak kepolisian berkesimpulan, jika kematian Aisah murni bunuh diri. Kami para warga dihantui rasa bersalah, sebab membiarkan jasad Aisah begitu saja. Maka dari itu, sekarang kami memutuskan untuk segera menguburkan setiap warga yang meninggal, meskipun banyak kejanggalan." Kata Pak Sulaiman mencoba bicara secara terang-terangan kepada Ahmad.

Ahmad terkejut mendengar penuturan Pak Sulaiman. Mengapa begitu banyak kejanggalan di desa ini. Apa yang sebenarnya terjadi? Ahmad semakin gelisah. Ia sama sekali belum menemukan petunjuk satu pun untuk mengusut tuntas misteri yang ada. Justru kini, ia semakin kesulitan untuk mencari jejak, sebab kasus yang ia hadapi berubah-ubah.

"Kalau boleh tahu, Aisah itu siapa ya Pak?" Ahmad berpura-pura bertanya agar Pak Sulaiman tidak mencurigainya. Padahal sebelumnya, ia sudah mendengar nama itu dari Mbok Inah.

"Aisah adalah guru ngaji di sini, Mas. Dia sudah meninggal dua tahun lalu. Setelah itu, tidak ada lagi yang mengajar anak-anak. Karena ..." Pak Sulaiman tiba-tiba saja menghentikan ucapannya ketika ada salah satu warga yang datang.

"Pak Sulaiman, kapan kita akan menggali? Nanti keburu siang Pak." Ucap Surip salah satu pemuda seumuran Popon.

"Ini juga mau ke sana, Rip. Saya juga mengajak Mas Ahmad untuk membantu menggali. Memangnya kurang berapa orang?" Tanya Pak Sulaiman. Ia sengaja menyudahi kalimatnya sebab takut ketahuan Surip. Karena semua warga desa Giung Agung, sepakat untuk merahasiakan kasus Aisah.

"Kurang tiga orang, Pak. Semoga saja bisa cepat selesai dengan orang seadanya." Jawab Surip.

"Ya sudah, ayo kita ke kuburan sekarang!" Titah Pak Sulaiman. Ia menepuk bahu Ahmad, berusaha memberi kode agar pemuda itu menurut padanya tanpa bertanya.

Ahmad mengangguk. Kemudian ikut berjalan menuju makam.

"Nanti, akan saya ceritakan lagi, Mas. Datang saja ke rumah," bisik Pak Sulaiman ketika Surip sudah melangkah terlebih dahulu.

"Baik, Pak." Balas Ahmad.

Dua jam kemudian, pemakaman jenazah Popon berjalan dengan lancar. Seketika itu pula, Pak Heru tiba di desa. Ia langsung menyambangi kediaman Popon saat mengetahui pemuda itu meninggal dunia.

Pak Heru benar-benar merasa kehilangan. Ia tak berhenti menyalahkan diri sendiri, sebab tidak langsung pulang semalam. Pak Heru sudah menganggap Popon seperti anak kandung sendiri. Ia terlihat menangis di depan makam Popon.

"Mas," tegur Yudi ketika melihat Ahmad sedang berada  di jalan menuju rumah Pak Heru.

"Ya, Mas. Ada apa," Ahmad berbalik badan. Ia menghampiri Yudi yang tadi menegurnya.

"Nanti malam, menginap saja di rumah saya. Ada yang ingin saya bicarakan. Carilah alasan yang tepat, saat meminta izin ke Pak Heru. Ini penting, Mas. Saya pulang dulu, Assalamu'allaikum."

Lagi-lagi Yudi bersikap aneh. Ia langsung lari dan menghilang di persimpangan jalan. Bahkan Ahmad belum sempat mengatakan sepatah kata pun.

"Wa'allaikumussalam. Sebenarnya, apa yang terjadi dengan desa ini. Dan mengapa para warganya bersikap aneh, apa yang sebenarnya mereka rahasiakan. Ya Allah, berilah hambamu ini petunjuk." Lirih Ahmad. Dari sisi lain, ada seseorang yang tengah mengawasi pergerakannya. Seseorang dengan senyum sumringah tengah berbahagia melihat sang pemuda itu kebingungan.

***

Hari mulai gelap. Pak Heru tengah sibuk mempersiapkan pengajian di rumah Popon. Pak Heru terlihat mondar mandir di ruang tamu. Dibantu Indah, Pak Heru menyambut para warga yang mulai berdatangan. Ahmad dan Yudi juga ikut hadir. Begitu juga Pak Sulaiman dan Pak Soleh.

Pengajian pun dimulai secara khidmat. Baru setengah acara tiba-tiba saja lampu padam. Semua yang hadir terlihat panik. Mereka saling mendumal. Pak Heru beranjak mencari lilin. Namun, Pak Heru merasa kesulitan sebab tak tahu menahu tentang seluk beluk rumah Popon.

"Ada yang bawa korek, atau lampu sorot tidak?" Tanya Pak Heru dengan nada kencang.

"Saya, Pak." Salah satu warga ada yang menyahut.

"Tolong nyalakan, dan bantu saya mencari lilin." Titah Pak Heru.

CSSS, BYARR!

Korek api pun dinyalakan. Namun, seluruh warga terkejut saat mengetahui siapa pemilik korek api tersebut.

"P-- Po-Pon!" Ucap Pak Heru dengan terbata-bata.

"Tolooong ..." Suara Popon  terdengar parau. Sekujur tubuhnya pucat pasi.

"Aarrrggghh!" Teriakan Indah menambah riuh suasana. Gadis itu tiba-tiba terseret oleh sesuatu.

"INDAH!" Teriak Pak Heru.

Para warga yang lain, memilih keluar dari rumah Popon. Mereka saling bertubrukan satu sama lain. Ada juga yang terjungkal, terdorong oleh warga lain. Keadaan semakin ricuh. Pak Heru mengimbau semuanya agar tetap tenang. Namun, tak satu pun dari mereka yang mendengar. Hanya suara gemuruh langkah kaki yang terdengar.

"INDAH! INDAAH!" Pak Heru berusaha mencari Indah.

Di tengah huru hara, Ahmad melihat seseorang yang hanya berdiam diri. Tidak merasa terganggu sedikit pun dengan kondisi yang sedang kacau balau. Seluruh ruangan tampak gelap. Ahmad kesulitan melihat wajah orang tersebut.

"Tolong, diam sebentar! Jangan ricuh!" Seru Pak Soleh.

"Tenang! Tenang!" Tambah Pak Sulaiman.

Sosok Popon tak lagi terlihat. Hanya meninggalkan bekas korek api di lantai. Korek api tersebut tersapu langkah kaki para warga. Hingga korek api tersebut berada di bawah kaki Yudi.

Dengan tubuh bergemetar, Yudi berusaha menggerakan tubuhnya. Ia ketakutan melihat penampakan arwah Popon. Ia meraba-raba sesuatu untuk dipegang. Dingin, itu yang pertama kali Yudi rasakan.

"Aaarrgghh! Hantuuu!" Yudi lari tunggang langgang saat mengetahui yang ia pegang adalah tangan Popon. Lagi-lagi Yudi harus melihat hal yang mengerikan. Popon tersenyum menyeringai kepadanya, sesaat sebelum pemuda itu lari keluar rumah.

"Mas! Mas Yudi!" Ahmad memanggil Yudi, namun pemuda itu tak menghiraukannya.

Telinga Ahmad terasa geli. Ada seseorang yang sengaja menyentil daun telinganya. Ahmad berusaha menepis tangan orang tersebut, namun ketika menoleh justru ia melihat arwah Popon tengah menatap sedih ke arahnya.

"Tolong saya ..."

"Tolong apa, Mas." Ahmad mencoba mengajak arwah Popon untuk berkomunikasi.

Popon menunjuk ke salah satu ruangan. Entah ruangan apa itu. Dalam kegelapan Ahmad benar-benar tidak bisa melihatnya.

"Mas Ahmad, kamu sedang bicara dengan siapa?" Tanya Pak Soleh dengan membawa lilin di tangan.

"Eh, tidak dengan siapa-siapa, Pak. Mungkin, Bapak salah dengar." Jawab Ahmad berbohong. Tak mungkin ia berkata jujur soal ia berbicara dengan arwah Popon.

"Jangan melamun, Mas. Takutnya kesurupan. Oh ya, tolong bantu saya taruh lilin ini ke setiap sudut ruangan. Kita harus bantu Pak Heru mencari Indah. Indah tiba-tiba menghilang," ujar Pak Soleh.

"Hilang?" Cetus Ahmad.

"Ya, Mas hilang. Mari bantu cari Indah," ajak Pak Soleh.

Sebelum pergi, Ahmad menyalakan lilin pemberian Pak Soleh di setiap sudut ruangan. Setelah penerangan dirasa cukup, Ahmad beranjak mencari Indah. Di rumah itu hanya tersisa empat orang. Para warga yang lain memilih pulang. Pasti mereka ketakutan melihat arwah Popon. Sementara Pak Heru masih berusaha mencari Indah. Ia menggeledah setiap kamar di rumah Popon. Pak Sulaiman, terlihat sedang mencari keberadaan Indah di luar rumah. Ahmad sendiri mengikuti langkah Pak Soleh menuju dapur.

Sesampainya di dapur, Ahmad tak menemukan siapa pun. Hanya ada sisa makanan yang tergeletak di atas meja. Mungkin, Pak Heru dan Indah tak sempat membersihkannya.

Ahmad memungut piring makanan tersebut. Ia juga membersihkan debu yang mengotori meja. Sementara Pak Soleh hanya terlihat mengelilingi area dapur.

"Sebaiknya, Mas Ahmad jangan ikut campur masalah di desa ini. Mas Ahmad hanya pendatang. Saya khawatir, akan terjadi hal buruk nantinya." Ucap Pak Soleh dengan nada suara lirih. Namun, Ahmad mampu mendengarnya.

"Mengapa Bapak bicara seperti itu? Apa yang sebenarnya terjadi, Pak?" Tanya Ahmad. Ia justru penasaran akan ucapan Pak Soleh.

"Setahu saya, masih ada orang yang menganut ilmu hitam di desa ini. Sudah lama saya mencari tahu siapa orangnya, namun ketika saya sudah mendapat petunjuk, tiba-tiba ada yang mengirim surat ancaman pada saya. Awalnya saya mengabaikan ancaman tersebut, namun ternyata saya salah. Ancaman itu tidak sekadar omong kosong belaka, namun ancaman itu berujung mala petaka." Jawab Pak Soleh secara rinci. Ada tangis yang ia jeda, walau air mata sudah memenuhi kantung matanya.

"Apa yang terjadi setelahnya, Pak? Tolong, beritahu saya supaya saya bisa membantu kesulitan Bapak." Desak Ahmad.

Pak Soleh terisak. Ia tak mampu lagi menahan air matanya. Ahmad mengelus pundak Pak Soleh. Dari remang cahaya lilin, terlihat jelas begitu terpukulnya pria tua itu.

"Maaf, Pak. Jika ucapan saya, membuat Bapak sedih. Saya hanya ingin membantu, Pak. Saya bisa mengerti keadaan Bapak. Pasti Bapak merasa tertekan selama ini, jadi saya mohon sama Bapak, tolong ceritakan semuanya agar saya bisa membantu meringankan beban Bapak," ucap Ahmad dengan nada lembut. Mencoba menyelami lautan kesedihan yang dirasakan Pak Soleh. Bisa dilihat dengan jelas, bagaimana takutnya raut wajah itu.

Continue Reading

You'll Also Like

209K 22.7K 24
"Semenjak nenek meninggal, suasana rumah jadi menyeramkan. Nenek suka datang di waktu malam, mengetuk pintu dan jendela. Kadang juga bernyanyi dan me...
239K 20K 23
Malapetaka pun terjadi, ketika suamiku pergi haji dengan uang pesugihan. Teror demi teror pun datang, hingga mengancam nyawa. Apa yang harus kulakuka...
7.4K 693 18
Berawal dari sebuah ide sederhana, hingga membuat mereka tersiksa. Berharap kalau liburannya akan baik-baik saja, tetapi yang terjadi adalah yang seb...
28.7K 3K 21
Wirma, si pemakan mayat. Itu yang tertulis didalam sebuah artikel, aku sebagai penulis horor yang suka berkelana untuk mencari bahan cerita. Tertarik...