Yang paling banyak komen di chapter sebelumnya, intanpayung1_ dapet voucher Karyakarsa 5k. thmyra008, cloudyisevrywhere, ripgianti 2,5k. Eryee_, ciVelan22 1,5k.
Anyway, voucher hangus dalam waktu sebulan ya, biar ada slot buat bikin kode voucher baru lagi tiap hari.
Komen yang banyaak biar dapet voucher lagi. ❤️
8 | he smells the perfume, and it's obvious
"Makan, kuy." Sudah sore ketika akhirnya urusan para orang dewasa selesai dan Trinda kembali menghampiri mereka dengan muka kayak orang sedang puasa, pucat karena lapar.
Sebenarnya nggak lapar-lapar amat, sih. Karena kebetulan Malang sedang mendung dan dingin cuacanya, jadi nggak haus juga. Tapi rasa bosannya tak tertahankan. Harusnya, bisa-bisa saja Trinda kabur cari tempat nongkrong sendiri selama menunggu mereka tadi, tapi dia sedang tidak berselera.
"Kalau nggak diingetin, bisa-bisa kita makan siangnya ntar malem." Mbak Rachel bersuara lagi, dan Mas Ismail cuma meringis malu, lalu bertanya ke mas-mas satunya lagi, di mana tempat makan yang enak dan nggak ramai jam segini.
Ujung-ujungnya, tempat makan yang dipilih luar biasa ramai, dengan beberapa meja tersisa. Rumah makan Jogja. Dan mereka berempat dapat tempat duduk lesehan di pojok depan mezanin.
"Besok agenda kita apa, Mas?" Trinda nanya setelah mereka semua selesai memesan.
Jangan harap dia sudah dapat briefing dari Mas Ismail, karena agaknya si mas mengajaknya turut serta biar nggak merengek mulu, bukan karena yakin Trinda akan berguna untuknya.
"Lo udah dapet briefing dari Safitri, kan? Bebas kok kalau mau pergi-pergi sendiri. Gue sama Rachel ke PPAT deket sini aja paling. Harusnya besok bisa kelar urus surat-surat, tinggal balik lagi bulan depan setelah beres di BPN."
"Baiklah." Trinda tersenyum tidak tulus, bikin Mbak Rachel tertawa.
"Sabar ya, Trinda. Mas Ismail kalau kerja emang kayak mau ngelamar anak bangsawan—giat banget, demi terkumpul sebongkah berlian buat mahar. Kalau capek ngikutin dia, tinggal aja nggak apa-apa."
Mas Ismail mendengus pelan, tidak menaruh minat untuk menanggapi kelakar temannya. "Tunggu weekend. Ntar kita jalan-jalan."
"Oh?" Trinda terkaget-kaget. "Kirain lusa pagi mau langsung balik."
Mereka memang belum pesan tiket pulang, tapi booking hotel cuma dua malam—dan mendadak Trinda sadar, dia nggak tahu Mbak Rachel nginep di mana karena pesan hotel secara terpisah.
"Mau langsung balik?" Mas Ismail balik nanya.
Jelas saja Trinda gelagapan. "Mbak Rachel gimana?"
"Oh, gue sih lusa—Jumat pagi—balik. Kerjaan gue bukan cuma ngurusin dapur Ismail."
Trinda harus gimana?
Dia memutar otak dengan cepat, lalu meringis ke Mas Ismail. Kapan lagi dia punya kesempatan bagus begini, ya nggak? "Jangan. Kita balik hari Minggu aja kalau bisa. Hehe. Nggak apa kan Mas, ditinggal Mbak Rachel?"
"Ya nggak apa-apa. Kan tadi gue bilang, weekend kita jalan."
Meski Mas Ismail nggak menekankan kalau mereka hanya akan pergi berdua, Trinda nggak bisa berhenti senyum-senyum.
~
Karena Mas Ismail memberi kebebasan mau pergi ke mana, jadilah sepanjang sisa hari, sambil rebahan di kasur hotelnya, Trinda berpikir keras, enaknya liburan ke mana?
Biar bisa modus, haruskah mereka pergi camping?
Kalau perginya ke tempat-tempat yang dekat, sudah pasti harapan hanya tinggal harapan. Sementara kalau ke tempat yang agak jauh tapi tersedia penginapan, nggak mungkin mereka berdua nggak booking kamar terpisah. Sedangkan kalau memilih opsi camping, kan nggak mungkin repot-repot pakai dua tenda? Ya kan? Ya dong.
Astagfirullah ... Trinda ngeri sendiri memikirkan ide busuknya. Mendadak dia merasa mirip dengan villainess di sinetron-sinetron, yang menjebak tokoh utama pria biar jatuh hati padanya.
Tapi ya sudahlah, di cerita Mas Ismail, Trinda kan memang bukan tokoh utama wanita, yang sudah pasti berjodoh dengan tokoh utama pria, meski nggak melakukan usaha apa-apa.
Lagian, meski dia modus sekalipun, Mas Ismail tetap punya pilihan untuk menolak idenya kalau merasa nggak nyaman.
"Jadinya mau ngajakin ke mana?" Mas Ismail nanya saat mereka berdua makan siang di hari Jumat.
Setelah urusan dengan PPAT kemarin, dan Mbak Rachel balik ke Jakarta pagi tadi, hari ini mereka berdua sibuk menyatroni beberapa coffee shop di sekitar situ, sebelum nanti sore Mas Ismail lanjut ketemu dengan arsitek dan interior designer yang akan merenovasi ruko, yang datang jauh-jauh dari Surabaya. Makan siangnya pun nggak bisa jauh-jauh karena takut keduluan tamunya kalau sampai mereka berdua malah terjebak macet di jalan.
Tidak langsung menjawab, sesaat Trinda menimbang-nimbang antara mengutarakan idenya atau enggak. Makin lama menahan jawabannya, jantungnya makin berdebar tak karuan.
Kalau modusnya langsung ketahuan dan Mas Ismail keburu ilfeel sebelum dia sempat bertindak bagaimana?
Aaah ... kaki Trinda terasa lemas. Dia juga mendadak tidak sanggup mengunyah lagi.
Sebelah alis Mas Ismail terangkat karena tak kunjung mendengar sahutan Trinda.
"Kalau camping ... mau?" Terpaksa Trinda mengatakannya, sambil susah payah menahan nervous.
Tapi ternyata Mas Ismail nggak kelihatan curiga. Malah bertanya lagi dengan template muka lempengnya. "Ke mana? Gunung?"
"Hahaha." Trinda tertawa datar dan suram. Mana mungkin dia mengajak trekking? Apa bedanya dia dengan cewek yang menemani Mas Ismail minggu lalu? Eh, enggak ding, bukan itu alasannya, melainkan karena Trinda belum pernah naik gunung—sekalipun kampung halamannya berada di kaki gunung. Jadi, dia nggak mau ambil resiko nyusahin orang kalau harus mendaki. "Pantai aja Mas, pantai nelayan. Kayaknya malem-malem makan seafood kayak di Jimbaran boleh juga tuh."
"Mana ada?" Setelah seharian pasang wajah datar, akhirnya Mas Ismail ketawa, meski cuma sepintas. "Pantai Malang kalau malem kayak kuburan, Nduk. Nelayannya sih rame-rame pergi melaut, tapi warung-warung buat pengunjung tutup semua sebelum Maghrib."
"Iya, kah?" Trinda agak kecewa, karena nggak punya plan B.
"Ya tapi nggak apa-apa sih, ke pantai juga. Kalau mau seafood, kudu repot dikit, bakar sendiri. Kalau beruntung, ya ada aja warga yang mau bakarin, tapi jangan harap pantainya rame."
Sepi malah bagus, Trinda meringis samar.
"Pantai mana?"
Eh? Buru-buru Trinda menyalakan layar ponselnya, membuka Google Maps dan melihat history pencarian terakhirnya masih ada. "Kondang merak?"
Setelahnya, cewek itu menyerahkan ponselnya ke Mas Ismail.
"Dua jam lima belas menit naik mobil dari sini." Trinda bersuara lagi. "Banyak tempat makan, bisa dipake camping."
"Bisa snorkling juga, nih." Mas Ismail manggut-manggut. "Cari rental mobil dulu tapi."
Trinda mengangguk, super duper happy.
~
Kayaknya, Trinda belum pernah se-excited ini menyambut hari Sabtu.
Subuh-Subuh dia bangun dengan kulit cerah dan sehat berkat skincare routine super extra tadi malam, kemudian langsung mandi dan siap-siap, biar sempat makeup-an dulu.
Ya sih, biasanya juga sempat dandan, tapi ... hari ini Trinda mau sedikit lebih niat, biar kecantikannya di-notice mas crush. Kalaupun Mas Ismail nggak mungkin terang-terangan memuji, minimal cowok itu harus mengakui dalam hati.
Duuuh, memikirkannya saja sudah membuat Trinda tersipu malu.
Beres dengan makeup dan catokan, sambil menunggu setrikanya panas, Trinda mengecek tasnya sekali lagi, memastikan nggak ada yang ketinggalan.
~
"Perasaan gue doang, atau lo emang sengaja dandan cakep pagi ini?"
Wow. Guys, did you just listen?? Dipuji begitu oleh Mas Ismail, Trinda auto pengen terbang ke bulan.
"Akhirnya jauh-jauh ke Malang bukan cuma buat minum kopi sampai kembung, kudu diabadikan di medsos dong, Mas. Jadi penampilan juga kudu mendukung." Untung Trinda bisa ngeles, meski agaknya mukanya sekarang sudah merah padam karena kegeeran. "Tapi emang beneran cakep?"
"Iya."
"Udah Instagramable?"
Bukannya menjawab, Mas Ismail malah mengulurkan tangan untuk menjitak keningnya.
Emang jatuh cinta tuh bikin gila, dijitak gitu nggak kerasa sakit sama sekali, malah senang.
"Maaas!!" Tapi Trinda tetap berlagak kesal biar natural.
Selanjutnya, sebelum cabut ke resto hotel untuk sarapan, Mas Ismail menawarkan diri untuk memotretkan Trinda di hallway yang kebetulan lagi sepi. Bagus-bagus sih hasilnya, meski seandainya nggak bagus pun nggak akan mengurangi pesona Mas Ismail di mata Trinda.
Tapi, saat Trinda balik menawarkan diri, Mas Ismail nolak. "Sorry, gue nggak narsis."
"Ih?!" Trinda mau protes, tapi buru-buru menjajari langkah si mas yang sudah mulai jalan duluan. "Itu IG Mas lebih heboh dari aku, apa namanya kalau nggak narsis?"
"Itu personal branding." Sekali lagi Trinda mendapat jitakan di jidat. "Semua yang di-post ada substansinya."
"IG-ku juga personal branding." Satu alis Trinda naik, nggak mau kalah sombong. "Branding cewek cantik."
"Dih."
"Kenapa 'dih'?" Sembari berjalan, Trinda memastikan Mas Ismail melihat muka sinisnya. "Jangan bilang mas termasuk cowok-cowok yang nganggep kalau 'cantik' sama 'pinter' tuh nggak sederajat—padahal sama-sama dikasih sama Tuhan, sama-sama butuh usaha biar 'cantik' atau 'pinter'-nya nongol. Why are people so cynical about pretty girls?"
"I don't remember saying anything."
Trinda memutar bola mata. Mogok ngomong sampai hampir tiba di tempat tujuan, dan Mas Ismail menghentikan langkah duluan. Tertawa pelan, kelihatan jelas menahan geli melihat muka cemberut Trinda.
"Look, I don't have a problem with pretty girls. I didn't mean to insult you. It's just ... your confidence is beyond my league."
Trinda enggak menjawab, sampai lengan bajunya ditarik Mas Ismail.
"Yuk, keburu kesiangan ntar."
... to be continued