JALAN PULANG

By cimut998

35.4K 1.8K 217

Setelah berada di desa Giung Agung, Ahmad merasa jika dirinya selalu berhalusinasi. Ia kerap melihat bayangan... More

Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Bab 33
Bab 34
Bab 35
Bab 36
Bab 37
Bab 38
Bab 39
Bab 40
Bab 41
Bab 42
Bab 43
Bab 44
Bab 45
Bab 46
Bab 47
Bab 48

Bab 15

657 38 5
By cimut998

"Maafkan Adiba, Pak." Lirih Adiba sambil menunduk. Air matanya mengalir deras, membasahi kain penutup wajah. Adiba terus terisak. Hatinya terasa sakit, saat Pak Parta secara terang-terangan mengucapkan kalimat itu.

Pak Parta hanya bisa diam, mengembus napas pelan lalu beranjak dari tempat duduk, mendekati Adiba.

"Bapak yang seharusnya minta maaf, Nduk. Bapak sudah membuatmu sedih. Bapak hanya mengingatkan saja, Bapak tidak mau kamu lupa, atau sengaja melupakan siapa bapak kandungmu. Semarah apa pun, sebenci apa pun kamu kepadanya, dia tetap bapak kandungmu, Nduk." Pak Parta mencoba menjelaskan maksud dari ucapannya.

Dalam hitungan detik, kejadian waktu itu teringat kembali. Di mana seorang perempuan datang ke rumahnya dengan langkah tertatih. Parta dan istrinya, segera keluar rumah saat mendengar suara seseorang  meminta tolong. Seusai membuka pintu, Parta dikejutkan dengan kedatangan Lastri yang tengah menggendong seorang bayi. Kedua tangannya berlumuran darah. Saat sang istri hendak bertanya, Parta segera menyuruh Lastri masuk ke dalam, dan  berusaha menahan sang istri agar tak memberikan banyak pertanyaan kepada adik perempuannya.

"Adiba juga minta maaf, Pak. Jujur, Adiba belum siap bertemu dengan orang itu. Adiba takut," Kata-kata Adiba membuyarkan lamunan Pak Parta.

"Ya sudah, kalau memang kamu belum siap. Bapak mengerti, besok Bapak pergi sendiri saja." Pak Parta menepuk bahu Adiba. Mencoba memahami isi hati sang putri angkat.

Melihat Adiba yang sedih, Pak Parta segera memeluknya. Meskipun Adiba bukan darah dagingnya, namun Pak Parta begitu menyayangi Adiba layaknya anak kandung sendiri. Begitu pun Adiba. Ia berusaha damai dengan takdir. Dan menerima kenyataan bahwa dirinya hanya anak angkat. Keduanya larut dalam tangis. Derai hujan seakan menambah pilu hati yang tersayat oleh luka. Sebab, ingatan itu muncul kembali dan terpatri dalam memori kenangan.

***

Angin malam meniup sepoi dedaunan yang bergerak seiring rintik hujan. Rembulan bersembunyi, mega mendung masih menggantung di langit. Entah, sampai kapan akan bertahan menemani malam yang dingin. Udara sepoi seakan menusuk masuk ke dalam celah tulang. Tak ada persiapan tentang hujan malam ini, kedua pemuda yang sedari tadi menunggu reda, masih saja digantung oleh suasana. Hingga tak terasa malam kian larut.

"Masih hujan ya, Mas?" Tanya Yudi pada Ahmad. Ia baru saja keluar dari kamar mandi. Yudi memang sering kali mandi, atau sekadar buang air di kamar mandi mushola. Ia takut sendirian di rumah. Ia sering menahan kencing saat malam hari. Takut jika nanti akan melihat hal-hal aneh seperti pada waktu di mushola.

"Masih, Mas." Jawab Ahmad sambil memandang ke arah ribuan air yang jatuh dari langit membasahi bumi.

Yudi langsung duduk di samping Ahmad yang sedari tadi fokus membaca wirid.

"Tadi katanya mau ada urusan, Mas? Tidak jadi pergi kah," celetuk Yudi. Sebenarnya ia masih penasaran, kenapa ia tidak diizinkan ikut oleh Ahmad. Sepertinya memang Ahmad mempunyai urusan yang penting. Hingga tak mau melibatkan dirinya.

"Mau berkunjung ke rumah warga, Mas. Tapi, karena hujan ya terpaksa saya tunda." Ucap Ahmad.

Yudi mengernyit. Ia semakin penasaran, dalam benaknya terus bertanya pada diri sendiri. Siapa warga yang akan ditemui Ahmad? Mengapa begitu penting sampai dirinya tak butuh seorang teman? Yudi terdiam. Pikirannya masih mencoba menerka, siapa yang akan dikunjungi guru muda itu.

Ahmad hanya tersenyum, melihat tingkah Yudi. Seakan tahu, apa yang sedang dipikirkan pemuda bertubuh kurus itu.

"Mas Yudi, dulu sebelum saya, siapa yang mengajar ngaji di sini? Mas Yudi kenal tidak?" Ahmad tiba-tiba bertanya demikian. Yudi terkejut mendengar pertanyaan Ahmad. Kedua matanya membulat lebar. Dari awal kedatangannya, kenapa Ahmad baru menanyakan hal itu? Jangan-jangan!

Yudi merapatkan duduknya. Kepalanya celingukan, mengamati sekitar.

"Kalau mau tahu, menginap saja di rumah. Saya tidak berani mengatakannya di sini, takut ada yang dengar," bisik Yudi.

Ahmad mengernyit. Ia juga terkejut mendengar jawaban Yudi yang seakan menjerumus ke hal yang bersifat rahasia, sama seperti yang dilakukan oleh Mbok Inah.

"Baiklah kalau begitu Mas. Lain kali saja saya menginap di rumah Mas Yudi. Saya harus izin dulu sama Pak Heru. Takut beliau khawatir," balas Ahmad.

Yudi mengangguk cepat. "Kalau bisa secepatnya, Mas."

Ahmad hanya mengangguk pelan. Begitu banyak teka teki di desa setelah lama ia tak pulang. Dari mulai kesurupan masal, meninggalnya Putri, rahasia Adiba, bahkan misteri kematian Aisah. Apa semua itu memang ada hubungannya dengan peristiwa yang ia alami dulu? Atau ada unsur kesengajaan yang dilakukan oleh pihak tertentu. Ahmad masih menerka-nerka.

Kepulangannya seperti disambut oleh banyak peristiwa. Ingin rasanya mengulik tuntas misteri yang ada, namun ia minim informasi. Belum lagi, ia masih tergolong orang baru di desa. Tidak wajar jika harus berani bertindak tanpa adanya informasi atau bukti yang kuat. Bisa-bisa apa yang ia lakukan justru menganggu pihak yang mungkin menjadi dalang dibalik semua ini.

"Mas Ahmad! Mau pulang ya? Mari saya antar, saya baru pulang dari kantor camat. Kebetulan lewat dan melihat ada Mas Ahmad di sini, jadi saya mampir." Tiba-tiba Pak Heru datang, sambil membawa payung di tangan.

"Terima kasih, Pak. Beruntung sekali kita ada yang masih lewat," ucap Ahmad tersenyum pada Pak Heru.

"Loh, ada Yudi juga to." Pak Heru sedikit terkejut saat melihat Yudi yang duduk di sebelah Ahmad. Dari kejauhan ia hanya melihat Ahmad seorang diri. Namun ternyata ada Yudi di sebelahnya. Pak Heru tak melihatnya, karena terhalang oleh tembok mushola.

"Ya, Pak." Tukas Yudi.

"Wah, bagaimana ya, ini saya hanya bawa satu payung. Tidak mungkin bisa dipakai untuk bertiga," Hujan masih mengguyur tubuh Pak Heru yang berada di luar mushola. Ia sama sekali tak berniat masuk ke dalam. Ia hanya berdiri tepat di depan mushola.

"Masuk dulu, Pak. Nanti bisa dibicarakan di dalam," pinta Ahmad.

"Saya di sini saja, Mas. Kaki saya basah, nanti malah mengotori mushola." Balas Pak Heru.

"Kalau begitu, antar Mas Yudi saja Pak. Saya bisa pulang sendiri. Sebentar lagi juga hujannya reda," titah Ahmad.

"Loh, kok saya!" Seru Yudi.

"Rumah Mas Yudi kan jauh. Lagipula, saya dan Pak Heru tinggal satu rumah. Bisa belakangan pulangnya, Mas Yudi pulang saja duluan," ucap Ahmad memberi saran.

Yudi kembali terdiam. Ada perasaan cemas yang mengganjal. Entah, malam ini ia merasa akan ada sesuatu lagi. Apalagi dengan kedatangan Pak Heru yang seperti disengaja.

"Saya bisa pulang sendiri, Mas. Nanti saya pakai sarung saja buat penutup badan. Kalaupun basah, ya setidaknya basah oleh air bukan darah," Timpal Yudi.

Ahmad terkejut mendengar ucapan Yudi. Hendak bertanya namun Yudi sudah terlebih dahulu lari sambil menutupi kepalanya dengan sarung yang ia pakai untuk shalat tadi. Menerobos derasnya hujan, tanpa sedikit pun menghiraukan keberadaan Pak Heru. Lagi-lagi, Ahmad harus berhadapan dengan sebuah misteri. Ia tak habis pikir, mengapa seorang Yudi bisa mengatakan hal seperti itu. Pasti ada sesuatu yang pemuda itu tahu.

"Bagaimana, Mas? Jadi pulang tidak," tanya Pak Heru.

"Ya, Pak. Tunggu sebentar, saya matikan dulu lampunya." Ahmad segera masuk ke dalam, mematikan sakelar lampu, ia hanya menyisakan satu lampu yang menyala di bagian teras. Kemudian berjalan keluar, menghampiri Pak Heru yang sedari tadi menunggunya di bawah derai hujan.

"Saya sudah selesai, Pak. Mari pulang," ajak Ahmad. Pak Heru hanya tersenyum, namun ada yang sedikit berbeda dari pria itu. Ada sesuatu yang tak disadari oleh Ahmad namun, bisa dilihat oleh orang lain. Ya, Yudi menyadari sesuatu, namun ia memilih bungkam dan pulang.

Sesampainya di rumah, Pak Heru bergegas menyuruh Ahmad mengganti baju. Ia sendiri pun segera masuk ke dalam kamar, mengambil handuk katanya. Ahmad berjalan menuju kamarnya, lantas segera mengganti baju. Kemudian kembali ke luar guna menuju dapur.

Keadaan rumah tampak sepi. Mungkin Indah sudah tidur. Ahmad juga melihat gelas bekas kopi dan juga beberapa putung rokok di atas meja. Sepertinya Indah tak sendirian di rumah. Pasti Popon diminta menemaninya saat Pak Heru pergi tadi.

Ahmad berjalan pelan menuju dapur. Ia sekilas mengamati beberapa foto yang di pajang di dinding kayu. Dari sekian banyak foto, Ahmad tak menemukan seseorang yang ia kenal dulu. Seseorang yang belum ia lihat semenjak pulang beberapa hari lalu. Ia sama sekali tak melihat istri Pak Heru, Nilam. Ke mana perginya wanita itu? Apa jangan-jangan sudah meninggal?

Ahmad hanya menerka, dan mencoba berprasangka baik. Mungkin saja, Nilam sedang berada di desa orang tua Heru. Nilam adalah Kakak sepupu Ahmad yang dulu menyelamatkannya dari tragedi pembunuhan keluarganya. Nilam juga yang membawanya ke rumah Kiai Sobirin. Dan meninggalkannya seorang diri.

"Ya Allah, kenapa hamba bisa lupa, apa yang terjadi pada hamba ya Allah. Sampai bisa lupa pada saudara sendiri," rintih Ahmad berderai air mata.

Melihat Ahmad yang sedang menangis di depan sebuah foto, Pak Heru segera menghampirinya.

"Kenapa, Mas? Kok menangis?" Tanya Pak Heru.

Ahmad segera menyeka air matanya. Sebenarnya ia sudah lelah berpura-pura menjadi orang asing. Akan tetapi, demi memenuhi keinginan Kiai Sobirin, ia terpaksa terus berbohong. Membohongi diri sendiri, dan juga orang yang dikenalnya.

"Tidak ada apa-apa, Pak. Saya hanya rindu suasana pondok saja. Kalau begitu saya ke dapur dulu, mau buat teh hangat. Bapak mau?" Jawab Ahmad berdalih. Ia sengaja berbohong, agar Pak Heru tidak mencurigainya. Terlebih, keadaan desa sedang tidak baik-baik saja sekarang.

"Tidak usah repot-repot, Mas. Saya langsung mandi saja. Saya ke kamar mandi dulu," Tolak Pak Heru.

Ahmad tersenyum sambil menganggukkan kepala. Ahmad segera menutup hidung. Ada aroma yang berbeda dari tubuh Pak Heru ketika melewatinya. Aroma busuk yang bercampur dengan air hujan.

"Bau apa ini," Ahmad mendengus. Aromanya semakin pekat. Ahmad mencoba membuntuti Pak Heru, namun langkahnya terhenti.

Seorang gadis kecil berpakaian lusuh tengah memandang ke arahnya. Gadis kecil dengan wajah penuh luka lebam. Sekujur tubuhnya membiru. Meratap pedih, meminta tolong.

"Hawiyah ..."

Gadis kecil itu terisak. Tangannya bergemetar sambil menunjuk ke suatu tempat.

"To ... long ..."

Continue Reading

You'll Also Like

86.8K 9.7K 39
"Kau tahu, rasanya dikuliti pelan-pelan? Selembar pembungkus ragamu itu dikelupas, menyisakan daging yang masih kemerahan. Kau tak bisa menangis atau...
53.5K 4.5K 19
Safira dan Kaivan baru saja pindah ke sebuah rumah dinas di tengah perkebunan sawit. Rumah yang berdiri sendiri, tanpa ada satupun tetangga. Mereka t...
233K 19.2K 29
Kisah tentang teror dari sosok bernama Nek Ipah yang dialami seorang anak bernama Dani (7 tahun). Tidak hanya Dani saja, bahkan penduduk kampung pun...
8.4K 1K 10
Jika ada kejadian mistis yang disebabkan oleh hantu yang menempel ke tubuh kita dari suatu tempat, kita bisa dengan mudah mengusirnya kembali dengan...