Brothers - SKZ x BTS

Von kimmacaa

18.3K 2.8K 510

[Family] Stray Kids x BTS --- Lim Namjoon, seorang pebisnis batu bara juga seorang Ayah dari delapan orang an... Mehr

Prolog.
Pemeran #1
Pemeran #2
01 : Disuatu Pagi Tentang Menjadi Seorang Kakak
02 : Hyunjin Yang Bimbang
Special Hyunjinnie's Birthday!
03 : Chris Yang Meragu
04 : Cita-Cita, Badai, dan Kap Mobil
05 : Kekacauan Karena Kepergian Hyunjin
06 : Turunkan Egomu, Chris
07 : Seni atau Bisnis?
08 : Sebuah Izin
09 : Adik Yang Baik
10 : Adik Yang Baik (2)
11 : Bertemu Teman Daddy
12 : Sepenggal Masa Lalu
13 : Balas Budi, kata Kakak yang Khawatir
14 : Bad Dream
15 : Masa Lalu Changbin
16 : Pencarian
17 : Kecurigaan Seungmin
18 : Perjuangan
19 : Tentang Mommy dan Masa Lalu
20 : Jimin dan Misinya
21 : Mimpi Buruk Dari Masa Lalu
22 : Kakak Yang Khawatir
23 : Perihal Memaafkan
24 : Rumit
25 : Sebuah Kekecewaan
26 : Rasa Takut
27 : Kabar Buruk Hyunjin
28 : Rasa Cemas Sang Ayah
29 : Berdamai
30. Perasaan Felix
32 : Feeling unworthy
33 : Jisung's Past
34 : Rasa Sayang Seorang Ayah
35 : Hubungan Yang Kembali Membaik
36 : Chaos

31. Apa sih keluarga itu?

281 56 10
Von kimmacaa

“Jangan menahan suaramu seperti itu, Jisung.”

“Tidak, tidak. Bukan seperti itu. Kau harus membuka mulutmu lebih lebar agar pelafalanmu terdengar jelas.”

“Anggap saja di rumah ini tidak ada orang. Keluarkan suaramu. Jangan ditahan.”

“Hey, Jangan malu-malu, di rumah saja kau menahan suaramu seperti ini apalagi nanti saat tampil?”

Jisung mendengus jengah. Ia menghentikan nyanyiannya sambil menatap bosan pada sosok yang sejak tadi menghuni kamarnya. “Ini jam sebelas malam, Hyung. Aku tidak mau diamuk yang lainnya karena terlalu berisik.”

Minho tertawa pelan. Ia beranjak dari posisi duduknya untuk menghampiri Jisung yang berdiri di depan cermin dekat pintu kamar mandi. “Lagipula untuk apa berlatih sampai selarut ini?”

Sudah kurang lebih tiga puluh menit Minho bertamu dan menonton Jisung berlatih menyanyi –walau tidak terlalu bisa disebut menyanyi karena Jisung lebih banyak hanya menggumamkan nada. Ia berniat masuk ke kamarnya tadi, tubuhnya memang sudah lelah karena pemotretannya hari ini ditambah ia juga menghadiri acara makan malam bersama teman-temannya selesai pemotretan tadi. Tapi niat untuk segera beristirahat ia urungkan begitu mendengar suara Jisung dari dalam kamarnya yang kebetulan bersebrangan dengan kamar Minho.

“Aku takut, Hyung. Aku takut kalah dan mengecewakan Daddy.” Jisung menatap Minho yang berdiri di belakangnya melalui cermin.

Minho membalas tatapan adiknya dengan hangat. Jisung akan mengikuti lomba menyanyi tingkat nasional sepuluh hari lagi. Ia menjadi satu-satunya perwakilan dari Kota mereka yang diseleksi melalui lomba menyanyi antar sekolah. Tentu saja hal itu sangat membanggakan keluarga ini, termasuk Namjoon yang sangat bahagia saat Jisung menjadi juara pertama tingkat kota minggu lalu.

“Ah mana mungkin.” Satu buah senyuman terpatri di wajah Minho. “Kemampuan menyanyimu kan yang paling baik. Kau sudah lolos di tingkat Kota saja itu sudah hebat loh. Kita, apalagi Daddy sudah sangat bangga padamu, kok."

"Tetap saja, ini kan tingkat nasional. Bagaimana kalau saat bernyanyi nanti suaraku tiba-tiba menghilang?" Jisung mengatakan itu dengan sedikit serius. Wajahnya terlihat gusar.

Minho berdecak, "kau ini!" Ia maju selangkah untuk menepuk bahu yang lebih muda. "Pikiran buruk seperti itu lambat laun akan menghancurkan semangatmu. Kau lupa ya jika ucapan itu bisa menjadi doa? Bagaimana kalau Tuhan mengabulkannya, huh?"

Jisung terdiam.

"Jisung, Hyung tidak membebanimu untuk menjadi juara satu, Hyung yakin Daddy juga pasti seperti itu. Juara satu atau tidak itu bukan masalah untuk kami, yang penting kau melakukan yang terbaik saat tampil nanti, oke?”

Jisung menganggukkan kepalanya dengan lesu. “Oke.” Sebenarnya masih ada yang mengganjal. Sebenarnya masih banyak kekhawatiran yang dirasakannya. Sebenarnya masih banyak kemungkinan-kemungkinan buruk yang berseliweran di otaknya. Tapi sudahlah, Minho tidak akan mengerti.

“Sudah, tidak usah memikirkan apapun. Kau kan penyanyi terbaik di kota ini, Changbin saja sampai iri loh dengan suaramu.”

Sanjungan itu justru membuat Jisung mendecih. “Kembali ke kamarmu saja, Hyung.” Jisung berbalik untuk mendorong tubuh Minho agar keluar dari kamarnya. “Aku mau overthinking dulu malam ini.”

Minho tergelak tapi tidak menolak juga ketika tubuhnya didorong untuk keluar dari kamar adiknya. Sampai saat mereka sudah sampai di ambang pintu dan Jisung berkacak pinggang menunggunya keluar, Minho menyempatkan untuk mengelus kepala adiknya. “Lakukan saja seperti sebelum-sebelumnya. Hyung tahu kau pasti bisa menampilkan yang terbaik.”

Selepas pintu tertutup dan Minho menghilang di baliknya, Jisung masih terdiam di tempatnya.

Tok tok

Pagi-pagi sekali Jeongin sudah berdiri di depan pintu kamar Minho masih dengan piyamanya. Matahari bahkan belum sepenuhnya menampakkan diri. Mungkin sebagian anak-anak Lim pun masih tertidur pulas di kamarnya masing-masing. Waktu sarapan juga masih lumayan lama tapi Jeongin tidak bisa menunggu sampai semua anak berkumpul untuk bicara dengan Minho.

“Hyung, sudah bangun belum?” Jeongin kembali mengetuk, tidak terlalu kencang tapi semoga dapat didengar Minho di dalam sana.

Lama tidak ada jawaban. Harapan Jeongin sudah setipis tissue. Ia butuh bicara berdua dengan Minho untuk meminta uang sebab uang yang diberikan kakak tertuanya beberapa hari yang lalu sudah tinggal sedikit. Bisa habis ditanyai oleh yang lain jika Jeongin meminta uang saat mereka sarapan nanti. Ia juga takut Namjoon akan bertanya-tanya kemudian ia mungkin secara tidak sengaja akan membeberkan alasan habisnya uang jajannya. Ia tidak mau masalahnya menjadi besar.

“Ayen, sedang apa di situ?”

Jeongin otomatis menoleh ke sumber suara dan mendapati Seungmin dengan setelan olahraganya sedang berdiri di ujung lorong.

“Aku….” Jeongin berusaha berpikir cepat untuk mencari kebohongan yang masuk akal. Siapapun akan merasa aneh jika mendapati dirinya berdiri di depan kamar Minho sepagi ini. “Aku ada urusan dengan Minho Hyung.”

Ada kerutan halus di dahi Seungmin setelah mendengar jawaban adiknya. “Sepagi ini?”

Jeongin mengangguk yakin, berusaha menutupi kegugupannya karena tatapan curiga dari Seungmin. “Iya, memangnya kenapa?”

Cukup mencurigakan, tapi Seungmin memilih untuk menghempaskan rasa curiganya. Hari masih terlalu pagi untuk berpikiran buruk. Seungmin juga butuh segera mandi dan bersiap-siap sekolah. “Minho Hyung dan aku baru pulang jogging. Sekarang Minho Hyung ada di dapur sedang membuat infused water, mungkin sebentar lagi ke sini soalnya dia bilang ada pemotretan pagi ini.”

“O–oh –” Jeongin mengangguk mengerti, ia berdehem singkat untuk membersihkan tenggorokannya. “Terima kasih, Hyung. Aku akan menunggu di sini saja.”

Seungmin mengangkat bahunya. “Yah, oke.”
Selanjutnya ada keheningan yang menggantung selama beberapa saat. Seungmin tidak kunjung pergi ke kamarnya begitupula dengan Jeongin yang masih di tempatnya. Seungmin masih menatap penuh selidik kepada Jeongin. Sementara yang ditatap sudah berteriak keras dalam hati agar tidak ditanyai lebih lanjut oleh kakaknya. 

“Kalau begitu aku ke kamar dulu.”

Suara dari tertutupnya pintu kamar Seungmin membuat Jeongin membuang nafas lega. Ia sedikit gugup sebenarnya, jika yang memergokinya tadi adalah Hyunjin atau Changbin mungkin ia tidak akan setakut ini. Seungmin adalah orang yang cukup serius. Biasanya ia tidak terlalu mau tahu urusan orang lain, makanya saat Seungmin bertanya tadi, rasanya Jeongin ingin menghilang saja.

“Loh, ada Ayen,” belum genap satu menit sejak kepergian Seungmin kini sosok yang ditunggunya muncul di ujung lorong dan berjalan santai ke arahnya. “Sedang apa?”

Mata Jeongin berbinar menyambut kedatangan Minho. Ia menunggu Minho sampai di hadapannya terlebih dahulu sebelum menjawab, “Aku ingin bicara, Hyung.”

Sebelah alis Minho terangkat. Separuh merasa penasaran dengan apa yang akan adiknya bicarakan sepagi ini. “Penting ya? Kita bicara di dalam kamar Hyung saja, ayo.”

Selanjutnya Minho membuka pintu kamarnya dan tentu saja Jeongin membuntutinya. Kamar Minho masih remang-remang. Semua tirainya masih tertutup rapat. Hanya lampu tidur dengan cahaya kekuningan di atas nakas saja yang menyala.

Minho mengambil duduk di ujung kasurnya. Melipat lengan di depan dadanya sambil menatap penasaran pada adik bungsunya. “Nah, Ayen mau bicara apa?”

Jeongin masih berdiri di hadapan Minho dengan jarak yang cukup jauh. Seharusnya Jeongin tidak perlu segugup ini. Lagipula tidak ada salahnya seorang adik meminta uang kepada kakaknya. Sebenarnya situasi ini pasti sering terjadi di keluarga manapun tapi di keluarga ini uang jajan setiap anaknya sudah sangat terpenuhi oleh kepala keluarga. Jadi, situasi seperti ini hampir tidak pernah terjadi.

“Ayen, kok malah melamun?”

“Hah?”

“Mau bicara apa?”

“Ah…. itu–”

“Cepat, Hyung tidak punya banyak waktu, Hyung ada pemotretan satu jam lagi. Kau juga harus segera bersiap untuk sekolah. Jangan terlambat nanti Chris Hyung marah.”

“Jadi begini –” Jeongin menjeda untuk mengambil nafas dalam. “Aku mau minta uang, Hyung.”

Keheningan yang terjadi selanjutnya malah membuat Jeongin semakin ingin menghilang dari rumah ini. Ia juga sebenarnya tidak mau terjebak di situasi seperti ini –lagi. Namun mau bagaimana lagi, masih ada satu minggu lagi sebelum Namjoon memberikan uang jajan bulanannya. Kelaparan dan tidak memegang uang sepeserpun tidak pernah ada dalam rencananya.

“Berapa?”

“Hah?”

“Mau minta berapa?”

Oke, ini cukup mengejutkan sebab reaksi Minho tidak seperti Chris beberapa hari yang lalu. Minho cenderung tenang dan tidak banyak bertanya untuk apa uangnya. Baiknya, ia tidak perlu repot-repot merangkai kebohongan lainnya. Jeongin mengulum senyumnya tanpa sadar.

“Ayen!” Suara Minho cukup keras, cukup untuk kembali membawa Jeongin ke realita. “Melamun terus, sih. Mau minta berapa? Cepat, Hyung harus segera siap-siap.”

Yah sepertinya Jeongin bisa tenang sampai awal bulan nanti.

“Felix? belum tidur?”

Namjoon dibuat sedikit terkejut begitu memasuki rumah dan menemukan Felix sedang duduk sendirian di ruang tamu. Felix hanya menoleh singkat seraya menyapanya dengan suara pelan. Namjoon terheran kenapa puteranya masih terjaga selarut ini, jadi ia memutuskan untuk bergabung duduk dengan Felix di sofa.

“Kenapa baru pulang, Dad?” tanya Felix begitu Namjoon duduk di sebelahnya.

Namjoon menyandarkan tubuh sepenuhnya di sofa. Ia menghembuskan nafas panjang sebelum menjawab, “Daddy sedang mengejar pekerjaan agar bisa menonton perlombaan Jisung nanti.”

“Oh. Pasti lelah ya? Istirahat saja, Dad.”

Jarum jam menunjuk tepat di jam dua belas saat ini. Udara malamnya tidak begitu dingin. Suasananya sunyi sebab yang lainnya sudah beristirahat di kamar masing-masing. Jam dan suasana yang tepat untuk mendalami emosi yang sedang dirasakan, sebenarnya. Emosi Felix sedang biru hari ini. Ia banyak termenung dalam sendirinya.

“Kenapa?”

Pertanyaan Namjoon membuat Felix menoleh tanpa mengeluarkan ekspresi apa-apa. “Kenapa apanya?”

“Kau. Kenapa?” tanya Namjoon lagi. Sebenarnya Namjoon hanya memastikan saja. Ia hanya mau Felix mengeluarkan apa yang dirasakannya. Dengan melihat objek yang sedari tadi Felix pandangi dengan sendu saja Namjoon sudah tahu apa yang dirasakan Felix.

“Tidak apa-apa, kok.” Felix kembali membuang pandangannya ke arah objek yang sejak satu jam lalu ia pandangi. “Memangnya aku kenapa?”

Namjoon mendengus geli. Tanpa bicara lagi ia merangkul bahu Felix, menghapus jarak yang tadi tercipta, bahu bertemu bahu. Ia ikut memandang ke arah objek yang Felix pandangi. Sebuah foto keluarga yang dipajang di ruang tamu. Iya, keluarga.

Keluarganya.

Hanya ada Namjoon, Keira, Chris kecil, dan Felix yang berusia satu tahun di dalam foto itu. Keempatnya tersenyum seperti foto keluarga pada umumnya. Foto itu cukup sentimental untuk Namjoon. Itu adalah potret terakhir mereka bersama Keira sebelum istrinya pergi ke tempat yang jauh dan tidak bisa Namjoon kejar.

“Daddy juga merindukannya.”

Kalimat Namjoon yang diucapkan dengan pelan meruntuhkan pertahanan Felix. Ia langsung memeluk Namjoon dari samping dan mengecilkan tubuh di sebelah Ayahnya. Kepala Felix berada di atas bahu Namjoon.

“Aku merindukan Mommy,” lirih Felix. Air matanya sudah lolos dan sedikit membasahi bahu Namjoon.

Namjoon mengusap rambut Felix dengan lembut. “Daddy tahu karena Daddy juga selalu merindukannya.” Tangan Namjoon berpindah menepuk-nepuk punggung Felix. “Besok kita mengunjungi Mommy ya.”

Felix mengangguk di atas bahu Namjoon. Dengan sedikit merengek ia berucap di sela isakannya, “Ajak Chris Hyung saja, tidak perlu ajak yang lain.”

Di situ lah Namjoon tersadar, bahwa bagaimanapun keadaannya, Felix tetaplah seorang bungsu. Tabiat seorang anak bungsu pasti tidak mudah hilang begitu saja dari dirinya walaupun ia memiliki adik angkat. Sewaktu-waktu Felix memang bisa bersikap manja seperti ini dan hanya Namjoon ataupun Chris yang bisa melihatnya.

Jeongin sarapan sendirian pagi ini. Selain karena terlalu awal, hari ini juga weekend jadi anak-anak lain lebih memilih bangun sedikit lebih siang. Kunyahannya tidak berselera padahal nasi goreng yang dibuatkan Bibi Nam enak seperti biasa. Jeongin sibuk menatap kosong pada pintu kaca yang memperlihatkan Bibi Nam sedang menyapu halaman belakang.

Kepalanya menjadi berisik semenjak ia melihat Namjoon, Chris, dan Felix sudah bersiap pergi entah kemana. Belum sempat ia sampai di tangga terakhir, tiga manusia yang sebelumnya sarapan bersama itu sudah lebih dulu berjalan keluar rumah.

Jeongin bisa saja bertanya dengan berteriak sebelum mereka ke luar pintu. Tapi kekuatannya mendadak hilang setelah mendengar percakapan ketiganya di meja makan. Saat ini Jeongin lebih banyak berpikir akan kelayakan dirinya berada di rumah ini.

“PAGI!”

Bahkan seruan Changbin disertai tepukan cukup keras di bahunya hanya bisa membuat Jeongin mengerjap sebelum kembali menyuapkan nasi gorengnya seperti tidak terjadi apa-apa. Reaksi itu tentu saja membuat Changbin keheranan. Pria berkaos singlet itu saling berpandangan dengan Seungmin yang datang bersamanya.

Tiga detik saling bertanya melalui tatapan, Changbin dan Seungmin akhirnya saling menggelengkan kepala tidak tahu apa yang terjadi dengan Jeongin. Kemudian Seungmin lebih dulu mengambil duduk di seberang Jeongin sementara Changbin sengaja duduk di sebelah Jeongin. Mereka harus tahu apa yang mengganggu adiknya sampai terlihat lesu seperti ini.

“Ayenie, kau baik-baik saja?” tanya Changbin. Ia memiringkan tubuhnya agar bisa menghadap ke arah Jeongin. Sebelah tangannya bertumpu di atas meja makan yang mana ia gunakan untuk menyangga kepalanya. Sebelahnya lagi mencolek lengan atas Jeongin main-main.

Jeongin hanya mengangguk singkat. Sama sekali tidak merasa terganggu dengan aksi Changbin. Kedua belah bibirnya masih mengunyah dengan pelan. Ia bahkan tidak repot-repot menoleh ke arah kakaknya. Moodnya masih belum membaik sejak ia mendengar percakapan tadi.

“Hyung.” Jeongin akhirnya membuka suara. Sorotnya penuh luka dan Changbin maupun Seungmin masih tidak tahu apa sebabnya.

“Iya? Kenapa?” tanya Changbin sedikit antusias. Ia bahkan sampai sedikit memajukan tubuhnya. “Kau tidak terlihat baik, Ayenie….” ucap Changbin khawatir.

“Daddy pergi tadi pagi,” beritahu Jeongin.

“Oh, kemana?” Seungmin yang sedang menikmati nasi goreng juga ikut menyahut.

“Tidak tahu.” Jeongin meletakkan sendoknya begitu saja. Nasi gorengnya masih bersisa tapi ia sudah tidak ada minat untuk menghabiskannya. “Daddy pergi bersama Chris Hyung dan juga Felix Hyung,” lanjutnya.

“Tumben weekend seperti ini mereka pergi pagi-pagi. Kemana ya?” Changbin berucap bingung. Tangannya mulai mengambil nasi goreng ke atas piringnya. Ia sempat lupa niatnya kemari untuk sarapan. Matanya melirik ke arah Seungmin dan adiknya itu mengangkat bahu tanda tidak tahu.

“Acara keluarga mungkin.”

Hanya tiga kata, satu kalimat yang diucapkan tanpa beban. Jeongin bahkan tidak menunjukkan ekspresi apa-apa saat mengucapkan kalimatnya. Lain halnya dengan Changbin dan Seungmin yang mendadak membeku. Jelas mereka dapat menangkap berbagai macam sentimen dalam kalimat Jeongin.

Jeongin tertawa hambar saat Changbin dan Seungmin masih berusaha mencerna situasi. “Hyung tahu? Mereka akan pergi berlibur, hanya bertiga. Daddy, anak pertamanya dan juga anak bungsunya. Tidak salah kan aku bilang acara keluarga? Memang anaknya Daddy itu hanya Chris Hyung dan Felix Hyung. Kita ini siapa, Hyung? Siapa kita sampai berani-beraninya mengambil perhatian Daddy dari kedua anaknya?!”

“Ayen—”

“Kau tahu, tadi mereka sarapan disini sebelum berangkat. Mereka mengobrol banyak dan Daddy mengatakan akan mengajak Chris Hyung dan Felix Hyung jalan-jalan hari ini.  Seperti dulu, kata Daddy. Aku melihatnya Hyung—” Kalimatnya terjeda karena Jeongin mengais oksigen banyak-banyak untuk dadanya yang tiba tiba terasa sesak. “Aku melihat betapa sumringahnya wajah Felix Hyung tadi. Aku melihat sebuah keluarga kecil yang sudah sangat bahagia bahkan tanpa kehadiran kita, Hyung.”

“Ayen, hentikan—” Seungmin berucap setengah panik. Matanya juga sudah berkaca-kaca.

Namun Jeongin menggeleng. Ia harus mengeluarkan perasaan tidak enak yang sejak tadi ditahannya. “Aku sadar Felix Hyung tidak diperlakukan seperti bungsu sejak kedatangan kita. Aku tidak tahu sesulit apa saat tiba-tiba Felix Hyung harus menjadi kakak untuk kami padahal seharusnya ia yang paling disayang di rumah ini. Aku… aku merasa jahat, Hyung. Kita menerima terlalu banyak, tidak seharusnya kita berada di sini.”
Kalimat panjangnya ditutup dengan pelukan hangat dari Changbin. Isakan Jeongin teredam di dada sang kakak. “Maaf,” ucapnya di sela isakannya. “Maaf sudah mengacaukan sarapan kalian.” 

“Ssst tidak apa-apa. Tidak apa-apa,” bisik Changbin sambil mengelus punggung Jeongin. Jujur saja Changbin sedikit tidak menduga jika ini adalah sebab dari kesedihan Jeongin pagi ini. Hatinya sakit sekali mendengar semua kalimat yang keluar dari mulut Jeongin. Semua emosinya, semua yang dirasakannya sangat terlihat jelas dari sorot matanya tadi. Bisa jadi itu berasal dari lubuk hatinya yang paling dalam.
Mungkin Jeongin selama ini merasa seperti itu. Mungkin mereka merasa seperti itu.

“Loh, kenapa Ayen menangis?” []

Coba tebak siapa itu yang dateng?

Weiterlesen

Das wird dir gefallen

725K 60.6K 43
Menceritakan tentang kehidupan 7 Dokter yang bekerja di rumah sakit besar 'Kasih Setia', mulai dari pekerjaan, persahabatan, keluarga, dan hubungan p...
658K 27.5K 48
Tiba-tiba punya 3 kakak ganteng? °°°° Jean Willona. Gadis yang dibesarkan oleh seorang singel mother tanpa sosok ayah. Namun, saat bundanya meninggal...
167K 26.4K 48
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
907K 54.9K 35
Delissa Lois adalah seorang gadis cantik yang terkenal barbar, suka mencari perhatian para abang kelas, centil, dan orangnya kepo. tapi meskipun begi...