Dated; Engaged [COMPLETED]

By Kaggrenn

914K 95.6K 14.1K

Sekian lama move on, Trinda mendadak CLBK-crush lama belum kelar-melihat mas-mas mempesona berkemeja batik sl... More

d a t e d
d-1 | why we want who we want
d-2 | mirror mirror on the wall
d-3 | back seat of the blue car
d-4 | he showed up, she can't get enough of it
d-6 | she'll grow up next summer
d-7 | she can't pass if she doesn't know the code
d-8 | he smells the perfume, and it's obvious
d-9 | she'll break the ceiling
d-10 | when the world revolves around them
d-11 | wishes she came out smarter
d-12 | couldn't have him sit there and think
d-13 | a lightweight drinker, she is
d-14 | in case she needs fresh clothes
d-15 | this is how you fall in love
d-15 | this is how you fall in love pt.2
d-16 | keep your head up, princess!
d-16 | keep your head up, princess! pt. 2
d-17 | they say love is only equal to the pain
d-18 | you could turn my sorrow into a song
d-19 | river flows in you
d-20 | someone who feels like a holiday
d-21 | you're still with me, now I know
e n g a g e d
1 │ nggak jadi mampus
2 │ warming up
3 | sebuah tekad menghapus diri dari daftar hitam
4 | ghibah bapack-bapack
5│tempat kejadian perkara
6 | if the world was ending
additional part 6 | world war
7 | it must be exhausting rooting for the anti-hero
8 │sudah luka, ditabur garam
9 | cari mati
10 | tanggap darurat
11 | pret
12 | sambutan pertama
13 | sambutan kedua
additional chapter 11 | well, this is embarassing
14 | jadi, intinya mah ...
15 | ... seperti itu
16 | mengejar sang juragan
17 | kampret, tapi mail sayang
18 | mas, kamu nyebelin!
19 | jadinya, couple spa sama siapa?
20 | good, good night
additional part 20 | good good night
21 | curiga tahun depan jadi trilyuner
22 | kukira kau rumah [part 1]
22 | kukira kau rumah [part 2]
23 | maloe-maloe kocheng
24 | di atas langit ada ...
25 | dibayar tunai
26 | are we good?
27 | ada yang tajem tapi bukan piso
Ugh
28 | deal breaker
29 | at the end of the day ...
additional part 29 | bromance hanyalah fatamorgana
30 | hold on
31 | reminisce part 1
31 | reminisce part 2
32 | yang patah ... tumbuh?
33 | str_nger [END]
random marriage life diaries #1 | when neo and aaliyah are just babies

d-5 | can never be friends

11.8K 1.1K 192
By Kaggrenn




5 | can never be friends



"Weekend muncak hayuk." Winny menelepon Trinda, tidak lama sejak Trinda menginjakkan kaki di unitnya, hendak melucuti pakaian dan pergi mandi.

"Ini udah weekend." Trinda manyun.

Sekarang sudah Jumat malam, nggak salah dong?

"Berangkat besok pagi, maksudnya, say. Mumpung ada villa murah. Temen Kenya nggak jadi make, dijual rugi gitu. Kenya ama Jesselyn barusan udah berangkat, malah. Kita nyusul besok pagi, yuk. Sayang kalo kamarnya sisa."

Trinda tidak langsung menjawab. Diam sebentar untuk menghayati, seberapa capek badannya sekarang.

Karena rasa-rasanya nggak seremuk minggu lalu, juga karena sudah kangen dengan Winny dan yang lain, dia putuskan untuk mengiyakan saja.

"Michelle ikut?" tanyanya, berpikir lebih efisien kalau dia nebeng pasangan Michelle-Gibran daripada meminta jemput Winny-Theo.

"Deseu lagi di rumah Gibran—di Bogor—langsung berangkat dari sono. Lau ntar gue jemput aja nggak pa-pa. Gue sama Theo kan emang diciptakan buat jadi tukang antar jemput Trinda Arjani Putri Prawirodiprodjo. Sendiko dawuh Tuan Putri gitu deh, pokoknya."

Hidung Trinda kembang kempis mendengar olok-olokan Winny, tapi udah biasa, jadi nggak perlu direspon. "Emang berangkat besok pagi sama malem ini macet mana?"

"Sama aja sih kayaknya."

"Nggak mau ikut berangkat sekarang aja? Kayaknya mending macet malem-malem daripada pagi-siang." Tapi Trinda buru-buru meralat. "Eh, kan bukan aku yang nyetir. Terserah Theo, deh. Tadi abis kerja seharian, pasti dia capek kalau sekarang harus nyetir jauh."

Gantian Winny yang tidak langsung menjawab.

Samar-samar Trinda mendengar temannya itu ngobrol dengan seseorang. Theo, siapa lagi?

"Lo mau berangkat malem ini, babe? Kalau iya, Theo ayok aja katanya." Winny akhirnya kembali ke sambungan dan menanyai Trinda. "Siap-siap lo butuh berapa jam?"

"Sejam juga oke."

"Sip. Gue sama Theo cabs sebentar lagi."


~


Villa yang mereka tempati di Cisarua sangat kontras dengan 'harga murah' yang disebutkan Winny tadi. Sudah berteman bertahun-tahun, agaknya Trinda masih belum terbiasa kalau teman-temannya ini selalu ekstra, nggak bisa biasa sehari aja.

Villanya punya lima kamar, enam kamar mandi. Fasilitas standar hotel bintang lima. Paket yang mereka ambil sudah termasuk sarapan, tapi Kenya request untuk disediakan makan siang dan malam sekalian, mempertimbangkan mereka semua akan terlalu malas ke mana-mana sepanjang weekend.

Sudah kebayang kan, betapa ekstranya?

Jadilah ketika rombongan Trinda-Winny-Theo tiba, meja makan super besar di villa itu sudah dipenuhi berbagai hidangan prasmanan untuk lima belas orang—sebagian besar sudah dingin tentu saja, tapi nggak masalah, masih tetap enak.

"Lima belas orang, emang siapa aja?" Trinda baru sadar jumlah makanan itu kebanyakan, dan barulah Jesselyn menyebutkan jumlah mereka semua nantinya. Soalnya kan setahu Trinda, kalau empat temannya masing-masing bawa pacar, mereka hanya akan bersembilan.

"Michelle bawa rombongan cowok-cowok FK fakir hiburan." Jesselyn menjelaskan.

Trinda manggut-manggut, mulai mengikuti Winny mengitari meja makan, memilih-milih snack yang bisa dicemil sambil ngobrol, soalnya kalau makan berat sekarang, dia belum lapar lagi. Mungkin nanti tengah malam.

Rombongan cowok FK, berarti termasuk Saga—cowok yang disebutkan Theo bulan lalu saat di mobilnya.

Nggak masalah, sih. Trinda berhubungan baik dengannya sekalipun acara perjodohan yang dibikin Michelle dan yang lain-lain untuk mereka berdua berakhir antiklimaks.

"Harusnya bukan FK, tapi PK." Winny mendengus pelan, ngomongin teman-teman Michelle yang rata-rata emang bikin orangtua semacam Ibu Hari rajin mengelus dada.

"Study hard, play harder, lah." Kenya membela, soalnya mereka semua juga nggak alim-alim banget, takut makan omongan sendiri. "Kalau dituntut belajar terus, nggak dikasih main, bisa botak di umur 22 tuh mereka semua."

Trinda bergidik sendiri. Masih nggak paham, yang belajarnya gila-gilaan, tapi mainnya lebih gila lagi tuh sehari punya waktu lebih dari 24 jam apa gimana?

Panjang umur, tak lama setelahnya, dua buah jeep hitam memasuki halaman—orang-orang yang diomongin sudah datang.


~


"Jadi ini yang abis nolak Redjan Sagarmatha?" Seorang cowok bernama Radin menuangkan Sweet Alexandria—dari brand Hatten, wine lokal—ke gelas Trinda, karena si cewek dari tadi cuma minum itu, nggak beralih ke yang lain meski mereka membawa semua varian Hatten, udah kayak brand ambassador aja.

"Siapa juga yang nolak?" Trinda mencebik kecil, menatap Saga yang duduk di sofa di seberangnya, sementara dia dan Winny duduk saling nyender di lantai. "Orang nggak ada yang nembak."

Saga cuma tertawa pelan, menyesap Aga Red-nya tanpa menghindari tatapan Trinda.

Tawanya manis, jujur. Dan yang paling penting, terdengar enak di kuping.

Kalau saja nggak sedang naksir Mas Ismail, tentu cowok tipe-tipe kalem dan nggak banyak tingkah seperti Saga—yang juga setipe dengan Theo—yang sekarang akan dipilih Trinda sebagai pacar.

Masalahnya, dari kemarin-kemarin tuh Saga memang nggak pernah nembak, dan Trinda juga nggak pernah nolak. Rumor penolakan mereka tersebar begitu saja hanya karena suatu ketika Trinda mendadak batal ikut ke SG, padahal itu pertama kalinya Saga nimbrung rombongan mereka jalan rada jauh, setelah sebelumnya Trinda dan cowok itu dipaksa nge-date berduaan beberapa kali.

Trinda nggak tau cowok itu menaruh hati padanya atau enggak. Yang jelas, kalau dari obrolan-obrolan mereka sebelumnya, ni anak memang belum mau ribet urusan pacar aja. Dia senang jalan dengan Trinda di akhir pekan, tapi nggak bisa selalu. You know lah, anak FK semester tua kelihatannya memang sesibuk itu.

"Ckckck, Saga, Saga ...." Si Radin geleng-geleng. Menatap ngenes ke arah Saga. "Jangan nyesel kalau tau-tau besok Trinda ama gue, ya?"

Michelle yang duduk di sofa lain—sambil pelukan dengan pacarnya—cuma bisa ngakak. "Nggak usah gede kepala. Trinda nggak demen cowok banyak bacot kayak lo."

"Saga juga banyak bacot, Shaay."

"Tapi bacotannya sopan. Ngerti sopan nggak?"

"Nyenyenyenye." Radin nggak mau mendengarkan omongan Michelle, membuat Michelle berakhir melempar sendal jepit padanya.

"Gue bawa lo ke sini buat ngabisin makanan, bukan buat godain tuan putri!"


~


Entah berapa jam berselang, anak-anak mulai tepar, tapi pada malas masuk kamar masing-masing. Jadilah sebagian besar berceceran di living room. Ada yang di lantai, ada yang di sofa. Hanya Saga yang sudah cabut duluan, juga Michelle-Gibran yang mau melakukan ritual terlarang.

Trinda sebenarnya sudah mengantuk juga, tapi si Radin-Radin ini kayaknya belum capek ngajakin ngobrol.

"Lo nggak inget gue ya? Tahun lalu kita ketemu dan ngobrol di Swillhouse? Gue yang anter lo sama Michelle pulang." Radin kelihatan gemas sendiri karena dari tadi Trinda seolah nggak ingat, padahal ini bukan pertemuan pertama mereka. Waktu itu, mereka bahkan ngobrol nyambung sepanjang malam.

"Inget, kok." Trinda menjawab santai seperti tanpa dosa, menyesap sisa-sisa Alexandria di gelasnya dengan senyum tipis terulas.

"Kok dari tadi diem aja? Gue jadi kayak orang bego."

"Kamu nggak nanya."

"Ish!" Cowok itu ingin menjitak Trinda, tapi nggak jadi. Sebagai gantinya, dia pilih mengelus pelan puncak kepala cewek yang duduk di sebelahnya itu. "Gue pikir udah lupa. Padahal malem itu spesial buat gue. Bahkan, gue masih inget kita ngomong apaan aja."

"Oh ya?" Trinda memang ingat muka cowok ini, tapi tentu tidak sedetail itu.

Malah, dia sudah lupa namanya kalau nggak diingatkan.

Soal pertemuan pertama mereka, Trinda hanya ingat bahwa waktu itu dia pergi ke club bersama Michelle dan Gibran, tapi di sana kedua temannya itu malah bertengkar dan berujung dia mau saja diantar pulang oleh salah satu teman Gibran, yang ternyata adalah si cowok ini. Kalau Radin bukan teman Gibran, tentu Trinda akan lebih memilih naik taksi malam itu. Jadi nggak ada yang spesial.

"Lo bilang, lo benci cowok yang party-party pake duit bapaknya. Dan gue langsung tertohok, padahal malem itu ultah gue."

"Aah ...." Trinda manggut-manggut. "I see. Kamu yang ngabisin belasan juta buat minum-minum semalem doang. Udah tobat sekarang?"

"Udah." Radin ketawa.

Trinda ikut ketawa. "Beneran tobat karena omonganku? Tapi kayaknya waktu itu kamu kesel, deh. 'Anjing nih cewek, bokap gue kan nyari duit buat gue, terserah dong, mau gue pake buat apa'. Your face shows it all."

"Enggak yaa." Cowok itu mengelak, mencubit pelan pinggang Trinda. "Yaa ... kesel dikit sih awalnya, tapi abis itu kalau dipikir-pikir, bener juga. Mau jadi apa negeri ini kalau orang-orang yang berduit kek sampah semua kelakuannya?"

Trinda mesem dikit, agak terganggu oleh silaunya lampu. Radin lalu menopang dagu dengan tangan yang disandarkan ke sofa di belakang mereka, memandang cewek di sebelahnya lekat-lekat, agak menghalau si standing lamp dengan tubuhnya yang lebih tinggi.

"But I don't think I was criticizing you back then. Itu kan kebetulan aja kamu denger aku ngomong di saat yang nggak tepat. Kayaknya udah aku jelasin juga ya?" Trinda mendadak ingat sedikit-sedikit obrolan mereka, yang katanya sudah setahun lalu itu.

"I know. That's why I'm not mad at you." Cowok itu mengangguk. "Seneng-seneng emang hak semua orang. Tapi waktu itu, gue emang lebay, sih."

Cowok itu lalu meraih tangan Trinda yang tidak memegang gelas.

"Jarang-jarang gue betah ngobrol sama orang berjam-jam. Tapi elo pengecualian."

"Kamu kayaknya berjam-jam bacot-bacotan sama Michelle juga bisa-bisa aja."

"Bedaaa."

Trinda cuma senyum, setengah merem.

Apa dia mabuk?

Enggak.

Seingat Trinda, dia cuma minum beberapa gelas. Dan Alexandria ini manis dan ringan. Trinda sanggup meminumnya sepanjang malam sambil ngobrol. Hanya saja, mungkin karena ini hari Jumat? Topik apapun tidak terasa menarik karena badan sudah pegal.

Kalau Radin mengajaknya ngobrol besok alih-alih malam ini, mungkin respon Trinda akan berbeda.

"You look so gorgeous tonight. Kalau tadi Michelle nggak nyebut nama lo, I swear, I can't barely recognize you."

"Radin, please ... gombal banget."

"I did not. I am telling the truth."

"Well ... thank you?" Trinda ketawa lagi, rasa minumannya makin lama makin hambar. Obrolan mereka juga.

Tangan Radin memberi sentuhan pelan di punggung tangannya, membuat Trinda menoleh demi menatap balik cowok itu.

"Keberatan nggak, kalau lain kali gue ikut nimbrung lagi?"

"Nggak lah, siapa aja boleh nimbrung. Lagian, kamu temennya Gibran."

"Gue bukan temen lo?"

Karena Winny mendadak bergerak di pundak Trinda, Trinda jadi kaget dan nggak sengaja ambruk ke dada Radin yang duduk menyerong di sebelahnya.

Cowok itu tertawa, membantu Trinda untuk menegakkan Winny bersandar kembali ke sofa. "Wah, kayaknya kita harus jadi kuli angkut, deh."

"PR banget." Trinda ikut tertawa.

Dan karena nggak fokus, tiba-tiba saja dia merasa jarak Radin dengannya jadi begitu dekat.

Trinda sampai menahan napas tanpa sadar.

... is he going to kiss her?

"Untuk yang baru ketemu dua kali, di Swillhouse dulu, dan malem ini, gue masuk ke lampu apa, Trin?"

"Lampu?" Trinda pusing.

Cowok itu makin dekat.

... but why?

Dan mungkin karena Trinda tidak menjawab, cowok itu jadi salah mengartikan gesturnya.

Dia memagut bibir Trinda, memberikan gelenyar aneh ke perut sang cewek.

Tangan Trinda yang memegang gelas dia ambil alih agar isinya tidak tumpah, sembari melumat lembut bibir yang sedang dia cium.

Trinda lemas.

Ciuman Radin terasa hangat, dan wangi yang menyeruak dari tubuhnya begitu melenakan indera. Tapi ... bukan ini yang Trinda mau.

Bukan Radin yang Trinda mau.

Susah payah cewek itu mengumpulkan energi, tapi tangan Radin yang kemudian merengkuh belakang punggungnya membuat usahanya berakhir sia-sia. Pelukan Radin terasa begitu hangat dan pas. Membuat semua yang berkecamuk di pikiran Trinda menguap tanpa sisa. Kosong.

Ingin rasanya Trinda memasrahkan dirinya di sana, menerima apa saja yang akan Radin berikan untuknya.

Tapi, kekosongan yang Trinda rasakan ini bukan kosong yang tenang.

Malah sebaliknya.

Trinda gelisah.

Ini bukan hal yang benar.

"Red!" Secepat kilat Trinda melepaskan diri dari ciuman Radin yang lembut dan memabukkan, sebelum dia jatuh makin dalam. "Red, Radin. Red."

"That bad?" Radin terkejut.

"Not the kiss." Trinda mundur sedikit sampai menabrak Winny karena posisi duduk Radin terlalu dekat dengannya. Napasnya kini tidak beraturan. Trinda kebingungan. "Semua yang baru ketemu aku dua kali, udah pasti masuk lampu merah. Please don't push the boundaries. I have my own speed."

"Ya Tuhan." Cowok itu batal tersinggung, ganti ketawa pelan. "Trinda, you're so cute."

"I am not."

Trinda sudah mau mengakhiri semua ini ketika Saga muncul dari tangga. Apa dia terbangun karena suara Trinda? Trinda bahkan tidak sadar volume obrolannya dengan Radin tadi terlampau keras atau tidak.

"Belum pada ngantuk?" Saga bertanya.

"Ini mau tidur." Trinda menjawab cepat, memberi kode tipis pada cowok itu untuk menyelamatkannya.

"Ya udah, bantu bangunin yang bisa dibangunin dulu. Biar gue sama ni kunyuk yang gotong sisanya."

Selesai membantu Saga dan Radin mengungsikan teman-teman mereka ke kamar masing-masing, Trinda berbaring sambil merenung di kasurnya.

Winny, yang tidur di sebelahnya, sudah hilang kesadaran sejak tadi, sama sekali nggak terganggu meski Trinda merubah posisi tiap beberapa menit sekali karena susah tidur.

Beginilah kerjaannya kalau lagi ngumpul bersama teman-teman.

Apakah ngumpul begini seru baginya?

Nggak juga.

Bertemu Winny dan yang lain cukup memenuhi kebutuhan Trinda untuk bersosialisasi dengan orang lain.

Meski dia menikmati waktunya sendirian di apartemen, Trinda jelas nggak mau berakhir mengenaskan. Dia masih butuh orang-orang mengetahui bahwa dia ada, bahwa dia hidup. Karenanya, hubungannya dan empat sahabatnya awet-awet saja, meski nggak seseru circle pertemanan orang-orang.

Zaman sekarang, nyari teman—yang nggak punya agenda terselubung—tuh susah.

Bukan cuma Trinda yang merasakan. Winny dan yang lain juga, karena kebetulan latar belakang sosial ekonomi mereka berlima mirip-mirip.

Coba kalau dia bukan anak bapaknya? Mana ada yang mau mendekati dan bergaul dengannya?

Tapi meski ada hal yang bikin relate, nggak berarti Trinda nggak bisa capek berurusan dengan mereka semua.

Ofc, she felt tired sometimes.

Tapi ya sudahlah. Masa dia mau nggak punya teman sama sekali?

Baru saja Trinda hendak mematikan lampu, pintu kamarnya terketuk, dan tak lama kemudian daun pintu itu mengayun terbuka.

"Gue gabung sini, ya." Michelle masuk tanpa menunggu sahutan, lalu menutup pintu kembali, dan menjatuhkan diri di antara Winny dan Trinda. "Gibran lagi kecapekan banget kayaknya, tumben ngorok kenceng, gue jadi nggak bisa tidur."

Trinda menoleh ke Michelle yang masuk kamarnya tanpa berpakaian, hanya mengenakan selimut sekenanya.

"Babe, lampu, please."

Trinda mendesah pelan, mengulurkan tangan ke saklar lampu di meja samping tempat tidur.

"Gimana temen-temen lo nggak makin jadi PK kalau lo sesantai ini, Cheeel???"

Itu kalimat yang ingin Trinda ucapkan ke Michelle, tapi tentu saja, Trinda terlalu cupu untuk menegur.

Paginya, Trinda memutuskan jadi lintah ke pasangan Winny-Theo demi menghindari Radin.

Mau gimana lagi? Trinda nggak punya nyali untuk menjelaskan bahwa dia nggak berniat ciuman dengan Radin tadi malam.


~


"Banyak amat hampersnya, Mbak Sosialita."

Trinda dikejutkan oleh suara Mbak Safitri, bosnya di tim marketing, yang juga baru tiba di kantor setelah balik dari ishoma, melihat meja pingpong di lantai dua kini sudah dipenuhi berbagai bungkusan entah apa isinya, oleh teman-teman Trinda sebagai ucapan ulang tahun. Trinda sengaja memberi alamat kantor ke mereka semua, soalnya kalau dikirim ke apart, takut nggak ada yang ngurus, mana kebanyakan isinya makanan yang cepat basi pula.

"Baguslah, di sini banyak yang bisa bantu unboxing." Mbak Safitri melanjutkan.

"Bantu ngabisin kaleee." Mas Iman mengoreksi.

"Jangan segamblang itu lah, plesetin dikit."

"Maaf ya, jadi bikin berantakan." Trinda agak nggak enak hati. Soalnya ternyata paket yang dia terima jumlahnya jauh lebih banyak dari yang dia perkirakan.

Perasaan, dia nggak punya teman, deh. Tapi bisa-bisanya pengirim hampers-hampers ini kepikiran mengirim untuknya?

"Dikirimin ginian tuh capek balikinnya gak sih?" Mbak Mita yang sejak tadi membantu Trinda membongkar bungkus paketnya nanya.

Trinda cuma ketawa parau.

"PR banget mesti nyatetin ultah orang-orang, nanyain alamatnya, mana anak seumuran lo gini pasti masih pindah-pindah terus kosnya."

"Lo warga mana sih??? Gak ngikut tren banget. Zaman sekarang kalau di hari spesial gak ngeposting hampers di Instastory, berarti lo 'nobody'." Mas Iman ngeledek.

"Taek."

Dua senior Trinda itu malah ribut sendiri.

"Btw, umur berapa sih, cantik?"

Mas Riyan nanya, tapi belum sempat Trinda menjawab, Mas Iman udah yang nyaut duluan. "Sembilan belas, tuh tulisan di kembang segede gaban, gak lihat???"

"Buset, anak-anak zaman sekarang masih muda-muda banget udah mau lulus kuliah aja. Umur lima udah masuk SD apa gimana???"

"Aksel, cuy, aksel, sekolahnya dulu. Gitu aja pake heran. Kampungan banget."

Lama-lama Trinda depresi berada di tengah-tengah pasukan demen teriak-teriak begini. "Aku juga sekolahnya di kampung, kali, Mas. Tapi alhamdulillah udah ada program akselnya."

"Kalau nggak aksel, susah ikut tren 1M umur dua lima soalnya."

Huuft, Trinda capek banget.

Kelar memotret hampers terakhir, dia segera cabut ke toilet untuk retouch muka karena habis ini harus presentasi. "Udah selesai kufoto semua, kalau mau ambil, ambil aja ya. Bagi-bagi sama yang lain."

Sorenya, saat hendak pulang, barulah dia melihat Mas Ismail yang baru saja tiba—hampir selalu begitu, bikin Trinda heran, ke mana saja bosnya itu tiap hari.

"Lo ultah, ya? Anak-anak lapor, kiriman hampers lo heboh banget. Karena gue nggak tau lo demennya apaan, ntar bilang aja pengen dikado apa."

Trinda cuma tersenyum kecut. Enggan ngomongin ultah dan sebangsanya.

"Mau pergi ama temen-temen? Atau sama Agus?"

"Enggak pergi sama siapa-siapa." Trinda lesu.

Mas Ismail kemudian mengajaknya duduk dulu karena Trinda tidak tampak buru-buru.

"Kenapa, kenapa? Cerita sama gue, muka lo nggak kayak orang lagi ulang tahun."

"Emang kalau lagi ulang tahun harus kelihatan berbunga-bunga?"

"Enggak juga."

Trinda tidak kunjung menyahut.

Cuma mengembuskan napas berat beberapa kali, seolah-olah hidupnya penuh masalah.

Ismail ingin menertawakan ABG itu, tapi sadar di umur yang sama, mungkin dia nggak kalah drama dari Trinda?

"Aku dapet banyak banget ucapan selamat, tapi kok malah merasa terbebani, ya? Nggak tau mau balesnya mulai dari mana." Cewek itu mendesah panjang. "Orang-orang ngirim gituan pasti berharap sesuatu dari aku, kan?"

Mas Ismail menaikan kedua bahu santai. "Nggak tahu. Gue bukan representasi dari orang-orang yang lo sebut."

Trinda berdecak.

"Elo kalau ngasih ucapan, pengen dibales juga?"

"Enggak lah, Mas."

"Ya udah, terus kenapa ribet?"

Trinda membisu.

"Tahun-tahun kemarin emang gak dapet juga?"

"Dapet. Tapi nggak sebanyak sekarang."

"Terus lo bales satu-satu?"

"Iya."

"Gantian gitu, pas mereka ultah?"

"Iya, terus aku bikin party juga."

"Tapi?"

"Tapi sekarang lagi males."

"Ya udah, nggak usah."

"Tapi Mas ...." Satu napas panjang dihembuskan lagi oleh Trinda.

"Apa?"

"Temen-temenku tuh rajin banget ngundang ke acara mereka. Rajin ngajak nongkrong, nraktir ke tempat-tempat kece. Masa aku nggak bales? Sungkan dong."

Gantian Ismail yang menarik napas panjang. "Mereka party, mereka nongkrong, ya itu cara mereka. Kalau cara lo beda, terus masalahnya di mana? Takut nggak punya temen? Baguslah, ketauan mana yang beneran mau jadi temen, mana yang enggak."

"Ck."

"Trinda, Trinda ...." Mail mau lanjut ngobrol serius juga males. Dia belum belajar parenting, bisa-bisa malah menyesatkan anak orang kalau diterusin. "Ya udah, ini lo mau ultah sendirian di apart, atau pergi nonton sama gue?"

"Mas ngajakin aku nonton?"

"Kagak. Gue emang mau nonton, tapi kalau lo mau ikut ya nggak pa-pa. Daripada overthinking di apart sendirian."

Tanpa mikir, Trinda langsung berdiri dari tempat duduknya. "Yuk."

"Nggak sekarang, woy. Gue mau meeting sebentar lagi." Mas Ismail menengok arloji di tangan. "Maksimal empat puluh menit lagi kelar, lah. Mau nunggu di sini apa mandi dulu? Bisa numpang mandi di tempat gue, lebih deket."

Akhirnya Trinda pilih opsi kedua, pinjam mobil dan kunci akses apartemen Mas Ismail untuk numpang mandi di sana.



... to be continued

Continue Reading

You'll Also Like

69.9K 5.7K 22
Saat selesai memberi makan seekor kucing dipinggir jalan,Gavin tertabrak motor sehingga para warga membawanya kerumah sakit. saat terbangun,dia dibua...
775K 73.8K 32
Menjadi gadis paling yang tidak menonjol adalah tujuan Andrea. Selama hidupnya, Ibunya tidak suka jika ia berdandan berlebihan memperlihatkan kemolek...
226K 22.8K 20
(Sequel of EPOCH) Hari itu menjadi sangat kaku, Ketika sepasang mata ini bertemu lagi denganmu.. Terpaku menatap senyuman yang tertuju padaku. Hai, A...
The Conqueror By Hai You

General Fiction

16.1K 1.7K 60
Tampan dan mapan. Dua kriteria itu pasti diinginkan para wanita, termasuk Rachel. Pernah dianggap rendah, membuatnya terpacu untuk memiliki keluarga...