JALAN PULANG

By cimut998

34.9K 1.8K 217

Setelah berada di desa Giung Agung, Ahmad merasa jika dirinya selalu berhalusinasi. Ia kerap melihat bayangan... More

Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Bab 33
Bab 34
Bab 35
Bab 36
Bab 37
Bab 38
Bab 39
Bab 40
Bab 41
Bab 42
Bab 43
Bab 44
Bab 45
Bab 46
Bab 47
Bab 48

Bab 8

756 42 3
By cimut998

"Wa'allaikumussalam," Ahmad menjawab salam dari Hawiyah dengan perasaan lega. Ternyata gadis itu bukan Hawiyah adiknya, melainkan orang lain yang kebetulan mempunyai nama yang sama.

"Ini anak saya, Ustaz. Namanya Hawiyah. Kalau saya, Hartini," Bu Hartini nama wanita itu saat memperkenalkan diri dan juga mengenalkan anak gadisnya.

"Senang bertemu dengan Bu Hartini, dan juga Dik Hawiyah. Nanti jangan lupa shalat berjemaah di mushola. Malam ini, hari pertama belajar mengaji. Persiapkan dirimu ya, Dik." Ucap Ahmad sambil tersenyum pada Hawiyah. Gadis kecil itu tersipu malu, kemudian menyembunyikan wajah dibalik punggung ibunya.

"Baik, Ustaz." Tukas Bu Hartini.

"Kalau begitu saya pamit Bu, assalamu'allaikum."

"Wa'allaikumussalam,"

Ahmad melanjutkan perjalanan setelah berpamitan dengan Bu Hartini. Setibanya di warung yang ditunjukkan oleh Bu Hartini, Ahmad segera membeli perlengkapan mandi yang ia butuhkan. Tak lupa ia juga membeli sebungkus kopi hitam beserta gula pasir untuk Pak Heru. Ahmad juga membelikan beberapa cemilan untuk Indah, anak Pak Heru.

"Maaf, anda ini siapa ya? Kok saya baru lihat," tanya Mbok Inah. Dahinya mengernyit, menampakkan kerutan yang lebar.

"Saya Ahmad, Mbok. Guru ngaji yang baru di sini," jawab Ahmad sembari menyodorkan uang kepada Mbok Inah.

"Loh, Ustaz baru ya, maaf Ustaz simbok tidak tahu. Maklum, simbok jarang ke mushola jadi tidak tahu kalau ada Ustaz baru, setahu saya dulu yang mengajar itu si ..." Mbok Inah segera menutup mulut. Tubuhnya bergemetar. Dirinya tampak gugup.

"Siapa Mbok?" Tanya Ahmad penasaran.

"Aisah, sebelum dia meninggal." Bisik Mbok Inah.

Ahmad meneguk saliva. Nama itu tak asing lagi baginya. Aisah adalah teman sebayanya dulu, waktu masih di desa. Aisah juga teman sekelasnya saat sekolah. Aisah mempunyai wajah yang cantik. Kebaikan hatinya sering kali membuat Ahmad kagum, dan menyimpan rasa. Rasa sekadar mengagumi, karena usia mereka masih kecil.

"Aisah? Siapa Aisah, Mbok?" Ahmad berpura-pura tak mengenal Aisah. Ia harus mengorek info lebih dalam dari Mbok Inah. Siapa tahu, Aisah yang dimaksud Mbok Inah bukan Aisah teman masa kecilnya.

Mbok Inah melirik sekeliling, setelah mengamati keadaan, Mbok Inah bergegas mengajak Ahmad masuk ke dalam warung.

"Aisah adalah seorang gadis cantik yang mengajar ngaji dulu. Dia juga pendatang seperti kamu. Satu tahun kemudian, Aisah ditemukan tewas di rumahnya dalam keadaan gantung diri. Tapi saya yakin, kalau Aisah itu sebenarnya dibunuh bukan bunuh diri." Ucap Mbok Inah secara hati-hati. Kedua matanya masih menelisik keadaan sekitar, takut jika ada orang yang mendengar.

"Kenapa dibunuh? Apa salah Aisah, Mbok?" Ahmad bertanya lagi, ia dibuat penasaran dengan cerita Mbok Inah.

"Setahu saya, Aisah dibunuh karena mengetahui rahasia salah satu orang terpandang di desa ini. Namun, dari keterangan polisi, Aisah dinyatakan meninggal karena depresi." Ujar Mbok Inah.

"Depresi?" Lirih Ahamd tak percaya.

"Mbok! Mbok Inah! Beli gula Mbok!" Teriak seseorang yang ingin membeli di warung Mbok Inah.

"Ya, tunggu sebentar." Balas Mbok Inah segera beranjak keluar. Mbok Inah menyuruh Ahmad untuk tetap bersembunyi di dapur. Ahmad pun setuju. Meskipun dirinya tengah dilanda kebingungan.

"Tumben lama, Mbok. Biasanya paling cepat kalau ada pembeli," sindir Pak Usman, yang hendak membeli gula.

"Ya, Pak Us. Simbok tadi di dapur, benerin gas dulu. Gas simbok habis," Mbok Inah berbohong.

"Saya beli gula Mbok, satu kilo. Ini uangnya," Pak Usman menyodorkan selembar uang sepuluh ribuan dua kepada Mbok Inah.

Mbok Inah menerima uang Pak Usman, dan segera memberi kembalian. Setelah, kepergian Pak Usman, Mbok Inah kembali menemui Ahmad di dapur.

"Sekarang Ustaz kembali saja ke rumah. Lain kali ke sini lagi, akan saya ceritakan semua. Tolong rahasiakan ini semua. Karena, para warga lain menutupi kasus kematian Aisah. Cepatlah pulang! Sebelum ada yang curiga!" Mbok Inah secara sengaja mengusir Ahmad dari warungnya. Ia pun segera menutup warung tanpa memberi penjelasan apa-apa ke pada Ahmad. Tentu saja pemuda itu bingung dengan sikap Mbok Inah yang mendadak berubah.

Ahmad bergegas kembali ke rumah Pak Heru dengan membawa segala macam pertanyaan. Mengapa tidak ada yang mengatakan padanya, tentang Aisah. Apa benar kata Mbok Inah jika para warga sengaja menyembunyikannya? Ahmad berjalan dengan setengah melamun. Tak sadar jika dari kejauhan, ada sepasang mata yang tengah mengawasinya.

***

"Assalamu'allaikum,"

"Wa'allaikumussalam,"

Kiai Sobirin menyambut kedatangan Ilham dengan suka cita. Lantas menyuruh Ilham untuk segera istirahat. Ilham mengangguk cepat, kemudian berjalan menuju asrama putra.

"Ilham!" Panggil Oliv, santri wati yang sudah lama mengenal Ilham dan juga Ahmad.

"Ada apa, Liv?" Tanya Ilham.

"Bagaimana keadaan Ahmad, dia baik-baik saja kan?" Bukannya menjawab pertanyaan Ilham, Oliv justru memberikan pertanyaan ke pemuda berparas tampan itu.

"Baik-baik saja. Aku mau ke kamar dulu," jawab Ilham dengan nada ketus.

"Tunggu dulu," Oliv menarik lengan baju Ilham.

"Lepas Liv, bukan mahram!" Tegas Ilham.

"Maaf, habisnya kamu diajak bicara malah pergi. Kiai Sobirin menyuruh Ahmad mengajar di mana? Kamu pasti tahu, beritahu aku dong," paksa Oliv.

"Kamu tanya saja sama Pak Kiai, aku malas bicara dengan kamu. Selalu saja Ahmad yang dicari, apa tidak ada yang lain," gerutu Ilham sembari terus berjalan menjauh dari Oliv.

"Kamu kan tahu, Ham. Aku suka dengan Ahmad. Masa kamu tidak mau membantuku, tega sekali kamu." Balas Oliv dengan nada tinggi.

Ilham memejamkan mata sejenak. Mengambil napas lalu mengembusnya pelan.

"Apa yang akan kamu berikan padaku, jika aku berhasil membantumu dekat dengan Ahmad?" Tanya Ilham. Kedua matanya menatap tajam ke arah Oliv. Gadis itu menjadi ketakutan.

"A-apa pun. Aku akan berikan apa pun untukmu, selagi aku mampu," jawab Oliv. Ia tengah menggigit bibir. Sebenarnya ia pun tak tahu harus menjawab apa. Dengan spontan kalimat itu keluar dari mulutnya.

"Kalau aku ingin tubuhmu, apa kau juga akan memberikannya?" Goda Ilham.

Oliv terbeliak mendengar ucapan Ilham. Ia tak menyangka jika santri alim itu berani meminta sesuatu yang menurutnya terlarang untuk diminta.

"Kurang ajar sekali kamu, Ham. Aku tidak akan memberikan tubuhku padamu. Jangan harap!" Tukas Oliv.

Bibir Ilham menyunggingkan senyum ke atas. "Kalau begitu, jangan minta aku tuk membantumu. Aku pun tak sudi membantumu dekat dengan Ahmad. Kau terlalu murah untuk sahabatku yang mahal!"

"Apa kau bilang!" Seru Oliv dengan kedua mata melotot.

"Kalau kau memang suka dengan Ahmad, bukan seperti ini caranya, Liv. Kau tahu, aku memang seorang santri tapi aku tidak bisa membohongi diriku sendiri kalau aku juga mempunyai keinginan untuk memanfaatkanmu. Jadi, berterima kasihlah padaku, karena aku belum sampai pada tahap itu!" Tandas Ilham. Ia berjalan meninggalkan Oliv sendirian dengan beribu macam umpatan.

"Awas kamu, Ham." Ucap Oliv sembari mengepalkan tangan.

BRAK!

Ilham membanting pintu dengan keras setelah tiba di kamarnya.

"Sial! Kenapa harus aku, Mad! Kenapa harus aku yang selalu menjadi bayanganmu! Hah!" Ilham menendang kursi hingga terpental mengenai dinding.

"Bunuh Ahmad ... bunuh Ahmad ..." tiba-tiba saja Ilham mendengar bisikan. Ilham mengedarkan pandangan, kosong. Tidak ada siapa pun di kamar. Hanya pantulan dirinya di cermin yang ia lihat.

"Bunuh Ahmad! Singkirkan dia!" Ucap bayangan Ilham dari pantulan cermin.

Ilham menggeleng. "Tidak! Ahmad sahabatku, aku tidak akan mencelakainya!"

"Bunuh Ahmad! Bunuh Ahmad!" Bayangannya terus mengulangi kata yang sama.

"BERHENTI!" pekik Ilham.

"Ha ha ha! Kau lemah Ilham! Lemah!"

Suara pantulan dirinya di cermin kian menggema. Ilham terpaksa menutupi kedua telinganya. Ia tak mau mendengar hasutan setan.

"Lemah kau Ilham! Lemah! Apa kau tidak tahu, kalau Ahmad juga menyukai gadis itu,"

"APA!" Seru Ilham perlahan melepas kedua tangannya dari telinga.

"Ya, Ahmad menyukai Adiba. Dia hanya berpura-pura mendukungmu. Padahal dia ingin memilikinya sendiri,"

Ilham melihat dengan seksama, bayangan dirinya di dalam cermin. Lalu tiba-tiba saja bayangannya memudar berganti dengan dua orang yang dikenalnya. Ahmad dan Adiba saling bergandengan dan berpelukan.


PRANG!

Ilham melempar kursi ke arah cermin. Serpihan kaca berserakan di mana-mana. Hampir saja mengenai wajahnya.

"Jangan bercanda kamu, Mad! Aku benci sama kamu! Benci!" Umpat Ilham geram.

"Lanjutkan! Kau berhak bahagia!" Bisik suara yang sedari tadi mengganggu pikiran Ilham.

"HENTIKAN! PERGI! PERGI!" Teriak Ilham. Tiba-tiba saja Ilham merasa kesakitan. Telinganya mengeluarkan darah. Ilham menyeka tetesan darah yang mengalir dari telinganya.

"Apa ini!" Ilham memandang tak percaya. Kedua tangannya berlumuran darah. Sekian detik kemudian, ia merasa telinganya sangat gatal. Ilham mencoba mengorek telinga dengan jari kelingking. Beberapa saat kemudian, ia merasa ada yang bergerak di dalam telinganya. Ilham berusaha menarik sesuatu yang sedari tadi mengganggu indra pendengarannya.

"Aarrgh!" Pekik Ilham merasa kesakitan saat sesuatu yang bergerak tadi berhasil di keluarkan.

"Astaghfirullahaladzim!" Ilham berteriak ketakutan saat melihat seekor lintah yang berlumur darah di tangannya. Ilham segera melemparnya ke lantai. Lintah itu bergerak, menggeliat. Ilham sangat syok, kemudian tubuhnya terhuyung ke lantai, tak sadarkan diri. Darah yang begitu banyak masih mengalir dari lubang telinganya.

"Dasar manusia munafik!" Kata seseorang di suatu tempat.







Continue Reading

You'll Also Like

4.1K 335 21
Sisi kelam di sebuah Desa mistis, yang di juluki Desa Mayat. Karena kematian secara mendadak dan beruntun, mengharuskan para warga setempat mencari t...
53.3K 4.5K 19
Safira dan Kaivan baru saja pindah ke sebuah rumah dinas di tengah perkebunan sawit. Rumah yang berdiri sendiri, tanpa ada satupun tetangga. Mereka t...
7.3K 693 18
Berawal dari sebuah ide sederhana, hingga membuat mereka tersiksa. Berharap kalau liburannya akan baik-baik saja, tetapi yang terjadi adalah yang seb...
209K 22.6K 24
"Semenjak nenek meninggal, suasana rumah jadi menyeramkan. Nenek suka datang di waktu malam, mengetuk pintu dan jendela. Kadang juga bernyanyi dan me...