JALAN PULANG

By cimut998

35.3K 1.8K 217

Setelah berada di desa Giung Agung, Ahmad merasa jika dirinya selalu berhalusinasi. Ia kerap melihat bayangan... More

Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Bab 33
Bab 34
Bab 35
Bab 36
Bab 37
Bab 38
Bab 39
Bab 40
Bab 41
Bab 42
Bab 43
Bab 44
Bab 45
Bab 46
Bab 47
Bab 48

Bab 1

3.5K 90 1
By cimut998

Tahun 1985.

"Malam ini, kita pergi ke rumah Parta. Saya yakin, dukun tua itu tidak berada di rumahnya. Apalagi, nanti malam adalah malam Jum'at Kliwon. Dia pasti akan bersemedi di atas gunung. Ini saatnya kita membalas dendam," ucap seorang pria bertubuh kurus, berkumis tebal yang mengenakan jaket kulit berwarna hitam.

"Apa sebaiknya kita serang saja si Parta. Kita bisa dengan mudah membunuhnya saat dukun itu sedang bersemedi. Setahu saya, tubuh orang yang bersemedi itu, hanya menyisakan raganya saja, sementara ruhnya entah pergi ke mana," Ipul menyela pembicaraan Asep, nama pria yang memberi perintah pada sejumlah warga yang diduga sebagai anak buahnya.

"Kamu mau cepat mati, Pul! Menyerang langsung belum tentu bisa membunuh. Kau lupa kalau Parta itu dukun sakti, Bocah gemblung!" Asep memukul kepala pemuda berusia 25 tahun itu.

"Sakit Kang," rintih Ipul.

"Kalau kita tidak membunuh Parta, lalu siapa yang akan kita bunuh, Pak Lek?" Tanya Wawan, keponakan Asep.

Awalnya pria berusia 33 tahun itu tidak ingin ikut campur masalah pribadi antara pamannya dengan Parta, namun setelah kematian istrinya yang dianggap tidak wajar, akhirnya Wawan bertekad membantu Asep untuk membalaskan dendamnya. Dugaan istri Wawan terkena santet, cukup mengejutkan beberapa warga dan sanak saudara. Terlihat dengan bukti, seluruh tubuh istri Wawan yang membiru dengan perut membuncit disertai luka robek yang menganga, ditambah beberapa kelabang yang keluar masuk perut membuat mereka yakin, jika istri Wawan telah disantet.

"Kita akan menyendera istri Parta. Perempuan muda itu pasti sendirian di rumah. Kita bisa leluasa memaksa Parta untuk menyerah." Jawab Asep penuh yakin.

Ipul merenung sesaat. Ia memutar kembali memori masa lalu. Sebenarnya, Ipul sudah lama menyukai Lastri, istri Parta. Namun, cintanya ditolak lantaran pemuda itu masih menganggur. Ipul hanya sesekali membantu bapaknya di sawah. Ibunya hanya penjual kerupuk keliling. Niatnya yang ingin merantau ke kota, ditunda karena sang ibu sering sakit-sakitan. Rasa kecewa terhadap Lastri, membuat Ipul menyimpan dendam pada perempuan cantik itu.

Lastri adalah anak Kepala Desa. Sudah banyak pria yang mencoba melamarnya, namun Lastri justru memilih Parta untuk menjadi suaminya. Memang, Parta di kenal sebagai dukun tersohor dan terkaya saat ini. Ia tak segan memberikan rumah dan sawah pada Lastri sebagai mahar pernikahanya. Parta sendiri sudah lama menduda, semenjak kematian sang istri, Parta lebih memilih memperdalam ilmunya dan tinggal di gunung. Dari pernikahan yang pertama, Parta tidak memiliki seorang anak. Ia berharap dengan pernikahannya kali ini, ia bisa mempunyai keturunan yang kelak akan mewarisi segala ilmunya.

Bisikan setan seakan terus terngiang di telinga Ipul. Tiba-tiba saja ia tersenyum menyeringai mendengar rencana Asep.

"Saya setuju, Kang. Kita bisa jadikan Lastri sebagai umpan untuk menjebak Parta. Saat Parta mulai lengah, kita bisa langsung membunuhnya." Pemuda itu tampak menggebu-gebu.

Setelah mendapat kesepakatan, Asep menyuruh para warga yang lain pulang ke rumah dan beraktifitas seperti biasa.

Di lain tempat, Parta sedang asik bergumul dengan Lastri. Usianya memang tak lagi muda, namun secara fisik, Parta masih terlihat bugar. Bahkan ia terlihat menawan dengan beberapa otot yang menonjol di bagian lengan. Itu karena Parta sering berolah raga dan juga bersemedi. Pantas saja Lastri begitu tertarik ke pada pria tua itu.

"Beri aku anak, Lastri. Aku akan memanjakanmu lebih dari ini, apa pun yang kamu minta pasti akan kupenuhi. Uang, emas, apa pun itu." Bisik Parta.

Perempuan muda itu merasa geli, saat kumis tebal sang suami mulai menggelitik daun telinganya.

"Aku pastikan kamu akan mendapat seorang anak, Mas. Ini waktu yang tepat untuk melakukannya. Mas, bisa ... emh," Lastri menggantungkan kalimatnya.

"Layani aku, Lastri."

Entah kenapa, Lastri begitu bersemangat saat sang suami minta dilayani. Tanpa disadari, seseorang tengah mengintip aksi mereka melalui celah lubang kayu. Seseorang itu berusaha menahan amarahnya, tangannya mengepal erat, napasnya memburu. Emosi yang ia tahan, seakan ingin memberontak, hendak meledak.

"Kau tunggu saja, Parta!"

***

Tahun 2000.

Kerumunan para santriwati di pesantren Al-Jabar milik Kiai Sobirin tengah berteriak histeris di aula. Mereka bukan sedang kesurupan, melainkan tengah terpesona melihat ketampanan santri muda bernama Ahmad Kairi. Santri putra itu ditunjuk secara langsung oleh Kiai Sobirin untuk menjadi pengisi acara pengajian rutin tiap tahun. Ahmad hanya mengembangkan senyuman untuk membalas sambutan para santri putra mau pun putri.

Namun, ditengah riuhnya teriakan yang menggema, ada satu gadis yang tampak biasa saja saat melihat sang santri. Gadis itu bernama Adiba Kamilah Kanza. Gadis belia yang sekarang menginjak usia 15 tahun itu, hanya memandang sesaat ke arah panggung, lantas kembali menunduk, membaca sebuah buku. Hal itu sedikit menarik perhatian Ahmad. Ia sesekali melirik tempat Adiba duduk. Ahmad kesulitan melihat paras Adiba yang sering kali tertutupi oleh beberapa santri putri yang duduk di depannya. Ahmad menghela napas panjang, kemudian ia kembali melanjutkan tugasnya.

"Terima kasih, Mad. Berkat kerja kerasmu, acara yang diselenggarakan menjadi sangat meriah," ucap Kiai Sobirin sembari menjabat tangan Ahmad.

"Sama-sama Pak Kiai. Saya juga berterima kasih atas kepercayaannya. Alhamdulillah, acara berjalan dengan lancar," sambut Ahmad dengan lembut.

"Sebenarnya, ada satu lagi yang ingin saya katakan padamu, Mad. Tapi ... rasanya saat ini bukan waktu yang tepat." Tangan Kiai Sobirin sedikit bergemetar, Ahmad bisa melihat dengan jelas bagaimana gugupnya Kiai kondang itu.

"Tidak apa, Pak Kiai. Saya siap mendengarkan,"

Kiai Sobirin memandang lekat Ahmad. Santri muda itu sedikit ketakutan, melihat tatapan tajam sang Kiai.

"Selama tiga minggu ke depan, para santri akan libur tahun ajaran baru. Para santri pasti memilih untuk pulang ke desa masing-masing. Namun, ada satu santri putri yang membuat saya khawatir, semenjak kedatangannya di pesantren, saya merasa jika ada sesuatu yang gelap menyelimuti dirinya. Terkadang, aura itu memutih lalu menjadi kuning ke emasan, terkadang pula berubah menjadi hitam pekat." Kiai Sobirin mencoba mengatur pernapasannya. Di usianya yang sepuh, Kiai Sobirin memang sudah sering sakit-sakitan. Tubuhnya yang renta tak sanggup lagi menopang kedua kakinya. Dengan bantuan tongkat, Kiai Sobirin berjalan mendekati kursi, dan duduk secara perlahan.

"Apa maksud Pak Kiai?" Tanya Ahmad. Pemuda itu tentu saja menjadi penasaran.

"Namanya Adiba Kalimah Kanza. Dia berasal dari desa Giung Agung. Ibunya yang mengantarkan gadis itu ke sini. Saat itu, usianya baru tujuh tahun. Adiba gadis yang sangat sopan, supel dan mudah berbaur dengan santri putri yang lain. Namun, saat usianya menginjak empat belas tahun, salah satu pengurus pesantren pernah melihatnya mengendalikan sebuah buku tanpa menyentuhnya. Pengurus tersebut merasa ketakutan. Saat hendak melaporkannya ke ustazah penjaga asrama, tiba-tiba saja tubuh pengurus tersebut mengalami kejang, lalu ..." Kiai Sobirin menjeda kalimatnya. Ia terbatuk-batuk, Ahmad segera mengambil segelas air dan memberikannya pada Kiai Sobirin. Lelaki sepuh itu meneguknya hingga tandas.

"Pelan-pelan saja ceritanya, Pak Kiai." Pinta Ahmad. Pemuda itu tidak ingin jika sang Kiai justru menjadi sakit, akibat terlalu memaksakan diri.

"Saya baik-baik saja, Mad. Saya hanya batuk sedikit," Kiai Sobirin menyeka sisa air di ujung bibir. "Setelah saya selidiki, ternyata Adiba adalah anak Suparta. Saya minta sama kamu, untuk menjaganya. Saya sudah menganggap Adiba seperti putri saya sendiri. Saya takut, jika saya sudah tiada lagi, Parta akan menjerumuskannya ke dalam kegelapan." Imbuh Kiai Sobirin, kedua matanya tampak berlinang. Pria sepuh itu tak lagi memandang ke arah Ahmad. Kiai Sobirin justru memandang langit-langit ruangannya. Ada sesuatu yang berbeda dari tatapannya. Namun, Ahmad tak bisa mengartikan tatapan tersebut.

Ahmad dibuat bingung dengan permintaan Kiai Sobirin. Dia tidak tahu menahu soal siapa gadis yang dimaksud oleh sang Kiai.

"Suparta? Siapa dia? Kenapa Kiai Sobirin begitu takut padanya. Perasaan tidak ada orang yang bernama Suparta di Giung Agung. Apakah dia seorang pendatang?" Gumam Ahmad dalam hati.

Setelah melewati perdebatan yang panjang, akhirnya Ahmad terpaksa menerima permintaan Kiai Sobirin. Kiai Sobirin meminta Ahmad untuk mengantar Adiba sampai ke rumah. Kebetulan juga, Ahmad dan Adiba tinggal di desa yang sama. Dan, saat ini Ketua RT mereka sedang mencari seorang guru untuk mengajar ngaji di Mushola.

Kiai Sobirin mengusulkan Ahmad untuk menjadi guru di sana. Pak RT pun setuju. Kiai Sobirin meminta Ahmad untuk merahasiakan asal usulnya kepada warga di sana. Ahmad diminta untuk mengaku sebagai keponakan Kiai Sobirin. Awalnya Ahmad menolak, namun Kiai Sobirin terus mendesaknya. Dengan terpaksa Ahmad menuruti permintaan sang kiai. Pasti ada alasan tertentu, yang mungkin belum bisa dijelaskan untuk saat ini. Tapi yang pasti, tujuan sang kiai semata-mata untuk melindunginya.

Hari yang ditunggu pun tiba. Ahmad bersama satu santri, bernama Ilham tengah berada di perjalanan menuju desa Giung Agung. Tak lupa jua, Adiba pun ikut serta. Kiai Sobirin sendiri yang meminta Adiba untuk ikut dengan Ahmad dan Ilham. Meskipun merasa sungkan, namun Adiba tak bisa menolak. Perjalanan dari pondok ke rumah Adiba memakan waktu yang cukup lama dan juga biaya yang mahal. Adiba harus tiga kali ganti bus untuk sampai di sana. Beruntung baginya, sang kiai memberinya tumpangan gratis. Meskipun harus semobil dengan Ahmad dan juga Ilham.

Sesekali Adiba melirik ke arah Ahmad. Ia tak bisa menyembunyikan rasa gugupnya. Terlihat jelas dengan ia meremas jemarinya berulang kali. Begitu pula dengan Ahmad. Pemuda itu pun tak kalah gugup, saat mengetahui Adiba adalah gadis yang menarik perhatiannya waktu itu. Dari sekian banyak santri putri, hanya Adiba yang terlihat menonjol. Adiba menjadi satu-satunya santri putri yang memakai cadar. Pakaian yang ia kenakan pun lebih cenderung berwarna hitam. Sesekali ia terlihat memakai warna lain, ketika sedang belajar di kelas. Namun, keseharian Adiba selalu memakai pakaian berwarna hitam.

Dari dulu sampai sekarang, tidak ada satu pun santri putri yang melihat wajah Adiba. Adiba selalu memakai cadar, meskipun dalam kondisi tidur. Bahkan ia juga memakai cadar saat hendak mandi. Banyak santri putri dan putra yang penasaran, bagaimana wajah gadis itu. Ada yang berasumsi, jika Adiba memiliki paras yang cantik, kalau dilihat dari kedua bola mata kecokelatan dan bulu matanya yang lentik.

Meskipun Adiba duduk di kursi belakang, nyatanya pesona gadis itu mampu membuat tubuh Ahmad sedikit bergemetar. Keringat di dahinya mengucur deras. Pemuda itu menyekanya berulang kali.

"Tolong jaga Adiba, saya percaya sama kamu."

Ahmad tersentak, saat ingat dengan kata-kata Kiai Sobirin. Cukup besar tanggung jawab yang diberikan oleh Kiai Sobirin padanya. Terlebih, Adiba bukan kerabatnya. Ia pasti merasa kesulitan untuk mendekati gadis tersebut. Belum lagi, nanti jika sudah berada di desa. Ahmad bahkan belum tahu, bagaimana kondisi desa Giung Agung sekarang. Bagaimana dengan orang-orang di sana. Sudah lama ia tak pulang. Bahkan tidak ada rencana ingin pulang, namun ternyata takdir berkata lain. Hari ini, ia kembali pulang ke kampung halaman.

"Berapa meter lagi, Ba?" Tanya Ahmad ketika sudah sampai pada gapura jalan masuk menuju ke desa Giung Agung.

"Sekitar 200 meter lagi, Mas. Nanti ada persimpangan jalan, belok kiri, lurus saja ikuti jalan. Nanti juga sampai," jawab Adiba.

Ahmad tercengang mendengar suara Adiba yang begitu merdu. Tanpa disadari santri muda itu tengah membayangkan bagaimana wajah Adiba. Namun, segera ia menepis pikiran buruknya.

"Astaghfirullah, apa yang aku lakukan," Ahmad mengusap wajahnya yang basah oleh keringat. Ia juga membenarkan letak pecinya yang tadi sempat miring akibat tersenggol jarinya sendiri.

Sementara Ilham, sang supir sedang berusaha menahan tawanya. Bibir pemuda itu membuka menutup sendiri, saat melihat gerak gerik sahabatnya yang salah tingkah.

"Sepertinya, Ahmad menyukai gadis ini." Gumam Ilham dalam hati.

"ILHAM!"

Ilham terkejut mendengar teriakan Ahmad, ia segera menginjak pedal rem, mobil terhenti secara mendadak hingga ke empat rodanya membunyikan suara yang nyaring.

"Astaghfirullahaladzim," Kepala Ilham hampir saja mengenai setang kemudi. Untungnya pemuda itu dengan cekatan mampu menguasai diri.

"Hati-hati, Ham. Hampir saja kamu tadi menabrak orang," ucap Ahmad.

"Maaf, Mad. Aku tidak fokus tadi," Ilham segera meminta maaf, seraya menundukkan kepala.

"Kamu tidak apa-apa, Ba---

Kedua mata Ahmad terbelalak lebar ketika melihat Adiba tidak lagi berada di kursi belakang. Ahmad mengedarkan pandangan, dicarinya gadis belia itu. Sampai akhirnya, ekor mata Ahmad tertuju pada semak belukar yang tumbuh di tepi jalan. Ia seperti melihat bayangan melintas di sana. Ahmad bergegas turun dari mobil, berjalan menuju semak, tanpa menghiraukan Ilham yang sedari tadi berteriak memanggil namanya.

"Ba, Adiba ..."

Ahmad mencoba memanggil Adiba dengan lirih. Kakinya terus melangkah maju, menerobos duri pada tumbuhan liar yang akhirnya menempel di sarung Ahmad.

Hening, tidak ada sahutan dari siapa pun.

"Adiba!" Ahmad memanggil lagi. Namun hasilnya tetap sama, tidak ada jawaban.

"Ahmad!" Ilham menarik tangan Ahmad, sedikit menyeretnya kembali ke jalanan. Tentu saja Ahmad terkejut, dengan sikap Ilham.

"Kamu mau ke mana, Mad? Lihat, di sana itu jurang, kalau aku tidak menarik tanganmu, bisa jadi kamu akan terjatuh nanti," umpat Ilham. Pemuda yang seumuran dengan Ahmad itu tampak begitu khawatir.

"Jurang?" Ahmad melongo dengan mulut sedikit terbuka saat mendengar ucapan Ilham.

"Ya, itu jurang. Lihatlah!" Telunjuk Ilham bergerak, menunjuk ke arah tempat Ahmad berdiri sebelumnya.

Pemuda itu tercekat, ketika melihat jurang yang dimaksud Ilham. Jurang itu terlihat curam, dan terjal. Andai saja Ilham tidak menolongnya, sudah dipastikan Ahmad akan terjatuh terperosok ke dalamnya.

"Kamu cari apa to, Mad? Kok bisa sampai sana," tanya Ilham penasaran.

"Cari Adiba," jawab Ahmad.

"Astaghfirullah, dari tadi Adiba sama kita loh Mad, itu dia di sana," Ilham berganti menunjuk ke arah mobil. Ahmad semakin terkejut, melihat Adiba berdiri di samping mobil. Padahal ia yakin, sebelumnya Adiba tidak berada di sana tadi.

"Istighfar, Mad. Istighfar," Ilham menepuk pundak Ahmad.

"Astaghfirullahaladzim,"

Continue Reading

You'll Also Like

11.2K 1K 23
Banyak kejadian horor yang Yuni alami sejak bekerja di rumah sakit itu. Situasi kian mencekam dengan kematian orang-orang yang ditandai.
37.5K 3.1K 49
Kumpulan kisah horor dan misteri yang dialami oleh para narasumber di sebuah wilayah yang dipercaya sebagai sarangnya para dedhemit. Cerita ini sebel...
5.9K 434 9
Mari menguak sisi kelam dari Judul pertama THE DEVIL OF MOM yang sudah selesai. Ada sisi ganjil dari judul sebelumnya yang belum terungkap secara jel...
317K 27.8K 28
Warga sekitar menyebutnya Rumah Dukun. Rumah yang pernah ditinggali oleh Dukun terkenal desa ini. Rumah terkutuk yang kini aku tinggali.