Aksara Senada

By ndaquilla

1.9M 248K 13.4K

Mereka pernah bersama. Membangun rumah tangga berdua, sebelum kemudian berempat dengan anak-anaknya. Bahagia... More

P R O L O G
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Empat
Dua Puluh Lima
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan
Dua Pulun Sembilan
Tiga Puluh
Tiga Puluh Satu
Tiga Puluh Dua
Tiga Puluh Tiga
Tiga Puluh Empat
Tiga Puluh Lima
Tiga Puluh Enam
Tiga Puluh Tujuh
Tiga Puluh Delapan
Tiga Puluh Sembilan
Empat Puluh
Empat Puluh Dua
Empat Puluh Tiga
Empat Puluh Empat

Empat Puluh Satu

35.1K 5.5K 287
By ndaquilla

Yuk, mari ketemu sama Pak Duda yg dikelilingi janda-janda akibat ulahnya wkwkwk

Sejak pertama kali mengetahui bahwa Aksa adalah anak dari Yashinta Gusta Hamdzah, Nada tahu betul, hidup laki-laki itu pasti dikelilingi oleh orang-orang penting di sekitarnya. Memiliki ayah seorang anggota dewan, dan seorang ibu yang memiliki yayasan penting dalam melindungi hak-hak perempuan. Aksa jelas bukanlah teman sekelas yang bisa didekati. Latar belakang yang dimiliki laki-laki itu sudah luar biasa.

Namun, siapa yang akan menyangka, justru Aksa lah yang terus menerus mengajaknya berinteraksi. Dari sekadar bertanya jadwal dosen atau mata kuliah. Hingga basa-basi yang sebenarnya teramat basi waktu itu. Aksa terus berada di sekitarnya.

Dan hari ini, realita kembali menghampiri.

Dunia Aksa dan semesta mungil milik Nada, benar-benar berbeda.

Aksa dikenali banyak menteri dan petinggi negeri ini.

Berbekal latar belakang sebagai anak dari salah satu petinggi partai, juga pernah menjadi menantu salah seorang menteri, Aksa tampak cemerlang walau hanya dalam balutan t-shirt putih dan celana jeans biru gelap. Di acara yang seharusnya menampilkan para tamu berbalut busana muslim, atau paling tidak rapi, mereka berdua memperlihatkan kesan santai yang salah tempat.

Tetapi Aksa tak memiliki kadar malu sedikit pun. Buktinya, laki-laki itu berjalan penuh percaya diri sembari terus menggenggam tangan Nada. Bahkan, saat akhirnya Aksa mengajaknya bertemu dengan Rangkuti Malik—si pemilik acara juga mantan mertuanya—laki-laki tersebut tampak begitu santai. Namun saat berbicara dengan si pemilik acara, tak ada kesan ramah dari nada bicaranya. Membuat Nada terus bertanya-tanya. Sebenarnya, ada apa di antara mereka?

"Anak-anak nggak perlu di jemput, Mas," Nada akhirnya mulai membuka suara setelah sedari tadi ia memilih diam. "Kita perlu bicara," wajah muramnya yang menatap jalanan, kini ia alihkan pada pria yang tengah melajukan kemudi di sebelahnya. "Aku perlu tahu, apa yang sebenarnya terjadi dulu," ujarnya mantap. Menilik betapa kerasnya ekspresi pria itu ketika berhadapan dengan Anyelir juga Rangkuti Malik, Nada yakin mereka sedang bersitegang. "Apa yang terjadi di masa lalu, sampai-sampai kamu harus ngorbanin aku dan anak-anak? Apa yang sebenarnya kalian lakukan dengan hidup kami?" sambil menutup rapat bibirnya demi menekan sesak, tak lupa ia erat kedua tangan yang berada di pangkuan. "Aku harus tahu, Mas. Karena ini juga menyangkut hidupku sama anak-anak."

"Kalau yang kamu khawatirkan itu Anyelir, aku berani bersumpah, kalau dia nggak akan pernah lagi gangguin anak-anak," sahut Aksa sambil membagi konsentrasi menyetirnya.

"Aku nggak penasaran sama masa depan yang kelak bakal kita jalani, Mas. Yang aku tanyakan itu, masa lalu yang kayaknya sengaja kamu tutupi dari aku."

Lebih baik bagi Nada, menerima kenyataan bila Aksa benar-benar meninggalkannya karena pria itu berselingkuh. Atau paling tidak, biarkan ia mendengar bahwa pria tersebut tak lagi menaruh cinta untuknya. Lalu menemukan orang lain yang membuatnya merasa hidup. Demi Tuhan, Nada tidak masalah bila itulah alasan yang sesungguhnya.

"Fakta mengenai Adiva yang ternyata bukan anak kamu aja, masih jadi tanda tanya buat aku, Mas. Dan aku yakin, masih banyak hal yang kalian sembunyikan, bukan?"

Sebab sejak pertama kali Aksa mengatakan ingin menceraikannya, yang Nada dengar dari bibir pria tersebut adalah bahwa semua itu dilakukan untuk kebaikannya dan juga anak-anak. Aksa tidak pernah menjelaskan alasan yang sebenarnya. Dan sekarang, Nada ingin mendengar semua.

"Sebenarnya, ada apa sih, Mas?"

Pertemuannya dengan Anyelir Pratista tadi, begitu membekas. Tatap kebencian yang dilayangkan wanita itu untuknya jelas-jelas tak beralasan. Bila memang harus ada yang dibenci di sini, tentulah Anyelir yang pantas mendapatkannya. Karena Nada bisa saja beranggapan, bahwa wanita tersebutlah yang merebut Aksa darinya juga anak-anak mereka. Sebab tak lama berselang dari perceraian itu, Anyelir datang memamerkan pernikahannya dengan Aksa. Tak lupa, seberkas pengumuman mengenai janin yang saat itu sudah tumbuh di rahimnya.

"Alasan kamu menceraikan aku, nggak sesederhana kamu berselingkuh 'kan?"

"Demi Tuhan, aku nggak pernah punya pikiran untuk ngelakuin itu, Nad," bantah Aksa dengan keras. "Aku nggak pernah punya pikiran buat berselingkuh dari kamu."

Mereka berhenti di lampu merah, ketika akhirnya Nada bisa menatap Aksa lamat-lamat. "Dia pernah datang waktu itu," tangannya yang berada di atas pangkuan terus mengerat. "Dia bilang sudah menikah sama kamu," Nada tak akan lupa. Bahkan ia masih ingat jelas, bagaimana hatinya terluka parah. "Dia bilang lagi hamil," setetes air mata Nada jatuh.

Ia memiliki dua balita yang sibuk menangis dan berkelahi waktu itu. Ia juga baru saja diceraikan oleh pria yang berjanji padanya tuk merawat balita kembar mereka bersama-sama. Ia masih sulit beradaptasi dengan status baru. Pemahaman bahwa ia harus bekerja, tentu saja tak mudah. Meninggalkan dua balitanya di rumah, Nada tahu hidupnya benar-benar berubah.

"Kita baru dua bulan bercerai, Mas. Dan perempuan itu bilang, kalau dia sedang hamil," bibir Nada bergetar. Segera ia katupkan sembari menelan ludah. "Kamu bahkan nggak lagi nengok anak-anak kita, Mas. Kamu berhenti tanya kabar tentang mereka. Aku mencoba berpikir positif tentang kamu. Tapi tiba-tiba, perempuan itu datang dan bilang, kalau sebentar lagi kalian bakal punya anak. Kamu nggak akan ngerti gimana sakitnya perasaanku waktu itu, Mas," ia tak sanggup mengingatnya. Ia benar-benar sekarat bila ada hal-hal yang menyangkut anak-anak. "Aku pikir, karena kamu udah nggak lagi mencintai aku. Makanya kamu nggak mau lagi peduli sama anak-anakku."

Nada terisak.

Ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Menumpahkan sesak, ia biarkan air mata yang ia tahan selama ini tumpah ruah. Ternyata, ia benar-benar kesakitan. Rupanya, perpisahan dengan Aksa masih melukai hatinya begitu dalam.

"Aku nggak masalah kalau kamu memang udah nggak peduli sama aku, Mas. Tapi hatiku bener-bener sakit, waktu kamu nggak lagi peduli sama anak-anak kita," suaranya tercekat. Air mata yang merebak, tak mampu ia hentikan. "Kamu nggak pernah datang, Mas. Kamu nggak pernah datang untuk anak-anak," ia coba menghapus air mata walau percuma. "Kamu nggak akan tahu gimana wajah-wajah mereka yang diam-diam selalu nungguin kamu. Kamu nggak akan tahu gimana kecewanya mereka sewaktu di penghujung hari pun, kamu nggak pernah menampakkan diri."

Aksa tidak pernah ada di sana, ketika anak-anaknya benar-benar membutuhkan figur seorang ayah.

Aksa tidak pernah ada buat anak-anaknya, ketika diam-diam hati mereka mulai mengenal rindu akan sosok ayah yang seolah tak pernah miliki.

"Oka selalu dapat peringkat pertama, Mas. Diam-diam, dia pengin kamu jadi orang pertama yang tahu dan peluk dia dengan bangga," ketika anak-anaknya sudah masuk usia sekolah. Mereka juga mulai paham apa itu peringkat dan bagaimana cara mendapatkannya. Oka adalah yang paling tekun. Tetapi anaknya itu tak pernah terlihat bahagia. Oka mampu tertawa, namun Nada menyadari dibalik tawa sang putra ada rasa kecewa yang tak pernah diungkapkannya. "Lova nggak bisa naik sepeda sampai dia kelas enam. Dia bilang, Oka selalu marah kalau lagi ngajarin dia. Kamu nggak tahu 'kan, kalau dia pernah nulis di bagian paling belakang buku pelajarannya, andai ayahnya bersama dia. Dia pengin ayahnya yang ngajari dia naik sepeda."

Aksa tak kuat mendengarnya.

Ia banting stirnya ke kiri tuk menepi.

Tak peduli pengendara lain pasti memakinya lewat klakson beruntun yang di arahkan pada mobilnya. Terserah mereka saja. Karena sekarang, Aksa ingin mengasihani hatinya sendiri yang sekarat membayangkan semua yang telah terjadi.

Ia tak sanggup melihat tangis mantan istrinya.

Ia tak lagi mampu mendengar cerita pilu itu.

Hatinya yang teriris sembilu, bak tengah dikucuri cuka. Perih, pedih, dan jiwanya merintih.

"Maafin aku, Nad," bisiknya memohon ampunan. Matannya memejam lirih. Air mata kesakitan itu meluncur dari sudut dan melintasi pipi. "Aku sayang anak-anak, Nad. Demi Tuhan, aku cinta mereka," gumamnya tak kuat oleh sakit yang terus menusuk sanubari. "Berpisah sama kamu dan anak-anak ngebuat aku serasa ada di neraka. Hidupku hampa, Nad. Aku juga tersiksa karena perpisahan ini," ia buka matanya yang basah. Melepas belitan sabuk pengaman di tubuh, pelan-pelan ia jangkau tubuh Nada dengan sentuhan di ujung jemari. "Nada," mereka berdua berduka. "Andai kamu tahu, kalau setiap hari aku ngebayangin hidup berempat sama kamu dan anak-anak. Ngehabisin waktu berharga sebagai keluarga. Dan yang paling penting, aku selalu ngebayangin kamu tetap hidup sebagai istriku, Nad."

Baiklah, bila Nada ingin mendengar semua, Aksa akan mengabulkannya.

Sepertinya, memang sudah saatnya ia membongkar segala kebusukkan dalam hidupnya.

Bersumpah tidak akan mencari pembenaran atas apa pun yang telah terjadi, Aksa akan membawa Nada ke salah satu saksi yang tahu betul bagaimana sulitnya realita yang ia hadapi.

"Kamu mau dengar semuanya, 'kan?" jemari-jemari Aksa berhasil menepikan air mata yang membasahi pipi mantan istrinya. "Kamu bakal dengar semuanya hari ini," janjinya sembari menganggukkan kepala. "Setelah ini, aku nggak akan pernah nyembunyikan apa pun lagi dari kamu. Aku janji."

***

Bukan Artilla yang dipilih Aksa tuk membantunya menjelaskan kemelut masa lalu yang kusut. Adalah Sahrir Hamdzah yang ia datangi rumahnya setelah tadi, ia sempat menelpon saudara kandung ibunya itu demi mengabarkan kedatangannya.

"Wah, Nada?"

Di ambang pintu, Nada terenyuh. Ingatan tentang masa itu, berkelebat dalam benak yang seingatnya sudah ia kubur jauh. Orang-orang baik di masa lalu, muncul di hadapannya dengan senyum tulus tanpa pura-pura. "Om Sahrir," Nada mendesahkan nama itu dengan berat. Pria setengah baya ini adalah orang baik, Nada tahu. "Apa kabar, Om?" seperti ketika ia berhadapan dengan orangtua Aksa, kini pun ia melakukan hal yang serupa. Ia menyalami laki-laki tersebut.

"Alhamdulillah, kabarnya baik dong. Cucu nambah lagi. Aksa cerita nggak kalau Larissa udah nikah?" karena seingat Sahrir, putri keduanya itu menikah setelah Aksa dan Nada berpisah. "Nah, anaknya udah dua sekarang, Nad."

Nada mengenal Larissa. Bukan hanya sebatas nama, melainkan orangnya juga. Mereka berada di kampus yang sama. Namun Larissa, satu tingkat di bawah mereka. "Saya nggak tahu, Om, kalau Larissa udah menikah," Nada mengakuinya dengan jujur. Tetapi, ia juga tidak kesal pada Aksa karena kabar itu tidak pernah sampai ke telinganya. Mereka sudah berpisah lama. Komunikasi yang mereka miliki juga sangat kacau. "Tante Ivony, juga sehat 'kan, Om?"

Istri Om Sahrir memang tidak seramah laki-laki itu terhadapnya. Tetapi paling tidak, wanita tersebut juga tidak jahat kepadanya. Bagi Nada, sikap yang ditunjukkan tante Ivony teramat wajar. Wanita setengah baya itu berada di kasta teratas yang tak akan sanggup ditembus oleh Nada yang merangkak dari dasar terbawah.

"Dia sekarang udah mulai ngeluh sering kebas-kebas tangannya. Padahal, makan udah dijaga bener-bener lho kalau Tantemu itu. Tapi, ya, yang namanya penyakit datang, mau bilang apa?" kekeh Sahrir santai. "Ayo, masuk-masuk," ia mempersilakan tamunya berjalan terlebih dahulu. "Di rumah cuma ada Om sama Zidane, Nad. Masih inget nggak sama Zidane?"

Zidane adalah anak bungsu Om Sahrir. Sekali lagi, Nada juga mengenalnya di masa lalu. Tetapi, mereka tidak dekat.

"Kalau Zidane, saya ingat kok, Om," Nada tak mahir dalam mengolah ekspresi. Jadi, ia tak mampu menyembunyikan ringisan tipis dari bibirnya.

"Kalau sama Bastian, ingat nggak?"

Ah, laki-laki itu.

Nada mengangguk tanpa ragu. "Ingat juga kok, Om."

Bastian itu seumuran dengan mereka. Namun, tidak seperti Larissa yang mengambil jurusan hukum juga, Bastian lebih memilih mengambil jurusan management business semasa kuliah. Dari yang Nada ingat di masa lalu, Bastian memang tidak menyukai hukum. Dan ia lebih tertarik pada bidang bisnis.

"Bastian juga udah nikah, Nad. Tiga tahun yang lalu, kalau nggak salah, ya, Sa?"

Aksa mengangguk. "Anaknya laki-laki, Nad," Aksa meneruskan informasi yang seolah memang hendak dibagi oleh Om Sahrir pada mantan istrinya.

"Iya, nikahnya juga seribet kayak yang dulu ditinggalkan Akhtar, ya, Sa?"

Deg.

Nada sontak menghentikan langkah.

Dengan berani, ia mencoba menatap Om Sahrir. "Om tahu maksud Aksa ngebawa saya ke sini?" tanya Nada ragu.

Namun Sahrir Hamdzah merespon pertanyaan itu dengan anggukan ringan. Senyum ramah masih terus mematri wajahnya. "Sewaktu Aksa bilang kalau dia mau ke sini sama kamu, Om yakin, kalau kamu pasti ingin tahu sesuatu. Dan berhubung kalian baru aja menghadiri acaranya Rangkuti Malik, Om mencoba menebak kemungkinan kamu melihat kemiripan Adiva sama Akhtar."

"Jadi, itu benar, Om?" tembak Nada tak sabar. "Maksud saya, soal Adiva," ia mengulum bibirnya sedikit demi menetralkan kegugupan.

Sahrir Hamdzah menatap mantan istri keponakannya itu sebentar, sebelum kemudian ia alihkan pandangan ke arah Aksa. Sambil memamerkan senyum sendu, ia tepuk-tepuk punggung sang keponakan. "Kita cari tempat ngobrol yang enak dulu, ya, Nad? Ngobrol di gazebo belakang aja, gimana, Sa?"

"Oke, Om," Aksa menyetujui. Lalu, ia pun menyentuh punggung mantan istrinya dengan telapak tangan yang menempel di sana. "Anak-anak beneran nggak perlu dijemput?"

"Mereka pulang diantar kakak pembinanya. Oka udah chat aku tadi."

Aksa mengangguk, ia belai lembut punggung wanita itu. "Aku nggak pernah sekalipun khianatin kamu, Nad. Tapi, aku juga nggak sebaik itu. Karena ternyata, aku benar-benar nyakitin kamu."

Perceraian mereka. Lalu, pernikahannya yang digelar terlalu dekat setelah palu hakim dibunyikan. Kehamilan Anyelir yang mendadak ramai diperbincangkan orang-orang yang mengenal mereka. Hingga kabar yang berembus mengatakan bahwa mereka menikah karena Anyelir terlanjur berbadan dua.

Kabar itu jelas benar, tetapi tentu saja ada yang keliru. Sebab janin itu bukan milik Aksa. Ia tak pernah menyentuh Anyelir lebih dari bersalaman ketika mereka menikah.

"Nah, kita mulai dari mana nih ceritanya, Sa?"

Mereka telah bersama di gazebo belakang rumah. Dan tentu saja, dengan Sahrir Hamdzah sebagai poros utama. Seolah, tengah siap melagukan dongeng yang selama ini tertutup rapat.

"Hm, sepertinya, dimulai dari kecelakaan Akhtar, ya, Sa?"

Baik, Nada akan mendengarnya. Juga, mempersiapkan hatinya. "Tolong, ceritain semuanya, Om," pintanya sungguh-sungguh. "Kasih tahu saya semuanya."

Sahrir Hamdzah manggut-manggut mengerti. Sambil mengucapkan terima kasih pada asisten rumah yang menyajikan minuman serta makanan ringan untuk kedua tamunya. Lalu, ia ajak netranya menerawang. Kehilangan Akhtar bukan hanya milik Aksa dan keluarga intinya saja. Tetapi juga dirinya. "Akhtar masih dalam pengaruh sisa alkohol pagi itu, ya, Sa?"

Aksa mengangguk kaku. "Andai aku nggak pernah nelpon dia," ia bergumam lirih. Tangannya mengepal erat. "Andai aku milih naik taksi aja," imbuhnya dengan rahang mengetat.

Sahrir membuang napas dengan berat. Akhtar adalah masa depan firmanya hari itu. Di saat anak sulungnya sendiri enggan menjadi pengacara, sementara anak keduanya belum juga lulus kuliah. Jadi, bisa dibayangkan bagaimana Sahrir menaruh harapan besar pada Akhtar. "Kamu tahu 'kan, kalau Akhtar nakal?" matanya mengarah pada Nada dengan bubuhan senyum tipis. "Dia nakal setelah jam kerja. Tapi, dari pagi sampai sore, dia adalah pengacara yang sangat baik," ia mengisahkan layaknya seorang ayah yang tengah mengenang anaknya yang berharga. "Aksa pulang hari minggu. Jadi, bisa dipastikan malam minggu dihabiskan Akhtar untuk bersenang-senang."

"Dan aku nelpon dia di jam delapan pagi, Nad," Aksa ikut memaku netranya pada sang mantan istri. "Bawaanku banyak banget. Koper-koperku, isinya mainan si kembar. Aku ngerasa kelabakan kalau bawa sendirian. Padahal, aku bisa manggil taksi 'kan, waktu itu? Tapi aku mikirnya, aku mau kasih kejutan ke kamu. Aku mau langsung pulang ke rumah bapak dan diantar Mas Akhtar. Mami tahu rencanaku pengin buat kejutan ke kamu. Mami mau ikut. Makanya, mami paksa Mas Akhtar supaya bangun dan cepet-cepet jemput aku di bandara."

"Dan, ya, kejadian nahas itu terjadi," sambung Sahrir muram. "Mobil Akhtar sempat oleng ketika baru saja memasuki jalan tol. Karena pengaruh alkohol di dalam darahnya belum hilang, alih-alih menepi dan menyadarkan diri, Akhtar justru menambah kecepatan. Mobil benar-benar kehilangan kendali, menabrak mobil pick up di depannya, sebelum kemudian berbalik dan menabrak pembatas jalan."

Nada merintih tanpa sadar. Ia remas kedua tangan yang berada di pangkuan. Otaknya seolah sedang membayangkan bagaimana kejadian mengerikan itu terjadi.

"Tapi Akhtar tidak meninggal di tempat. Dia sempat menjalani operasi yang memakan waktu sampai enam jam, sebelum dinyatakan meninggal," tak ada senyum di wajah Sahrir Hamdzah ketika mengatakan hal itu. "Mami kalian berhasil selamat, dengan durasi operasi yang lebih panjang. Nyaris sepuluh, jam."

Aksa menunduk.

Rasanya, seperti baru kemarin saja.

Ia bahkan masih bisa mendengar suaranya sendiri menjerit ketika dokter menyampaikan kabar tentang kakaknya. "Lalu Anyelir bilang kalau dia mengandung anak Mas Akhtar," bisik Aksa merasa kalah pada keadaan.

Sahrir mengangguk, ia pandangi Nada dengan senyum pedih. "Aksa diminta menikahi Anyelir. Aksa diminta menanggung tanggung jawab yang seharusnya menjadi milik Akhtar. Tapi, Rangkuti Malik nggak ingin anaknya jadi yang kedua. Makanya, dia memaksa Aksa untuk menceraikan kamu, Nad."

Mata Nada telah basa oleh air mata, ditatapnya ayah dari anak-anaknya dengan kening berkerut. Sebelah tangannya menekan dada, tetapi bibirnya seolah sepakat terkatup rapat.

"Dia ngancam aku, Nad," bisik Aksa tak kalah pilu. "Rangkuti Malik, udah nyiapin beberapa anak buahnya berjaga di sekitar rumah bapak. Mereka akan culik anak-anak. Mereka bisa bikin kamu terluka. Dan aku nggak mau kalau hal-hal mengerikan itu terjadi sama kamu dan anak-anak."

Nada tidak tahu, bagaimana hatinya saat ini.

Dan yang pasti, air mata yang melintasi pipi, enggan berhenti.

Demi Tuhan, ia hanya ingin hidup yang sederhana.

Tetapi semenjak memutuskan membalas perasaan Aksa, Nada tahu ritme hidupnya tak lagi sama.

*** 

Akuuu yg jahat, Nad. Maafin akuu yaaa, aku harus bikinn hidup kamu penuh air mata beginiii. Yaa gimana dong, Nad, aku kan butuh drama membabi butaa hahahaa

Continue Reading

You'll Also Like

1M 1.9K 17
WARNING!!! Cerita ini akan berisi penuh dengan adegan panas berupa oneshoot, twoshoot atau bahkan lebih. Untuk yang merasa belum cukup umur, dimohon...
1.5M 135K 48
Kehidupan Dinar Tjakra Wirawan berubah, setelah Ayah dan kakak laki-lakinya meninggal. Impiannya yang ingin menjadi seorang News anchor harus kandas...
1M 106K 27
Karmina Adhikari, pegawai korporat yang tengah asyik membaca komik kesukaannya, harus mengalami kejadian tragis karena handphonenya dijambret dan ia...
839K 79.8K 51
Ini adalah Kisah dari Kila. Kila Prastika yang ternyata memiliki seorang bapak kos yang kebelet kawin ... "Nikah sama saya, kosmu gratis seumur hidu...