Aksara Senada

By ndaquilla

2.1M 257K 13.7K

Mereka pernah bersama. Membangun rumah tangga berdua, sebelum kemudian berempat dengan anak-anaknya. Bahagia... More

P R O L O G
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Empat
Dua Puluh Lima
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan
Dua Pulun Sembilan
Tiga Puluh
Tiga Puluh Satu
Tiga Puluh Dua
Tiga Puluh Tiga
Tiga Puluh Empat
Tiga Puluh Lima
Tiga Puluh Enam
Tiga Puluh Tujuh
Tiga Puluh Delapan
Empat Puluh
Empat Puluh Satu
Empat Puluh Dua
Empat Puluh Tiga
Empat Puluh Empat

Tiga Puluh Sembilan

37K 5K 294
By ndaquilla

Asupan buat sarapan yaaa
Happy reading

Maksud Nada, ia ingin menjalani hari-hari sebagaimana karyawan biasa pada umumnya. Masa lalunya dengan Aksa hanya akan membuat banyak orang ingin tahu mengenai dirinya. Dan itu artinya, ia bisa saja kembali menjadi pusat perbincangan. Bisik-bisik mengenai pernikahan mereka dan keingintahuan orang-orang hanya 'kan membuat boomerang dalam hari-harinya.

"Aku masih suka jadi bayangan, Mas," senyum tipis terpatri di wajah Nada. "Ngebiarin orang-orang tahu kalau aku adalah mantan istri kamu, rasanya aku nggak siap. Aku masih nggak kuat terpercik ketenaran kamu, Mas," ia uraikan gundahnya sambil tertawa. Menutupi kemelut resah yang sebenarnya terus saja menyiksa. "Sebenarnya, itulah kekhawatiran terbesarku sewaktu menimbang tawaran pekerjaan dari kamu," akunya jujur.

"Kamu nggak mau orang-orang tahu tentang kita?" Aksa membasahi bibirnya. Menatap sendu paras wanita yang menurutnya adalah bidadari terindah yang pernah ia jumpai. Bahkan rasanya, Aksa jauh mencintai Nada daripada ibunya. Dia jelas anak durhaka. Tetapi rupanya, ia juga menjadi suami yang tak berguna. "Kamu nggak mau orang-orang tahu kalau kita pernah menikah?"

Nada mengangguk membenarkan. Ia tarik napasnya dalam-dalam, sembari menyentuh permukaan gelas jus miliknya yang dingin. "Ini juga untuk kebaikan kita 'kan, Mas?" ia membalas tatapan yang terus disematkan Aksa untuknya. "Karena selama ini, yang orang-orang tahu kamu menikahi anak seorang politikus. Dan mantan istri kamu juga seorang politisi. Mereka pasti terkejut kalau tahu, jauh sebelum kamu menikahinya, kamu pernah menikahi aku," tak ada kepedihan. Nada telah mengikhlaskan segala yang tertinggal di belakang. "Masalahnya, orang-orang akan sibuk membandingkan. Kamu bisa dinilai payah, bila orang-orang tahu tentang pernikahan kita dulu."

"Aku nggak peduli, Nad," bantah Aksa tegas.

"Aku tahu, Mas," sambar Nada dengan gesture santai. "Kamu memang nggak pernah peduli sama penilaian orang. Tapi, gimana sama aku, Mas?" Nada embuskan napas lelah. "Gimana aku harus ngejalani hari-hariku ke depannya? Kalau nantinya kita jadi bekerja di satu kantor yang sama, mungkin pegawai lain nggak akan berani bertanya macam-macam sama kamu. Tapi gimana sama aku, Mas? Gimana aku bisa mengatasinya?"

Saat bekerja dulu saja, Nada cukup sulit menghalau orang-orang yang memandang rendah statusnya sebagai janda. Padahal, ia tidak pernah melakukan apa-apa. Dan bila nanti ia benar-benar bekerja di tempat yang sama dengan Aksa, lalu orang-orang mengetahui bahwa mereka pernah menikah. Nada tidak bisa membayangkan bagaimana respon karyawan lain tentangnya. Ia akan kembali dipandang remeh. Orang-orang akan mengejeknya. Membandingkan dirinya yang tak memiliki satu pun hal yang bisa dibanggakan, dengan seorang penuh prestasi seperti Anyelir Pratista.

"Aku memang udah setua ini, Mas. Aku juga ibu dari dua orang remaja. Tapi, perasaan rendah diri itu masih ada," senyumnya memang tercetak namun sendu mulai membayangi netra. Ia harap Aksa mengerti maksud perkataannya. "Biarin aku ngejalani hari-hari seperti biasa, ya, Mas? Tanpa embel-embel mantan istri kamu aja, statusku sebagai janda udah cukup bikin aku terkenal kok," ia coba berkelakar. "Jadi, bisa aku minta tolong buat sembunyikan masa lalu kita 'kan, Mas?" pintanya sekali lagi.

Aksa tak langsung memberi tanggapan. Sebagai gantinya, ia singkirkan minumannya ke tengah. Melipat kedua lengannya di atas meja, ia tatap Senada Anulika tanpa berkedip. Sebelum kemudian otaknya menemukan satu celah untuk berdiskusi. Buat sudut-sudut bibirnya terangkat tinggi. Sepertinya, ia menemukan sebuah jalan yang dapat menguntungkannya. "Oke," desahnya panjang. Senyumnya membelah makin lebar. Pendar matanya berubah hidup. "Tapi, aku punya permintaan," ia kulum bibirnya dengan sorot penuh makna.

"Aku takut sama ekspresi kamu," cetus Nada mengenali raut wajah itu. "Senyum kamu itu manipulative banget. Mirip sama senyumnya Adek kalau lagi ngerencanain hal-hal jahat."

Aksa kontan tertawa mendengar tuduhan itu. Tak mengelak, ia justru cengengesan. Seakan bangga, bahwa anak gadisnya menuruni sifatnya tersebut. "Cuma hari ini aja kok. Mau, ya?"

"Ke mana?" Nada terlampau yakin Aksa ingin membawanya ke suatu tempat. "Kamu mau ajak aku pergi 'kan?"

Mengangguk tanpa ragu, Aksa menyeruput kopinya. Ekspresinya berubah riang. Sampai-sampai, ia melahap setengah potongan cheese cake dengan senyum terkulum di wajah. "Temani aku ke suatu tempat, ya?" bukan hanya sekadar pinta. Nada benar-benar harus mengabulkannya. "Nggak lama kok. Nanti, pulangnya aku antar. Kita sekalian jemput anak-anak di sekolah. Selesai kemah sore 'kan?"

"Iya. Tapi ke mana dulu?"

Aksa tak menjawab, tetapi senyumnya mematri misterius.

"Mas, ih! Jangan senyum-senyum gitu kamu!"

Tetapi Aksa, malah makin menjadi-jadi. Ia naik turunkan alisnya dengan sengaja. Lalu tertawa karena merasa bodoh akan tingkahnya. "Percaya sama aku, ya?" Aksa berdiri dari kursinya. Ia menawarkan tangannya pada sang mantan istri. "Udah saatnya aku bawa kamu bertemu mereka."

"Siapa?"

"Orang-orang jahat yang buat kita berpisah."

***

Andai tahu ke mana Aksa akan membawanya, Nada bersumpah ia enggan mengikuti. Tetapi, ia sudah terlanjur berada di dalam mobil ini. Dan seperti yang laki-laki itu katakan, mereka akan sampai sebentar lagi.

"Kamu marah?"

Nada membuang pandangannya ke arah jendela. Punggungnya melengkung pada sandaran kursi. Kedua tangannya menyentuh seat belt yang membebat tubuh. Tanpa memandang laki-laki itu, Nada menghela berat. "Kenapa kamu harus bawa aku ke sana, Mas?"

"Karena aku memang pengin bawa kamu ke sana."

"Ck, itu bukan jawaban, Mas," decak Nada melempar tatap kesal pada laki-laki itu.

Tetapi Aksa malah menanggapinya dengan tawa geli. "Hm," ia sedang pura-pura berpikir. "Di sana nanti banyak anak-anak kecil, Nad. Kamu pasti suka."

"Kamu tahu betul, aku nggak suka anak kecil 'kan Mas?" Nada lempar delikan segera. "Anak kecil yang aku suka, cuma anak-anakku."

Benar.

Nada tidak begitu suka dengan keberadaan anak-anak di sekitarnya. Namun, bukan berarti ia membenci anak kecil. Oh, tentu saja, tidak. Hanya saja, Nada tidak pernah terserang euphoria seperti orang-orang bila menemukan bayi menggemaskan bermata bulat serta berbulu mata panjang nan lentik. Sikapnya, ya, biasa-biasa saja. Tidak ada keinginan untuk ikut menggendong atau pun mencubit pipi. Ia merasa cukup dengan sekali melihat. Setelah itu, ya, sudah.

Namun, ketika bayi-bayinya lahir ke dunia, Nada tak mampu menahan perasaannya. Ia langsung jatuh cinta pada si kembar yang dulu begitu mungil bobot tubuhnya. Ia menyayangi mereka. Ia tak puas bila hanya menatap mereka yang terlelap sekali saja. Keinginan tuk menggendong terus menerpa dada. Dan ya, hal itu hanya berlaku untuk anak-anaknya saja. Karena ketika anak kakaknya lahir, perasaan Nada, biasa saja.

"Ya, udah, kalau nanti di sana kamu nggak suka lihat anak-anak kecil, kamu cukup lihat anak besar aja," Aksa menunjuk dirinya. "Kalau anak besar, kamu suka 'kan?"

"Apa sih kamu?" Nada memukul lengan mantan suaminya tanpa sadar. Namun ia tak dapat mencegah, semburat geli muncul melalui tawanya.

"Harusnya, sebelum aku berangkat buat kuliah waktu itu, kita nambah anak lagi, ya?" celetuk Aksa tiba-tiba. "Ya, minimal, waktu kutinggal kuliah, kamu lagi hamil."

"Astaga, mulutnya," kini giliran cubitan Nada yang melayang ke arah lengan serta pinggang Aksa. Buat laki-laki itu sontak mengerang, namun Nada tak memberinya ampunan. "Enak banget, ya, kamu kalau ngomong?" gemasnya sambil menambahkan pukulan. "Terus, kamu tinggalin aku yang lagi hamil sendirian sambil ngurusin dua bayi yang baru lancar lari-lari gitu?"

Aksa menangkap satu tangan Nada dan menyimpannya dalam genggaman. Ia mengerling sebentar pada wanita itu sembari memamerkan senyum tipis. "Maka harusnya aku nggak usah pergi, ya?" balas Aksa dengan tatapan yang begitu dalam. Tempat yang ia tuju telah berada di depan mata. Ia sengaja memarkirkan mobilnya, jauh dari kerumunan yang terlihat cukup ramai di depan saja. Membiarkan mesin mobilnya menyala, Aksa leluasa membuka sabuk keselamatannya demi memiringkan tubuh sepenuhnya menghadap ke arah mantan istrinya. "Harusnya, aku nggak usah berangkat. Supaya aku bisa terus nemenin kamu ngebesarin anak-anak," ucapnya dengan tatap yang semakin dalam. "Andai waktu itu aku nggak ninggalin kamu, mungkin kita udah punya lebih dari dua anak, ya? Tiga atau empat anak. Kamu setuju 'kan, waktu itu?"

Nada berusaha menarik tangannya yang kini diperangkap Aksa oleh kedua tangannya. Ia begitu mengenali arti tatapan yang dilayangkan pria itu untuknya. Serta perandaian mengenai masa lalu, selalu membuatnya merasa tak nyaman. "Tapi nyatanya, kamu memang udah punya lebih dari dua anak 'kan, Mas?" ia mengingatkan kalau-kalau Aksa memang lupa. "Selain si kembar, kamu punya anak dari perempuan lain juga. Jadi, impian kamu untuk punya lebih dari dua anak, udah terkabul."

Aksa menggeleng, ia eratkan genggaman tangannya. Netranya masih terus memenjara mata Nada. Berharap, Nada tak akan berpaling. "Adiva, bukan milikku," ucapnya sungguh-sungguh. "Adiva, bukan anakku," ia siap menjelaskan bila perlu.

"Mas!" Nada berseru tanpa sadar. Suaranya yang meninggi, seharusnya dapat menyadarkan Aksa dari dusta yang baru saja terangkai. "Kamu baru aja mengingkari anak—"

"Dia bukan anakku, Nad. Aku berani bersumpah, Adiva bukan anakku," kata Aksa tegas.

Jantung Nada bertalu-talu. Ia meremat tangan Aksa yang menggenggam tangannya. Matanya masih memperlihatkan keterkejutan. Sementara itu, hatinya menolak percaya. "Kamu nggak harus ngelakuin ini cuma demi menarik simpatikku, Mas."

"Aku ngomong gini, bukan demi itu, Nad."

"Lantas?"

"Aku cuma pengin kamu tahu yang sebenarnya terjadi."

"Ma—maksud kamu?" Nada mulai ngeri memikirkannya.

"Adiva, anak kandung Mas Akhtar," ungkap Aksa akhirnya.

"Hah?" mata Nada kian melebar. Keterkejutan, membuatnya berhasil menarik tangannya dari genggaman sang mantan. Ia tutupi mulutnya dengan sebelah tangan. Sementara yang sebelah lagi, ia gunakan tuk menekan dada. Merasakan bagaimana detak menggila itu tengah memainkan genderang kencang yang melumpuhkan akal. "Ka—kamu bilang apa, Mas?" tanyanya terbata. Terlalu terkejut, masih membuatnya tak mampu mengendalikan panca indera. "Mas Akhtar?"

Aksa mengangguk. Lalu, kepalanya menunduk. "Maafin aku."

Nada mengembuskan napasnya dengan kasar. Ia sontak membuka belitan seat belt yang rasanya begitu sesak. Sambil menelan ludah susah payah, Nada membagi perhatian pada Aksa dan jalanan di sekitar mereka. "Kamu dijebak?" akhirnya ia mampu mengeluarkan satu pertanyaan yang sekiranya masuk akal. "Anyelir jebak kamu?"

Aksa memperlihatkan senyum muram. Ia mengembalikan posisi duduknya ke tempat semula. Punggungnya bersandar tak nyaman, sementara kepalanya menengadah ke atas. "Aku terjebak, Nad. Mereka semua ngepung aku. Awalnya, aku nggak mau menyerah. Sampai akhirnya, aku harus kalah. Sewaktu orang-orang gila itu, mengancam melukai kamu dan anak-anak kita," kelopaknya basah. Kesedihan merebak dan ingin tumpah. "Aku terlalu cinta sama kamu, Nad. Aku nggak sanggup ngebiarin mereka ngelukain kamu sama anak-anak."

Nada meneguk ludahnya kembali. Matanya berkaca-kaca kala melihat ketidakberdayaan Aksa saat mengatakannya. Ia ingin mendustai kalau bisa. Lalu menganggap apa yang diucap laki-laki itu adalah bualan semata. Tetapi, entah kenapa nuraninya mulai berisik. "Si—siapa, Mas?" bisiknya yang bisa merasakan gemetar atas suaranya sendiri. "Siapa yang mau melukai kami?" ia terengah sendiri. Tangannya memanjangkan jangkauan dan memegangi lengan Aksa. "Mas?" desaknya sembari menggoyangkan lengan itu. "Siapa, Mas?" napasnya tercekat. Kepedihan di wajah Aksa seolah menyesakkan dada. "Siapa, Mas?!" suaranya mulai meninggi, hingga air mata yang ia tahan meluncur perlahan. "Mas!"

"Orang-orang itu," Aksa menunjuk luar mobilnya. "Orang-orang yang katanya bergerak atas kepentingan rakyat. Tapi nyatanya, mereka berdiri untuk kepentingan diri sendiri." Lalu, ponsel Aksa berdering. Ia meraihnya dengan malas. Nama si penelpon membuatnya jengah. Namun akhirnya, ia mengangkatnya juga. "Apa?" jawabnya tanpa basa-basi.

"Lo di mana, Mas? Bukannya lo bilang ke gue bakal datang?"

Yang menghubungi Aksa adalah Alvin. "Gue udah di sini," balasnya pendek. Kemudian, ia mematikan sambungan sepihak. Kembali menjadikan mantan istrinya pusat atensi. "Cuma kamu, Nad," bisiknya seakan-akan bisa mati kapan saja bila tak menatap sang mantan istri. "Cuma kamu satu-satunya yang kuinginankan mengandung anak-anakku," ucapnya dengan mata berembun basah. "Cuma kamu satu-satunya yang kucinta, Nad. Dan nggak mungkin aku sanggup menceraikan kamu bila bukan orang-orang ini yang berbuat ulah."

Nada tak mampu berkata-kata, ia remas lengan Aksa demi melampiaskan sesak yang tidak sanggup dijabarkan dengan mudah. "Kenapa, Mas? Kenapa?" bahkan sejujurnya, Nada pun tak paham apa yang sebenarnya ingin ia tanyakan.

***

Aksa tak mampu merasakan hatinya.

Jiwanya hampa, sementara sesak terus mendesak.

Akta cerai yang terlihat di netra buat matanya kembali berkaca-kaca. Ia tak percaya, ia dan istrinya telah berpisah. Ijab yang waktu itu ia katakan dengan lantang, berganti talak yang tadi dengan gemetar ia ucapkan. Bahkan, ia tak bisa mengangkat wajahnya. Air mata sudah menggenang dan buat suaranya tercekat parah.

"Jadi, kita sudah bisa mengumumkan rencana pernikahan mereka."

Suara Rangkuti membuat Aksa muak. Ia masih ingin berkabung dengan luka. Tetapi mengapa tak seorang pun memahaminya?

Sepulangnya dari pengadilan, ia tidak diperkenankan membenamkan diri dalam kesedihan. Ia diperintahkan tuk memperlihatkan akta cerai itu kepada Rangkuti yang telah menanti. Rencana matang telah disusun bahkan sebelum ia dan istrinya bercerai.

"Mereka harus terlihat sering bersama sekarang. Ehm, dalam waktu dekat ini, anaknya Pak Basuki akan menikah bukan? Nah, biarkan Aksa dan juga Anye datang bersama ke sana."

Orang-orang di lingkungan politik, tidak ada yang tahu bahwa Aksa telah menikah sebelumnya. Mereka beranggapan, hilangnya Aksa selama ini hanya karena ia sibuk menempuh pendidikannya di luar negri. Tanpa mereka pernah memahami, bahwa sebenarnya lebih dari dua tahun ia telah terusir dari rumah. Hidup bersama wanita yang telah ia jadikan istri. Bersusah payah menghidupi dua bayi kembar yang lahir di tengah-tengah mereka.

Dan ketika tawaran untuk mengubah kehidupan itu datang, ia titipkan istri dan anak-anaknya pada sang mertua. Harapannya, biar mereka ada yang menjaga. Keinginannya, supaya istrinya tak merasa hampa. Tetapi kemudian, semoga yang sama-sama mereka panjatkan dalam doa, rupanya memang mengubah semua.

Tetapi, tak hanya hidup mereka.

Status keduanya pun tak lagi sama.

"Sepertinya, undangan juga mulai sudah bisa dipersiapkan."

"Boleh saya minta waktu," Aksa membasahi tenggorokkannya dengan susah payah. Setelah mengais-ngais tenaga yang tersisa, kepalanya pun mendongak juga. "Saya baru saja berpisah dengan istri saya. Jadi, bisa saya minta waktu untuk diri saya sendiri?" ia tatap Rangkuti, ayahnya, serta orang-orang kepercayaan mereka yang tengah sibuk membolak-balikan berkas demi meneliti progress pernikahan yang mereka rencanakan. "Saya sangat mencintai istri saya, Om," netranya yang panas ia arahkan langsung ke arah pria setengah baya berkacamata itu. "Saya butuh waktu untuk berdamai dengan diri sendiri."

"Tapi sampai kapan?" Rangkuti sama sekali tak menutupi ketidaksukaannya terhadap permintaan Aksa itu. "Kandungan Anyelir semakin besar. Kalian harus menikah bulan depan. Toh, kamu nggak memiliki masa iddah. Kamu bisa menikah kapan saja."

"Memang," Aksa mengangguk membenarkan. "Sebagai laki-laki, nggak ada larangan untuk saya. Tapi, sebagai manusia, saya punya hati, Om," ucapnya tanpa rasa takut. "Kalau-kalau Om lupa, saya terpaksa menjalani semua ini. Jadi, tolong biarin saya memiliki waktu untuk diri saya sendiri."

Ia perlu menangis di suatu tempat.

Ia harus berteriak demi mengurai sesak.

"Saya butuh waktu. Tolong, biarkan saya sendiri."

Setelah itu, Aksa memang langsung pergi.

Tetapi, ia pun tidak kembali ke rumah orangtuanya. Dan tidak juga menginjakkan kaki ke apartemen yang dulu ia tinggali bersama istrinya. Roda-roda mobilnya melaju menuju komplek pemakaman. Tempat di mana tubuh kakaknya telah bersemayam di sana.

Ia berlutut di gundukan tanah yang beberapa minggu lalu dibuka demi menyimpan jasad kakaknya. "Kenapa lo pergi, Mas?" ia genggam tanah itu dalam kepalan erat. "Kenapa lo pergi?" bisiknya tercekat oleh air mata yang rupanya telah mengucur deras. "Lo harusnya selamat, Mas. Lo harusnya buka mata lagi setelah kecelakaan itu. Tapi kenapa, lo milih nyerah? Kenapa lo limpahi tanggung jawab ini ke gue?" sesaknya benar-benar luar biasa. Ia masih berduka atas kehilangan kakak laki-lakinya yang paling berharga. Dan hari ini, ia juga kehilangan istri yang paling ia cinta. "Demi Tuhan, kenapa lo pergi, Mas?!" teriaknya dalam buruan kalap. "Kenapa lo pergi?!"

Akhtar tak akan pernah memberikan jawaban. Dan yang Aksa lakukan adalah terduduk lemas di tanah. Menangis seperti bayi yang tak berdaya. Ia tak tahu harus mengadu ke mana. Ia merasa tak lagi memiliki orang yang bisa dipercaya.

"Gue cinta Nada, Mas," isaknya di sela-sela air mata. "Gue cinta istri gue, Mas. Tapi kenapa lo harus pergi, Mas? Lo tahu nggak sih, kalau lo mau punya anak, Mas?" lirihnya makin parah. "Lo bener, Mas. Pada akhirnya, lo nggak akan pernah menikah. Karena gue yang harus menanggung segalanya."

Dulu, kakaknya pernah bilang, ia tak ingin menikah.

Dan harapan kakaknya terwujud.

*** 

Guys, aku lgi gk bisa buka dm wattpad. Gk tau kenapa, dm wattpad ku gk bisa di buka. Cuma bisa aku aku liat dri pop up aja, cuma gk bisa di bls. Kemaren ada yg dm, katanya part yg di wattpad sm yg di karyakarsa beda. Nggak yaa beb, gk ada bedanya. Sama kok. Aku tuh orgnya mageran kalo hrs ngebedain gitu. Jdi, kalo mau lanjut baca, bisa di mulai dri part 40, 41, sampai seterusnya. Jdi, gak ada beda yaa. Dan jumlah partnya juga sama.

Dan sekali lagi aku bilang, gk ada paketan di sana. Kalian bisa beli per part. Krna dalam 1 part itu ada 2 bab.

Aku bakal nerusin ceeita ini sampai tamat di season 1. Tpi untuk season 2, yg mau lanjut bisa lanjut di sana. Ini sama kok kyk dulu aku masih rajin cetak buku. Aku bakal selesaikan versi wattpad di sini. dan ekstranya atau yg skrg lebih seneng aku bilang season 2, pasti untuk versi novelnya.

Kenapa gk tayang di sini aja?
Karna aku jg butuh sesuatu untuk dikomersilkan. Krna sekrg aku mager nyetak yaa solusinya aku lempar ke KK.
Tolong, jgn ada yg merasa tersakiti lagi. Sedih bgt akuu, kalo nnti 44 bab yg aku tampilin di sini, gk bisa dihargai hnya karena ekspart yg gk aku tampilin di sini.

Maaf yaa AN ku sepanjang cerpen hahaha

Yaudah, see uu yaaaww

Continue Reading

You'll Also Like

4.3M 130K 88
WARNING ⚠ (21+) 🔞 𝑩𝒆𝒓𝒄𝒆𝒓𝒊𝒕𝒂 𝒕𝒆𝒏𝒕𝒂𝒏𝒈 𝒔𝒆𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒘𝒂𝒏𝒊𝒕𝒂 𝒚𝒈 𝒃𝒆𝒓𝒑𝒊𝒏𝒅𝒂𝒉 𝒌𝒆 𝒕𝒖𝒃𝒖𝒉 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒍𝒂𝒊𝒏 𝒅𝒂𝒏 �...
482K 1K 15
🔞 kisah sx abang tiri dan adik tirinya
477K 1.5K 9
Katya Shelomita memiliki insekuritas tinggi terhadap salah satu bagian tubuhnya sejak dia menginjak bangku SMP. Gadis manis yang mungil itu kehilang...
3.4M 250K 30
Rajen dan Abel bersepakat untuk merahasiakan status pernikahan dari semua orang. *** Selama dua bulan menikah, Rajen dan Abel berhasil mengelabui sem...