Aksara Senada

ndaquilla द्वारा

1.9M 248K 13.4K

Mereka pernah bersama. Membangun rumah tangga berdua, sebelum kemudian berempat dengan anak-anaknya. Bahagia... अधिक

P R O L O G
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Empat
Dua Puluh Lima
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan
Dua Pulun Sembilan
Tiga Puluh
Tiga Puluh Satu
Tiga Puluh Dua
Tiga Puluh Tiga
Tiga Puluh Empat
Tiga Puluh Lima
Tiga Puluh Enam
Tiga Puluh Tujuh
Tiga Puluh Sembilan
Empat Puluh
Empat Puluh Satu
Empat Puluh Dua
Empat Puluh Tiga
Empat Puluh Empat

Tiga Puluh Delapan

32.6K 5.2K 305
ndaquilla द्वारा

Happy reading yaaa

Nada tersentak bangun.

Matanya terbuka, lalu mendadak gelap menyambangi seluruh indra. Biar cahaya dari luar jendela, berhasil membuatnya yakin bahwa ia telah terjaga. Menggulir netra sehitam jelaga pada jam dinding yang dapat menyala dalam gelap, Nada menghela.

Jam digital yang ditempel putranya di dekat lemari itu, menunjukkan waktu tepat 01.00. Sudah lewat tengah malam, namun mengapa telinganya menangkap suara janggal dari luar sana? Mencoba menajamkan indra, Nada yakin ada suara berisik yang tadi benar-benar mengagetkannya. Dan ternyata dugaannya tepat. Suara-suara yang ia dengar diantara tipisnya kesadaran, rupanya memang berasal dari realita. Bukan bias imaji karena ia tengah bermimpi.

"Bun?"

Nada menyingkap selimut ketika ternyata anak gadisnya ikut bangun. "Bentar ya, Dek, Bunda mau ke luar dulu," Nada tak perlu menghidupkan lampu kamar saat hendak membuka pintu.

"Suara Om Adri 'kan, Bun?"

Benar.

Hanya saja, Nada juga mendengar suara anak laki-lakinya yang menyahuti gelagar suara keras dari adiknya.

Dan itulah yang membuatnya bergegas membuka pintu.

"Abang nggak tahu kalau Om mau pulang."

"Ya, terus, lo jadi ngerasa berhak gitu nidurin tempat gue gara-gara gue nggak ada?!"

"Adri, ngapain sih teriak-teriak gitu? Udah malam."

"Lha, terus aku mau tidur di mana, Pak? Pulang capek-capek, eh, tempat tidurku udah ditidurin orang."

"Orang mana sih, maksud kamu? Yang tidur di sini itu keponakan kamu sendiri, Dri."

"Halah! Bapak 'kan, gitu. Selalu aja belain dia!"

"Jangan bentak-bentak Kakek, Om!"

"Oh, sok hebat lo sekarang, ya?! Kenapa?!"

Jantung Nada berdebar kencang kala kakinya mengarah pada pusat keributan. Lemari kayu besar yang menjadi sekat antara ruang tamu dengan tempat tidur Adri, kini ramai oleh keberadaan bapak, ibu, juga Safira-adik perempuannya. Sekilas, ia melihat motor Adri sudah terparkir di ruang tamu, setelah dua minggu ini adiknya itu tidak pulang ke rumah.

"Kenapa, Pak?" Nada bertanya begitu dirinya telah bergabung di sana. "Abang?" matanya langsung menemukan sang putra yang berdiri sambil memeluk bantal serta selimut. "Kenapa, Bang?" ia meminta anaknya mendekat.

"Nggak apa-apa, Bun," balas Oka menghampiri bundanya.

Namun, sebenarnya Nada sudah menebak apa yang tengah terjadi. "Kamu kenapa sih, Dri? Sekalinya pulang langsung marah-marah gini."

"Ya, makanya, anak lo jangan disuruh tidur di tempat gue!" sambar Adri yang kini melepas jaketnya kasar.

"Kami nggak tahu kalau kamu pulang malam ini," walau adiknya berkata dengan begitu ketus, tetapi Nada mencoba membalasnya dengan intonasi pelan. Sudah tengah malam, ia tidak mau membuat keributan keluarga mereka didengar tetangga. "Makanya, kamu tuh kasih kabar-"

"Terus, mentang-mentang gue nggak ada, jadi anak lo berhak gitu tidur di tempat gue?" Adri sudah kepalang emosi. "Gue nggak punya kamar di rumah ini, Mbak. Dan satu-satunya tempat yang bisa bikin gue istirahat, ya, tempat ini," ia menunjuk ranjang kecil yang disebelahnya terdapat satu rak plastik tempat menyimpan baju-bajunya. "Eh, terus, pas gue nyampe rumah dalam keadaan capek, gue malah nemuin orang lain yang tidur di sini. Kesel nggak sih lo kalau jadi gue, Mbak?"

"Tapi 'kan, kamu bisa bangunin dia baik-baik," Nada ingin merangkul putranya. Tetapi entah kenapa, Oka justru menolak. Buat Nada sedikit terkejut dengan sikap yang ditunjukkan anaknya itu. "Bang?"

"Ya, masa dia nggak denger gue klakson-klakson dari tadi? Safira aja denger kok. Dia langsung bukain gue pintu."

Nada belum sempat menegur sikap putranya, namun rupanya adiknya pun masih ingin terus membuat keributan. Mendadak saja kepala Nada justru berdenyut. Perubahan sikap putranyalah yang kini tengah menjadi buah pikirannya. Oka memang diam. Tetapi sorot mata yang ditampilkan oleh anaknya itu terlihat penuh dendam. Lontaran kekesalan dari mulut Adri bak bahan bakar yang menyulut emosi yang semula coba Nada tekan dalam-dalam. Hingga akhirnya, ia memilih tak tahan. Menyerah tuk menjadi pihak yang selalu mencoba berlapang dada. Nada kalah, pada keinginan tuk meledak juga.

"Terus sekarang kamu maunya apa, hah?!" persetan dengan para tetangga, Nada pun mampu bergantian mencecar adiknya itu. "Kamu sekarang maunya apa?!" ia tinggikan suara. Buat keluarganya tentu saja terkejut atas sikapnya. Tak terkecuali putranya. "Kamu yang gagal interview! Kamu yang nggak diterima kerja! Terus sekarang, kamu limpahkan kekesalan kamu ke anakku gitu?!" matanya meradang penuh emosi. "Kamu pikir mental anakku samsak hidup yang bisa kamu mainkan sesuka kamu?!" ia tak terima. Kali ini, akan ia luapkan segalanya. "Selama ini aku sama anak-anakku udah ngalah! Aku terus diam! Aku ajarkan anakku sabar! Tapi apa yang kami dapatkan di sini?! Semuanya makin menginjak-injak kami!" serunya kalap.

Kini sorot mata Nada tak hanya mengarah ke adik laki-lakinya saja. Tatapnya yang diliputi emosi itu berhasil menggilir satu per satu keluarganya tanpa terkecuali. Tak peduli pada Bapak sekalipun.

"Aku tahu, kamu sama Safira nggak pernah mau menghormati aku sebagai kakak kalian, karena kalian selalu berpikir aku numpang di sini 'kan?!" air mata menggenang di pelupuk. Emosi yang melanda diri, membuat tubuhnya bergetar tak terkendali. "Aku numpang pun nggak gratis!" tandasnya yang sebenarnya enggan membahas masalah ini. "Maaf, kalau aku memang nggak bisa jadi panutan. Maaf, kalau selama jadi kakak kalian, aku nggak bisa kalian banggakan."

Statusnya sebagai janda dengan dua orang anak tentu saja bukan hal yang patut dipamerkan. Nada yakin, adik-adiknya pun bahkan malu bila ada temannya yang bertanya mengapa kakaknya tetap tinggal di sini alih-alih hidup bersama suami. Ia hanya beban bagi keluarganya yang hidup susah. Menikah, tak lantas membuatnya mengangkat derajat keluarga. Justru, ia menambah masalah.

Terakhir, sebelum ia menyesali semua ucapan yang keluar dari bibirnya saat marah, Nada mencoba menarik napas dalam-dalam. Ia berusaha menormalkan detak di dada yang menderu kencang. Memejamkan mata sejenak hanya tuk meraih ketenangan, Nada biarkan air mata yang tertahan di kelopaknya tumpah. "Masuk ke kamar, Bang," bisiknya perlahan. "Gelar karpetnya. Bentang tempat tidur Abang," perintahnya pada sang putra. "Denger apa yang Bunda bilang 'kan, Bang?" saat ia buka mata netranya bertemu dengan tatap nanar putranya. "Masuk kamar," kali ini suaranya memerintah dengan tegas.

Oka menurut. Namun, ia tak segera beranjak. Ia tatap dulu adik bundanya dengan pandangan nyalang yang sulit diartikan. Dalam diam yang ia tunjukkan, ada dendam yang pelan-pelan di simpan. Sebelum kemudian, elusan lembut terasa di puncak kepala. Buat Oka kontan menengadah.

"Tidur, ya, Nak?"

Pandangan Oka terpaku pada bunda. Senyum letih yang terpatri di wajah bidadari terindah dalam hidupnya, buat Oka kontan terenyuh. Bunda sudah melalui banyak hal sulit untuk mereka. Bunda yang selalu mengajarkan sabar, akhirnya mengeluarkan segala tekanan yang membelenggunya malam ini.

"Tidur di bawah kayak biasa, ya, Bang? Sana, cepet tidur. Besok mau kemah 'kan? Bunda mau pipis dulu."

Bibir itu memang melengkungkan senyum. Namun Oka tahu, hanya kesedihan yang tersimpan di mata bidadarinya. Bila ia saja terluka oleh kata-kata omnya. Lalu bagaimana dengan ibunya?

Mendadak, Oka merasakan tenggorokkannya kering. "Bunda," bisiknya melafalkan panggilan itu penuh bangga. "Bunda," sekali lagi ia mengatakannya hingga buat matanya berkaca-kaca.

"Iya, Nak," Nada menjawab panggilan tersebut dengan senyum indah. "Abang tidur dulu, ya?" ketika anaknya tersebut akhirnya mengangguk. Nada meleburkan senyum lebih lebar lagi. Mengawasi putranya yang beranjak ke kamar. Lalu matanya menemukan anak gadisnya yang ternyata juga ikut terjaga dan berdiri di ambang pintu kamar mereka. "Adek tidur juga, ya, Nak? Nanti Bunda nyusul," ia mahir berpura-pura. Apalagi, bila hal itu di depan anak-anaknya.

Sepeninggal kedua anaknya yang sudah masuk ke dalam kamar, Nada masih memilih bertahan di sana. Ia sugar rambut panjangnya yang kusut, menatap sekeliling rumah orangtuanya, Nada menelan ludah.

Satu per satu anggota keluarganya meninggalkan Nada. Di mulai dari Safira yang masuk ke kamarnya sendiri. Lalu, Adri yang beranjak ke kamar mandi. Tersisa ibu dan bapaknya saja di sana, namun kali ini Nada yang meninggalkan mereka. Ia beralih ke dapur, merasa perlu membasahi tenggorokkan, Nada menarik satu kursi kayu yang mendudukan dirinya di sana.

"Bawa aja anak-anakmu ke sana."

Nada sontak menoleh. Wajah bapak yang teduh, memberinya senyum kecil yang tulus. "Bapak bilang apa tadi?"

Supardi tak langsung menjawab, ia menarik satu kursi yang berada di sisi putrinya. Penerangan di dapur memang selalu dibiarkan menyala. Jadi, segala perabot yang mengisi ruangan ini terlihat semua. "Adek bilang, ayahnya udah nyiapin rumah, ya, buat mereka?"

Lova adalah segala sifat yang dimiliki Aksa di masa lalu.

Ayah dan anak perempuan itu bukanlah teman curhat yang baik. Mereka juga bukan seorang teman yang gampang bersimpatik. Keduanya punya kecenderungan pamer untuk hal-hal berharga yang mereka punya. Mereka tak bisa menjaga rahasia. Mereka juga selalu bicara semaunya. Namun, kabar baiknya, mereka gampang bergaul dengan siapa saja.

"Bapak nggak ngusir kalian. Tapi, Bapak juga nggak punya kemampuan bikinin rumah buat kalian," ia tarik sebelah tangan anak perempuannya itu. Menepuk-nepuk punggung tangannya, Supardi tetap mempertahankan senyumnya yang tulus. "Demi kebahagiaan Abang sama Adek, bawa mereka ke rumah yang lebih layak."

"Pak," Nada menumpahkan tangisnya pelan. Ia tak bisa berkata-kata lagi, karena semua yang berhubungan dengan anak-anaknya begitu menyakitkan.

"Bawa mereka tinggal di rumah mereka, ya, Nak?" jujur saja, hatinya pedih. "Biarkan mereka tumbuh di lingkungan yang lebih layak," pintanya sungguh-sungguh. Ia menyaksikan si kembar tumbuh di rumah ini. Mengajak cucunya itu bermain di saat mereka berdua mulai memahami bahwa mereka tumbuh tanpa seorang ayah di sisi keduanya. "Bapak sangat menyayangi anak-anakmu. Bapak sayang sama semua cucu-cucu Bapak. Bapak pasti rindu mereka nanti. Tapi, semua ini demi kebaikan mereka. Tenang aja, Bapak masih kuat kok naik bus ke rumah mereka nanti. Bapak sedih, Bapak nggak bisa kasih tempat tinggal yang layak buat cucu-cucu Bapak."

Tangis Nada merebak.

Ia jatuhkan kepala pada tangannya yang sedang di genggam bapak.

"Maafin Nada, Pak. Maafin Nada, yang belum bisa bahagiain Bapak," tangisnya tersedu sendiri. "Maafin Nada yang selalu jadi beban Bapak."

"Kamu itu berkah, Nad. Justru, Bapak yang minta maaf. Karena selalu bikin kamu susah bahkan sejak kamu lahir."

***

Matahari sedang giat-giatnya memamerkan teriknya ke seluruh penjuru. Mengepakkan kemilau yang menyengat mata. Memastikan para penduduk dunia tahu bahwa sang penguasa siang adalah bola raksasa yang menyala-nyala di langit terang.

Nada memandang gugup bangunan tinggi di hadapannya kini. Setelah membayar ongkos taksi online yang tadi ia tumpangi, kini ia tengah menggigit bibir sembari terus menggenggam ponsel di tangan kanannya.

Tetapi, demi Tuhan, keberadaannya di sini bukanlah karena dorongan keinginan impulsive semata. Bukan juga, berkat dukungan bapak. Ia kembali menyambangi tempat ini setelah memikirkan segalanya masak-masak.

Ponsel di tangannya bergetar, namun fokusnya mengarah pada pria yang tengah berlari melewati pintu lobi. Mata pria itu menjelajah seluruh penjuru. Sebelum kemudian, atensi mereka bertemu. Dan ponsel di tangan Nada berhenti bergetar. Sebab, si penelpon memilih menyudahi panggilannya.

"Nad?"

Nada memandang laki-laki itu dalam diam. Ia menyoroti struktur wajah itu lamat-lamat. Mengingat-ingat bagaimana sosok tersebut telah banyak berubah dari segi fisik. Namun perubahan seorang Aksara Bhumi, tentu saja mengagumkan. Hingga akhirnya, Nada memilih menerbitkan senyuman. Ia bersyukur karena Aksa bisa hidup dengan baik selama ini. Hidup terpisah dengan anak bukanlah hal mudah. Tetapi ternyata, Aksa bisa melaluinya.

Ah, benar.

Nada berada di depan tower apartemen mantan suaminya.

Ia jugalah yang sepuluh menit lalu baru mengabarkan kedatangannya yang mendadak pada laki-laki itu. Jadi, sangat wajar bila Aksa terlihat terburu-buru menemuinya.

"Kamu lagi nggak sibuk 'kan, Mas?"

Aksa langsung menggeleng. Setelah nafasnya berembus netral, ia tegakkan tubuh dan menatap rakus sosok yang benar-benar ada di hadapannya ini. "Kamu nyata 'kan?" celetuknya merasa tak yakin.

Buat senyum Nada berpendar geli. Sebagai ganti dari pertanyaan itu, ia membuka slingbag yang menggantung di bahu. Mengeluarkan satu pack tisu berukuran kecil dari sana. Menariknya selembar, lalu menyapukan tisu tersebut ke atas kening mantan suaminya. "Kira-kira, kalau kamu periksa cctv, mungkin yang terekam ada tisu yang terbang sendiri ke jidat kamu, Mas," kelakarnya santai.

"Aku kaget," Aksa mengakuinya dengan jujur. "Nggak nyangka sama sekali kalau kamu bakal hubungi aku," ia yang sudah menormalkan keterkejutannya, segera menangkap tangan Nada yang tengah menghapus peluh di kening. Ia genggam tangan itu seraya menatap lekat bagaimana tangan mungil tersebut terperangkap oleh telapak tangan lebarnya. "Ternyata, kamu benar-benar nyata," gumamnya sambil merekahkan senyuman.

Tetapi, Nada segera menarik tangannya. "Modus, ya, kamu," imbuhnya seraya pura-pura mendengkus.

Aksa tertawa. Ia mengusap tengkuknya salah tingkah. Sekali lagi, ia gunakan netra tuk melahap keberadaan Nada di depannya. Siapa yang akan percaya bahwa wanita di hadapannya ini telah memilih dua anak yang beranjak remaja. Jeans biru gelap membungkus tubuh langsing itu dengan sangat baik. Sementara blouse hitam berlengan pendek yang menutup hingga bokongnya, membuat Nada terlihat sopan. Rambut panjangnya diikat ke belakang. Memperlihatkan leher, juga beberapa anak rambut di sekitar tengkuk.

Demi Tuhan, Aksa menyukainya.

Astaga, Aksa selalu menyukainya.

"Jadi ... kamu nggak sibuk 'kan hari ini?"

Pertanyaan Nada mengembalikan Aksa pada realita. Ia buat matanya berkedip, lalu mendesah lega karena sosok Nada tak mengilang layaknya imaji yang sering kali hadir ketika ia tengah melamun. "Nggak. Aku nggak sibuk," balas Aksa spontan. Bila pun sibuk, ia akan membatalkan seluruh acaranya. "Ada yang mau kamu bilang ke aku?" saat mantan istrinya itu mengangguk, Aksa menjadi deg-degan. "Euhm, mau ngobrol di mana? Apartemen?" tawarnya kikuk.

"Jangan di apartemen," tolak Nada segera. "Euhm, ia mencoba mengedarkan pandangan. Lalu teringat pada coffe shop di lobi apartemen Aksa. "Ngobrol di dalam kafe itu aja gimana?" ia menunjuk.

Dan Aksa pun mengangguk. "Yuk?" ia nyaris meraih tangan Nada untuk digenggam. Beruntung saja, kesadaran diri segera menghampirinya. Demi memupus rasa malu, Aksa berdeham. Mereka berjalan bersisian. "Anak-anak gimana? Pulang kemah kapan mereka?"

"Katanya sih sore nanti."

Lova membagi aktivitas hariannya pada sang ayah. Nada mengizinkan saja. Toh, bila Aksa memang berniat memperbaiki hubungan dengan anak-anak mereka, tentu saja ia tak boleh melarang.

"Apa sih nama kemahnya itu, Nad?"

"Perjusami," Nada mengerti maksud pertanyaan itu. "Perkemahan Jumat, Sabtu, Minggu," tambahnya lancar. "Mereka mulainya dari Jumat sore, karena Sabtu emang libur 'kan, jadi nggak ganggu kegiatan sekolah."

Toh, perkemahan itu juga dilaksanakan di sekolah. Jadi, Nada tentu saja tak keberatan. Lagipula, ia percaya bahwa anak-anaknya dapat saling menjaga.

Begitu mereka tiba di kafe, Aksa segera mencari tempat yang nyaman untuk mereka. Ia memilih sudut di dekat jendela besar yang dapat membuat mereka mengawasi jalanan. Setelah memesan minuman dan sedikit camilan, Aksa diserang gugup. "Jadi, kamu mau ngomong apa?" pasti ada hal serius. Tidak mungkin mantan istrinya rela menempuh perjalanan jauh dengan bus hanya untuk menemuinya bila hal tersebut tidak mengarah pada sesuatu yang penting. "Harusnya, kamu bilang aja sama aku kalau memang mau ngomong sesuatu, Nad. Biar aku yang datang. Aku ngeri bayangin kamu naik bus sendiri."

Nada hanya memberi sedikit senyuman. Menanti sampai pesanan mereka datang, Nada mengucapkan terima kasih pada pelayanan yang mengantarkan makanan serta minuman mereka. Ia tak serta merta langsung menyeruput minuman dingin yang ia pilih. Ia justru menghela. "Tawaran untuk kerja di firmanya Om Sahrir itu, masih berlaku, Mas?"

Punggung Aksa tiba-tiba menegang penuh antisipasi. Ia mengerjap demi meyakinkan diri bahwa telinganya tak salah mengolah informasi. "Ka-kamu mau?" tanyanya yang mendadak merasakan bibirnya mengering.

Sambil meremas kedua tangannya yang berada di atas meja, Nada menelan ludah. "Apa lowongan itu masih ada, Mas?"

Aksa mengangguk tanpa ragu. Demi Tuhan, pekerjaan itu masih ada. "Masih, Nad. Masih," serunya bersemangat. Dadanya meletupkan sebuah kesenangan. Sementara bibirnya tak luput melengkungkan senyuman. "Artinya, kamu sama anak-anak mau pindah ke sini?" tanyanya penuh harap. "Maksudku, pindah ke rumah itu?"

Perlahan, Nada kembali membawa netranya tuk menatap Aksa lekat. Sebelum kemudian, kepalanya mengangguk mantab. "Tapi aku punya satu permintaan, Mas."

"Apa itu?"

Jangankan Cuma satu.

Seribu pun, akan Aksa sanggupi bila perlu.

Astaga, ia bahagia sungguh.

"Mengenai status dan hubungan kita. Aku harap, selain Om Sahrir nggak ada yang tahu kalau dulu kita pernah menikah."

Senyum Aksa mendadak luntur. "Maksudnya?"

Sumpah, ia tak mengerti.

***

Iyaa benerr, Nad. Ntar kamu di julidin sama temen2 kantornya. Wkwkwk
Gemess iih mereka ini nnti.
Makanya aku bilang, cerita ini bakal berubah jadi office-romance.

Btw, gk ada paketan di karyakarsa. Kalian beli per satuan aja..karena satuannya pun lgsg 2 part kok

पढ़ना जारी रखें

आपको ये भी पसंदे आएँगी

1.8M 88.8K 55
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
2.3M 35.1K 48
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
3M 44.1K 30
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...
411K 2.2K 16
Warning ⚠️ 18+ gak suka gak usah baca jangan salpak gxg! Mature! Masturbasi! Gak usah report! Awas buat basah dan ketagihan.