About You

By fairytls

55.4K 5.5K 3.8K

[PRIVAT, FOLLOW UNTUK BACA LENGKAP] Trauma terhadap cinta membuat Leone Ice Fox tak ingin menjalin hubungan d... More

A T T E N T I O N
P R O L O G U E
1. Leone Ice Cole
2. Ocean Javiera
3. School
4. Clubbing
5. Girlfriend? Big No!
6. Ocean is a Germ
7. Freaky Girl
8. What? Mr. Ice
9. Gifts
10. Ck! She's Noisy
11. Damn! Crazy Girl
12. Poor Ocean
13. She's Not Cinderella
14. Physics Olympiad
15. She's Says "I Love You"
16. Family Date
17. Nightmare, Hug, and Hallucinations
18. Denial
19. Angry
20. Can I Eat Your Lips?
21. I Apologize
23. I Gotta Go
24. Missing You
25. Musée du Louvre

22. Who's she?

1.5K 188 186
By fairytls

2500 kata

Jangan lupa Vote dan Komen!

.

Ocean berjalan pincang menuju kelasnya, sedangkan dari jarak lima meter gerombolan anak basket berjalan berlawan arah dengan gadis itu.

"Drake, Ocean tuh." Louis menyikut Draco seraya menunjuk Ocean menggunakan dagunya di mana jarak gadis itu masih agak jauh dari mereka.

Draco langsung mengikuti ke mana arah pandangan Louis, ia tilik gadis itu yang semakin mendekat ke arahnya.

"Kenapa Ocean jalannya pincang? Mana enggak pakai sepatu lagi." Heran Lucanne mengamati cara Ocean berjalan dan gadis itu memakai sendal tipis warna pink.

"Mungkin kakinya lagi sakit." Anggota basket lain menimpali.

Draco berhenti di depan Ocean pun keempat temannya berpijak di belakang Draco.

"Kenapa kaki lo?" Draco bertanya tanpa banyak basa-basi.

"Luka, Kak, tapi udah enggak apa-apa, udah diobati tadi."

Draco menoleh pada teman-temannya, mengkode mereka agar pergi lebih dulu ke lapangan basket.

"Apa?" tanya Lucanne. Laki-laki itu belum mengerti kode mata yang diberikan oleh Draco. "O-oh, gue paham. Dedek Ocean Kakak-Kakak pergi latihan basket dulu ya, cepat sembuh," sambung Lucanne.

Ocean menyenggut sekali. "Iya, Kak. Makasih," balas Ocean kemudian mengulas senyum manis.

"Cabut," ajak Lucanne. Mereka berempat pergi meninggalkan Draco dan Ocean di tempat.

Draco berdeham pelan. "Lo mau ke mana?"

"Mau ke kelas, Kak."

Draco memutar badan hingga punggungnya menghadap Ocean kemudian berjongkok di depan gadis itu. "Naik," ucap Draco meminta gadis itu naik ke atas punggungnya.

"Eh! Enggak usah, Kak. Kakak mau latihan basket, kan? Pergi aja, aku bisa sendiri."

"Ck. Cepatan naik. Pegal gue lama-lama!"

"Emang enggak apa-apa? Aku berat lho, Kak."

Draco menoleh jengkel. "Jangan banyak protes bisa nggak? Buruan naik! Sebelum gue berubah pikiran."

Dengan gerakan kaku Ocean melingkarkan kedua tangannya dileher Draco. Kemudian lelaki itu bangkit sembari menahan kaki Ocean agar tidak jatuh dari gendongannya. Lantas mulai berjalan menyusuri lorong.

"Diluar enggak ada bencana alam kan, Kak?" tanya Ocean seketika.

Draco dapat merasakan napas Ocean menggelitik telinganya saat gadis itu berbicara. "Kenapa?"

"Enggak biasanya Kakak baik banget sama aku."

"Pada dasarnya gue memang orang baik."

"Yang benar? Kakak aja suka bully orang di mana itu bukan perbuatan baik."

"Kalau soal itu jangan salahin gue, tapi salahin mereka yang cari masalah sama gue," ucap Draco sangat serius nada bicaranya.

Draco menggendong Ocean masuk ke dalam lift kemudian lift meluncur naik ke atas, rooftop sekolah.

Di dudukannya Ocean pada kursi yang memang sudah tersedia di rooftop lalu lelaki itu ikut duduk di hadapan Ocean, sejurus kemudian ia mengeluarkan ponsel dari dalam saku lantas mengirim pesan kepada temannya. Hingga tak berselang lama datanglah seorang anggota basket memberikan paperbag putih yang Draco pesan sebelumnya.

Tangan Draco mendorong paperbag di atas meja ke arah gadis itu. "Buat lo."

Ocean meraih paperbag tersebut lalu merogoh isinya. "Fruit sandwich?" Ocean mengerjap melihat Draco dengan tangan menggenggam fruit sandwich.

"Dimakan. Gue yakin lo belum pernah makan itu."

Ocean memperlihatkan cengirannya yang terkesan polos. "Harganya mahal sih, aku belum sanggup kalau beli sendiri."

Fruit sandwich tersebut tersedia di cafetaria, memakai buah mangga miyazaki yang diimpor langsung dari Jepang dan dibandrol dengan harga Rp.50,7 juta per kilonya.

Ocean tatap fruit sandwich ditangannya lalu kembali lagi melihat Draco. "Cuma satu, Kak? Buat Kakak mana?"

"Buat lo aja. Gue udah sering makan itu."

Lengkungan sabit tampak jelas di wajah Ocean manakala gadis itu tersenyum tulus. "Makasih, Kak."

"Bisa bukanya?" Draco bertanya sebab melihat Ocean membuka bungkus fruit sandwich dari sisi yang salah.

"Enggak. Bisa Kakak bantu bukain?"

"Lo pernah buka onigiri?" Draco berucap sambil meraih fruit sandwich dari tangan Ocean.

"Pernah."

"Bukanya kayak onigiri. Lihat di sini ada tulisan open." Draco menunjuk sisi yang terdapat tulisan tersebut.

Setelah bungkus fruit sandwich terbuka, pemuda itu kembali menyerahkannya ke tangan Ocean.

"Makasih," ucap Ocean senang.

"Um." Draco membalas dengan gumaman dan mengangguk samar. Mengamati Ocean mulai menggigit fruit sandwichnya. "Enak?" Draco bertanya.

Ocean mengangguk dua kali cukup cepat gerakannya. "Enak."

"Dimulut lo ada cream."

Ocean berhenti mengunyah. "Iyakah?" tanyanya sambil memajukan bibirnya untuk melihat cream yang belepotan di sana.

Hal itu tak luput oleh penglihatan Draco, mengundang tawa kecil dari bibir pemuda itu. "You look like a baby," imbuh Draco lantas ia berdiri dari kursinya lalu mencondongkan badan ke depan kemudian mengelap bibir Ocean menggunakan ibu jari.

Tubuh Ocean sontak mengkristal, ia sedikit meremang manakala jemari Draco mengusap lembut permukaan bibirnya, tatapan keduanya saling menggait sesaat sebelum Ocean menyingkirkan perlahan tangan Draco dari bibirnya.

Melihat sirat tak nyaman yang Ocean tunjukkan, Draco segera menjauhkan tubuhnya lantas berdeham canggung sebelum akhirnya kembali duduk.

Telepon dari dalam saku rok Ocean bergetar—menandakan ada pesan masuk. Lekas Ocean melahap habis fruit sandwich yang berada pada genggamannya, kemudian segera meraih ponselnya dari dalam saku.

My Ice<3

Pulang sekolah temui saya di ruang guru.

Memangnya kenapa Pak Es?
Aku ada buat salah lagi?

Enggak.

Terus kenapa?

Enggak usah banyak tanya, datang aja.

Kalau aku enggak mau datang.

Terserah, kamu yang rugi.

Marah?

Enggak.

Beneran?

Y.

Tuh kan marah, balesnya singkat banget.
Ish, kok cuma diread!
Pak Es.
Pak Es.
Kalo cuma diread jadi pacar aku!

Berisik!

Hehe, maaf, enggak marah kan?

Enggak.

Mana buktinya?
Pap dulu coba?

Ocean terkikik sendiri pasalnya usai pesannya terbaca, WhatsApp Leone off seketika. Ia yakin gurunya itu pasti menggeram kesal sebab baru saja ia goda.

Sementara pemuda di seberang Ocean menaikan sebelah alisnya merasa dibaikan dan penasaran hal apa yang membuat Ocean tertawa seperti itu.

***

Bell sekolah telah berbunyi sejak lima menit yang lalu, seluruh murid De Leon High School pun sudah berhamburan keluar dari ruang kelas masing-masing.

Lain halnya dengan gadis 15 tahun yang kini berjalan gontai melewati setiap lorong untuk menuju ruang guru.

Big age gap, right? But age doesn't matter, it's just a number.

Ocean mempercepat langkah begitu semakin dekat dengan ruang guru, sampai di ambang pintu ia menangkap presensi Leone tengah berdiri di depan mejanya. Hanya pria itu seorang yang berada dalam ruangan sebab guru-guru lain telah pulang.

Ocean segera mendekati Leone. "Pak Es," sapanya riang disertai senyum manis.

Leone melukiskan senyum tipis pada bibirnya. "Sepertinya kamu lagi senang."

"Senang dong, kan ketemu Pak Es."

Leone menggeleng kepalanya keheranan sebab baru kali ini ia menemukan gadis yang sesenang itu hanya karena bertemu dengannya.

"Gimana kaki kamu?"

Ocean spontan menunduk melihat kakinya lalu kembali lagi menatap Leone. "Udah mendingan."

Leone membawa menenteng macbook beserta dua buku ditangannya lalu mengajak Ocean pergi ke perpustakaan. Leone berjalan terlebih dahulu memasuki perpustakaan sementara Ocean mengikuti di belakang.

"Duduk," perintah Leone.

Sebelum duduk Ocean melepas ranselnya dan menaruhnya di sisi meja. "Pak Es kita mau ngapain di sini?"

"Minggu depan sudah ujian," ucap Leone mengambil posisi duduk di sebelah Ocean.

"Iya, aku ingat." Ocean mengangguk.

"Kamu tadi enggak mengikuti pelajaran saya karena saya hukum, jadi sekarang kamu belajar susulan," jelas Leone. "Kamu enggak boleh melewatkan pelajaran dan saya harap kamu fokus untuk ujian mendatang." Leone melanjutkan.

Satu setengah jam Leone habiskan untuk mengajar Ocean lalu ia memberikan selembar kertas berisi soal kepada Ocean, meminta gadis itu mengerjakannya.

Manik hijau olive Leone menatap lekat pada wajah cantik sang gadis. Ego Leone mengatakan bahwa dia harus mengalihkan pandangan. Namun, matanya justru enggan berpaling dari gadis yang wajahnya sedang diterpa oleh sinar matahari sore, indah, cerah, dan halus, seperti lukisan musim panas.

Bulu mata Ocean bergetar manakala ia mengerjap perlahan, ia terlalu fokus pada kertas soal tersebut sampai menghiraukan pria di sampingnya.

Ocean menghentikan aktivasnya sejenak, lalu menoleh ke arah Leone. Saat itu juga ia merasa bingung melihat Leone menatapnya tanpa berkedip, tetapi pada akhirnya ia tersenyum hangat.

Lamunan Leone terpecah menyadari bahwa Ocean menangkap tatapannya, Leone langsung membuang muka, ada perasaan aneh terbesit di benaknya. Seperkian detik, Leone sadar apa yang baru saja ia lakukan, "Sial, kenapa gue ngehindar?"

Ocean berhenti tersenyum, itu langkah Leone menghindari tatapannya. Biasanya Leone akan menatapnya lebih tajam, lebih menusuk, tetapi sekarang ia menghindar?

Leone merasa harga dirinya hancur. Pertama, ia memandang Ocean dalam waktu lama, dan sekarang ia menghindari tatapan Ocean seperti orang yang salah tingkah karena sang pujaan hati membalas tatapannya.

"Pak Es kenapa?"

Leone menegakkan kepalanya kemudian kembali menoleh. "Sudah selesai?" tanya Leone mengalihkan pembicaraan.

Ocean kelabakan meraih kertas soalnya. "Udah." Ocean menyodorkan kertas tersebut kepada Leone.

Leone menerimanya, ia tatapi hasil kerja Ocean. "Great, semuanya benar," puji Leone masih mengamati kertas yang ia pegang. Sepertinya Leone harus percaya, bahwa kepintaran Ocean adalah bakat alami, terbukti apa yang Ocean tulis semuanya tepat, tanpa cela.

Ocean senang mendengarnya, namun di detik berikutnya Ocean mendesah lesu sebab perut Ocean mendadak berbunyi, sebelumnya saat jam istirahat ia hanya makan satu potong fruit sandwich yang diberikan Draco, wajar saja kalau sekarang ia lapar.

Leone mengeryitkan dahi menatap Ocean yang tampak lesu. "Kamu kenapa lemes begitu?" tanya Leone pada akhirnya.

"Laper," balas Ocean terdengar seperti rengekan.

Leone melirik arloji yang melingkar manis di pergelangan tangannya. Pukul 16.55, hampir tiga jam mereka berada di perpustakaan.

"Ya sudah kita pulang, kamu bisa makan di rumah."

Mata Ocean berbinar, gadis itu mengangguk semangat sambil merapikan bukunya dan memasukkannya ke dalam ransel.

Mereka keluar dari perpustakaan, Ocean berdiri di belakang Leone manakala pria itu tengah mengunci pintu perpustakaan. Kemudian keduanya pun berajak dari sana, namun jangan bayangkan jika mereka berdua jalan berdampingan sebab Leone lebih dulu berjalan cepat meninggalkan Ocean yang kesusahan mengejarnya.

"Dasar jerapah!"

Leone mungkin tidak mendengar perkataan Ocean karena kini Leone sudah masuk ke dalam mobil lantas duduk pada kursi pengemudi.

Ocean menghentakan kakinya kesal, gadis itu buru-buru membuka pintu lalu duduk di sebelah Leone dengan muka tertekuk.

"Laper banget ya? Sampai cemberut gitu mukanya," celetuk Leone melirik Ocean sembari memasang seat belt ke tubuhnya.

Ocean tolehkan kepalanya secepat kilat. "Iya, laper banget, mau makan orang." Ocean membalas agak ketus.

Leone mengindahi kekesalan Ocean. "Pasang seat beltnya."

Ocean menyeringai jail. "Pasangin dong Pak Es."

Kali ini Leone malas berdebat, ia langsung mencondongkan badannya  memasang seat belt untuk Ocean.

***

Ocean keluar dari kamar usai mengganti seragam sekolah dengan dress putih rumahannya, rambut gadis itu diikat satu pada bagian bawah. Karena sudah sangat lapar, Ocean segera melangkah gontai menuju dapur.

Sementara di tempat yang berbeda, Leone meninggalkan kamarnya untuk membuat kopi. Sampai di dapur, ia menangkap vista seorang gadis bertubuh ramping tengah memotong wortel.

Di atas pijakannya, Leone dapat merasakan kehangatan menjalari tubuhnya ketika Ocean mengembangkan senyum untuknya. Sudut mata gadis muda itu membentuk garis halus, membuat Leone bergumam, sejak kapan Ocean jadi semenggemaskan itu.

Leone tidak memberi respons, dengan wajah sedatar papan tripleks ia mendekat, mulai menuangkan bubuk kopi ke dalam gelasnya. Leone menarik salah satu kursi, lantas duduk menghadap meja pantry sembari meminum kopi yang telah ia buat.

"Masak apa?" tanya Leone, seperti biasa tatapan pria itu selalu tajam dan agak sayu.

"Apa aja yang cepat, mudah, dan enak," sahut Ocean dengan tubuh yang dibalut apron berwarna pink. Kendati matanya menatap Leone, jemarinya tetap lihai dalam memotong wortel menjadi seukuran dadu kecil.

"Mau saya bantu?" tawar Leone. Ia tidak buruk dalam memasak, bagaimanapun memasak adalah basic life skill yang harus dimiliki oleh semua orang baik laki-laki maupun perempuan.

"Pak Es bisa masak?" Ocean tidak percaya Leone bisa memasak karena pria itu lahir dengan sendok emas di mana semua kebutuhannya terpenuhi dan dilayani oleh pelayan sedari kecil.

"Kamu meragukan saya?" Leone bangkit, ia menghampiri Ocean lalu mengambil alih pisau dalam genggaman gadis itu. "Kamu mau masak nasi goreng?" tebak Leone tatkala melihat potongan wortel, bawang merah, bawang putih, di atas cutting board kayu.

Ocean mengangguk mengiakan, sedikit menggeser tubuhnya membiarkan Leone meneruskan kegiatannya yang hendak memotong daun bawang.

"Saya bisa masak nasi goreng yang enak," ujar Leone masih pada aktivitasnya memotong daun bawang.

Leone berbalik badan mengambil udang beserta seikat sayuran dari dalam lemari pendingin lalu kembali ke meja pantry. Kemudian ia membuka laci, meraih mangkuk kaca bening berukuran kecil. Sebelum mulai membuka kulit udang, Leone memakai apron terlebih dahulu. Ia ahli mengupas kulit udang seperti sudah terbiasa melakukannya.

Ocean juga ingin membantu, akhirnya ia meraih sayuran di atas meja pantry yang sebelumnya dikeluarkan Leone dari lemari pendingin kemudian membawanya ke wastafel untuk dicuci.

Leone berdiri di belakang Ocean sambil memegang mangkuk kaca berisi daging udang tanpa kulit, Leone menjulurkan tangan kirinya ke depan dan memegang air yang mengalir dari keran. "Airnya dingin, biar saya aja," katanya penuh perhatian.

Ocean tidak bisa tidak tersipu, ia mundur perlahan sembari tersenyum salah tingkah. Sungguh, perlakuan Leone barusan sangat manis.

Leone mengibaskan rambutnya ke belakang yang mengganggu penglihatan tatkala pria itu menunduk mencuci sayuran. Hal itu dilihat oleh Ocean, gadis itu menarik ikat rambutnya lalu berjinjit menggapai rambut Leone. "Rambutnya ganggu kan? Biar aku bantu."

Masih di depan wastafel, posisi Leone membelakangi Ocean, Leone menekuk lututnya untuk menunduk agar Ocean bisa mengikat rambutnya.

"Pak Es tinggi banget sih!" gerutu Ocean.

Leone menegakkan kembali badannya lantas berbalik menghadap Ocean ketika Ocean selesai mengikat rambutnya.

Ocean terkekeh gemas melihat hasil ikatannya yang seperti air mancur. "Pak Es lucu banget," ucap Ocean dengan tawa yang masih tersisa.

Ocean langsung mengatup mulutnya mendapati manik Leone makin tajam menatapnya. Barangkali Leone tak suka disebut lucu.

"Duduk, biar saya yang masak."

Ocean melepas apron yang ia pakai, lalu mendudukan diri dikursi. Mengamati gerak-gerik Leone dari tempat duduknya.

Melirik ke arah wajan yang telah dipanaskan, Leone beralih untuk memasukkan margarin ke dalam wajan. Sementara gadis yang duduk tak jauh darinya hanya menatap punggungnya terpukau. Tampan, kaya, bertubuh kekar, dan pandai memasak. Kurang apalagi untuk menjadi tipe idaman para perempuan di luar sana?

Leone selalu memesona bahkan ketika memasak seperti ini. Tubuh kekar dibalut apron berwarna hitam. Pinggangnya terlihat sangat ramping, sementara dadanya sangat bidang. Ditambah otot-ototnya yang tercetak jelas dari balik kaos putih polos. Indah sekali. Bahkan Ocean sempat tak sadar jika ia telah memandang Leone kelewat lekat.

Leone menghentikan aktivitasnya sejenak, kepalanya menoleh ke arah Ocean. "Kamu suka pedas."

"Suka. Pak Es sendiri suka pedas enggak?" tanya Ocean penasaran.

"Enggak."

"Kenapa? Padahal enak tahu."

"Makanan pedas enggak bagus buat sistem pencernaan."

Leone menjeda kegiatannya sebentar, ada hal yang kini menyita perhatiannya. Ia tampak berpikir sejenak, sebelum akhirnya menambahkan kaldu bubuk ke dalam wajan. "Jangan sering-sering makan makanan pedas. Kamu masih dalam pertubuhan, makanlah yang lebih sehat," katanya sambil meraih mangkuk berisi udang yang sudah ditumis, lantas memasukkannya ke dalam wajan yang terdapat nasi goreng berwarna kecokelatan.

"Iya, aku enggak sering-sering makan pedas," balas Ocean. "Oh iya makanan kesukaan Pak Es apa?"

Leone sontak mematung. Tubuhnya membeku. Segurat nyeri menjamah hatinya. "Enggak ada," jawabnya.

"Oh aku tau, Pak Es pemakan segalanya, ya?" Ocean terkekeh kecil. Berniat membuat lelucon, tetapi lawan bicaranya tak merespon apa pun selain fokus pada piring yang tengah dibawanya. Ocean mendongak, menatapi Leone seraya memiringkan kepala karena menyadari ada sesuatu yang aneh. "Pak Es, kenapa?"

Leone mendadak tersenyum tipis. "Makanlah." Leone meletakan piring nasi goreng ke depan Ocean. "Spicy shrimp fried rice."

Manik Ocean refleks berbinar. "Kelihatannya enak banget, sejak kapan Pak Es bisa masak?" tanyanya dengan riang. Aroma nasi goreng hangat yang Leone sajikan membuat perutnya bergemuruh.

"Sejak dulu."

Ocean melirik Leone, ia merasa atmosfer diantara mereka berubah menjadi kelabu. Namun, gadis itu tak ingin membuatnya semakin pekat, maka ia kembali berseru riang setelah mencicipi nasi goreng itu. "Umm ... enak banget. Pak Es benar-benar hebat!"

Senyum Ocean terukir lebar. Namun sang lawan bicara hanya diam menyelami pikirannya. Entah apa yang pria itu lamunkan.

"Eh, ada kalian," sapa Lucy. Wanita itu baru tiba di rumah dan menangkap keberadaan putranya bersama Ocean berada di meja pantry.

Ocean menoleh ke arah sumber suara, tampak wanita itu berjalan mendekat.

"Kamu masak nasi goreng, Ocean? Aromanya enak banget."

"Emang enak banget, Tan. Tapi bukan aku yang masak, ini dimasakin Pak Leo."

Seketika Lucy menatap putranya itu yang ternyata juga menatap dirinya. "Tumben kamu masak? Seingat Mama terakhir kali kamu masak buat Stella."

Ocean memusatkan pandangannya bingung kepada Ibu dan Anak itu secara bergantian dan terbesit tanya dalam benaknya. Siapa Stella?

Tempat spam next di sini→

Continue Reading

You'll Also Like

5.5K 164 16
every Silent husband needs their Chatty wife. || Arranged Trope ⚠️ Unintended Effects, Inclusions, and Manner‼️ - Delusion - Laughing Unconsci...
3.1M 155K 22
Sagara Leonathan pemain basket yang ditakuti seantero sekolah. Cowok yang memiliki tatapan tajam juga tak berperasaan. Sagara selalu menganggu bahkan...
6.8M 288K 59
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
452K 49K 45
Selain mencintai kebebasan dan motor ninja pinknya, Violet juga mencintai pacar brondongnya yang manis dan menggemaskan-Sastara Jeevans Kanagara nama...