Conquered Mr. Gay [Completed]

By aprilianatd

1.3M 118K 4.7K

Runa Nafisah Keylani tidak bisa menolak keinginan Papanya saat diminta untuk menikah dengan seorang laki-laki... More

Prolog
Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30 [end]
Epilog
Extra Part
Pengumuman

Bab 23

43.6K 4.2K 300
By aprilianatd

"Jalannya jauh-jauh banget kayak orang lagi musuhan." Dengan lembut Devan menyentuh lengan Runa.

Runa mendengus, tapi tetap mendekat ke Devan, memperkecil jarak di antara mereka. Setelah makan malam, Devan malah mengajak Runa berjalan-jalan di sekitar Malioboro meski sudah terlalu malam. Suasana di Malioboro cukup ramai dengan beberapa pejalan kaki seperti mereka walaupun jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam.

"Kamu pernah ke Jogja sebelumnya?" tanya Devan tanpa menatap Runa.

"Hmmm...," jawab Runa dengan gumaman. "Dulu waktu study tour sekolah."

Devan manggut-manggut mendengar itu. Tiba-tiba tangan kanannya refleks merangkul pundak Runa saat perempuan itu ditabrak oleh seorang perempuan dari arah yang berlawanan.

"Maaf," ucap seorang perempuan yang tidak sengaja menabrak Runa.

Runa mengerjapkan matanya melihat kepergian perempuan yang baru saja menabrak bahunya begitu saja. Ucapan maaf yang diucapkan sambil lalu, tentu saja membuat Runa menjadi kesal. 

"Udah, dia nggak sengaja," ucap Devan masih senantiasa merangkul Runa dan melanjutkan langkah kakinya.

"Paling nggak minta maafnya diam, jangan jalan kayak gitu. Nggak sopan banget," gerutu Runa kesal.

"Mungkin dia lagi buru-buru."

Runa melemparkan tatapan kesal pada Devan. "Udah lah, balik ke hotel aja. Aku ngantuk."

"Emang," sahut Devan. "Kan sekarang tujuan kita emang mau cari taksi online buat balik ke hotel."

Saat Runa menyadari tangan Devan bertengger di pundaknya, ia menghentikan langkah kakinya. Hal itu membuat Devan juga melakukan hal yang sama. "Ngapain masih rangkul pundakku?" tanyanya dengan melirik tangan Devan di pundaknya.

"Biar kamu nggak kesenggol orang lagi," jawab Devan sekenannya. "Daripada kita pesan taksi online, kenapa kita nggak naik becak aja buat balik ke hotel?"

Runa langsung tersenyum lebar mendengar usulan Devan. Terakhir ia naik becak saat ia masih kecil. Bahkan ia sudah lupa bagaimana rasanya naik becak. Mendengar usulan Devan tentu saja membuatnya semangat. Ia bahkan sudah tidak mempermasalahkan lagi rangkulan Devan di pundaknya. "Boleh. Aku udah lama nggak pernah naik becak," sahutnya antusias.

Jarak hotel tempat Runa Dan Devan menginap tidak terlalu jauh dari Malioboro. Dengan menggunakan becak motor, mereka tiba dalam waktu kurang dari sepuluh menit.

Sampai di hotel Runa langsung mengganti bajunya dengan piyama sebelum melemparkan dirinya di atas tempat tidur. Kakinya terasa sangat lelah karena dipakai untuk berjalan seharian. Sebelum tidur ia sempat mengoleskan minyak ke kedua kakinya. Selesai mengoleskan kakinya, tak lama Devan menyusul dan tidur di sebalahnya.

"Mas Devan bilang lagi sibuk, kenapa nyusulin aku ke Jogja?" tanya Runa penasaran.

"Setelah dipikir-pikir, aku butuh liburan. Nggak ada salahnya nemenin kamu liburan di Jogja," jawab Devan asal.

Runa mencibir pelan. "Dasar plin-plan."

"Mulai besok kamu keluarnya sama aku, nggak perlu sama temenmu lagi."

"Kenapa gitu?"

"Masa aku udah jauh-jauh ke sini kita liburannya sendiri-sendiri?"

Runa diam, menimbang sebentar keputusan yang harus diambil. "Yaudah, besok aku bilang ke temenku."

Devan tersenyum puas. "Udah tidur. Aku capek banget hari ini." Setelah mengatakan itu menghadapkan tubuh ke Runa dan mulai memejamkan matanya.

***

Runa melipat tangannya di depan dada sembari matanya menatap lurus ke depan. Jam hampir menunjukkan pukul delapan, tapi tidak ada tanda-tanda Devan akan bangun. Sudah dari setengah jam yang lalu Runa berusaha membangunkan Devan, tapi laki-laki itu malah menyuruhnya bersiap-siap lebih dulu. Begitu Runa sudah selesai mandi dan bersiap, belum juga ada tanda-tanda Devan akan bangun dari tidurnya.

Runa menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Kemudian ia berjalan ke kasur dan duduk di tepi kasur. Awalnya Runa masih ingin berusaha membangunkan Devan lagi. Begitu melihat wajah Devan yang sedang tertidur nyenyak, membuat Runa jadi tidak tega. Wajah Devan terlihat begitu kelelahan. Menurut informasi yang didapat dari Almira, laki-laki itu nekat datang ke Jogja setelah menyelesaikan semua pekerjaannya. Runa sendiri belum begitu mengerti alasan Devan jauh-jauh menyusulnya yang sedang berlibur, padahal ia tahu betul kalau banyak pekerjaan yang harus diselesaikan oleh Devan.

Karena tidak ingin mengganggu tidur Devan, akhirnya Runa memilih duduk di sofa sembari bermain ponsel. Kurang lebih setengah jam kemudian, Runa mendengar lenguhan pelan dari arah kasur. Padangannya dari ponsel langsung beralih ke kasur, melihat Devan yang mulai terbangun dan duduk bersadar di headboard.

"Kamu ngapain di situ?" tanya Devan sembari menguap lebar.

Runa mendelik mendengar pertanyaan Devan yang dilayangkan dengan wajah tanpa dosa itu. "Nungguin Mas Devan bangun," jawabnya sinis.

"Kenapa nggak bangunin aku kalo kamu udah siap?" tanya Devan dengan suara serak, khas bangun tidur.

Runa bangun dari sofa yang didudukinya dan berjalan ke arah kasur. Ia langsung duduk di pinggir kasur, dan menatap lurus ke Devan. "Aku udah bangunin Mas Devan, tapi Mas Devan malah nyuruh aku mandi sama siap-siap." Runa diam sebentar, sebelum akhirnya melajutkan. "Selesai siap-siap, aku berniat mau coba bangunin Mas Devan lagi."

"Terus, kenapa kamu nggak bangunin aku?" sela Devan cepat.

"Karena aku nggak tega."

"Hah?" Devan menggaruk kepalanya dengan wajah kebingungan.

"Mas Devan kayak nyenyak banget tidurnya. Semalem wajah Mas Devan juga kayak capek banget dan kurang tidur. Aku nggak tega bangunin Mas Devan yang kelihatan emang butuh tidur."

Devan menghela napas pelan. Ia merasa bersalah saat ini. Tak bisa dipungkiri perkataan Runa memang benar. Tubuhnya memang lelah setelah menyelesaikan semua pekerjaannya di Surabaya sebelum akhirnya bisa menyusul Runa ke Jogja.

"Jujur sama aku, sebenarnya Mas Devan ngapain bela-belain nyusul aku ke Jogja kalo emang punya banyak kerjaan?" tanya Runa menatap Devan dengan tajam.

Devan diam.

"Mbak Almira bilang kalo Mas Devan rela nyelesaiin semua kerjaan sebelum terbang ke sini. Mas Devan rela naik pesawat biar cepat sampai ke Jogja."

"Naik pesawat biar nyaman dan nggak terlalu lama di jalan," sahut Devan mengoreksi.

Runa mengibaskan tangan kanannya. "Jawab dulu pertanyaanku. Jangan alihin pembicaraan ke topik lainnya!" serunya kesal.

"Aku emang mau nyusulin kamu ke sini."

"Kenapa?" tanya Runa cepat. "Bukannya dari awal Mas Devan bilang nggak bakal nyusulin aku ke sini karena Mas Devan banyak kerjaan. Sekarang kenapa tiba-tiba Mas Devan muncul di Jogja?"

"Karena aku khawatir."

"Khawatir apa?" tanya Runa lagi. "Aku kan baik-baik aja di Jogja. Apa yang perlu dikhawatirin?"

"Karena kamu sempat masuk rumah sakit tanpa ngasih tau aku," sela Devan. "Aku kan udah bilang untuk selalu ngabari kondisimu di sini. Masa aku baru tau kamu ke rumah sakit dari Almira. Kalo bukan Almira yang ngasih tau, aku nggak bakal tau kalo kamu sempat ke rumah sakit dan dapat jahitan di dahimu," lanjutnya dengan mengomeli Runa.

Runa langsung menunduk. "Ini kan bukan hal yang perlu dibesar-besarin. Kondisiku juga baik-baik aja," ucapnya dengan suara pelan.

"Kenapa nggak ngasih tau aku kalo kamu jatuh dan sempat ke rumah sakit?"

"Aku pikir ini hal kecil, jadi aku nggak mau bikin Mas Devan khawatir."

"Tapi kamu berhasil bikin aku khawatir setelah tau kabar itu dari Almira," sahut Devan menggeram pelan.

Runa berdecak pelan. "Padahal Mbak Almira udah janji nggak bakal bocorin masalah ini ke Mas Devan," gerutunya dengan suara pelan.

Devan menghela napas lelah saat telinganya mendengar gerutuan dari Runa.

"Mas Devan beneran khawatir sama aku?" tanya Runa mengangkat pandangannya menatap Devan. "Nggak kayak biasanya Mas Devan khawatir sama aku," gumamnya pelan.

Devan melipat kedua kakinya menjadi bersila. "Emang aku nggak boleh khawatir sama kamu?"

Mendengar pertanyaan itu membuat Runa menjadi terdiam.

"Aku suamimu. Wajar kalo aku khawatir terjadi sesuatu sama kamu," ucap Devan dengan tenang. "Emang aku nggak boleh khawatir sama kamu?" tanyanya lagi.

Runa mengerjapkan matanya. Ia merasa tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. "Ke- kenapa Mas Devan khawatir sama aku?" tanyanya dengan terbata-bata.

Devan mengedikkan bahu. "Nggak tau. Aku juga bingung kenapa bisa khawatir sama kamu."

Satu pemikiran tak nasuk akal melintas di pikiran Runa secara tiba-tiba. "Mas Devan nggak mungkin tiba-tiba jatuh cinta sama aku kan?" tanyanya dengan tertawa pelan. Runa merasa lucu dengan pertanyaan yang baru saja ia ajukan.

Devan seketika langsung terpaku mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Runa. Meski terlihat pertanyaan itu diajukan dengan nada bercanda, justru membuat Devan kepikiran.

"Nggak mungkin juga Mas Devan tiba-tiba jadi lurus dan suka sama aku. Kita aja baru nikah beberapa bulan," ucap Runa lagi. Masih dengan sisa tawanya.

"Emang kalo aku udah ngerasa suka sama kamu nggak boleh, ya?"

Runa langsung terkejut mendengar ucapan Devan. "Hah?"

Devan memberanikan diri mencium bibir Runa. Awalnya perempuan itu masih menutup bibirnya karena saking terkejutnya dengan ciuman Devan yang tiba-tiba. Sampai akhirnya Devan merasa senang karena Runa mulai membalas ciumannya.

Begitu tersadar, Runa langsung melepaskan ciumannya dan sedikit mendorong bahu Devan menjauh. "Mas Devan benar-benar udah lurus?" tanyanya tak percaya.

Devan yang ditanya seperti itu jelas kebingungan. Ia sendiri tidak bisa mengerti apa yang sedang dirasakan. "Aku nggak tau," jawabnya jujur.

"Mas!" seru Runa kesal. Ia merasa tidak puas dengan jawaban yang diberikan oleh Devan.

"Yang aku tau, aku nggak bisa jauh dari kamu. Aku ngerasa hampa tinggal sendiri di apartemen tanpa ada kamu. Aku ngerasa kesepian karena nggak ada kamu yang selalu cerewet. Dengar kabar kamu sempat ke rumah sakit bikin aku panik dan pingin nyusulin kamu ke sini," ucap Devan mulai menjelaskan. "Aku nggak tau, apa itu cukup untuk dikatakan cinta?" tanyanya akhirnya.

Runa bukannya menjawab, malah mendekatkan wajahnya dan memberanikan diri mencium bibir Devan. Kedua tangannya melingkar di belakang leher Devan. Runa yang merasa tindakannya terlalu jauh, ia berusaha untuk menjauh. Saat ia hendak menjauh, Devan malah menahannya. Satu tangan Devan sudah berada di belakang kepalanya dan satu lagi di punggungnya. Bibir mereka saling bertaut, saling memuaskan satu sama lain.

***

Sorry for typo and thankyou for reading

Author Note:
Ini kan yang kalian tunggu? Wkwkwk... Maaf ya kalo aku baru update sekarang. Semoga kalian suka sama bab ini.

Mungkin feel-nya kurang dapet karena aku udah lama banget nggak nulis. Harap dimaklumi ya, hehehe...

Continue Reading

You'll Also Like

85K 13.6K 75
Nggak ada persahabatan yang murni antara pria dan wanita? Setuju? Kalau nggak percaya baca aja cerita ini.
236K 15K 45
Galang Andrian, harus menerima kenyataan pahit, di saat sang Ayah mengganti Sekretarisnya yang juga kekasihnya dengan seorang gadis culun yang bernam...
265K 18.8K 35
Romance-Comedy (Arsaka Series 1) Jika cinta tidak lagi menjadi alasan untuk saling percaya. Jika cinta seolah hanya kamuflase dari kalimat "Aku menc...
308K 27.4K 45
Keciduk berduaan di kosan sama pemuda yang bahkan tidak Jea kenal. Berakhir mereka berdua dinikahkan secara paksa akibat sanksi sosial di lingkungan...