Aksara Senada

By ndaquilla

1.9M 248K 13.4K

Mereka pernah bersama. Membangun rumah tangga berdua, sebelum kemudian berempat dengan anak-anaknya. Bahagia... More

P R O L O G
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Empat
Dua Puluh Lima
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan
Dua Pulun Sembilan
Tiga Puluh
Tiga Puluh Satu
Tiga Puluh Dua
Tiga Puluh Tiga
Tiga Puluh Empat
Tiga Puluh Enam
Tiga Puluh Tujuh
Tiga Puluh Delapan
Tiga Puluh Sembilan
Empat Puluh
Empat Puluh Satu
Empat Puluh Dua
Empat Puluh Tiga
Empat Puluh Empat

Tiga Puluh Lima

36K 4K 180
By ndaquilla

Ini flashback lagii yaaa hahahaa
Biar greget sih kalian

Ini bukanlah romansa biasa yang hilang sesaat karena tak lagi berjumpa.

Aksa tahu, rasa menggebu di dadanya bukan hanya tentang rindu, namun juga haru karena akhirnya mereka bertemu. Senyumnya melebar utuh. Satu setengah tahun merindu, hari ini netranya siap mengabadikan temu.

Menyimpan lewat memori terdalam. Membungkusnya dengan kotak ternyaman. Dan dirinya tak akan ke mana-mana lagi. Terus mamatri sosok itu hingga abadi.

"Hai," sebelah tangannya menyapa tinggi. Senyum yang memaku di wajah, buatnya tampak bodoh sedari tadi. Tetapi, Aksa tak peduli. Ia menyukai bagaimana cengirannya menyertai. "Aku nyasar tiga kali," ocehnya karena gugup. Padahal, yang ada di ujung lidah adalah seruan rindu. "Tapi tenang aja, aku nggak bakal frustrasi sampai benar-benar ketemu kamu. Dan taraaa ... aku udah ada di depan kamu sekarang," cengirnya sambil menggaruk kepala.

Akhirnya setelah sekian lama, Aksa dapat bernapas lega. Bertemu kembali dengan Nada merupakan semoga yang ia panjatkan dalam doa.

"Alamat kamu adalah hadiah kelulusanku dari Mami," ujarnya bersemangat. Senyumnya tak lekang, walau bibir perempuan di hadapannya itu masih tertutup rapat. "Aku langsung ke sini tanpa pikir panjang. Aku datang dari pagi, nyasar ke sana kemari. Tapi nggak masalah, akhirnya kita ketemu lagi," sirat di netranya berlumur bahagia. Menatap rakus bidadari yang ia rindukan setengah mati. "Aku," ia lalu menarik napas panjang. "Seneng banget ketemu kamu lagi."

Nada bergeming kaku.

Bibirnya terkatup, napasnya berembus memburu. Namun untungnya, ia mampu mengendalikan diri. Walau keterkejutan benar-benar buat jantungnya berdegub ngilu.

Sebentar, biarkan ia menghela.

Sekejab, biarkan ia coba meraba dadanya.

Ia sedang menimbang gula pasir di belakang, kala salah seorang kawan yang bekerja dengannya di grosir ini mengatakan ada yang mencarinya di depan. Nada pikir, mungkin saja ada yang salah setelah ia melayani seorang pembeli yang memborong bahan pangan untuk kebutuhan pesta pernikahan. Sebab, sering kali ada pembeli yang mengajukan komplen jika membeli dalam partai besar. Entah itu minyak goreng yang kurang seperti yang tertera di catatan bon mereka. Atau ada tepung yang keliru ketika ikut dimasukan dalam plastik belanjaan.

Mana pernah terpikir olehnya bahwa yang mencarinya adalah sosok yang ia tinggalkan satu setengah tahun yang lalu. Pemuda pertama dalam hidupnya yang mengajaknya merajut romansa saat mahasiswa. Yang menyatakan cinta, tanpa Nada tahu apa artinya. Dan kini, sosok itu ada di depan matanya.

Memandangnya penuh rasa.

Menyorotnya seakan ia berharga.

Sebab Nada pikir, cinta yang tersemai tidak terlalu ramai. Mereka akan lupa seiring berjalannya waktu. Rindu yang menggebu di awal tak bertemu, pelan-pelan buat Nada terbiasa. Lalu caru-marut kehidupan, membuatnya enggan berharap pada romansa merah muda. Fokus utamanya adalah bekerja. Sepulang dari sana, ia 'kan mengurusi pekerjaan rumah. Kemudian tertampar lelah dan tidur hingga pagi ranum mulai menyapa.

"Kamu kaget, ya?" Aksa meringis tipis karena Nada belum juga meresponnya. "Hehehe ... mobilku parkir di rumah kamu. Terus tadi, adik kamu yang bilang kalau kamu kerja di sini—"

"Mau ngapain ke sini?" Nada memotong ucapan tersebut dengan raut dingin. Ia menyeka peluh di kening dengan lengannya. Kedua telapak tangannya kotor. Berkutat di belakang sambil menimbang puluhan kilo gula dan minyak goreng, selalu membuatnya merasa pengap. Rambut ekor kudanya pun telah kuyub, wajahnya sudah pasti terlihat mengkilap karena sudah bekerja seharian. Kini, matahari hampir tergelincir, namun jam tutup grosir masih satu jam lagi. "Aku masih kerja."

Cengiran Aksa langsung hilang.

Rindu yang sedari tadi berada di ujung lidah, ia telan kembali.

Respon yang diberikan Senada Anulika benar-benar membuatnya tak dapat berkata-kata. Sebab sebelumnya, ia pikir rindunya akan disambut haru. Peluknya akan dibungkus dekap. Namun rupanya, ia keliru. Senada Anulika, tampaknya tak akan pernah melakukan hal itu.

"Aku boleh tunggu?" pintanya yang enggan memberi waktu pada kecewa tuk memakan hatinya. "Aku," Aksa menelan ludah. "Ehm, kita perlu bicara 'kan?" ia samarkan kecewa dengan suara ramah. "Jadi, aku tunggu, ya?" senyum itu masih ada. Terlukis indah, setelah melalui ragam kemelut jiwa.

Dalam netranya, Nada menerima segala yang terlihat samar itu dengan sangat baik. Namun, kondisinya saat ini tak membuatnya merasa harus mengasihani orang lain. Hidupnya bahkan sudah jauh lebih sulit."Terserah kamu," hanya itu yang mampu ia ucap.

Lalu perempuan itu berbalik ke dalam. Menyembunyikan debar di dada yang tiba-tiba kembali menyalak tak ramah setelah belasan bulan mereka tak berjumpa.

Dan Aksa memang tak ke mana-mana. Tetap berada di sana, seraya menunggunya. Membeli minuman serta banyak camilan. Sifatnya yang ramah, membuat Aksa dengan mudah mendapatkan teman bicara. Siapa saja disapanya. Anak-anak yang mendekat diberinya sebungkus snack yang ia borong di dalam. Menertawakan hal-hal kecil. Menjadikan sosoknya dengan mudah sebagai pusat perhatian.

Ah, Aksa memang seperti itu.

Ibarat cahaya, Aksa adalah matahari yang terang benderang.

"Oh, lu orang temen kuliahnya Nada dulu?" Ci Merry alias pemilik grosir bertanya sembari membiarkan pekerjanya yang laki-laki menutup grosir. "Iya, dulu-dulu emang kita pernah denger kalau si Nada kuliah. Terus, dia balik lagi ke sini karena rumahnya kebakaran."

"Iya, Ci. Sampai semester lima aja. Harusnya, dia udah lulus bareng saya."

"Lu cuma temen atau demennya?" tebak Ci Merry sembari menilai pemuda itu dari atas ke bawah. "Di sini ada yang naksir Nada, tapi nggak digubris sama tuh anak. Dingin banget orangnya. Gue juga kadang kalau mau nyuruh-nyuruh dia, segan. Gila 'kan, gue yang punya nih tempat, tapi gue yang nggak enakan nyuruh dia."

Aksa hanya memberi sedikit cengiran. Dulu, ibunya juga pernah berkata seperti itu. "Tapi biasanya, Ci, tanpa disuruh pun Nada selalu tahu kok kerjaannya apa."

"Ya, memang. Makanya, gue nggak enakan nyuruh dia. Semuanya dikerjain," keluh Ci Merry sembari memeriksa pekerjaan pegawainya yang tadi menutup teralis besi yang mengelilinginya grosirnya. "Nah, tuh mereka udah pada keluar," ia menunjuk dengan dagu. "Oii, Nada! Lu udah ditunggin nih!" serunya kencang.

Mendengar hal itu, justru Aksa yang bereaksi malu-malu.

Ia merapikan kemejanya yang tertumpah remah-remah makanan ringan. Membasahi tangan kanannya dengan air mineral, lalu ia gunakan tuk menyisir rambutnya yang pasti sudah kehilangan gaya sejak pagi tadi ketika ia mulai mempersiapkan diri menemui Nada.

Tak masalah bila terus-terusan melebarkan senyuman, sebab itulah yang sedang Aksa lakukan. Satu per satu teman-teman Nada mulai keluar, lalu gadis yang ditunggu-tunggu Aksa akhirnya memperlihatkan dirinya juga. Dengan totebag hitam yang menggantung di bahu serta botol air minum di tangan kiri, gadis itu muncul dari sana.

"Katanya temen lu, ya, Nad?" Ci Merry langsung bertanya pada pegawainya itu.

"Iya, Ci," jawab Nada pelan.

"Oh, gue kira pacar lu. Bias patah hati si Ali kalau tahu lu orang punya pacar."

Aksa segera menangkap nama seseorang di kalimat itu. Dan otak pintar berbumbu dramatisnya langsung saja membuat kesimpulan yang tidak-tidak. Hm, baiklah ia akan waspada. Karena sepertinya waktu satu setengah tahun, memang tak sebentar untuk membuat segala ketidakmungkinan menjadi suatu hal yang bisa saja terjadi.

Seperti, mungkin saja Nada sudah memiliki kekasih lain.

Atau, bisa jadi Nada telah melupakannya.

Ugh, Aksa benci memikirkannya.

"Mari, Ci," Nada memilih pamit.

"Iya, iya, hati-hati."

Aksa langsung mengikuti Nada begitu gadis tersebut mulai berjalan. Tak lupa, ia bawa satu kantong plastik berisi jajanan yang belum ia buka. "Siapa Ali?" tanya Aksa begitu langkah kakinya berhasil sejajar dengan gadis itu. "Dia naksir kamu?" suaranya menjadi defenisif. "Kamu selingkuh?" ia akan mengejar jawaban sampai dapat. "Kita belum putus lho, Nad," ia mengingatkan sungguh-sungguh. "Satu setengah tahun ini anggaplah kita lagi break. Karena sebelum kamu pergi tiba-tiba, kita nggak ada masalah apa-apa, Nad," Aksa ngotot. "Aku nggak terima pokoknya kalau kamu udah punya pacar lagi."

Nada menghela napas panjang. Ia hentikan laju kakinya dan menatap pemuda di sisi kirinya dengan pendar penuh telisik. "Kamu ngapain di sini?"

"Jemput kamu," balas Aksa tanpa berpikir.

Buat kening Nada berkerut bingung. "Jemput ke mana? Rumahku di sini."

"Kuliah lagi. Mami bilang, dia tetap mau—"

"Tapi aku yang udah nggak mau, Sa," Nada memutus ucapan laki-laki itu. Ia tahu apa yang akan didengarnya. "Aku yang udah nggak mau kuliah," imbuhnya tegas. "Sekarang, prioritasku adalah bekerja. Aku harus bantu keluargaku dari kehancuran yang aku buat sendiri."

Karena sampai saat ini, ibunya masih terus menyalahkan Nada atas semua kemalangan yang menimpa keluarga mereka. Andai waktu itu dia diam dan tak bertindak sok pahlawan, mungkin kemalangan ini tak akan terjadi.

"Temen kamu akhirnya mati juga 'kan, Nad?!" seru Darmayanti pada sang putri. "Kalau dulu kamu diem aja, orang-orang juga nggak bakal tahu kalau dia diperkosa Aldi! Sekarang, coba kamu lihat itu? Kamu enak-enakan kabur ke Jakarta, sementara dia di sini malu karena digunjing orang-orang! Dia nggak tahan! Dia milih bunuh diri!"

"Nad," Aksa menyentuh salah satu tangan Nada yang bebas. Ia genggam telapak tangan itu dan merasakan kehangatan yang ia butuhkan. "Kamu bisa kerja di Kasih Perempuan kayak sebelumnya, Nad. Kamu bisa kasih uang itu buat keluarga kamu. Dan sekarang, aku juga udah lulus, Nad. Walau setelah ini aku harus lanjut S2, tapi, aku janji bakal bantu kamu."

Kata-kata itu tak lagi buat Nada terharu. Sebab realita yang ia hadapi sudah lebih dari cukup tuk membuatnya mengalami trauma mendalam. Ia kembali menjadi sosok pendiam ketika menginjakkan kakinya di sini. Ia meneguhkan hati menjadi bayangan yang terlihat. Enggan mencari gara-gara, ia memilih tak ingin ikut campur lagi.

"Bapak sama Ibumu ini udah nggak ada kerjaan lagi, Nad," Darmayanti terus mencecar anaknya. Luka bakar di bagian betis, mungkin sudah tak perih. Namun melihat anak gadisnya yang kabur selama dua setengah tahun itu kembali, buat puncak emosinya mendidih. "Mbakmu dituduh nyuri emas! Sekarang mereka minta ganti! Makan aja kita susah, Nad, apalagi ganti emas!"

Semua bukan salahnya.

Namun segalanya, mendadak menjadi tanggung jawabnya.

Ia mengganti emas itu dengan uang ia terima dari ibu kandung Aksa. Sisanya, ia gunakan tuk membetulkan dapur yang terbakar. Lalu, di sela-sela merawat kaki ibunya ia harus menghadapi kenyataan bahwa uang tabungannya tak lagi bersisa. Gaji bapak sebagai kuli bangunan tak dapat mencukupi kehidupan untuk lima orang.

"Pak Kades ngejabat lagi," lapor bapak dengan lesu setelah pemilihan Kepala Desa selesai. Dan ternyata, pemenangnya tetaplah Pak Nasrin Abdilah, selaku Kepala Desa yang lama.

"Ya Allah, Pak. Terus gimana sama keluarga kita?"

"Ya, nggak gimana-gimana toh, Bu. Ya, udah, kita jalani hari-hari kayak biasa lagi."

"Mana mungkin bisa, Pak," Darmayanti menghela sedih. Wajahnya memperlihatkan kegusaran yang tak main-main lagi. "Sampai kapan kita bakal dibenci tetangga kita yang semuanya pendukung Pak Nasrin? Sampai kapan kita gini-gini aja, Pak? Bapak nggak dikasih kerjaan di mana-mana."

"Sabar, Bu. InsyaAllah pasti ada jalan keluar untuk kita."

Tetapi sampai sekarang pun, tidak ada yang mau memperkerjakan bapak di kebun mereka lagi. Bapak memang masih bekerja sebagai kuli bangunan, namun tidak setiap hari. Seminggu, bisa hanya tiga hari saja bapak bekerja. Sisanya, bapak akan mencari barang-barang rongsokkan keliling desa untuk menjualnya kepada pengepul.

Nada dan Mbak Indri memang bekerja, namun gaji mereka tidak banyak. Itulah kenapa di belakang rumah, mereka menanam sayuran. Bila uang sudah benar-benar menipis, mereka bisa mencari tambahan dengan memetik sayuran di kebun dan menjualnya. Atau paling tidak, mereka bisa mengolahnya untuk dimakan sendiri.

Dan tiba-tiba, Aksa datang.

Masa lalu yang Nada harapkan telah tertinggal jauh di belakang, rupanya menginginkan perjumpaan.

Apa katanya tadi?

Meminta Nada kembali tuk melanjutkan kuliah?

Nada sontak tertawa, namun yang dihasilkan oleh pendar matanya bukanlah hal membahagiakan. Air mata, justru merembes deras dari sela kelopaknya. Buatnya kontan menyadari bahwa menyambung pendidikan tinggi, tidak cocok untuk orang-orang seperti dirinya.

"Gimana rasanya kuliah, Nad?"

Nada memandang kakaknya dari samping. Tangannya yang tengah memetik kangkung, sontak berhenti. "Maksudnya, Mbak?"

Indri mengangkat bahunya ringan, ia tengah mengulek cabai dan bawang karena mereka belum memiliki belender. Sore ini, ia dan Nada sedang mempersiapkan makan malam sederhana. Tumis kangkung dan sambal terasi. Tadi, bapak sempat membeli kerupuk untuk tambahan lauk. Gajian masih satu minggu lagi, tetapi mereka sudah kehabisan uang. "Kamu 'kan udah pernah ngerasain jadi anak kuliahan. Gimana rasanya? Enak? Kampusnya gede, Nad?"

"Rasanya," Nada mencoba memanggil kembali ingatan tentang hari-hari perkuliahan yang sibuk. "Rasanya, aku bingung, Mbak," akunya jujur. "Aku nggak ngerti apa-apa. Kenalan sama banyak mahasiswa yang pintar-pintar luar biasa," tentu saja ia teringat pada Aksa. "Iya, Mbak. Kampusnya gede. Toiletnya, sama rumah kita bagusan toiletnya."

Indri tertawa mendengarnya. "Kenapa Tuhan nggak ngasih kesempatan kita untuk kuliah, ya, Nad?" gumamnya ganang.

"Mbak pengin kuliah?"

"Pengin," Indri mendengkus singkat. "Tapi, keadaan kita nggak memungkinkan, ya, Nad? Kamu sih, masih lebih beruntung, Nad. Bisa nyicipin bangku kuliahan walau sebentar. Seenggaknya, nanti kamu punya cerita buat anak-anakmu, kalau dulu kamu pernah ngerasain kuliah walau sebentar."

"Alasan kenapa kita dilahirkan itu nggak sama, Sa," Nada menghapus air matanya dengan perlahan. Telah ia lepas genggaman tangan Aksa di tangannya dan membuatnya bebas. Orang-orang pasti akan kembali bergosip tentangnya. Selama ini, ia sudah mencoba menjadi bayangan. Tetapi sepertinya kehadiran Aksa akan mengembalikan namanya sebagai bahan yang perlu diperbincangkan. Dan lagi-lagi merupakan berita miring. Tentang bagaimana ia menangis di tepi jalan dengan seorang pria asing yang tak pernah terlihat sebelumnya di desa ini. "Kamu lahir untuk belajar dan mengaplikasikan ilmu kamu supaya bisa membantu banyak orang. Sementara, aku lahir untuk membantu kehidupan keluargaku."

Aksa memandang Nada tidak mengerti. "Kenapa kamu jadi gini, Nad?" ia menyuarakan kebingungannya. "Kenapa kamu jadi mengkotak-kotakkan orang?" imbuhnya heran. "Dan kenapa kamu begitu skeptis tentang kehidupan?" cercanya terus.

"Aku mencoba realistis, Sa," jawab Nada dengan suaranya yang getir. "Terima kasih untuk pengalamannya yang berharga," ia coba lebarkan lengkungan bibirnya. Namun yang terjadi malah, air matanya mengalir kembali. Nada jarang memperlihatkan sedih atau kesulitannya di depan orang-orang. Bahkan di depan keluarganya sekalipun, ia tak pernah melakukannya. Tetapi, Aksa selalu menjadi pengecualian. Selama mereka menjalin hubungan dulu, entah berapa kali laki-laki ini melihat dukanya. "Lima semester cukup kok, Sa," ia biarkan laki-laki itu menghapus air mata di wajahnya. Menjadikan sosoknya sebagai bulan-bulanan warga setelah ini. "Cukup untuk cerita ke anak-anakku nanti, kalau aku pernah kuliah."

"Nad—"

"Sampaikan salam ke Bu Yashinta, ya, Sa? Bilang aja, aku baik di sini."

"Kamu ngusir aku?"

Tanpa ragu, Nada mengangguk. "Tempat kamu bukan di sini, Aksa."

Aksa sudah akan mendebatnya, saat sebuah sepeda motor berknalpot nyaring terasa mendekat. Mengakibatkan kebisingan yang buat tak nyaman. Menyakiti gendang telinga, meembuat suara bercakap-cakap tak bisa terdengar.

"Nada!"

Motor itu tak menghentikan mesinnya, walau kini telah menepi.

"Abang tadi ke grosirnya Ci Merry. Kamu udah pulang ternyata. Kok nggak nunggu Abang sih? Yuk, naik?"

Pemuda itu beraura ramah. Walau kulitnya lebih banyak terbakar matahari akibat seringnya ikut bekerja, namun senyumnya begitu cerah. Dengan topi hitam yang warnanya telah pudar dan jeans biru muda robek-robek di bagian lutut, laki-laki itu mengenakan kaus tanpa lengan.

"Nggak usah, Bang. Makasih," tolak Nada berusaha sesopan mungkin. Ia tidak ingin mencari masalah. Ia tidak mau membuat pria itu marah.

"Ayo, nggak apa-apa, Nad. Abang sekalian mau ke rumah bapakmu ngasih gaji," desak Ali tak mau kalah.

Bila sudah begini, Nada semakin serba salah. Bang Ali adalah anak dari mandor di tempat kerja bapaknya. Dan orangtua Ali inilah yang kerap mengajak bapak bekerja. Seolah tak terpengaruh pada omongan warga mengenai keluarganya, Pak Tomo—nama ayah Ali—selalu saja bersikap baik pada bapak.

"Yok, Nad!"

"Maaf, ya, Bang. Tapi, aku ada temen sekarang," Nada melihat ke arah Aksa. "Temenku dari Jakarta, Bang. Mobilnya ada di rumahku. Jadi, dia mau—"

"Oh, mentang-mentang temenmu bawa mobil, kamu sombong gitu, ya?" sambar Ali tiba-tiba. Wajah ramahnya langsung berubah sengit. "Jadi, kamu nolak aku berkali-kali tuh, karena aku kurang kaya gitu? Karena aku nggak bisa ngapelin kamu pakai mobil gitu, iya?"

"Ya, ampun, nggak gitu, Bang," Nada buru-buru meluruskan. Namun, apalah arti semua itu saat dengan kurang ajarnya Aksa malah ikut-ikutan menyebalkan.

"Oh, ya, jelas aja lo ditolak!" seru Aksa tersulut emosi. "Nada nih cewek gue," ia rangkul bahu Nada demi memperlihatkan kedekatan mereka pada laki-laki kasar itu. "Enak aja lo mau nyamber cewek gue! Hadapi dululah gue!"

"Wah, bangsat!" Ali langsung mematikan mesin motornya. Ia menurunkan standard an bersiap memberi satu pukulan pada anak sok kaya itu. "Minta dibina, ya, lo?!" sahutnya tak kalah keras. "Binasakan! Mau lo!"

"Bang Ali!" Nada berusaha melerai. "Bang, udah, Bang!" pinta Nada sungguh-sungguh. "Udah mau magrib, Bang. Abang pasti bakal dicariin Bu Siti, kalau jam segini belum pulang. Udah, ya, Bang? Gajinya bapak, biar bapak aja nanti malam yang ke rumah Abang, ya?"

"Awas aja lo!" Ali menunjuk Aksa dengan emosi. "Lo juga, Nad!" tak lagi ada kelembutan dalam tatapan maupun panggilannya untuk gadis itu. "Awas aja lo berdua!" sorot matanya begitu tajam. Penuh janji kejam. "Lo juga bangsat lama-lama jadi cewek, Nad! Sok jual mahal! Sok nggak mau pacaran! Najis!" ia meludah dengan geram.

"Heh! Jangan kurang ajar sama cewek gue!" sambar Aksa makin kalap. Imej anak kota bertampang bar-bar, kini begitu melekat padanya. Bayangkan saja, kulit lehernya yang putih langsung memerah. Ia sudah melepaskan Nada dari rangkulannya. Lalu, melaju dan meremas baju bagian depan dari pemuda kurang ajar itu. "Lo tuh cowok bukan sih?! Bisa-bisanya lo ngatain cewek!"

Dan ya, begitu saja.

Kini, mereka resmi jadi pusat perhatian.

Setelah Aksa melempar satu pukulan ke wajah Ali, berlanjut dengan Ali yang memukul keras perut Aksa. Pergumulan kedua laki-laki itu tak lagi terelakkan. Dan Nada, hanya bisa pasrah, setelah melerai mereka pun tak bisa.

*** 

Masih ada flashback lagi nnti, bagian ulala manzaa deh kayaknya. Eh tapi, lupa deh aku, hahahaa...

Kemaren ada yg nanya, kalo di karyakarsa ada gak bundlingnya, jawabannya gk ada ya say. Beli satuan aja. Karena 1 kali up, isinya 2 chapter. Jadii panjaang deh, sampe bosen kalian

Continue Reading

You'll Also Like

338K 26.5K 57
Elviro, sering di sapa dengan sebutan El oleh teman-temannya, merupakan pemuda pecicilan yang sama sekali tak tahu aturan, bahkan kedua orang tuanya...
3.6M 38.3K 32
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...
2.9M 302K 50
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...
776K 50.2K 33
Semua orang mengira Saka Aryaatmaja mencintai Juni Rania Tanaka, namun nyatanya itu kekeliruan besar. Saka tidak pernah mencintai Rania, namun menola...