I DESERVE U

By marsh-melo

7.6K 989 607

Apakah sejatinya, cinta adalah tentang kepantasan? Berawal dari secarik kertas hukuman sialan dari sahabatnya... More

Prakata
1. Would U like to Be My Partner? [Joshua]
2. We've Never Been This Close Before. [Song Bora]
3. Am I ready for U? [Joshua]
4. What Do U Want From Me? [Song Bora]
5. U R The One I'm Worry About. [Joshua]
6. So Let Me Stay in Ur Arms, Just A Little Longer. [Song Bora]
7. We Have Each Other, So We Can Solve It Together. [Joshua]
8. But It's Harder Than I Thought. [Song Bora]
9. Come Here, And Try To Lean On Me. [Joshua]
10. U R The Hardest Project I've Ever Had. [Song Bora]
11. U R The Most Unpredictable Girl I've Ever Met. [Joshua]
12. U Make Me Feel (Un)Comfortable. [Song Bora]
13. U R So Close, Yet So Far. [Joshua]
14. I Just Wanna Make It Sure. [Song Bora]
15. So Tell Me The Reason. [Joshua]
16. Let Me Try My Best. [Song Bora]
17. And So Let Me Do My Part. [Joshua]
18. U Can Lean on My Little Shoulder Anytime. [Song Bora]
19. U Don't Hate Me, Do U? [Joshua]
20. Nothing Really Change, But Now.. I'll Try To Be Brave. [Song Bora]
21. I believe in U. [Joshua]
22. Tell Me Ur Way To Be Happy. [Song Bora]
23. Could I Make U Happy? [Joshua]
24. U Make Me Think That I'm Worthy Enough. [Song Bora]
25. Am I Just A Name For U? [Joshua]
Intermezzo #1 : U Deserve a Selca Time!
26. At Least, U Wanna Talk to Me. [Song Bora]
27. I Like U, More Than Yesterday. [Joshua]
28. U Hug Me Warmly, Even When U're Not Able to. [Song Bora]
29. Don't Worry, U're on My Guard. [Joshua]
30. Never Thought That I'll Like U This Much. [Song Bora]
31. I Wanna Be The One U Trust The Most. [Joshua]
32. It's Not That I Don't Trust U. [Song Bora]
33. U Did Well, Sweety. [Joshua]
34. U R The Most Comfortable Space of Mine. [Song Bora]
35. Cause Our Story is Not A Fault. [Joshua]
36. But U Don't Deserve This Pathetic Girl. [Song Bora]
37. At The End of The Day, I'm Not Much of A Help. [Joshua]
38. Why U Disregard Urself, When Ur Hug is My Only Space to Rest? [Song Bora]
39. Thank U, For Make Me Feel Like A Super Hero. [Joshua]
41. It Has To Be U And Me; No One In Between. [Joshua]
42. Do I Deserve To Be This Happy? [Song Bora]
43. Could I Even Sleep Well Tonight? I'm Not Really Sure. [Joshua]
44. Is It Right to Depend on U This Much? [Song Bora]
45. I Should've Hug U More Back Then. [Joshua]
46. What Should I Do Now? [Song Bora]
47. It's Just My Way To Love U. [Joshua]
48. I Know Myself Better When I'm With U. [Song Bora]
49. Could I Be A Part of Ur Future Too? [Joshua]
50. What Kinds of Stupid Joke It is? [Song Bora]
51. I Won't Give Up on Us. [Joshua]
52. It's Me.. That Hurt Myself. [Song Bora]
53. I'm Sure, It's U. [Joshua]
54. Maybe I Have To Learn To Be Loved. [Song Bora]

40. The More I Like U, The More I Brave. [Song Bora]

96 12 0
By marsh-melo

Sepulang dari Sokcho, aku sudah menyiapkan diri untuk menahan rasa lapar sampai pagi saja dan langsung tidur setelah rambutku dikeringkan.

Nyatanya, Ibu terbangun gara-gara kedatanganku.

Selepas mandi, aku langsung disuruh duduk di meja makan dan dihadapkan dengan sepanci ramyeon panas yang dibuatnya. Rencanaku batal seketika. Cacing-cacing di perutku sama sekali tidak bisa diajak kompromi.

Dan sekarang Ibu sedang duduk tepat di depanku dan memperhatikanku makan.

Oh, canggung sekali.

"Kamu ke Sokcho sama pacar kamu?" tanya Ibu tiba-tiba. Nyaris saja bikin aku tersedak konyol. Mana pedas sekali kuah ramyeonnya.

Kuanggukkan kepalaku. "Dia ikut bantu beres-beres juga."

Ibu manggut-manggut samar.

"Dia nggak macam-macam sama kamu, 'kan?"

Duh. Kontan kuurungkan suapan mie-ku. "Joshua bukan orang kayak gitu, Bu."

"Ah.. jadi J itu Joshua, ya."

Lalu aku merasa bersalah, menyadari Bibi yang lebih dulu tahu nama pacarku daripada Ibu. Lagi-lagi.

"Tetep aja, dia itu laki-laki. Ibu juga tau orang pacaran itu kayak apa, Ibu juga pernah muda. Kamu pinter-pinter jaga diri aja, ya. Tau batasan. Jangan sampai ngelakuin sesuatu yang ngerugiin masa depan kamu. Ibu percaya, kamu bisa jaga diri. Tapi setiap kamu mau melewati batas, inget ucapan Ibu," omel Ibu panjang lebar.

Kali ini, aku benar-benar menaruh sumpit dan mengangkat wajahku untuk menatap Ibu. Wanita yang selalu tampak lelah dan nyaris tidak pernah melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri. Sekalinya ia mengambil keputusan untuk dirinya, aku malah memarahinya sambil mabuk-mabukan.

Dan sekarang, dia masih mengkhawatirkanku sampai tidak bisa tidur.

Ibu langsung memalingkan pandangannya begitu kami beradu tatap.

"Ah, Ibu malah bikin kamu canggung, ya," lirihnya, lalu bangkit dari kursinya. "Ibu.. tidur duluan, ya. Kamu juga, cepet makannya, jangan tidur kemaleman."

Ha, selalu begini. Masalah diantara kami selalu digantung dalam ketidakjelasan.

'You deserve a chance to express your own feeling too.'

Aku harus beranikan diriku.

"Bu."

Langkah Ibu terhenti di depan pintu kamarnya.

Buru-buru aku berdiri dari kursiku. Kutelan ludahku dalam-dalam.

"Bora.. nggak pernah nyesel dilahirin sama Ibu. Bora juga nggak nyesel.. dibesarin sama Ibu. Bora bukan Bora.. kalau bukan karena Ibu."

Dapat kulihat jelas mata lelah Ibu berkedip dua kali mendengar ucapanku itu.

Hening yang menjeda setelahnya.. rasanya membuatku ingin kembali menarik ucapan menggelikan itu dari mulutku.

Sial. Memangnya sejak kapan aku mengungkapkan sesuatu semacam ini pada Ibu? Aku merinding sendiri jadinya.

Ibu sampai menahan tawa karenanya.

"Kamu.. kejedot apa sih, sampe tiba-tiba ngomong begitu? Sana, habisin ramyeonnya. Kalo ngembang nanti nggak enak."

Begitulah Ibu mengakhiri percakapan kami malam ini, sebelum masuk ke kamarnya dan meninggalkanku begitu saja. Sudah kuduga. Aku memang konyol, sih.

Aku masih harus belajar lagi mengungkapkan perasaan dengan benar.

Setidaknya sekarang aku tahu, tidak ada masalah yang berarti diantara aku dan Ibu.

☆☆☆

Presentasi analisis resiko rancangan startup yang kubuat dengan Yeonjoo dan Minhee menuai beberapa pertanyaan yang harus kami jawab di presentasi selanjutnya. Kata Profesor Song, ide kami tentang pengembangan aplikasi edukasi kecantikan memang terdengar segar, tapi juga butuh tinjauan lebih lanjut.

Seperti biasanya, kami menghabiskan Kamis siang kami di kamar asrama Minhee untuk mendiskusikan tugas ini bersama.

"Apa kita harus dateng ke salah satu kantor beauty app yang udah ada ya, biar tau pasti gitu.. siapa-siapa aja tuh pihak yang suka mereka ajak kerjasama? Masih di Seoul, kan?"

Minhee langsung mencak-mencak mendengar usul Yeonjoo. "Ah elah! Interview lagi. Muak gue."

"Sebenernya bisa aja sih kita cari informasinya di internet, atau cukup obrolin ke Professor Song," timpalku. "Tapi.."

Minhee melotot seketika.

"Ya kali, kita sengaja ke ruangan Bu Song cuma buat konsultasi tugas? Paling juga kita dijulidin, 'Gimana sih? Gitu doang kalian nggak ngerti? Pake dong otak kritis kalian!' Dih, ogah gua liat muka juteknya itu!"

Minhee terlihat bad mood sekali hari ini. Yeonjoo malah cekikikan melihatnya. "Kamu lagi period, ya?"

Minhee langsung mendengus. "Hari pertama."

"Pantesan," Yeonjoo memungut ponselnya dari tas. "Bora, udahan dulu yuk bahas tugasnya. Kita makan dulu, sebelum si Minhee makin ngamuk."

Kututup laptopku dan mengangguk setuju. Perutku juga memang sudah serasa digaruk-garuk. Kuperiksa ponselku. Pantas saja, sudah jam setengah dua.

Sebuah pop up chat notification muncul saat itu juga. Joshua menanyakanku sudah makan atau belum, dan berkabar dirinya yang sedang di kampus untuk briefing dengan Profesor Han. Dia semangat sekali berlatih jadi moderator.

Kusempatkan untuk chatting dengan Joshua sesaat sebelum bangkit dari tempat dudukku dan mengikuti dua temanku keluar kamar.

"Bora, kamu lagi berantem ya sama Joshua?" Yeonjoo tiba-tiba menanyakan itu saat kami menuruni tangga menuju kantin asrama. "Kalian kayak nggak pernah keliatan makan siang bareng lagi, padahal kan sama-sama ada jadwal. Oh ya, kemaren juga duduknya jauh-jauhan di kelas cyber trade!"

Senyumku geli. Yoo Yeonjoo memang jeli sekali.

"Kita lagi sama-sama sibuk sama tugas. Jadi sepakat buat fokus dulu kelarin tugas masing-masing dan nggak ketemuan dulu," jelasku.

"Heol. Song Bora, bikin iri aja lo makin hari," tiba-tiba Minhee yang sudah jalan dua langkah lebih dulu menimbrung percakapan. "Kayaknya sekarang lo udah lebih expert masalah dating deh dibanding gue."

Cih, expert apanya. "Nggak juga."

"Eh iya! Gue belom cerita ya? Udah ada dua cowok yang nanyain nomor lo sama gue, lho."

"Sumpah?" Mata bulat Yeonjoo membelalak seolah akan loncat dari tempatnya. "Wah, Song Bora populer banget."

Kugelengkan kepala cepat-cepat. "Nggak, paling yang mau nanyain tugas."

"Mereka beda fakultas, dodol," timpal Minhee seketika. "Ngapain juga minta tugas sama lo? Jelas-jelas mereka naksir elo! Katanya lo lucu, anjir lah, lo dikira ma-ba, masa. Mereka sampe nggak pada percaya pas gue bilang lo itu mawapres tingkat tiga."

Kutelan ludahku dalam-dalam. Mengerikan juga, tiba-tiba dimintai nomor ponsel oleh orang yang tidak mengenalku sama sekali. Mau apa, coba?

"Nggak kamu kasih, kan? Jangan pernah dikasih, ya? Tolong banget."

"Nggak, lah. Ya kali. Gue juga langsung bilang lo udah ada pawangnya," kikik Minhee. "Lo panik banget, dah. Si Josh cemburuan, ya?"

"Aaaaaak gemes banget, Bora di-possesif-in Joshua," Yeonjoo memekik gemas.

Kugelengkan kepalaku. "Nggak gitu."

Lalu kejadian di Bukchon kemarin membayang di kepalaku. Tindakan possesif itu sama sekali tidak menggemaskan. Itu menakutkan.

Ah, bahkan Joshua tidak sepossesif itu sebenarnya. Dia hanya.. apa ya? Hanya agak mudah terbawa perasaan.

Kadang aku berusaha membayangkan diriku berada di posisi Joshua; seandainya aku melihat Joshua bertemu teman lama lawan jenis, apa aku akan melakukan hal yang sama? Entahlah. Aku sudah terlalu sering melihat Joshua dikejar dan dikelilingi cewek-cewek selama ini. Rasanya akan biasa-biasa saja, mungkin.

Tapi kalau diingat lagi.. akhir-akhir ini aku jarang sekali melihat Joshua berinteraksi dengan cewek jurusan sejak kami berkencan.

Apa dia sengaja ya, menjaga jarak dengan mereka? Menjaga perasaanku? Hmm.

Kuharap itu tidak sampai menyulitkan geraknya.

Fokusku teralih pada aroma jjampong yang menggoda hidungku setibanya kami di kantin asrama. Kami segeta memilih beberapa makanan dan membawanya ke kamar.

Dan perbincangan tadi berlanjut lagi saat kami mulai makan. Mood Minhee berangsur membaik setelah bertemu makanan.

"Sumpah, Bora. Lo tuh emang populer banget sekarang," ucapnya selagi mengunyah sepotong tteokbokki. "Nggak cuma fans, sekarang lo juga punya haters, loh."

Aku mendecih pelan. "Dari dulu juga banyak kok."

"Ini parah, Bora. Bukan sekedar julid doang! Ngeselin banget, sampe sempet gue tegor keras."

Aku langsung teringat lagi ucapan Seongwoo waktu itu, bahwa tersangka pengacau forum itu bukan hanya satu orang. Mungkin saja mereka orang yang sama dengan yang dimaksud Minhee.

"Siapa, Hee? Kamu kenal orangnya?" tanya Yeonjoo.

Minhee berkerut dahi. "Itu.. siapa sih, anak kelas D yang katanya calon idol itu?"

"Calon idol? Choi Mira nggak sih?" timpal Yeonjoo misuh-misuh.

Heol.

Dia kan, partner Lee Seungjoon. Bulu kudukku merinding di tempat.

"Tau deh, iya kali? Gue mergokin dia sama temennya lagi ngomongin si Bora di perpus, terus kayak mau nyebarin gosip nggak jelas gitu. Makanya gue labrak! Bora, lo ada masalah apa sih sama dia?"

Kutelan ludahku dalam-dalam.

"Dia..pernah minta tuker partner presentasi, tapi aku tolak."

"Cyber Trade, ya?" tanya Yeonjoo meyakinkan. "Wah, Bora.. nggak salah lagi. Kayaknya dia naksir Joshua. Anjir, munafik banget. Di depan Bora dia nggak pernah aneh-aneh padahal."

Tak biasanya Yeonjoo sampai mengumpat begitu.

"Jangan-jangan dia yang jadi dalang lambe turah di forum waktu itu?" Minhee mendadak emosi. "Sialan, si jal*ng. Kirain udah kapok."

Aku merinding sendiri jadinya. Prediksi Minhee terlalu cocok untuk disebut sebuah 'kebetulan'.

"Sekarang paham, kenapa Goeun pernah deket sama Mira kemaren-kemaren," lirih Yeonjoo. "Mereka satu fanclub."

"Anjir, si Joshua, udah kayak idola aja," umpat Minhee pelan, tertawa miris. "Gimanapun, kasihan juga si Goeun."

Suasana tiba-tiba hening setelah nama Goeun disebutkan.

Aku tak pernah lupa kesulitan yang aku dan Joshua hadapi kemarin gara-gara rumor itu. Hanya karena satu keinginan yang tak terpenuhi? Wah, terkadang manusia lebih mengerikan daripada hantu.

Dan andai saja semua itu tidak pernah terjadi.. mungkin hari ini, Han Goeun sedang duduk bersama kami, mengerjakan tugas kelompok dan mengobrol asik seperti biasanya.

'Our story is not a fault.'

Entahlah. Terkadang, agak sulit meyakini bahwa hubungan ini bukan sebuah kesalahan.. setidaknya, bagi orang-orang tertentu.

Hmm.

☆☆☆

Kudapati enam panggilan tak terjawab dari Bibi Hani saat kumatikan mode pesawat ponselku selepas kelas Profesor Bu Song. Ha, aku sempat menduga terjadi sesuatu lagi pada Ibu di tempat kerjanya.

Setelah buru-buru kutelpon balik, ternyata Bibi memintaku datang karena sedang repot di restoran dan memintaku turut membantu. Astaga.

Jadinya aku harus pulang mendahului Yeonjoo dan Minhee yang masih punya kepentingan di perpustakaan jurusan. Awalnya Yeonjoo keberatan.

"Bora, bareng aja. Entar kalo kamu diikutin si curut Seungjoon lagi gimana? Atau Choi Mira?"

"Iya, bareng aja! Biar gue tonjok itu muka br*ngseknya sampe mampus!" Minhee menimbrung lagi dengan segala umpatannya.

Kutatap dua temanku bergantian.

Kadang aku heran, mengapa aku sampai punya dua teman super protektif begini. Padahal, mereka tidak menerima banyak dariku selama ini. Betapa beruntungnya hidupku.

Kusungging seulas senyum, selagi mengacungkan kepalan tanganku. "Tangan aku lumayan kuat kok, kalo buat nonjok doang. Jangan khawatir."

Lagi-lagi Yeonjoo bersikap dramatis. Ia memelukku erat. "Bora-ku udah gede."

Minhee pun langsung tersenyum bangga. "Bagus, Bora. Tonjok sampe bonyok! Jangan kasih ampun!"

Temanku yang emosian ini benar-benar tidak punya rasa takut. Untung saja tidak ada dosen yang sedang lewat dan mengira teriakannya sebagai ekspresi kelompok provokatif nan menyesatkan. Ha ha.

Akhirnya, kami berpisah di pintu kelas.

Kulangkahkan kakiku melewati koridor nan panjang. Gedung jurusan sudah mulai sepi. Memang tidak banyak kelas sore untuk hari ini. Joshua pasti sudah pulang sejak siang tadi. Hari sudah mau gelap. Ah, akan merepotkan jika menelponnya hanya untuk menemaniku berjalan menuju gerbang, akan makan waktu juga..

Sudahlah, jangan manja. Baru empat hari tidak bertemu, sudah merengek saja.

Mana diriku yang tadi menyombongkan kepalan tangan untuk menonjok Seungjoon? Cih.

"Kamu sebenarnya paham nggak sih, poin dari tugas yang saya kasih?!"

Seruan seseorang dari balik celah pintu ruangan membuat langkahku melambat dan akhirnya terhenti. Ah, ini ruangan Profesor Song.

"Saya.. bakal berusaha kerjain sebaik pekerjaan kelompok kok, Prof."

"Bukan itu. Memangnya kalau nanti kamu terjun ke masyarakat, kamu bakal terus individualis begini?"

Aku akan berlalu saja, kalau saja aku tidak sadar kalau Profesor sedang bicara dengan seseorang yang kukenal. Itu suara Goeun.

Lalu kudengar Profesor ceramah panjang lebar tentang poin tugas kelompok. Tentang pentingnya kerjasama, dan akhirnya menyuruh Goeun bergabung dalam kelompok yang sudah terbentuk saja.

Jadi ternyata.. Goeun tidak kedapatan kelompok di kelas Professor Song.

Tak heran, dia memang selalu menyendiri di kelas apapun akhir-akhir ini.

Ah, aku jadi terdiam dan menguping di depan ruangan begini.

Sampai-sampai aku tidak sadar kalau pembicaraan mereka sudah usai, dan Goeun sudah terlanjur keluar ruangan sebelum aku sempat beranjak pergi.

Kami beradu tatap dengan canggung.

Ah. Sejak hari itu, kami memang belum pernah bicara lagi.

Alih-alih marah memergokiku menguping, Goeun malah terlihat kaget. "B-bora.."

"Maaf, aku nggak sengaja denger.."

Ia menggeleng pelan dan tersenyum ketir, sebelum berlalu meninggalkanku, berjalan lunglai menuju tangga di ujung koridor.

Hmm.

Goeun.. juga tidak menerima banyak dariku selama ini, dibanding apa yang sudah dia berikan padaku. Sementara aku malah menyakiti hatinya dengan mengambil Joshua yang sudah dia sukai dari semester satu.

Dan gara-gara Choi Mira yang membenciku, dia dihasut dan malah tidak punya teman sama sekali untuk sekedar diajak bergabung dalam tugas kelompok.

"Goeun!" panggilku, membuat langkahnya terhenti.

Aku tidak akan membiarkan teman-temanku menderita gara-gara tindakan kekanakanmu itu, Choi Mira.

"Kamu.. mau gabung sama kelompok aku?"

Goeun terdiam mendengar tawaranku.

Sekelebat memori kecil membayang di kepala. Awal semester kemarin, kami memang sengaja janjian mengontrak beberapa kelas yang sama, dan sepakat untuk menjadi teammate jika ada tugas kelompok.

Janji itu harus ditepati.

Apapun yang terjadi.

"Kecuali.. kalo kamu masih nggak sanggup ketemu aku.."

"Bukan itu," timpal Goeun cepat-cepat.

Ia menoleh ke arahku. Tatapannya menyorotkan kebingungan.

"Cuma.. Minhee, Yeonjoo.. mereka pasti nggak mau gue gabung kalian. Bakal canggung banget."

Entah keberanian apa yang menghinggapiku dan membuatku menghampiri Goeun, meraih tangannya erat-erat.

Entah kemana diriku cuek dan tak begitu peduli pada urusan dan perasaan orang lain, bahkan, pada teman sekalipun. Tapi kali ini, aku tak bisa tinggal diam.

"Bakal aku urus itu," yakinku, "aku.. nggak mau kamu canggung sama kita selamanya. Gimanapun, aku yang bertanggungjawab buat semuanya."

Sebenarnya aku tidak tahu, apakah tindakan ini sudah tepat atau belum. Apakah aku terlalu ikut campur? Apa aku terlalu memaksa Goeun? Harus bagaimana aku meyakinkan Minhee dan Yeonjoo nanti?

Yang jelas, untuk pertamakalinya.. mata indah Goeun dibuat berkaca-kaca oleh ucapanku.

"Makasih, Bora. Sebenernya.. gue.." dan tangisnya mulai luruh. "Gue.. kesepian banget."

Dulu, aku akan kebingungan melihat temanku menangis dan hanya akan diam menemaninya tanpa kata. Tapi yang kupelajari dari pacarku, sebuah pelukan bisa menjadi setengah solusi.

Kupeluk tubuh tinggi Goeun dan membiarkannya menangis sejenak di bahuku.

Bibi pasti akan mengomel karena aku datang terlambat. Tak apa, akan kuurus itu nanti.

☆☆☆

Benar saja. Bibi sampai menunggu kedatanganku di depan pintu restoran dan bersiap mengomeliku. Belum sempat aku bilang apa-apa, Bibi langsung menyambar lenganku dan menyeretku ke dalam restoran.

Seketika aku melihat sekeliling dan merasa janggal.

Apaan? Kukira restoran sedang disesaki antrian. Memang penuh sih, tapi normal saja, karena ini sudah masuk jam makan malam. Pegawai Bibi juga tidak ada yang bolos. Tidak ada satupun posisi yang harus kuganti.

Lalu.. kenapa repot?

"Bi, katanya lagi repot? Tapi kok--"

"Ada tamu khusus di atas. Kamu layanin ya, dia pesen King Crab," ucap Bibi, melepaskan tanganku di ambang pintu dapur dan masuk ke dalam untuk menyiapkan 'menu spesial'nya itu.

Seketika kuhembus napas kasar. Hah. Aku lelah sekali karena harus setengah berlari dari halte ke restoran, takut Bibi kelimpungan melayani pendatang.

Tapi setengah hatiku terasa meluap-luap kegirangan saat mulai menyadari siapa tamu spesial yang datang itu.

Bibi kembali menghampiriku dengan senampan sajian king crab yang menggiurkan. "Hati-hati bawanya ke atas, ya."

Kuterima nampan yang harum itu dengan antusias.

"Joshua, ya?" tanyaku memastikan.

Nah, kan. Bibi langsung bengong menatapku, mendecih pelan.

"Cih. Nggak guna ngasih kamu kejutan, ya."

Tak bisa kutahan senyum lebarku. "Aku bakal pura-pura kaget aja kalo gitu."

Bibi Hani, supporter nomor satuku dalam kencan, hanya terkikik geli.

---to be continued---

a/n;
finally I'm baaaaack ^^
bersamaan dengan hectic-nya kambek grup mas josh dan kawan-kawan yang menyajikan konten bejibun. ah, sudah dengar Super (손오공)? gilak petjah banget!

dari sekian banyak konten mas josh, ada satu momen kecil yang langsung menggelitik hatiku sampe ngakak guling-guling /ga.
yap, tentu saja momen kecil nan random mas josh dan visualisasi mbak bora di SVT in Game Caterers ㅠㅠ

sumpil ini random banget hahahahaha mana mas josh salah nyebut marganya pulak 😂😂😂 malu-maluin kau mas.

gimanapun, momen ini bener-bener jadi vitamin buat aku menyelesaikan chapter ini dan bertekad buat ngepublishnya malem ini juga. makasih loh.

dan tentu saja, makasih buat kalian yang masih aja setia dengan work iniaku harap chapter berikutnya nggak lama-lama, hehe.

c u in next chapter nice people ♡

Continue Reading

You'll Also Like

21.1K 2.8K 35
Semua orang memiliki awalan kisah mereka masing-masing, namun tak semua orang mengakhirinya sampai titik. Berbeda denganku, aku akan mengakhiri peras...
846 102 9
Loka merupakan seorang Gadis Jogja yang menempuh pendidikan di Kota Jakarta. Ia kemudian bertemu dengan Gama, seorang Pemuda Jakarta di tempat yang t...
42K 3.2K 11
[COMPLETED || PDF VERSION] Menjadi yang terpilih, bukan berarti dipilih. #1 hundy (20 April 2020) #1 wenhun (21 April 2020)
11.4K 1.4K 31
"Sabar kek, gue belom dandan anjir." - Tiara "nggak usah dandan, nanti yang laen pada naksir sama lo." -Jevrandy Started on January'21