Another Pain [END] âś”

By goresanlaraf

213K 13.8K 960

[COMPLETED] Mereka pernah berkata, jika rumah adalah tempat ternyaman untuk pulang. Mereka juga pernah berkat... More

I •Hati yang terbalut luka•
II •Yang tak pernah teranggap•
III •Berjuang untuk diri sendiri•
IV •Keluh dan rasa sakit•
V •Terlalu sulit berdamai dengan hati dan keadaan•
Vl •Sosok yang mengingatkannya pada masa lalu•
VII •Khawatir•
VIII •Hari terpenting dan hancur•
IX •Diary depresiku•
X •Kisah tentang duka•
XI •Pulang untuk kembali terluka•
XII •Aku bukan pembunuh•
XIII •Tak berujung•
XIV •Semangat hidup yang di patahkan•
XV •Sembunyi di balik tawa•
XVI •Berkorban•
XVII •Tuhan masih menyayanginya•
XVIII •Hati nurani yang telah hilang•
XIX •Terlalu letih•
XX •Berarti•
XXI •Pupusnya sebuah asa•
XXII •Tak lagi bersama•
XXIII •Tak lagi utuh•
XXIV •Menghindar•
XXV •Hadir untuk di acuhkan•
XXVI •Masa sulit•
XXVII •Rasa yang terpendam•
XXVIII •Ketulusan hati•
XXIX •Kebahagiaan itu semu•
XXX •Sakit yang mendalam dan keputusan•
XXXI •Bukanlah segalanya•
XXXII •Tak akan sendiri•
XXXIII •Selalu salah•
XXXV •Opera Tuhan•
XXXVI •Masih disini merakit luka•
XXXVII •Rapuh yang terbalut indah•
XXXVIII •Dalam belenggu•
XXXIX •Setiap sesak mengandung luka•
XL •Mimpi itu tak lagi tentang kebahagiaan•
XLI •Untaian kata yang tak sampai•
XLII •Paksaan untuk tetap bertahan•
XLIII •Bunga merekah yang tak akan pernah layu•
XLIV •Berselimut dengan kenangan•
XLV •Untuk diri yang tak ingin terluka lagi•
XLVI •Luka yang telah pergi dan tak akan kembali•
EXTRA CHAPTER •Timbal balik kehidupan•
AYO KENALAN SAMA DHEGA
EXTRA CHAPTER •MEMORABILIA•

XXXIV •Permainan tanpa garis finis•

3.5K 268 30
By goresanlaraf

🎶 Playing song : Tiara Andini - Tega 🎶

"Ketika sudah tak ada lagi bahu untuk bersandar, telinga untuk mendengarkan, rangkulan yang membuatmu nyaman ... Ada Tuhan yang tiap waktu ada untukmu."

—Regi Sabiru

H A P P Y    R E A D I N G
.
.
.
.
.

REVIEW BAB SEBELUMNYA...

     “Regi bisa melalui semuanya.

     "Apa Tuhan marah kalau Regi nyerah, Ma?"

     "Anak Mama gak boleh nyerah."

     "Sakit, Ma."

• Another Pain •

     "Nak? Nak?"

     Tepukan pelan di bahu serta panggilan syahdu yang masuk ke telinga-Regi mengerjap pelan, mengusap kedua matanya guna membiasakan cahaya yang sedikit menusuk mata. Sejenak menatap seorang lelaki baya di hadapannya lalu menatap sekeliling.

     "Sudah jam setengah lima, ayo sholat subuh berjamaah."

     Seketika tersadar jika semalam ia memilih bermalam di masjid. Entah, ia merasa jika selama ini dirinya begitu jauh dengan Tuhan. Mencoba berdamai dengan hati dan keadaan, Regi membuang fikiran negatif serta emosi yang masih tertinggal.

     Regi hanya ingin menjalani hari demi hari dalam hidupnya untuk lebih bersyukur. Meski dirinya kerap tersungkur oleh kerasnya alur cerita yang sudah Tuhan tata sedemikian rupa.

     Memilih duduk dan mengulum senyuman-menatap pria itu damai. Hatinya terasa begitu tentram saat latunan adzan berkumandang.

     "Saya ambil air wudhu dulu, Pak," tukasnya lalu menunduk sopan. "Permisi, Pak."

• Another Pain •

     Regi menunduk saat ia sampai di tempat wudhu, melipa sedikit celananya ke atas lalu menyalakan air keran. Di tatapnya air itu diam, helaan napas terdengar.

     Tuntunlah hamba ini kejalan lurus-MU.

     Kuatkanlah hati dan tubuh ini dari segala cobaan-MU

     Bimbinglah jiwa dan raga ini untuk tetap mengingat-MU.

     Menutup keran saat wudhu yang telah ia lakukan usai, Regi mengusap wajahnya. Senyum tipis terukir di wajah, rasanya begitu sejuk sesaat setelah Regi mengambil air wudhu.

     Regi meraih kalung perak yang bertengger di lehernya, lalu menggenggamnya erat. Sebelum pada akhirnya mulutnya bergerak dan berbicara, "Regi sholat dulu 'ya, Ma."

     Pada dasarnya manusia yang terlahir di dunia ini di bekali dengan hati nurani dan empati. Akan tetapi, kadang kala—beberapa manusia menyalahkan gunakannya.

     Sehingga menjadikan mereka manusia yang rakus, yang penuh kehausan sehingga mampu menghina makhluk Tuhan lainnya.

     Kaki Regi melangkah kecil keluar dari bilik kamar mandi—tempat ia tadi mengambil air wudhu. Kurang sepuluh menit lagi masjid akan melaksanakan sholat subuh berjamaah.

     Namun, tepat di persimpangan jalan menuju dalam masjid. Tangan itu lekas bergerak cepat—meremat perut yang terbalut baju. Rasanya sungguh sakit, nyeri itu menjalar hingga ke tulang-tulang.

     Regi hampir jatuh, mengharuskan tangan yang satunya bertumpu —memegangi tembok.

     Kedua matanya memejam, kepalanya menunduk, bibirnya merintih dan kerutan dahinya begitu dalam.

     “Nak, kamu gak apa-apa?” ada seseorang yang menepuk bahunya pelan dan bertanya perihal keadaannya. Dan mungkin orang itu tahu jika dirinya sedang tidak baik-baik saja.

     Seketika Regi mendongkak, wajahnya memang sedikit pucat tapi ia mencoba untuk terlihat baik-baik saja.

     “A-ah, gak, Pak ... Saya gak apa-apa, kok,” jawabnya lirih.

     “Kamu yakin? Tapi wajah kamu pucat.”

     Miris, bahkan orang lain pun begitu peka terhadap keadaannya. Akan tetapi apa kabar dengan Ayahnya? Jangankan peka terhadapnya, menatapnya saja pun enggan.

     Kepala Regi menggeleng, mati-matian ia menunjukkan senyumnya yang paling manis.

     “Yakin, Pak. Wajah saya emang begini hehe,” jawabnya lagi, menyembunyikan rasa sakitnya yang sengaja ia tahan.

     “Ya sudah kalau begitu, saya ambil wudhu dulu.“

     “Iya, Pak ... Terima kasih atas perhatiannya,” lagi-lagi Regi tersenyum.

     Pria itu tersenyum begitu tulus bagi Regi, hingga tanpa sadar tangan nya terangkat dan mengusap surai hitamnya.

     “Sama-sama, Nak.“

     Regi tertegun, kapan Ayahnya akan berperilaku seperti ini?

     Pria itu berlalu masuk ke dalam kamar mandi hingga siluet tubuhnya sudah tak terlihat lagi pun satu tetes air mata jatuh.

     Regi sadar jika itu begitu mustahil.

     Karena baginya, hal yang paling menyakitkan selain kepergian sang Ibu ... Mengharapkan kasih sayang dari Ayahnya.

     Tangannya mengusap kasar matanya yang berair.

     “Gak apa-apa, Tuhan benci hambanya yang lemah. Jadi gua harus kuat.”

• Another Pain•

     “Gimana? Di angkat gak?”

     Gelengan kepala Danu kembali Bima dapatkan. Dan itu membuat lelaki itu mendesah kesal. Pasalnya sejak kemarin malam ponsel Regi tak dapat di hubungi. Bahkan, Bima sudah mendatangi rumah Regi, tapi nihil. Regi tak terlihat wujudnya.

     Dan kekhawatiran pun mulai menguasai Bima beserta kedua sahabatnya.

     Mereka hanya takut jika terjadi hal yang tak terduga, hal yang mana tak mereka tahu. Karena Regi tipikal orang yang suka menyimpan masalahnya sendiri. Yang mana terkadang sering membuat mereka memaksa Regi untuk bercerita.

     “Semalem lo ke rumah sakit ketemu Reyhan, kan? Dia bilang apa?” tanya Ciko—menatap lekat Bima yang duduk di pinggiran jendela dengan sepuntung rokok di tangan kanannya.

     Bima berdiri, berbalik menghadap luar jendela—membelakangi mereka—menghisap rokoknya hingga menimbulkan kepulan asap yang mengudara.

     “Gua di usir sama Adli.“

     “Dan Reyga gak bisa ngapa-ngapain?” Danu bertanya.

     “Haha...” Bima tertawa kecil, lebih tepatnya tertawa sinis. Sebelum akhirnya melanjutkan perkataannya. “Tuh anak dari dulu emang gak berguna, Dramatis.”

     “Iya juga 'sih ... Gak ada yang jelas tuh keluarga.”

     “Gua juga heran, sebenarnya mereka manusia apa bukan.”

     Bima hanya diam. Serasa asap rokoknya tak lagi mengepul di udara, di buangnya puntung tersebut ke luar jendela sebelum pada akhirnya berdiri,  membenahi letak seragamnya dan berbalik sembari berbisik, “Gua cabut duluan.”

     Ciko mengernyitkan dahi. “Kemana, dah?”

      Bukannya menjawab pertanyaan temannya, Bima hanya melambaikan tangan dan berlalu pergi dari sana—meninggalkan kedua temannya yang masih memanggilnya.

Another Pain •

     “Pa, Regi kemana? Aku gak pernah liat dia sekarang, Pa.”

     Reyga menatap Adli lekat, begitu dalam seakan penuh makna. Lelaki paruh baya yang kini sedang membalik lembaran demi lembaran koran—hanya terdiam. Bahkan, seperti enggan untuk menjawab pertanyaan Reyga yang sedari tadi menunggu sebuah jawaban pasti.

      “Pa!” Reyga muak, muak dengan semuanya. Bahkan saat mulutnya terbuka dan berakhir meneriaki Ayahnya—sama sekali tak ada sebuah penyesalan jauh di dalam lubuk hatinya.

     Jemari Adli meremat koran yang sedang ia baca, setelahnya menghempaskan koran tersebut di atas meja. Sorot matanya yang tajam—menatap sang anak yang kini ikut menatapnya.

     “Sudah berani kamu membentak Papa, Reyga?!”

     “Kenapa?” Reyga memicing, kakinya maju satu langkah. Matanya bahkan tak luput dari manik mata sang Ayah. “Aku muak, Pa ... Aku muak sama sikap Papa! Kelakuan Papa yang semena-mena sama Regi!”

     “REYGA!”

     “Dan juga...” Reyga menggantungkan ucapannya—menelan ludah hingga manik matanya nampak berkaca-kaca. Kakinya melangkah lebih dekat ke arah Adli.

     Dengan bibir yang sedikit bergetar Reyga kembali berbicara, “Kenapa? Kenapa Papa tega nyuruh Regi buat donorin ginjalnya ke aku? Kenapa, Pa? KENAPA?!”

     “PAPA TAU? SAMPAI AKHIR HAYAT REYGA, PUN ... REYGA LEBIH BAIK MATI DARI PADA MENERIMA GINJAL DARI SAUDARA REYGA SENDIRI!”

     PLAK!

     “Jaga mulut kamu Reyga!”

     Tamparan keras mendarat di Pipi kanan Reyga, semburat merah terlihat membekas yang mana membuat air mata Reyga jatuh.

     Adli tak menyesal, bahkan tatapanya, sorot matanya semakin tajam.

     “Sekali lagi kamu bicara seperti itu, Papa akan semakin menyiksa saudaramu.”

     “Papa jahat.”

     Adli menunjuk wajah Reyga dengan jari telunjuknya. “Dan Papa tidak peduli akan hal itu.”

     BLAM!

     “ARGH!”

     BRAK! BRAK! BRAK!

     Reyga menghancurkan semua perabotan yang ada di kamarnya. Membiarkan semuanya hancur berserakan di lantai. Ia tak tahu mengapa ujian dalam hidupnya sebegitu sakit. Bahkan setiap kali ia ingin memberontak dan melindungi saudaranya—ia tak pernah bisa. Seakan-akan sang Ayah selalu berhasil menguasai jiwa dan raganya.

     Tubuh Reyga meluruh—bersandar di sisi kasur dengan kepala menunduk—menarik setiap helai rambutnya.

     “Maafin gua, Gi ... Maafin gua ... Maafin gua yang gak pernah berhasil lindungi lo.”

•Another Pain•

     Tekad Regi sudah bulat, dengan berakhirnya kedua kakinya berpijak di tempat yang telah lama tak ia singgahi. Tempat yang mana kerap menorehkan luka, tempat yang harusnya menjadi tujuan utama—membawanya pada kenyamanan.

     Tempat yang harusnya memberikan sebuah rasa bahagia hingga ia lupa bagaimana rasanya tergores luka.

     Namun hal itu tak akan pernah terjadi pada dirinya, hal yang begitu mustahil, hal yang hanya ada di angan-angannya saja. Hal yang tak akan pernah ia rasakan, mungkin sampai akhir hayat ia menghembuskan napas.

     Di tatapnya penuh kerinduan rumah itu, sebelum akhirnya kedua kakinya kembali bergerak dan tangannya menggeser gerbang besar berwarna putih. Regi rindu rumah, Regi rindu keluarganya, tapi apakah mereka merindukannya? Haha, mustahil.

     Regi semakin memberanikan diri untuk masuk. Sepi, sunyi—seperti tak berpenghuni. Tak ada siapapun di luar, hanya ada beberapa motor dan jejeran mobil milik Ayahnya. Saat dirinya sudah berada tepat di depan pintu utama, di tatapnya ragu-ragu pintu tersebut.

     Ada sedikit ketakutan, ada sedikit keraguan. Hingga setelah Regi berdebat dengan hati dan pikirannya, tangannya mulai terangkat dan menggenggam gagang pintu—sebelum pada akhirnya terbuka lebar.

     Saat Regi berhasil memasuki rumah, hal pertama yang ia dengar adalah dentingan suara sendok dan piring saling bergesekan. Kepalanya menoleh—tepat ke arah meja makan, hingga matanya serta mata mereka tertuju.

     “Ab-abang?”

     Kedua mata Regi terasa panas dan berair, rindu yang selama ini ia pendam kini terjawablah sudah. Di sana ada Kakaknya dan Aubrey—adik kesayangannya yang kini menjatuhkan sendoknya ke atas piring lalu beranjak dari meja makan dan berlari kearahnya.

     Regi menangkap tubuh itu, lalu mereka pun berpelukan begitu erat. Memecah rindu yang selama ini terendap.

     “Hiks, Abang kemana aja? Kenapa gak pernah pulang, hiks...” Aubrey memeluk Regi erat, menyembunyikan wajahnya di ceruk leher sang Kakak. Dan Regi? Iya berkali-kali mendaratkan ciumannya pada kepala Aubrey dan mengelus punggung adik kecilnya. “Aubrey kangen sama Abang, hiks.”

     “Maafin Abang, ya, Dek?” gumam Regi lirih.

     Suasana haru begitu terasa, bahkan Alan sampai TK sadar ikut menitihkan air matanya. Entah rasa benci yang dulu tersirat di benaknya—setiap detik melihat Regi pun ia enggan. Kini, berubah menjadi rasa rindu yang mendalam.

     Alan ingin memeluk Regi, tapi ia masih tak punya nyali.

     Aubrey merenggangkan pelukannya, mengucek matany yang berair di sertai tangan Regi yang mengusap lembut Surai hitam gadis itu. Di sana Alan menatapnya dalam diam.

     “R-re ... Kamu pulang?“

     Regi hanya tersenyum culas, lalu ia menatap sekeliling rumahnya yang sepi. Ada yang kurang, tak ada Reyga di sana.

     “Bang Rey sama Papa baru berantem lagi,” ujar Aubrey di sela senggukannya.

     Dahi Regi mengernyit. “Rey udah boleh pulang?”

     “Udah Bang, kata Dokter kondisi Bang Rey udah membaik kok.”  Aubrey menjeda perkataannya, samar-samar ia menatap Regi kembali. “Terus mereka berantem.”

     “Pasti gara-gara Abang, ya?”

     Aubrey buru-buru menggeleng kuat. Meski begitu Regi sudah tahu alasan mengapa Sang Ayah dan Reyga bertengkar. Dan itu pasti sudah pasti menyangkut akan dirinya.

     Mendengar hal itu, Alan buru-buru memecah suasana. “Re kamu sudah mak—” perkataan Alan terputus, tergantikan oleh teriakan seseorang dari arah pintu masuk.

     “BERANI SEKALI KAMU MENGINJAKAN KAKIMU KE RUMAH!”

     Mereka tersentak saat teriakan penuh kemurkaan itu menggema seisi ruang. Disana sosok lelaki setengah baya berdiri dengan tatapan bengis—dengan arah pandang mata tertuju pada Regi.

     “Ini rumah Bang Regi juga, Pa!” sentak Aubrey.

     “Diam kamu Aubrey!” jawab Adli dengan napas terengah-engah, lalu jari telunjuknya mengarah pada Regi. “Kamu—kamu bikin saya murka!”

     Asli lekas berjalan cepat ke arah tangga menuju lantai dua, entah apa yang akan Adli lakukan. Regi hanya diam, ia mencoba menenangkan adiknya yang semakin menangis.

     “Gak apa-apa, jangan nangis, Ya? Abang gak apa-apa.”

     “Tapi, hiks ... Tapi Papa keterlaluan sama Abang, hiks.”

     Regi tersenyum tipis, ia tahu itu tapi apa yang bisa ia perbuat?

•Another Pain•

     BRAK!

     “PA!”

     “PAPA!”

     Semua penghuni rumah berbondong-bondong keluar—mengikuti langkah Adli dengan sebuah tas tertenteng di tangan kanannya.

     Hingga pada akhirnya tas tersebut terlempar ke teras rumah bersamaan dengan langkah Regi yang terhuyung ke belakang karena terdorong oleh tangan kekar sang Ayah.

     “Papa apa-apaan, sih!” Aubrey membentak Adli—menatap sang kakak penuh linangan air mata.

     “PERGI KAMU DARI RUMAH INI! PERGI KAMU DARI KEHIDUPAN SAYA! PERGI KAMU! SAYA SUDAH TIDAK PEDULI DENGAN HIDUP KAMU REGI! KAMU BUKAN LAGI ANAK SAYA!”

     “KAMU HANYA PENGHALANG KEBAHAGIAAN KELUARGA! KAMU HANYA MUSIBAH BAGI HIDUP SAYA! KAMU HANYA BEBAN BAGI SAYA! ANAK TIDAK BERGUNA! SAYA MENYESAL SUDAH MEMBESARKAN KAMU!”

     “PERGI KAMU DAN JANGAN PERNAH INJAKAN KAKI KAMU DI RUMAH INI!”

     Luka yang selama ini masih menganga, rasa sakit yang selama ini masih begitu terasa, sesak yang selama ini terus-menerus menyiksanya.

     Kini, semakin terasa begitu nyata ketika ucapan demi ucapan itu terlontar kepadanya. Hatinya seakan hancur saat itu juga, hancur berkeping-keping seolah tak dapat lagi tersusun rapi seperti semula.

     Semua air mata menetes dari setiap sudut saudaranya, semua mata tertuju padanya—bisikan demi bisikan terdengar. Sakit, sungguh rasanya begitu menyakitkan sampai kedua kaki Regi rasanya lemas.

     “Papa jahat! Abang gak salah apa-apa!”

     “Pa!”

     “Diam kalian berdua! Atau Papa akan bertindak lebih dari ini!”

     Regi meneguk ludahnya, tangannya yang sedikit bergetar muli meraih tas yang tadi telah di lempar oleh Adli—di bopongnya tas itu.

     Sekali lagi Regi menatap sang Ayah dalam, satu tetes air mata mengalir. “Regi akan pergi dari kehidupan Papa.”

     “Bagus! Dan jangan pernah kembali!”

     Kepala Regi mengangguk, ia lekas berbalik tangan kanannya mencengkeram erat tali tas yang terlampir di pundaknya. Hingga akhirnya ia mulai memberanikan diri untuk melangkah pergi.

     “GI! LO GAK BOLEH PERGI, GI! JANGAN DENGERIN PAPA! LO GAK BOLEH KEMANA-MANA GI!”

     Seperti tertancap duri tajam, suara itu membuat Regi semakin sakit, membuat langkah kakinya berhenti dan berbalik. Di sana, ia menemukan Reyga yang terus memberontak. Linangan air matanya begitu jelas. Regi tak sanggup.

     “Maafin gua, Rey. Kalau gua tetep di sini ... gua akan terus jadi penyakit buat lo semua,” gumam ya lirih.

     Reyga menggeleng kuat. “GI! LO GAK BOLEH PERGI BANGSAT!”

     “REYGA! MASUK!”

     “REGI!”

     Regi kembali berbalik, ia menatap langit yang gelap—lelehan air matanya kembali mengalir. Sejenak ia menoleh ke samping sebelum akhirnya melangkah pergi dengan luka dan rasa sakit.

     “REGI!”

•Another Pain•

     Di ujung sana pandangan mereka bertemu, saling berdiri menghadang. Rasa sakit itu semakin lama semakin terasa begitu menyakitkan.

     Regi berusaha tenang hingga akhirnya bahunya sudah tak kuat lagi menahan beban yang selama ini ia pendam. Langkah demi langkah tertatih.

     Ia tak tahu apa rencana Tuhan padanya, ia tak tahu apa maksud Tuhan yang sebenarnya. Semua orang berkata jika Tuhan tak akan memberikan cobaan di luar kemampuan hambanya.

     Nyatanya, Tuhan tak pernah tahu jika hambanya tak sekuat yang Tuhan kira.

     Di malam yang gelap jutaan rasa sakit itu menghujam dirinya, tanpa sedikit pun memberinya jeda untuk merasakan apa itu kebahagiaan. Regi manusia, Regi memiliki hati, tapi kenapa mereka terus-menerus menyakitinya.

     BRUK!

     “Gi!”

     Regi ambruk di pelukan Bima, Regi putus asa, Regi menahan semuanya sakitnya. Dan Bima, ia tahu betul apa yang kini sedang Regi rasakan. Sakit yang beribu kli lebih menyakitkan dari tergores sebilah pisau tajam.

     “Jangan balik lagi, jangan pernah kembali kalau lo gak mau sakit untuk kesekian kali. Udah cukup Gi, cukup sampai sini lo menggantungkan harapan lo sama mereka. Jangan buat diri lo semakin jatuh, jangan rusak hidup lo demi mereka yang gak butuh.”

     Bima menahan emosinya. “You deserve to be happy.

     “Sakit ... Gua gak kuat ...”

     Tak ada pergerakan kembali dari Regi, bahkan napas Regi begitu berat, basah di bajunya membuat hati Bima semakin sadar jika basah itu berasal dari hidung Regi yang terus mengeluarkan darah.

     Bima memegang Regi erat, napas anak itu putus-putus melalui mulut. Bima di hantui kepanikan. Ia tak pernah melihat Regi se-hancur ini.

      Dengan tangan yang bergetar, Bima lekas mendial nomor seseorang. Tatapannya tak alih menatap Regi yang terus kesakitan.

     Bima meyakinkan Regi untuk tetap sadar. Hingga di seberang sana suara seseorang terdengar.

     Bibir Bima bergetar, tangan Bima ikut bergetar hebat. “Kesini cepet, Regi ... Regi ... gua takut ... Regi, dia ...”

     Bima Panic attack.


NOTE :

Hai!!! Udah lama ya aku gak nongol haha. Apa kalian kangen sama Regi? Maaf ya kalau ngaret, semoga di chap ini kalian masih semangat nungguin Regi.
Enjoy your day luv, Jangan lupa komen dan vote ya
See you ❤️

Continue Reading

You'll Also Like

1K 147 12
"Sakit dibayar maaf itu curang. Sakit dibayar karma itu impas." -Maharaja-
1.2K 338 53
__________________________________ Cerita tentang sebuah geng yang harus kehilangan seseorang dalam hidupnya karena kesalahan orang tua mereka. Singk...
552K 26.9K 74
Zaheera Salma, Gadis sederhana dengan predikat pintar membawanya ke kota ramai, Jakarta. ia mendapat beasiswa kuliah jurusan kajian musik, bagian dar...
14.8K 2.9K 63
Ruang kebebasan yang diimpikan hanyalah mimpi, nyatanya Giwang dan Aldevan malah terjerumus pada masalah tak berdasar. Ralat, hanya Giwang. Melihat A...