About You

נכתב על ידי fairytls

56K 5.5K 3.8K

[PRIVAT, FOLLOW UNTUK BACA LENGKAP] Trauma terhadap cinta membuat Leone Ice Fox tak ingin menjalin hubungan d... עוד

A T T E N T I O N
P R O L O G U E
1. Leone Ice Cole
2. Ocean Javiera
3. School
4. Clubbing
5. Girlfriend? Big No!
6. Ocean is a Germ
7. Freaky Girl
8. What? Mr. Ice
9. Gifts
10. Ck! She's Noisy
11. Damn! Crazy Girl
12. Poor Ocean
13. She's Not Cinderella
14. Physics Olympiad
15. She's Says "I Love You"
16. Family Date
17. Nightmare, Hug, and Hallucinations
18. Denial
19. Angry
20. Can I Eat Your Lips?
21. I Apologize
22. Who's she?
23. I Gotta Go
24. Missing You

25. Musée du Louvre

1.6K 198 60
נכתב על ידי fairytls

Happy Satnight Girls🥂

.

Satu jam Leone berada di Café Carrousel, meeting client, membahas pekerjaan sekaligus lunch. Setelah berjabatan tangan serta berpamitan pada mitra kerjanya, Leone meninggalkan restoran itu lantas menuju Museum Louvre yang memakan waktu kurang lebih delapan menit berjalan kaki.

The Louvre Museum adalah salah satu museum seni dan monumen sejarah terbesar di dunia. Enam tahun silam museum ini menerima predikat "world's most visited art museum" yang dikunjungi lebih dari sepuluh juta orang, maka tidak berlebihan jika Museum Louvre disebut sebagai daya tarik lain kota Paris selain menara Eiffel. Museum ini terletak di Rive Droite Seine atau tepi Sungai Seine.

"Pak Leo," seru Luna di seberang jalan sambil melambai sebelah tangan tinggi-tinggi sementara bibirnya yang telah dipoles lip tint peach tersenyum manis.

Leone menyeberang jalan dan mendekati gadis itu. "Saya kira saya akan lama nunggu kamu di sini," lontar Leone, ia memakai sebuah suit dan dasi berwarna hitam dengan kemeja berwarna biru langit.

"Aku lebih suka nunggu daripada ditunggu." Luna membalas.

"Pak Leo udah selesai meeting-nya?"

"Baru selesai delapan menit yang lalu."

Luna mengajak Leone memasuki Museum Louvre.

"Pak Leo apa kabar?" Luna bertanya sembari melangkah gontai di sebelah Leone.

"Seperti yang kamu lihat, saya baik-baik saja."

Luna tolehkan kepalanya, menilik dengan seksama wajah Leone. "Um ... yang aku lihat Pak Leo makin tampan dan jadi lebih tinggi dari sebelumnya."

Leone tak menganggap perkataan Luna, tungkainya melangkah agak cepat. Begitu melewati gerbang yang sangat tinggi, Piramida kaca di tengah-tengah Museum langsung menyita perhatian Leone.

Luna tak berkedip memandangi sekeliling bangunan Museum yang sangat besar dan beraksitektur klasik amat indah. Kemudian ia berpaling pada Pyramide du Louvre yang memiliki struktur miring, unik, dan futuristis. Tampak beberapa pengunjung sibuk berfoto dengan gaya seolah-olah menunjuk puncak Piramida kaca itu.

"Jangan lupa kedip," celetuk Leone.

Rasa kagum Luna buyar manakala sopran Leone memasuki rungunya, ia mengerjap cepat, menoleh, dan tersenyum manis. "Gimana aku enggak lupa kedip kalau disajikan view indah kayak gini? Walaupun aku udah empat kali ke Paris, tapi hari ini first time aku mengunjungi Museum Louvre."

"Kamu mau foto dulu sebelum masuk?"

"Masuk sekarang aja deh Pak Leo soalnya satu jam lagi aku harus bertemu seseorang, fotonya bisa nanti."

Leone dan Luna ikut mengantre seperti pengunjung lain yang hendak masuk di depan pintu piramida kaca. Museum Louvre memiliki tiga pintu masuk. Pintu utama melalui pintu piramida kaca yang berada di tengah Louvre, kedua melalui pusat perbelanjaan bawah tanah Carrousel de Louvre, dan terakhir melewati Porte des Lions.

Museum dibuka setiap hari, kecuali Selasa, dari pukul 09.00 hingga 18.00. Tiket masuk museum sekitar 22 euro atau Rp.382.857, sementara pada hari Minggu pertama di setiap bulan, pengunjung tidak dikenakan tiket masuk alias gratis.

Dari piramida kaca, mereka berdua turun menuju lobi utama untuk membeli ticket. Selesai membeli ticket, Luna ingin mengambil brosur panduan berbahasa inggris di pusat informasi, akan tetapi Leone menghentikan niatnya.

"Karena saya di sini kamu tidak perlu brosur panduan," ucap Leone.

"Pak Leo hafal semua ruangan di sini? Kita enggak akan tersesat kan?"

"Saya sudah sering ke sini, kamu bisa percaya sama saya."

"Um, oke, aku percaya sama Pak Leo."

"Kamu mau lihat apa? Lukisan, patung, atau benda seni yang lain?"

"Lukisan Monalisa," jawab Luna antusias.

Leone langsung mengajak Luna menuju sayap Denon, lantai satu, ruang enam—tempat dipajangnya Monalisa. Dari lobi utama di bawah lapangan Napoleon mereka menggunakan lift menuju lantai satu agar tidak jauh berjalan.

Sayap Denon lantai satu adalah lokasi lukisan-lukisan karya seninam ternama Italia. Namun Monalisa punya tempat paling istimewa. Lukisan Monalisa menempati sendiri sebuah dinding di tengah ruang enam, Monalisa hanya berukuran 77×53 cm, tampil sendirian di dinding membuat lukisan itu tampak mungil.

Pengunjung sangat ramai di ruangan ini, mereka mengerumuni Monalisa. Dan sebagai pengamanan, di pasang tali dengan jarak radius tiga meter agar pengunjung tidak terlalu dekat. Monalisa pun ditutup dengan kaca cukup tebal. Sementara satpam museum mengamati tingkah laku pengunjung.

Meskipun aturan museum melarang penggunaan lampu blitz dari kamera, pengunjung seolah tidak peduli. Kilatan blitz sahut menyahut di hadapan lukisan perempuan bernama Lisa del Giocondo itu. Satpam pun tampak santai-santai saja.

"Cantik banget," puji Luna. Menurut pengamatan Luna, mata Monalisa langsung fokus ke orang yang melihatnya, sementara bibirnya tersenyum kecil namun sulit menjabarkan arti senyum itu. Semakin ditatap semakin cantik pula perempuan di dalam lukisan tersebut.

"Cantik ya Pak Leo Monalisanya?"

"Hm." Leone membalas dengan gumaman, pria itu tetap memandang lurus ke depan.

"Lebih cantik Monalisa atau Ocean?"

"Dua-duanya cantik."

"Huh, Pak Leo enggak asik."

Leone menoleh ke samping, membalas tatapan Luna, mata bertemu mata. "Kamu mengharapkan jawaban apa dari saya?" tanyanya.

Luna memalingkan pandangan. "Eh." Ia melihat ke langit-langit seakan sedang berpikir, sejurus kemudian ia kembali lagi menatap Leone. "Kenapa Pak Leo enggak bilang lebih cantik Ocean? Atau lebih cantik Monalisa?"

"Untuk apa membandingkan kecantikan seorang perempuan dengan perempuan lainnya? Tidak ada untungnya. Bagi saya semua perempuan cantik, dan kalau ada yang tidak cantik mereka hanya kekurangan uang untuk memaksimalkan kecantikannya."

"Pantas banyak yang suka sama Pak Leo," ujar Luna.

Leone mengerutkan dahinya, menebak maksud gadis itu.

Luna menarik kurva bibirnya membentuk seulas senyum manakala melihat dahi Leone yang terlipat. "Kata-kata Pak Leo barusan buat aku kagum, jarang banget cowok zaman sekarang punya pemikiran kayak Pak Leo. Beruntung banget yang jadi pasangan Pak Leo nanti."

Leone berdeham pelan. "Siapa pun yang jadi pasangan saya, kami sama-sama beruntung saling memiliki."

Luna mangut-mangut setuju. "Pak Leo kenapa enggak punya pacar? Padahal banyak yang suka," tanya Luna asal ceplos.

"Siapa yang suka saya?"

"What? Serius Pak Leo nanya gitu? Udah jelas jawabannya Ocean! Pak Leo enggak anggap Ocean? Tega banget, sih," sungut Luna.

"Saya tahu Ocean suka saya."

"Kalau tahu kenapa Pak Leo enggak balas perasaan Ocean? Kasihan Ocean udah mau nyerah karena Pak Leo enggak kasih kepastian."

Leone termangu sejenak memikirkan Ocean, ia tidak terima ketika Luna mengatakan Ocean ingin menyerah. "Kamu punya waktu berapa menit lagi?" Leone mengalihkan pembicaraan.

Luna melihat jam di ponsel. Pukul 13.35 waktu Paris. "25 menit lagi."

"Sudah puas melihat Monalisa? Kita bisa pergi ke ruang lima, ada lukisan Da Vinci yang lain di sana."

***

Draco menghempaskan diri ke atas ranjang setelah sampai apartemen. Tubuhnya terasa lengket, tapi ia malas membersihkan diri. Helaan napas panjang keluar dari mulutnya, dengan terpaksa ia memaksakan kaki menuju kamar mandi.

Draco menyugar rambutnya ke belakang di bawah guyuran air, ia teringat Ocean yang seharian ini memenuhi kepalanya.

"Berani banget lo masuk ke dalam hati gue," ujarnya dengan nada rendah. Draco berdecak lantas mematikan shower, menyudahi acara mandinya.

Selesai menyemprot parfum dibeberapa bagian tubuhnya, Draco keluar dari apartemen, ia sudah memiliki janji bertemu dengan Lucanne dan Louis di klab malam.

Sesampainya di klab, seperti biasa mereka langsung mendekat ke meja bar dan duduk di sana.

"Traktir ya, Drake. Duit lo kan banyak, duit gue cuma sisa lima juta buat seminggu," ujar Lucanne dengan muka melasnya.

"Hm," balas Draco malas.

"Muka lo kenapa nyet? Kayak belum dilaundry, kusut amat. Ons dulu sana." Louis menatap wajah kusut Draco. "Tuh liat cewek di sana ngeliatin lo mulu." Louis menunjuk cewek seksi yang terus melihat ke arah mereka sambil menggigit bibir bawahnya, dan melayangkan tatapan menggoda seakan minta dijamah.

Draco melirik cewek seksi itu. "Enggak minat." Draco meraih gelas kecil yang sudah diisi minuman oleh pelayan bar. Meneguknya, mata Draco terpejam merasakan sensasi pahit ditenggorokannya.

"Woii Drake, slow dong kalau minum. Baru datang udah mau mabok aja lo," kata Louis.

Draco meletakkan gelas kosong ke atas meja bar yang langsung diraih oleh bartender untuk di isi cocktail lagi. "Kayaknya gue .... "

Draco menatap Lucanne dan Louis secara bergantian. Ia tidak tahu apakah harus benar-benar mengakui ini atau tidak. Namun ia berpikir bahwa mereka adalah teman, mereka harus berbagi satu sama lain, bukan?"

"Mau ngomong apa lo? Digantung-gantung bikin orang penasaran aja," cetus Louis.

"Gue ... suka sama Ocean."

Lucanne menyemburkan cocktail yang sudah sampai ditenggorokannya, membuat tenggorokannya terasa agak sakit, ia terbatuk-batuk sebelum mengelap bibirnya yang basah, matanya membulat menatap Draco. "What?"

"Tunggu, tunggu, mungkin karena gue enggak bersihin kuping gue tadi pagi ya, jadi pendengaran gue enggak beres nih," ucap Lucanne sambil mengorek lubang telinganya.

"Lo enggak salah dengar. Gue suka sama Ocean."

Perhatian mereka beralih pada Louis yang tertawa seperti orang gila sembari memukul-mukul meja bar.

"Kenapa lo? Kesurupan?" seru Lucanne.

Louis berusaha untuk menahan tawa, berpaling menatap Draco dengan cairan bening yang hampir keluar dari ekor matanya. "Gimana rasanya kemakan omongan sendiri?" ejek Lucanne.

Draco menyipitkan mata, menatap Louis kesal. Tangannya meluncur untuk memukul Louis. Masih dengan tawa yang tersisi, Louis hanya menghalangi pukulan Draco menggunakan kekuatan seadanya.

"Drake."

Draco menoleh pada Lucanne. "Apaan?"

"Lo lagi enggak bercanda, 'kan?"

"Buat apa gue bercanda soal ginian."

"Biasanya lo denial. Udah yakin lo sama perasaan lo? Jangan sampai Ocean jadi mainan juga kayak mantan-mantan lo yang lain."

"Yakin lah! Gue enggak pernah seyakin ini sama perasaan gue."

Mereka berdua terdiam mendengar Draco membawa kata perasaan seakan rasa sukanya sudah sangat serius dan sudah melewati level suka.

Louis kembali menyemburkan tawa. "Anjir, udah sedalam apa perasaan lo sama Ocean?"

Draco menunjuk Louis dengan jengkel. "Eh, udah, lo diam ya anjing!"

"Apa yang buat lo yakin sama perasaan lo?" tanya Lucanne.

Tak langsung menjawab, Draco diam sejenak. "Kalau sama Carol dan mantan gue yang lain, gue pengen pacaran kayak orang pacaran biasa. Nganterin pulang, pegangan tangan, beliin apa yang dia minta, nonton, makan di luar, pokoknya ngasih tau ke semua orang kalau kita pacaran. Tapi kalau Ocean, gue enggak peduli kita pacaran atau enggak, gue cuma mau bareng sama dia terus, gue mau selalu ada buat dia, gue mau dia bisa ngandelin gue. Gue mau selalu ada di samping Ocean, tiap saat, waktu dia sedih atau bahagia."

Lucanne dibuat benar-benar tidak berkutik oleh rentetan kejujuran itu. Ia tidak pernah berpikir bahwa akan ada sisi Draco yang seperti ini. Draco yang ia tahu adalah pemuda pemaksa yang bisa mengeluarkan berapa pun lembar uang demi memenuhi keinginannya, dan sangat membenci orang-orang yang mengganggu hidupnya. "Gila ya, sesuka itu lo sama Ocean."

"Lo tau apa? Emangnya lo pernah suka sama orang?"

Lucanne mengangkat bahunya. "Gue enggak punya waktu buat jatuh cinta, gue lebih suka hidup bebas."

"Bacot lo! Gue cabut." Draco melempar credit card ke atas meja bar dan memilih pergi dari klab.

Motor Draco menuju mansion keluarga Cole—tempat di mana Ocean tinggal. Motornya berhenti di depan pagar besar berwarna gold yang menjulang tinggi.

Melihat motor bersama pemiliknya di depan pagar, Bodyguard yang bertugas menjaga keamanan mansion lekas menghampiri Draco.

"Maaf, cari siapa?"

"Benar Ocean tinggal di sini?"

Bodyguard mengangguk. "Benar."

"Saya temennya Pak."

"Mau ketemu Non Ocean?"

Dengan kaku Draco mengangguk. "Boleh, Pak?"

Bodyguard mengangkat tangannya yang melingkar arloji lalu menurunkannya kembali sambil berkata, "Ini sudah jam sebelas malam, Non Ocean pasti sudah tidur. Sebaiknya kamu pulang, datang lagi besok."

Draco merutuki dirinya sendiri karena tidak mengecek jam sebelum datang kemari. Ia menatap pintu mansion yang tertutup rapat, sejurus kemudian maniknya menyipit tatkala pintu itu terbuka.

"Pak, itu Ocean." Draco menunjuk ke arah pintu sehingga Bodyguard balik badan dan menemukan Ocean berdiri di sana.

Ocean memegangi pintu sambil menahan rasa sakit pada perutnya. "Ya Tuhan, sakit banget." Baru mengangkat kaki saja perutnya bergejolak nyeri, ia tidak kuat berdiri lama-lama, akhirnya ia merosot, terduduk di depan pintu.

Dua laki-laki berbeda usia di dekat pagar panik bukan main melihat Ocean tumbang. Bodyguard lekas berlari mendekati Ocean, takut terjadi apa-apa pada Nona muda-nya itu.

"Oii Pak! Bukain dulu pagarnya!" teriak Draco. Draco mendongak, ia panjat pagar tinggi itu.

Bodyguard berjongkok di depan Ocean, menempelkan punggung tangannya ke dahi Ocean. "Non tunggu di sini ya, saya ambil mobil dulu, kita ke rumah sakit," ucapnya usai menarik tangannya dari kening Ocean. Belum sempat Ocean membalas, si Bodyguard telah raib.

"Ocean." Draco memegang kedua lengan atas Ocean. "Lo kenapa? Lo sakit?" Ia bertanya cemas menatap wajah pucat Ocean.

"Kak Draco, ngapain malam-malam ke sini?"

"Itu enggak penting, jawab pertanyaan gue, lo sakit apa? Ayo, kita ke rumah sakit." Draco memegangi kaki dan punggung Ocean, hendak menggendongnya seperti pengantin, namun gadis itu mencegah dengan menahan pundak Draco.

Ocean menggeleng pelan. "Aku enggak apa-apa, bukan sakit serius kok, Kak. Perut aku sakit karena nyeri haid." Keringat mulai membanjiri pelipis Ocean, tangan kanan Ocean menekan perutnya berharap nyeri di sana mereda.

"Ayo Non, kita ke rumah sakit." Bodyguard kembali ke hadapan Ocean.

"Enggak usah, Pak, aku enggak apa-apa."

"Non beneran enggak mau ke rumah sakit?"

Ocean mengangguk. "Bapak istirahat aja, aku beneran enggak apa-apa, enggak usah khawatir."

Bodyguard menuruti perkataan Ocean, ia pergi mengembalikan mobil ke basement.

"Lo butuh sesuatu enggak?"

"Kak Draco bisa tolong beliin aku jamu pereda nyeri haid di mini market, sama—"

"Sama apa? Bilang aja bakalan gue beli." Draco memotong ucapan Ocean.

"Sama ... pembalut." Ocean agak malu, suaranya memelan begitu menyebut pembalut.

"Oke, lo tunggu di sini."

Sampai di depan pagar Draco mendengus emosi. "Lupa lagi minta kunci pagar sama itu bapak-bapak. Manjat lagi gue, untung demi ayang." Draco kembali memanjat untuk keluar.

Pukul 23.15, Draco memaki dalam hati manakala tiga mini market yang ia datangi telah tutup. Tak ingin menyerah begitu mudah, ia melajukan motornya lebih cepat untuk mencari mini market yang masih buka.

"Maaf, kami sudah tutup," ucap pelayan mini market ketika Draco menerobos masuk padahal mereka sudah tutup.

"Baru tutup, 'kan?" Draco bertanya dibalas anggukan kepala oleh pelayan mini market. "Anggap aja gue pelanggan terakhir. Gue butuh jamu pereda nyeri haid sama pembalut."

Sebenarnya pelayan mini market tidak ingin mengiakan perkataan Draco karena itu melanggar SOP. Namun untuk kali ini saja pelayan itu memperbolehkan Draco berbelanja. "Silakan ke rak sebelah sana."

Draco berjalan ke arah rak yang ditunjuk oleh pelayan tadi. "Ada tiga varian, Ocean suka yang mana?" Draco menatap bingung tiga botol jamu yang ia pegang, akhirnya Draco mengambil semuanya. Untuk pembalut pun sama, ia ambil satu-satu semua jenis pembalut baik yang bersayap maupun tidak.

"Totalnya 606.000."

Pelayan kasir menerima tujuh lembar uang seratus ribu yang diberikan Draco. "Sekalian pulsanya?" Pelayan kasir itu menawarkan, namun Draco menolak. "Kami ada promo—"

"Bisa cepet enggak!" sentak Draco tak ingin mendengar basa-basi pelayan kasir.

"Ini, terima kasih sudah berbelanja."

***

Draco duduk di lantai keramin, depan pintu utama mansion bersama Ocean di sampingnya. Sebelumnya Ocean mengomel karena Draco membeli terlalu banyak pembalut.

"Maaf ya, Kak, enggak bisa ngajak masuk, bukan rumah aku soalnya," kata Ocean.

"No problem, duduk di sini juga nyaman asal sama lo. Tapi lo enggak apa-apa kena angin malam gini? Enggak tambah sakit perutnya?" Draco bertanya dengan nada khawatir.

"Enggak apa-apa kayaknya, Kak. Udah mendingan juga habis minum jamu. Kakak enggak pulang? Bukannya aku ngusir tapi ini udah malam banget."

"Capek gue habis keliling nyari pesanan lo." Draco bersadar pada pintu, memasang tampang lesu sehabis mengelilingi kota mencari minuman pereda haid serta pembalut untuk Ocean. "Gue istirahat dulu 30 menit." Alasannya agar lebih lama bersama Ocean. Draco menyelipkan rambut Ocean ke belakang telinga sehingga tidak lagi menghalanginya menatap gadis itu dari samping.

Ocean terkesiap manakala menerima sentuhan Draco, ia menoleh sekilas ke arah Draco sebelum kembali melihat ke depan, dengan kaku ia menyelipkan sendiri rambutnya ke belakang telinga.

Lenggang. Mereka berdua membungkam bibir dengan pikiran masing-masing. Ocean yang heran melihat Draco mendadak bersikap lembut. Draco pun merutuki sikapnya yang terlalu perhatian kepada Ocean.

Ocean kembali menoleh, dan ternyata cowok itu masih menatapnya. "Makasih ya, Kak, udah nolongin aku."

"Gue enggak mau ucapan terima kasih."

"Iya, besok aku ganti uang Kakak."

"Gue juga enggak mau itu."

"Terus, maunya apa?"

"Mau lo," jawab Draco membuat Ocean menatapnya bingung. Seakan tersadar atas apa yang ia ucapkan, Draco pun berkata. "Lupain, jangan dipikirin. Gue ikhlas nolong lo."

"Aku enggak nyangka Kakak orangnya baik, kalau di sekolah kan Kakak sok berkuasa banget. Ternyata apa yang Luna bilang itu bener."

"Apa yang Luna bilang tentang gue?" Draco bertanya penasaran.

"Luna bilang kalau jadi pacar Kakak itu enak, mau apa pun pasti Kakak kasih. Udah terbukti, aku yang bukan siapa-siapa aja dikasih ice cream sekulkas, dibeliin jamu, sama itu." Ocean menunjuk dua kantong besar pembalut yang dibeli oleh Draco, barangkali satu tahun ke depan ia tidak perlu lagi membeli pembalut. "Kalau kata cewek-cewek di sekolah, Kakak itu pacarable banget."

Sudut bibir Draco tertarik ke atas, bangga mendengar penuturan Ocean. "Menurut lo siapa cewek yang pantes jadi pacar gue?"

Ocean mengedikkan bahu. "Yang pasti bukan aku."

"Kenapa bukan lo?"

"Karena aku enggak suka Kakak dan Kakak juga enggak suka aku 'kan?"

Draco memalingkan wajahnya seraya berdiri. "Masuk sana, gue mau pulang," ucap Draco dingin. Tanpa menoleh lagi ia melangkah cepat meninggalkan Ocean.

***

Hampir pukul enam, Leone dan Luna baru keluar dari Museum Louvre usai petugas museum mengingkatkan bahwa museum akan tutup.

"Ke mana tujuan kamu setelah ini?" tanya Leone ketika sudah melewati gerbang tinggi Museum Louvre.

"Balik ke apartemen, Pak Leo, soalnya besok pagi harus pulang."

"Kalau gitu kita berpisah di sini," ucap Leone.

Luna mengangguk. "Iya, see yo—" Kalimat Luna terpotong karena bunyi perutnya sendiri.

Leone terkekeh. "Kamu lapar?"

Luna menunduk dan memegang perutnya yang berbunyi. "Aku lupa belum makan siang," gumam Luna namun masih dapat didengar Leone, Luna mendongak. "Pak Leo bisa temenin aku ke restoran di dekat sini enggak?"

"Saya enggak punya waktu lagi, saya harus pulang." Leone menolak sebab perjalanannya pulang ke rumah membutuhkan waktu tiga jam, ia akan melewatkan makan malam jika harus menemani Luna. "Kamu bisa pergi sendiri?"

Luna menggeleng perlahan. "Takut," lirih Luna. "Ke Paris sebelumnya selalu sama Papa Mama, baru kali ini pergi sendiri." Ditambah lagi Luna teringat tingkat pencopet di Paris cukup tinggi. Tadi saja ia waspada ketika menaiki taksi dari apartemen menuju Museum Louvre. Apalagi sekarang, ia harus berjalan kaki sendiri untuk mencari restoran, jika Leone tidak menemaninya lebih baik ia tahan lapar.

Leone mengembuskan napas panjang. "Mau makan malam di rumah Grandparents saya?"

"Emang boleh? Takutnya aku ngerepotin."

"It's okay, daripada kamu mati kelaparan karena takut pergi ke restoran."

Leone menghubungi Max agar menjemputnya dan Luna. Pukul delapan malam mereka tiba di rumah.

"Hi, Sweetie," sapa Grandma.

"Hi, Grandma," balas Leone.

"Hei, siapa yang kamu bawa?" Grandma beralih menatap Luna.

"Good night, Mrs. Cole," sapa Luna dengan ramah.

"Hello, Pretty. Aaaw, you are so cute." Grandma mencubit gemas pipi Luna sekilas, kemudian menoleh ke arah Leone. "Kamu belum memperkenalkan gadis cantik ini, Leone!"

"Saya Luna, siswi Pak Leone di sekolah."

Grandma tersenyum, kemudian membalas. "You're so pretty, jelas saja Leone suka—"

"No!" Dengan cepat Leone menginterupsi. "We're just teachers and students at school."

"Oh really?" Grandpa yang baru datang menimpali.

"Yeah, Luna siswi yang baik di sekolah."

Grandpa tertawa kecil. "Pantas saja kalian akrab."

"Cucu Anda luar biasa, Mr. Cole! Selain menjadi guru idola di sekolah, ia juga orang yang sangat baik, saya banyak belajar dari dia," puji Luna.

"Jangan memuji saya berlebihan, Luna. Kamu juga luar biasa. Kalian tahu? Luna sangat menyukai seni, dan dia pandai melukis." Leone balik memuji Luna.

"You two are so cute. Kalian yakin kalau kalian tidak pacaran?" goda Grandma.

"Grandmaaaa." Leone mengerang.

Grandma terkekeh pelan. "Oke, mari kita ke ruang makan."

המשך קריאה

You'll Also Like

21.7K 1.2K 21
REBORN PYTHAGORAS Rayyan Afkara, biasa dipanggil Ray. Dia laki-laki pintar, tampan, dan mapan. Hidupnya tertata rapi, namun sangat monoton. Hingga ak...
492 239 25
"Manusia itu bukan Matematika yang didalamnya lebih dari satu rumus, yang bisa dengan gampang dijelaskan dengan logika." Gwenda Aquella Sachi. "Bah...
102K 7.7K 26
[Sequel of SHEZA] 🚨18+ Obsesi membuat Julian menggila, kemudian nekat menculik Sheza. Tujuh hari menjadi waktu penetapan lamanya ia menculik sang pu...
6.9M 292K 59
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...