Lost

By NurAzizah504

339 231 127

Jika Arini bisa menghilangkan apa saja yang ada di bumi, maka hal pertama akan jatuh kepada hari Rabu. Bagi A... More

PROLOG
1. Penangkapan
2. Keraguan
3. Hancurnya Sebuah Hubungan
4. Ini Sumpahku
5. Malapetaka
6. Ada Apa Dengannya?
7. Sebuah Kisah Tentang Rela
8. Bom Waktu
9. Gadis Buas
10. Rabu yang Mengecewakan
11. Hilangnya Sebuah Harapan
12. Aku Tak Punya Sayap
13. Sesuatu yang Disembunyikan
14. Obrolan Berat
15. Menunggu Kabar
16. Kehilangan
17. Katanya, Terima Kasih
18. Tentang Seorang Wanita Tua
19. Anak Gadisnya Papa
20. Cowok Baik
21. Rabu yang Menyedihkan
22. Rooftop dan Kematian
23. Cerita di Tanah Kuburan
24. Kehadirannya
25. Are You Okay?
26. Sang Pembawa Bahagia
27. Secuil Rasa
28. Masih Peduli
29. Bocah Pesulap
30. Terlalu Menuntut
31. Kebahagiaan Dua Tempat
32. Cupcake
34. Laki-Laki Bernama Kana
35. Perasaan Lain
36. Perlahan Semua Menghilang
37. Prabu Kana
38. Tuhan, Ini Tidak Lucu
EPILOG

33. Kebenaran yang Terungkap

3 6 0
By NurAzizah504

Apa aku yang tidak memahamimu atau malah sebaliknya?

* * *

Aku masih terus mendengarkan. Takjub dengan kebenaran yang baru terungkap. Kerena sudah kepalang tanggung, aku tidak akan pergi begitu saja sebelum cerita menarik ini selesai. Kalau momentum besar seperti ini dilewatkan, alangkah sayangnya.

"Kasus Pak Irawan udah tuntas, beliau berhasil mengembalikan nama baiknya lagi. Sekarang udah gak ada lagi yang menghina Arin."

"Usaha lo gak sia-sia, Bro." Nawan mendekat, menepuk pundak Abhi dua kali. "Tapi orang tua lo tau gak kalau lo bayar Pak Hamdan buat selesaiin kasusnya Pak Irawan?"

"Tau."

"Respon mereka gimana?"

"Biasa aja, sih. Secara udah dari awal gue buat perjanjian sama mereka. Kalau benar Pak Irawan terbukti gak bersalah, gue dibolehin lagi balikan sama Arin. Dan mereka ngebebasin gue buat lakuin usaha apa pun untuk membuktikannya."

"Terus kapan lo mau terus terang sama Arin? Gak mungkin, 'kan, selamanya kalian begini? Sejauh ini aja Arin udah keliatan benci banget sama lo."

Abhi sempat terdiam beberapa detik sebelum Gilang mendekat dan merangkul bahunya. Laki-laki yang tubuhnya jauh lebih tinggi dari Abhi bertanya, "Mau gue bantuin gak buat ngomong sama Arin?"

"Gak usah dulu, Lang. Gue mau usaha sendiri dulu. Kemarin aja gue lancar pas minta putus sama dia. Masa ngejelasin aja gak bisa?"

Gilang tak menjawab. Selain tersenyum, dia hanya menepuk bahu Abhi beberapa kali.

"Kalau Arin gak percaya sama alasan lo gimana, Bhi?" Nawan tiba-tiba bertanya.

"Just give up and accept reality," jawab Fahmi yang santai memangku gitar.

"Tapi gue percaya lo bisa," sambung Gilang membuat Abhi tersenyum kemudian.

Inikah akhir dari cerita menarik itu? Kedua lututku seketika lemas oleh fakta yang baru dipaparkan. Bahwa Abhi telah berbuat sejauh ini untuk membantuku. Juga bersikeras membayar Pak Hamdan--si pengacara terbaik--agar kasus papa mudah dimenangkan.

Tidak. Abhi benar-benar sudah gila. Dari sekian banyak manusia di dunia, aku tak berharap Abhi ada di belakangnya. Aku sudah kepalang membencinya. Kalau ternyata dia memang sebaik itu, apakah aku harus kembali menerimanya?

* * *

"Arin, cupcake-nya sudah siap belum?"

"Eh, udah, Ma." Aku gelagapan, tapi dengan cepat mengubah raut wajah saat kehadiran Mama menghentikan lamunan. Puluhan cupcake tertata rapi di atas meja setelah diberi topping berbagai rasa, lalu dimasukkan ke dalam kotak khusus dan siap diantar ke pembeli langganan.

"Kamu beneran gak mau Mama temenin, Rin? Padahal Mama lagi luang, lho." Mama menawarkan hal yang sama. Seingatku, sudah tiga kali dia bertanya.

"Iya, Ma, beneran. Mama istirahat aja dulu. Atau siapin makan malam buat kita nanti. Aku lagi kepengen ayam kecombrang buatan Mama."

Mama tertawa, lalu mengelus pipiku sebentar. "Mama khawatir sama kamu. Sepulang sekolah tadi, kamu keliatan kurang baik. Kenapa? Ada masalah di sekolah? Masih ada yang suka ngatain kamu, ya?"

"Bukan, Ma."

"Terus kenapa? Cerita sama Mama, Rin."

"Aku udah tau siapa yang bayar Pak Hamdan buat kita, Ma."

"Hah? Siapa, Rin, siapa? Kasih tau Mama sekarang. Mama mau ketemu sama orangnya."

"Orang itu ... Abhi, Ma."

"Abhi pacar kamu dulu?" Mama memastikan, syok dengan kabar tersebut. "Tapi kenapa dia ngelakuin hal ini?"

Aku menarik napas, siap menceritakan kisah yang panjang. "Dia mau buktiin ke orang tuanya kalau papa gak bersalah. Mereka yang maksa dia putusin aku. Karena takut kasus ini akan menyeret Abhi, atau merusak nama baik keluarga mereka. Abhi terpaksa, tapi dia buat perjanjian, kalau papa terbukti gak bersalah, mereka harus kasih izin Abhi buat balikan lagi sama aku."

"Ya Tuhan, hatinya baik sekali, Nak. Dia benar-benar sayang dan rela berjuang demi kamu."

Mama benar, Abhi memang laki-laki baik hati. "Kalau Abhi beneran ngajak balikan, aku harus gimana, ya, Ma?"

"Kalau kamu sayang dia, kamu terima. Toh semuanya udah jelas. Abhi gak sejahat yang kamu pikirkan."

"Tapi aku udah terlanjur kesal sama dia. Masih gak bisa terima sama keputusan dia waktu itu yang buat aku semakin terpuruk, semakin dibenci. Dan sikapnya seolah ngebuktiin kalau aku emang pantas buat ditinggalin dan dijauhin. Aku benar-benar sendiri waktu itu, Ma. Bahkan aku sempat memutuskan buat--" Suaraku terhenti, nyaris mengatakan hal bodoh itu.

"Buat apa?"

Buat bunuh diri. "Buat menyerah, Ma. Aku benar-benar gak sanggup waktu itu."

Mama menarik napas panjang. Seraya mengusap lenganku ia berkata bijak, "Yasudah kalau kamu gak mau. Mama gak bakalan paksa. Tapi kalau ada kesempatan, tolong sampaikan terima kasih dari Mama. Karena buat ketemu sama Abhi gak bakalan mungkin lagi, 'kan?"

Karena fakta mengejutkan itu, seharian ini kepalaku hanya diisi oleh kalimat tanya dan berbagai pikiran aneh lainnya. Bahkan sampai pelanggan tetap ku datang untuk mengambil pesanan cupcake-nya di tempat biasa, barulah kekacauan itu berhenti sejenak.

"Makasih, ya, Pak. Semoga suka sama cupcake-nya."

Pria yang seumuran dengan Pak Karun itu tersenyum seraya mengambil barang dari tanganku. Memiliki gaya seperti seorang supir pribadi, Pak Ahmad--menunduk sopan dan tersenyum pelan sambil berlalu usai membayar lunas lengkap dengan uang lebih tanpa kembalian.

Beberapa minggu terakhir ini, Pak Ahmad menjadi pelanggan tetap paling favorit. Karena selalu membeli cupcake dalam jumlah banyak. Awalnya kupikir ini semua untuknya, tapi tidak. Kata Pak Ahmad, ini semua untuk bosnya. Seorang atasan Pak Ahmad yang tak pernah kulihat wajahnya.

Sejauh ini aku cukup penasaran tentang sosok tersebut. Dan sepertinya tidak masalah jika aku ingin bertemu dengan pelanggan baikku sesungguhnya. Maka dari itu, aku mengikuti Pak Ahmad menggunakan ojol yang saat itu berbelok ke arah Lawas Café.

Di antara kendaraan yang terparkir, aku memperhatikan Pak Ahmad yang turun dari mobil hitam sedang menelepon seseorang. Obrolannya cukup singkat, karena setelah itu, seseorang menghampirinya dan mengambil cupcake dengan wajah ceria. Pak Ahmad berlalu setelah tugas dinyatakan selesai oleh atasannya.

Dan ini adalah giliranku.

"Oh, jadi atasannya Pak Ahmad kamu?"

Laki-laki itu berbalik, terkejut dengan kehadiranku. "Arin? Kok bisa ada di sini?"

"Sebenarnya tujuan kamu apa, sih, Bhi? Diam-diam kirim Pak Ahmad buat beli cupcake aku?" Amarahku tersulut, memarahi Abhi di parkiran kafe sehingga beberapa orang mulai menyadarinya.

Abhi merasa risih, meraih lenganku dengan lembut. "Kita ngobrol di dalam aja, ya. Aku bakal jelasin semuanya ke kamu."

Lawas Café, tempat berkumpulnya anak muda sekaligus orang dewasa untuk melepaskan penat setelah seharian beraktivitas. Ruang yang instagramable, diceriakan oleh mural, dan dihangatkan oleh alunan musik yang terdengar indah. Sore ini, aku tak menyangka harus melewati pintu ini untuk mendengarkan Abhi berbicara.

"Pak Ahmad itu sopir aku, Rin. Benar aku yang memintanya buat ambil pesanan ke kamu. Dan kenapa setiap hari aku beli cupcake dalam jumlah banyak, karena aku juga pengen bantu kamu."

"Tapi gak gini juga, Abhi. Kamu gak perlu beli banyak di saat kamu aja gak suka sama kue ini. Aku pernah jadi pacar kamu dan aku tau tentang itu. Jangankan buat suka, mencicipinya aja kamu gak mau. Makanya hari itu aku gak merasa bersalah pas kue itu enggak aku kasih ke kamu."

"Enggak, kok, Rin. Aku udah coba cupcake kamu dan rasanya enak. Tapi setiap mau beli, kamu bilang habis terus. Dan aku harus gimana biar bisa beli selain minta tolong Pak Ahmad? Gak ada satu pun chat, telepon, atau sapaan aku yang kamu balas dengan akrab. Kamu udah jauh, dan terpaksa aku harus minta bantuan orang lain biar bisa dekat sama kamu."

Aku berpaling dari wajah Abhi. Laki-laki ini benar-benar membuatku ingin mencakar meja. "Kamu emang gitu, ya. Suka banget main di belakang. Ini Pak Ahmad, sebelumnya Pak Hamdan. Kenapa, sih, Bhi? Kenapa harus ngelakuin itu?"

"Ka--kamu udah tau tentang Pak Hamdan?"

"Iya. Aku dengar obrolan kalian di ruang musik."

Abhi menghela napas, menjatuhkan mata ke dalam gelas kopi miliknya. Sampai detik ini, tak ada satu pun di antara kita yang tertarik menenggak minuman tersebut. Sampai ia berubah dingin, terus dilupakan.

"Aku sayang kamu, Arin. Kamu tau itu, 'kan? Kalau kamu dengar obrolan kita di ruang musik tadi, itu artinya kamu udah tau semuanya. Kenapa aku putusin kamu, kenapa aku harus dekat sama Amanda, itu semua terpaksa, Arin. Dan kamu juga pasti tau tentang perjanjian aku sama mama papa. Jadi, apa kita masih bisa kaya dulu lagi? Aku menaruh harapan yang besar buat hubungan ini."

"Mau semarah apa pun aku ke kamu, nyatanya kamu juga yang membantu aku. Kalau papa masih ada, dia pasti bahagia. Thanks, Bhi. Kamu udah berjasa buat keluarga kita."

Abhi tersenyum dan mengangguk, sebuah respon yang baik untuk aku mengatakan kalimat selanjutnya.

"Tapi perjuangan kamu udah cukup sampai di sini."

"Arin, kenapa?"

"Aku lelah, Abhi. Aku lelah! Aku muak kalau harus denger hinaan mereka lagi. Walaupun papa terbukti gak bersalah, tapi rasa benci itu bakalan tetap ada. Mereka selalu mencari celah buat menghina. Dan aku bukan kamu yang bisa menghadapi masalah dengan kepala dingin. Aku Arini yang kasar, pemarah, suka menampar. Aku gak bisa mengimbangi kamu dalam hubungan ini."

Abhi menggeleng tegas, tatapannya cukup tajam. "Dan aku juga bukan Abhi yang mudah pasrah. Aku bisa berjuang untuk semua hal. Kamu adalah salah satunya yang aku perjuangkan, Arin. Aku mengaku salah karena memberi jeda di hubungan ini. Seharusnya aku bertahan, 'kan? Maaf untuk semua luka. Karena itu aku akan memperbaikinya. I'm promise, Arini."

Gila. Abhi benar-benar sudah gila.

Setelah pertemuan itu, aku berusaha menghindari Abhi. Setiap berpapasan dengannya, aku selalu mencari celah agar bisa pergi. Tidak ingin sampai menyapa, apalagi harus mengobrol banyak seperti kemarin.

Apa aku jahat?

Tidak. Aku tidak jahat.

Sewaktu membentuk sebuah hubungan, aku berharap itu akan kekal selamanya. Aku benci jika harus berpisah. Karena apa pun alasannya, itu tetaplah menyakitkan.

"Itu tidak benar, Arin."

Eh, apanya yang tidak benar?

"Terkadang beberapa orang diciptakan hanya untuk berlalu lalang. Ada yang menetap, atau sekadar singgah. Kita tidak bisa memaksa semua orang untuk selalu ada pada kita. Mereka bisa saja pergi sesuai kehendak masing-masing. Itu adalah cara Tuhan melatih hati rapuh kita agar semakin kuat."

"Tapi gue gak suka. Gue udah terlanjur sayang, tapi akhirnya ditinggalkan. Walau untuk apa pun, gue tetap gak bisa terima."

Prabu menatap ke arahku, tersenyum gemas seraya menarik ujung hidungku sejenak. "Kamu pernah tanya tidak apa yang Abhi rasakan saat putusin kamu waktu itu?"

"Enggak."

"Boleh saya jelasin?"

"Emangnya lo tau?"

"Sedikit."

Mula-mula Prabu menarik napas panjang dan mengembuskan dalam sekali dorongan. Matanya tak lagi menatapku. Karena lalu lalang kendaraan di jalan raya terlihat jauh lebih menyenangkan. "Abhi juga sama terluka, Arin. Keputusan itu pasti memberatkannya. Dia bisa saja mempertahankanmu, tapi dia tak bisa melawan orang tuanya. Kamu sendiri pernah bilang kalau Abhi adalah sosok yang menyelesaikan masalah dengan kepala dingin. Inilah cara dia menyelesaikannya. Lagi pun selama hubungan kalian putus, Abhi masih suka perhatian, 'kan? Setiap pagi, dia selalu meletakkan minuman susu kesukaan kamu di meja kelas. Dia memperhatikan caramu berjalan, rela merendahkan diri demi mengikat tali sepatumu jika terlepas. Abhi juga membeli cupcake setiap hari. Yang paling mengejutkan, dia meminta Pak Hamdan untuk membuktikan papa kamu tidak bersalah. Kamu tahu atas dasar apa dia melakukan itu semua? Yaitu agar tidak ada lagi penghalang untuk kalian bisa bersama. Abhi sebaik dan sesayang itu sama kamu. Kalau laki-laki sepertinya kamu tolak, saya tidak tahu apakah masih ada sosok yang lebih baik darinya atau tidak."

Perkataan itu sedikit banyak mengganggu kinerja otakku. Sempat terdiam beberapa saat, sampai Prabu berdeham dan menyentuh bahuku cukup pelan. Aku menatapnya untuk menemukan senyum tipis di bibir pucat tersebut.

"Apa yang kamu rasakan? Apa perkataan saya menyakitimu, Arin?"

Prabu tampak cemas sehingga aku tak ingin menambahnya dengan anggukan kepala. "Enggak. Semua yang lo bilang itu benar. Mungkin gue harus pikir-pikir dulu sebelum ambil keputusan."

"Bagus," Prabu memujiku, lalu mengelus puncak kepalaku layaknya kakak kepada seorang adik, "jadi kenapa kamu datang ke sekolah pagi-pagi sekali? Kamu tidak sedang ada masalah di rumah, 'kan?"

"Hidup gue lagi aman, jadi jauhkan kata masalah dari pendengaran gue. Lagian Setiap hari Rabu gue udah terbiasa berangkat pagi."

"Kenapa?"

"Kenapa lagi kalau bukan buat ketemu lo."

"Saya?"

Dasar laki-laki payah. Apa kalimatku sebegitu rancunya sehingga sulit dipahami? "Gue mau minta maaf buat kelakuan gue minggu kemarin. Sikap gue terlalu kasar dan bicaranya juga gak sopan."

"It's okay, Arin. Saya paham. Kamu masih remaja dan emosimu lagi naik turun. Tapi lain kali, tolong berusaha lebih sabar. Masalah tidak akan selesai jika kamu bersikap kasar."

Kalau ada yang paling hebat, maka Prabulah orangnya. Aku tidak tahu kenapa bisa senyaman ini saat sedang bersamanya. Tak hanya bersikap baik, dia juga menepati janji. Karena setiap bersamanya, aku selalu merasa bahagia. Setidaknya untuk kali ini, aku berani berkata bahwa hari Rabu yang Tuhan ciptakan telah menjadi spesial ketika Prabu ada di dalamnya.

Aku tidak tahu apakah Rabu-ku akan terus seperti ini. Karena aku juga tidak tahu berapa lama Prabu akan selalu ada pada janjinya. Pikiran ini membuatku takut kehilangan dan berpisah dengan laki-laki berkulit pucat ini. Sehingga tanpa sadar, aku meremas jari dan menghela napas panjang.

"Jadi boleh gak, sih, sesekali kita gantian?"

"Gantian apa?"

"Gantian gue yang dikasih tau tentang kehidupan lo. Sadar gak, sih, kalau selama ini lo gak pernah ngomong siapa lo sebenernya?"

* * *

Continue Reading

You'll Also Like

767K 10.6K 24
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
555K 27K 74
Zaheera Salma, Gadis sederhana dengan predikat pintar membawanya ke kota ramai, Jakarta. ia mendapat beasiswa kuliah jurusan kajian musik, bagian dar...
201K 11.9K 35
PROSES REVISI Askara Putra Reynand. Laki-laki dengan sifat dan sikap yang susah untuk ditebak. Hidup di jalanan sebagai ketua geng motor itu pilihann...
360K 3.5K 6
Karin tidak tau bahwa kedatangannya ke pesta ulangtahun Kaka angkatnya akan membuatnya berujung mendapat malapetaka. Sekeluarnya dia dari toilet dir...