Aksara Senada

By ndaquilla

1.9M 248K 13.4K

Mereka pernah bersama. Membangun rumah tangga berdua, sebelum kemudian berempat dengan anak-anaknya. Bahagia... More

P R O L O G
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Empat
Dua Puluh Lima
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan
Dua Pulun Sembilan
Tiga Puluh Satu
Tiga Puluh Dua
Tiga Puluh Tiga
Tiga Puluh Empat
Tiga Puluh Lima
Tiga Puluh Enam
Tiga Puluh Tujuh
Tiga Puluh Delapan
Tiga Puluh Sembilan
Empat Puluh
Empat Puluh Satu
Empat Puluh Dua
Empat Puluh Tiga
Empat Puluh Empat

Tiga Puluh

36.8K 4.9K 398
By ndaquilla

"Abang mau," jawab Oka tanpa ragu.

Remaja 12 tahun itu, menatap kedua orangnya bergantian.

Sofa panjang itu memang memuat empat orang, namun rasanya ia tidak puas bila memandang kedua orangtuanya lewat sisi kiri dan kanan saja. Ia harus memandang keduanya dari depan. Supaya bisa menilai ekspresi mereka. Maka dari itu, ia pun berinisiatif bangkit sambil menarik Lova.

Ia ingin leluasa melihat ekspresi yang ditampilkan ayah dan bunda saat ia menyuarakan isi hatinya. Tak masalah bila berdiri, kini terlihat jelas bagaimana mereka saling menatap kebingungan.

"Abang mau pindah ke sini," ulangnya kembali. Matanya memaku kedua sosok itu dengan ekspresi serius. "Bukan karena Abang kepengin banget tinggal di rumah ini, bukan, Bun. Tapi Abang memang udah nggak tahan lagi tinggal di sana," maksudnya jelas rumah yang saat ini ia tinggali. "Abang bukannya nggak bersyukur kita tinggal di rumah nenek selama ini, Bun. Sumpah, Abang bersyukur banget. Tapi, Abang udah nggak mau lagi tinggal di sana. Abang capek denger Bunda terus direndahkan Bude Indri hanya karena kita terus numpang. Abang muak sama bapak-bapak di lingkungan kita yang terus menerus godain Bunda."

Di sini, ia melihat kedamaian.

Di sini, bundanya bisa terbebas dari nyinyiran mulut tetangga.

"Jadi, semua ini demi Bunda, Bang?" mata Nada berkaca-kaca.

Namun Oka segera menggeleng. "Demi kita semua, Bun. Demi Bunda, demi Ayah, juga demi Abang sama Adek," Oka melempar tatap jenaka pada Lova. "Lova udah cinta mati sama Ayah, Bun. Sama kayak Abang yang cinta mati sama Bunda," ia mencoba terlihat santai. Tetapi ternyata hal itu tampak gagal. Sebab, ekspresi seriusnya sama sekali tak mampu ditutupi.

Nada meremas kedua tangannya yang berkeringat. Wajah sang putra benar-benar terlihat seperti Aksa ketika tengah mengungkapkan hal serius. Alisnya yang lebat itu nyaris menyatu saat kerutan di dahinya berkumpul di tengah. Hingga diam-diam, Nada tak sadar telah melempar tatapannya ke sebelah. Pada mantan suaminya yang juga sedang menatapnya dengan bingung.

"Ayah bilang, dia pengin nebus hari-hari yang dia lewatin tanpa Abang sama Adek. Makanya, Abang mau ngasih kesempatan Ayah untuk itu," Oka melanjutnya, tanpa mengubah raut wajahnya. "Bukan sekadar buat berbaikan sama Ayah, tapi, Abang mau Ayah ngerasain apa yang dulu pernah Bunda rasain," netranya yang sehitam jelaga memaku sang ayah dalam sandraan kelereng gelapnya. "Dulu, Bunda selalu repot kalau Abang sama Adek sakit. Nah, sekarang, biar hal itu jadi urusan Ayah, Bun. Hari ini, Lova baru aja menstruasi. Jadi, biarin Ayah yang pusing gimana caranya ngejaga dia, Bun."

Bukan sekadar ingin tinggal bersama, Oka juga tengah mempertimbangkan memberi ayahnya tanggung jawab mengurusi mereka.

"Bentar lagi kami gede, Bun. Yang artinya, kami bisa ngelakuin apa pun sendiri. Nah, sebelum waktu itu tiba, biarin Ayah tahu gimana rasanya direpotin sama kami berdua."

Karena Oka enggan menjadi lebih dewasa dari ini.

Ia tak mau menanggung beban seorang diri.

Jadi, ia putuskan mengajak serta sang ayah dalam dilema tumbuh kembang mereka ketika remaja.

"Dan Abang juga setuju kalau Bunda kerja di tempat Ayah," ucapnya lagi.

"Abang," Nada memanggil anaknya untuk mendapatkan atensi dari sang putra. "Abang boleh punya pendapat. Tapi, biarin Bunda yang ngambil keputusan, ya, Nak?" sergahnya cepat, sebelum Oka mencoba mempengaruhi dirinya dengan keinginan-keinginan anaknya itu. "Abang sama Adek bebas ngeluarin semua uneg-uneg yang kalian rasain. Tapi, keputusan akhir tetap milik Bunda."

Oka mengangguk mengerti. "Iya. Keputusan ada di tangan Bunda," tanggap Oka cepat. "Tapi, biarin Abang juga ngeluarin pendapat Abang sampai tuntas, ya, Bun?"

Dengan ragu, Nada mengangguk. Binar netranya yang resah kembali bersitatap dengan kelereng hitam sekelam malam milik mantan suami. Sebelum kemudian ia embuskan napas pasrah. "Iya, Bang."

Dan Oka menggunakan kesempatan itu dengan sangat baik. "Bunda tahu kenapa Abang setuju kalau Bunda kerja di tempat Ayah?"

Ketika bunda memberinya gelengan, Oka menarik napas. Ia benar-benar terlihat dewasa sebelum waktunya. Namun, memang seperti itulah yang terjadi. Ia tidak menyukai keributan, tapi Lova adalah sumber kebisingan itu. Ia benci menjadi cengeng, namun Lova memiliki sifat itu di dalam dirinya. Saat Lova memiliki tak peduli pada apa pun yang terjadi disekelilingnya, maka Oka kebalikannya. Ia terlampau jeli. Ia terlalu peka. Bila selama ini ia memutuskan sebagai si pendiam, maka izinkan kali ini, ia tumpahkan semua.

"Paling nggak, di sana nanti Bunda nggak akan dilecehkan sama bos Bunda," ungkapnya jujur. Karena hal itulah yang paling mengganggunya. "Ayah bakal jadi atasan Bunda di kantor. Jadi, Bunda nggak akan pernah lagi nerima penghinaan hanya karena Bunda nggak punya suami. Karena, Ayah sendiri yang udah bikin Bunda kayak gitu."

Saat tatap mata Aksa bertemu dengan pendar serius di iris putranya, Aksa tahu bahwa Oka tak sekadar ingin memberinya kesempatan. Namun juga sebuah hukuman. Aksa tak keberatan. Ia akan menerima apa pun yang saat ini tengah disodorkan anaknya.

***

"Jadi nanti kita pindah sekolah juga, Bang?"

Hari telah berganti, Lova kembali menggunakan pita dan bando berwarna-warni.

Kali ini, bandonya secerah matahari. Sementara ikat rambutnya sewarna darah yang menyala. Ia juga menambahkan gelang persahabatan di kedua pergelangan tangannya, berwarna hijau dan biru. Yang satu berukir nama Mila dan yang satunya lagi nama Fera. Tak lupa, ia menyandang tas baru yang begitu ia idam-idamkan. Ayah yang membeli, dan Lova mengenakannya dengan senang hati.

"Lova, yang ngajarin kamu pakai kaus kaki kayak pemain bola itu siapa sih?" Oka sudah menahannya sedari seminggu belakangan ini. Namun rasanya, ia sudah tidak kuat lagi menahan diri. "Kamu makin centil, ya?"

"Iissh, Abang apaan deh?" Lova mendengkus sok galak. "Udah jangan bahas kaus kakiku. Ini lagi ngetren tahu nggak sih, Bang?" ia melihat kaus kakinya yang memenjara bagian kakinya hingga bawah lutut dengan pendar bangga. "Pokoknya, aku, Mila sama Fera ibarat tokoh tiga serangkai kayak Douwes Dekker, Dr. Cipto Mangunkusumo, sama Ki Hajar Dewantara," kikik Lova melantur ke mana-mana. "Cuma, kami persi ceweknya, Bang."

Ada banyak perumpamaan yang bisa dikutip untuk menggambarkan sebuah persahabatan.

Ada banyak tokoh-tokoh dunia yang bisa diambil dalam menggambarkan persahabatan.

Namun Lova dengan pikiran absurdnya, memang tak bisa ditebak.

"Hm, bingung deh, Bang," mendadak saja, Lova malah mendesah bak orang tua. "Mila sama Fera pasti sedih kalau aku pindah sekolah," bibirnya mengerucut. Membayangkan berpisah dengan teman-temannya membuat ia terserang perasaan galau. "Tapi, tinggal di rumah ayah adalah koentjie," imbuhnya tergelak sendiri. Karena kakaknya mana mau mengikuti suasana hatinya. "Galau deh," ketika mengembuskan napas bahunya merosot. "Abang galau nggak sih?"

"Galau karena mau ninggalin Mario?" celetuk Oka santai. Terkesan mengejek sebenarnya.

"Iiihhh! Abang apaan sih?!" seru Lova sebal. "Kok tiba-tiba ke Mario? Ck, yang bener aja deh, Bang," cebiknya sok imut. Padahal, ia sedang mati-matian menahan bibirnya yang hendak mengulum senyum simpul. "Abang jangan suka nyebarin gosip nggak bener, iiihhh!"

"Halah," Oka melirik kembarannya itu sekilas saja. Sebab kini, netranya terpaku pada sebuah sedan hitam berkilau yang terparkir tepat di depan gerbang sekolah. Ada sosok laki-laki berpakaian rapi yang keluar dari mobil itu, namun bukan seseorang yang dikenal Oka. Tetapi entah kenapa, nalurinya mengatakan bahwa keberadaan mobil tersebut ada sangkut pautnya dengan mereka. "Kamu kenal, Dek?"

"Eh, itu," Lova menghentikan langkahnya ragu. Ia mengerjapkan mata demi membaca profil singkat pria tegap yang kini tengah menatap mereka. Sebelum kemudian pria itu mengetuk kaca mobil di belakang. Tampak menunduk saat kaca tersebut turun, lalu kembali memakukan netra pada mereka.

"Kamu kenal, Dek?"

Lova membaca plat mobil tersebut berkali-kali. Sambil meneguk ludah, ia mengangguk. "Mobil Tante Anyelir," ucapnya pelan. Namun penuh keyakinan. "Itu supir yang sering aku lihat nganterin Diva sekolah," tentu saja ia melihatnya melalui unggahan instastory di akun mantan istri ayahnya. "Ngapain mereka ke sini, Bang? Mau jumpai kita?"

Dan pertanyaan Lova itu segera terjawab, saat si pemilik mobil asli, mulai melangkah keluar.

Di sana, ada Anyelir Pratista yang tengah mengenakan blazer hitam dan celana bahan sewarna dengan blazernya sedang membuka kacamata, lalu melemparkan senyum sarat makna pada keduanya.

"Morning, anak-anaknya Aksa," sapanya dengan seringai tipis yang ia samarkan lewat senyum simpul yang bahkan tak sampai ke mata. "Mau bolos sama Tante hari ini?" tawarnya memiringkan senyuman. "Atau, Tante harus minta izin dulu ke guru kalian?"

"Gimana kalau Tante minta izinnya ke Ayah dulu?" Oka mengembalikan penawaran itu dengan penawaran lainnya. "Gimana, Tan?" tantangnya dengan rahang mengerat.

"Wah, oke," sahut Anyelir sembari mengeluarkan ponsel dari tas jinjingnya. "Kebetulan, ayah kalian lagi sok sibuk banget akhir-akhir ini. Jadi, ayo kita hubungi dulu," tawanya tersumir pelan. Ia mencari kontak Aksa dengan mudah. Menekan tombol dial, senyum palsunya tetap bertahan di wajah. "Ck, ayah kalian sombong, ya, sekarang?" cebiknya karena lagi-lagi Aksa mengabaikan panggilannya. "Tante foto dulu, ya?" ia tertawa kecil. Lalu, mengarahkan kameranya kepada kedua murid SMP itu. "Oke, kita tunggu respon ayah kalian."

Namun, Oka tak lagi ingin menanggapi.

Bel yang berbunyi, membuatnya dengan cepat menarik adiknya tuk memasuki gerbang sekolah.

"Kalian nggak penasaran ngapain Tante ada di sini?"

Oka menolehkan kepalanya sedikit ke belakang. "Nggak, Tante," jawabnya lugas. "Masalah orang dewasa itu bikin pusing. Jadi, biar aja Tante sama Ayah yang mikirin semuanya."

"Oh, tunggu bentar, Bang," Lova yang tadi masih diam, kini mulai menunjukkan tanda-tanda keributan. Hari ini adalah gilirannya membawa ponsel. Jadi, ia membalik tasnya terlebih dahulu demi mengeluarkan benda pipih itu.

Well, sampai saat ini Oka dan Lova hanya memiliki satu smartphone. Bunda dan ayah sudah menawarkan ponsel baru untuk mereka. Namun Oka menolaknya. Ia bilang, ia belum terlalu memerlukan alat komunikasi itu. Sesekali, ia mungkin akan bermain game di ponsel. Tetapi hal tersebut tidak membuatnya kecanduan.

Kembali lagi pada Lova yang sudah mendapatkan benda pipih tersebut, gadis cantik itu pun tersenyum semringah. "Aku gantian foto Tante, ya?" ia mengarahkan kameranya dan bunyi khas dari kamera ponsel yang tidak disembunyikan, menjadi pertanda bahwa potret sudah ia abadikan. "Sip, Tan. Udah," ia tertawa kecil. "Nanti, kalau aku udah jadi artis yang punya banyak followers di Instagram sama Tiktok, aku janji bakal upload foto Tante di sana. Captionnya, Anggota PPR. Pelakor Perwakilan Rakyat."

"Dasar anak-anak kurang ajar!" Anye kehilangan ketenangan palsu yang sedari tadi begitu melekat. Senyumnya berganti kemarahan. Dan gesture santai itu, telah berubah dalam pacuan langkah kaki cepat menuju tempat di mana kedua murid SMP itu berada.

Lova sebenarnya takut.

Ia akan menangis, begitu melihat raut bengis itu.

Namun, jarinya bergerak lincah. Ia menghubungi nomor ayahnya segera. Walau tadi, panggilan dari tante Anyelir tidak diangkat, Lova tak patah semangat.

"Hallo, Nak?"

"Ayaahhh!! Ada Tante Anye di sekolah Adek!" adunya tak peduli lagi pada lingkungan di sekitar. "Tante Anye mau nampar kami, Yah!" sebenarnya ia tidak tahu hal itu benar atau tidak. Tetapi, melihat kegeraman di wajah wanita itu, biar saja Lova mengatakan yang tidak-tidak. "Ayaahh! Adek takut!"

Sudah.

Lova berhasil memperpanjang masalah.

Karena di ujung sana, Aksa langsung mengumpat kuat.

Namun, Anyelir juga tidak gentar.

Ia berhenti melangkah sembari melempar tatapan nyalang pada Oka juga Lova.

Ia bisa mendengar Aksa menjawab panggilan bocah menyebalkan itu. Tetapi, dengan kurang ajarnya, pria tersebut mengabaikan panggilan yang ia layangkan sejak kemarin.

Baik, cara terampuh untuk menggoyahkan sebuah kepercayaan diri adalah dengan menyerang mentalnya.

Maka, Anye pun melakukan cara tak terpuji itu sekalian.

"Kalian mau tahu gimana Ayah sama Bunda kalian bisa menikah?" ia sudah kalah. Ya, sudah, sekalian saja ia menyeburkan diri dalam rasa malu yang tak berkesudahan. "Ayah sama Bunda kalian diarak warga, karena tertangkap basah berbuat zina."

Deg.

Deg.

Wajah tenang Oka langsung pias.

Berikut dengan rona wajah Lova yang kontan menghilang.

"Ayah sama Bunda kalian nggak sesuci itu. Mereka dinikahkan karena udah buat malu warga kampung."

Anyelir putus asa.

Aksa mengabaikan semua panggilannya.

Jadi, ia gunakan cara murahan ini tuk memancing Aksa agar tertemu dengannya.

*** 

Hallo jdi cerita ini gak dibukuin yaa
Ebooknya juga gk ada.
Cuma tersedia versi digital aja di karyakarsa.

Terus, aku mau bilang aja ke kalian, kalo sebelumnya cerita ini tuh udh duluan tamat di karyakarsa yaa, baru aku up ke sini. Jadi, bukan tiba2 ada di karyakarsa.

Buat yg masih bingung, nyari cerita ini di sana. Kalian cukup search aja akunku ndaquilla. Nah, cerita ini bakal muncul pertama kalo kalian buka profilku yaa


Statusnya udah selesai yaa
Di sana, aku biasanya sekali up itu 2 chapter.
Sebagai pecinta slowburn romance, cerita ini beneran ngalir pelan2. Jadi, buat alur ceeita, gk ada yg lompat beberapa tahun kemudian yaa

Oke deh, udah aku jawab yaa pertanyaan2 kalian yg kirim lewat inbox ato pun di komentar.
See uuuu

Continue Reading

You'll Also Like

7.2M 350K 75
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...
2.8M 301K 50
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...
16.9M 750K 43
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...
722K 70.4K 49
Ini adalah Kisah dari Kila. Kila Prastika yang ternyata memiliki seorang bapak kos yang kebelet kawin ... "Nikah sama saya, kosmu gratis seumur hidu...