Aksara Senada

By ndaquilla

1.9M 248K 13.4K

Mereka pernah bersama. Membangun rumah tangga berdua, sebelum kemudian berempat dengan anak-anaknya. Bahagia... More

P R O L O G
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Empat
Dua Puluh Lima
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Dua Pulun Sembilan
Tiga Puluh
Tiga Puluh Satu
Tiga Puluh Dua
Tiga Puluh Tiga
Tiga Puluh Empat
Tiga Puluh Lima
Tiga Puluh Enam
Tiga Puluh Tujuh
Tiga Puluh Delapan
Tiga Puluh Sembilan
Empat Puluh
Empat Puluh Satu
Empat Puluh Dua
Empat Puluh Tiga
Empat Puluh Empat

Dua Puluh Delapan

39.7K 5.4K 406
By ndaquilla

Malam baru saja datang, namun suasananya telah begitu mencekam. Aura yang membelenggu teramat kelam. Buat yang berada di ruangan saling melempar pandangan. Namun, bukan tatap penuh damba. Melainkan binar yang siap menyerukan perang.

Paviliun itu ramai di datangi beberapa orang, tetapi hingga kini belum ada yang siap melagukan kepentingan. Mereka masih saling diam, namun bara yang membakar sekam bersiap membumihanguskan sekitar lingkungan. Masing-masing dari mereka jelas mendendam, namun demi masa depan yang saling bersinggungan, mereka memutuskan bungkam.

"Jadi, apa solusi yang bisa kalian tawarkan?" Rangkuti Malik membenarkan letak kacamata yang sebenarnya baik-baik saja. Demi menguarkan aura intimidasi, mantan Menteri itu melirik kader partainya dengan tatap lurus penuh perhitungan. "Kamu bisa menjamin Aksa datang?"

Amrullah menghela, ia raih gelas kopi dan menyeruput isinya. Sedikit saja, ia hanya ingin membasahi bibirnya yang mendadak mengering. "Mas Rangkuti," ia memulai pelan. "Kenapa masih harus melibatkan Aksa?"

Rangkuti datang ke sini setelah siang tadi, anak dan cucunya tak berhasil membujuk Aksa. Malah, dari kabar yang ia dengar sempat terjadi perselisihan di antara mereka.

"Karena publik menyukai interaksi Aksa dengan Adiva dan juga Anyelir," Rangkuti tersenyum. Namun percayalah, bukan senyum tulus yang sampai ke mata. Senyum yang terpatri di sana, merupakan bentuk lain dari sarang makna. "Walau pun mereka sudah mengumumkan perceraian, namun potret bahwa mereka pernah terlihat sebagai keluarga yang sempurna masih begitu membekas. Keduanya juga belum punya pasangan. Banyak yang mengharapkan kalau mereka bisa rujuk lagi."

Bukan mereka.

Tetapi, Rangkuti.

Ia masih memerlukan Aksa serta Amrullah sekeluarga. Selain adik laki-laki Aksa yang berprofesi sebagai selebriti, kakak perempuan Aksa pun memiliki suami yang kekayaannya perlu didekati. Ia tak mau berhenti dari karir politik setelah di reshuffle, ada cita-cita lain yang ingin ia dapatkan. Dan ia memerlukan banyak dana serta publisitas yang tinggi.

"Ya, 'kan?" Rangkuti menatap Amrullah sarat makna. "Apa kamu nggak ingin mereka rujuk lagi?"

"Tapi itu nggak mungkin, Mas."

"Lho, kenapa nggak mungkin?" Rangkuti masih mempertahankan ekspresi santai. Namun, tatap matanya tetap memaku tajam. "Saya benar 'kan? Mereka masih sama-sama sendiri. Nggak masalah kalau mereka memutuskan rujuk lagi."

Ruangan yang besar itu memang dihuni beberapa orang. Tetapi nyatanya, yang berbicara hanyalah dua orang. Sebab yang lain bertindak sebagai ajudan. Diam mengamati, mendengar namun tak boleh bicara sesuka hati.

"Mas Rangkuti, Aksa menikahi Anyelir karena keadaan," Amrullah mencoba memaparkan dengan bahasa yang lebih sopan. "Aksa terpaksa harus mengambil tanggung jawab menikahi Anyelir, karena Akhtar sudah meninggal. Selebihnya, Aksa sudah punya pilihannya sendiri. Dan kita, juga sudah menahannya selama tujuh tahun. Apa itu masih kurang, Mas?"

"Masih," jawab Rangkuti tanpa beban. Rambutnya yang mulai memutih, kini terlihat terang. Biasanya, ia tampil di depan publik dengan peci atau topi. Senyum ramahnya hanya tuk publisitas. Sebab sehari-hari, ia adalah orang yang menakutkan setengah mati. Tetapi karena ini adalah kunjungan santai, ia merasa tak perlu memberi citra apa pun pada sang tuan rumah. "Perceraian mereka harusnya nggak perlu terjadi," kali ini ia menampilkan emosi yang sejak tadi ditahan. Rangkuti terlampau percaya, bahwa penguasa terbaik adalah mereka yang mahir mengelola perasaan. "Jika Aksa memang ingin mengambil tanggung jawab terhadap perbuatan Akhtar, kenapa dia tidak melakukannya secara penuh? Kenapa harus setengah-setengah?"

"Mas Rangkuti, kita sudah menyepakati perpisahan mereka sejak terbentuknya perjanjian pra nikah itu," Amrullah mengingatkan kalau-kalau mantan besannya itu lupa. "Tanggung jawab Aksa, hanya sampai Anyelir melahirkan. Namun, karena Mas terus mengancamnya, Aksa sampai—"

"Oh, kamu mulai membela anakmu, ya?" Rangkuti tak lagi berwajah santai. Rahangnya telah mengerat. Netranya menghunus tak hanya tajam, namun juga kejam. "Apa yang sebenarnya kamu rencana 'kan?"

"Nggak ada, Mas," Amrullah menghela berat. Ia ingat telah menampar anaknya siang tadi. Dan barusan, Rangkuti mengatakan apa? Ia membela Aksa? Ck, jelas-jelas, ia selalu membela mantan besannya itu. Tetapi entah kenapa, mendengar permintaan Rangkuti tadi, ia tak ingin menyanggupi. Sebab anaknya, tak hanya terlihat lelah. Namun juga muak. "Semua tentang Aksa, sudah cukup, Mas," ia menekankan. "Tanpa kehadiran Aksa, panti asuhan dan rumah tahfiz yang Mas dirikan, pasti akan menjadi tajuk hangat dikalangan masyarakat."

"Ck," Rangkuti berdecak cepat. "Apa kamu mulai lupa, Ru? Publik menyukai cerita-cerita berbumbu sentimentil. Kehadiran Aksa bersama Anye dan Diva, pasti menjadi magnet yang nggak akan luput dari media."

Ia sudah memiliki rencana bila Aksa benar-benar datang.

Ia akan mengundang serta Alvin di sana, hingga infotainment turut meliput kegiatannya hari itu.

Membayar buzzer tak lagi sulit untuk menaikan berita, mengenai kebersamaan Aksa dengan anak dan cucunya.

"Tapi saat ini, Aksa sudah punya rencana sendiri untuk hidupnya, Mas."

"Ah, menemani anak-anaknya, ya?" ejek Rangkuti sembari memperdengarkan dengkusan. "Mau rujuk dengan mantan istrinya?" seringainya makin terlihat jelas. "Dia sudah berani sekarang?"

"Berani apa, Mas?"

"Berani melawanku," ekspersi Rangkuti berubah bengis. "Benar 'kan, mereka ingin rujuk?"

"Biar itu menjadi urusan Aksa," Amrullah mengambil jawaban pintas. "Yang terpenting, Aksa sudah menjalankan kewajibannya sebagai adik Akhtar. Dia memberi status pada anak kakaknya. Menyelamatkan Anyelir dari gunjingan orang-orang. Dan nggak pernah lalai, memberi nafkah untuk Adiva. Saya harap, Mas sudah cukup menggunakan Aksa demi kepentingan partai atau demi kepentingan keluarga Mas sendiri. Kali ini, biarkan Aksa melakukan apa pun sesuai keinginannya," Amrullah mengakhiri pembicaraan mereka.

Ayah empat orang anak itu lantas berdiri, kode matanya memanggil ajudannya agar menghampiri.

"Kita sudah selesai dengan Aksa, Mas," putusnya seraya menarik napas panjang. Gurat lelah di wajahnya yang tua mulai terlihat jelas. Kini tengkuknya kembali terasa berat. "Saya tidak akan lagi melibatkan Aksa untuk kepentingan partai lagi," ucapnya yakin.

Namun Rangkuti tak setuju, wajahnya terlihat mencemooh. Bibirnya terangkat tipis. Lalu, ia pun ikut berdiri. "Kita lihat nanti, Ru. Kita lihat nanti," ungkapnya penuh makna. "Tapi satu hal yang pasti, Aksa akan datang minggu depan," maksudnya adalah peresmian panti asuhan. "Dan saya, yang akan memastikannya sendiri," bukan sekadar janji. Justru, terdengar bak ancaman.

***

Walau langit telah menghitam. Namun gemintang, bertaburan menyemarakkan semesta. Bias lampu-lampu jalan, menjadi penerang. Menunjukkan mereka, di mana tempat pulang. Walau hakikatnya, tak semua rumah adalah tujuan mengistirahatkan raga. Namun, Aksa berdoa bahwa bangunan yang ia bangun di depan sana merupakan destinasi dari akhir hari dan terbitnya pagi.

Meski, dirinya tak ikut menempati.

"Itu rumah kita?"

Demi Tuhan, Aksa menyukai hari ini.

Astaga, bahkan lebih suka lagi dengan malam ini.

Pertanyaan anak gadisnya membuat senyumnya membuncah penuh kebanggaan. Dengan kepala yang mengangguk mantab, ia ulurkan tangan demi mengusap bahu putrinya. Wajah cantik itu masih berhias kebingungan. Namun selebihnya, Aksa bisa memastikan bahwa binar di mata sang putri menampilkan sebuah ketertarikan.

"Adek suka?" tanyanya dengan senyum yang tak lekang. Di sisi kiri, ada putranya yang belum berkata apa-apa. Aksa menjatuhkan tangannya dan meremas salah satu bahu putranya itu. "Gimana, Bang?" lagi, senyum itu tak juga pudar.

Oka langsung merespon. Sejenak, ia menatap sekeliling lingkungan yang damai ini. Nyaris semua rumah mewah yang mereka lewati tadi tak memiliki pagar yang menutupi. Segalanya terasa asri. Karena masing-masing halaman, seolah sepakat membiarkan karpet hijau menumbuhi tanah. Mengerling pada bunda, Oka terdiam lama mengamati sosok bidadarinya. Entah apa yang terjadi pada orangtuanya tadi, bunda memang terlihat lebih diam dari sebelumnya. "Kok tanya, Abang? Kenapa Ayah nggak tanya Bunda?" ia melempar pertanyaan itu dengan sadar. Supaya apa pun kesalahpahaman antara ayah dan bunda dapat terselesaikan. "Bukannya Ayah bilang, rumah ini dibuat atas permintaan Bunda, ya? Tanya dong, sama Bunda. Sesuai nggak sama harapan Bunda."

Tatapan Aksa berkelana ke arah sang mantan istri. Sebelum kemudian, ia menghela napas. Ia mengusap wajah dengan frustrasi, lantas kemudian memaki.

Aksa berengsek!

Ya, makian itu tertuju untuk dirinya.

Atas minimnya pengendalian diri yang ia punya.

Bajingan!

Ia bahkan terlampau malu tuk bersitatap.

Kejadian sore tadi, membuatnya ingin menampar dirinya sendiri.

***

Pernah ada cinta yang terikat sangat dalam. Sebelum kemudian, terputus begitu kejam. Tangis menjadi bagian dari hari-hari yang terlewati dengan kelam. Tetapi, untungnya mereka tak kalah pada takdir yang buat merana. Bangkit dari nestapa, walau dengan langkah terseok parah. Sepasang manusia yang dulunya merajut asa, mulai rela menjalani semesta dengan jalan yang berbeda.

Terakhir kali mereka duduk berdampingan seperti ini adalah saat putusan hakim atas perceraian mereka dikabulkan. Dan saat itu, keduanya bahkan tak mampu mengangkat kepala. Nada yang mencoba ikhlas dengan takdirnya hanya bisa pasrah. Namun, ia tak kuasa menghentikan laju air matanya.

Dan delapan tahun kemudian, siapa yang menyangka bahwa takdir kembali membawa mereka tuk duduk bersisian. Namun kali ini, tak ada hakim di depan sana yang memberi putusan. Mereka berada di ruangan di mana kenangan-kenangan kala bersama pernah saling tercipta. Hening yang merajut resah, buat keduanya otomatis bergerak tak leluasa. Aura kecanggungan yang menerpa, menjadi alasan mengapa Nada memilih menatap makan siangnya saja.

Tetapi Aksa, berbeda.

Ia enggan menatap kuah Tomyum di depannya.

Satu sisi, perutnya masih begitu kenyang setelah menghabiskan makan siang dengan anak-anaknya. Sementara di sisi satunya, ia lebih menyukai pemandangan di sebelahnya. Dengan sebelah tangan menyanggah kepala, ia pandangi sosok serupa bidadari itu sembunyi-sembunyi. Karena bila tertangkap basah, ia akan pura-pura menyendok makanan ke dalam mulutnya. Ingin rasanya mengusap kepala itu. Telapak tangannya begitu merindu membelai surai hitam tersebut. Menjalinnya di sela-sela jemari. Lalu membawanya untuk dihirup dan dikecup.

Astaga ....

Aksa mengerang dalam hati.

Sendok yang berada di tangan kanannya tergenggam erat. Hasrat ingin memiliki kembali melanda sanubari. Keinginan tuk menjadi bagian dari masa depan Nada begitu tak terkendali.

Demi Tuhan, ia ingin wanita ini!

"Nanti, kamu sama anak-anak silakan lanjut lihat rumah itu. Aku pulang sendiri, naik bis."

"Jangan ngaco kamu," decak Aksa tanpa sadar.

Ternyata, kecanggungan itu pecah lewat pernyataan tak masuk akal dari Nada.

"Kamu pernah mikir nggak, Nad, kalau—"

"Aku nggak pengin bahas masa lalu," Nada bergumam.

"Ya, udah, kalau gitu, ayo kita bahas masa depan," ajak Aksa bersemangat.

Hal yang kontan saja membuat Nada mendengkus. Ia putar bola mata dengan pendar malas. "Kita udah selesai, Mas."

"Masih bisa dirajut lagi 'kan?" Aksa tak mau mengalah. "Aku sendiri, dan kamu masih sendiri, boleh 'kan kalau aku berharap sekali lagi?" ungkapnya penuh kehati-hatian. Menghadapi Nada yang bersikap defenisif seperti ini teramat sulit. Namun Aksa tak mau menyerah. "Aku," ia menelan ludah dengan gugup. "Mau berusaha sekali lagi, Nad."

Nada tahu artinya, tetapi ia sudah terlanjur melempar tatap tajam pada pria itu. "Jangan, Mas," ia menjawab lugas. "Cukup jadi ayahnya anak-anak aku aja. Tolong, jangan minta lebih," mohonnya sungguh.

"Tapi aku yang nggak cukup, Nad," Aksa menggeser makanannya. Ia putar stool yang ia duduki dan mencondongkan tubuh ke arah mantan istri. "Aku nggak cukup hanya menjadi ayahnya anak-anak aja. Aku mau sepaket jadi suami kamu," ia tarik tangan mantan istrinya dari atas counter bar. Ia genggam tangan itu, tak peduli pada tatapan Nada yang mengancam. "Aku nggak bisa jauh dari kamu lagi, Nad. Aku nggak kuat."

Nada mengempaskan tangannya dari genggaman. Dengan rahang tertutup rapat, ia pindai laki-laki itu penuh perhitungan. "Jangan gara-gara kamu yang nggak kuat hidup tanpa aku, kamu nyeret aku lagi di hidup kamu, Mas. Karena aku nggak mau," katanya tegas. Nafsu makannya telah hilang. Ia singkirkan mangkuk itu dari hadapannya. "Kamu nggak bisa seenaknya memutuskan pergi. Lalu mendadak, ingin bergabung lagi."

Mengusap wajahnya, frustrasi. Aksa menarik napas kasar, ketika Nada menghilang dari sisinya. Wanita itu berjalan membawa mangkuk kotor sisa makanan ke arah sink. Dan tentu saja, Aksa mengikutinya. "Aku punya alasan, Nad."

"Apa pun alasan itu, tolong, simpan sendiri saja, Mas," Nada tak mau mendengarnya. Karena hal itu hanya akan kembali melukainya. Namun rupanya, Aksa benar-benar menguji kesabarannya. Tubuhnya disentak menghadap laki-laki itu. Beruntung saja, ia telah berhasil meletakkan piring serta mangkuk kotor ke dalam sink.

"Aku punya alasan, Nad. Demi Tuhan, aku punya alasan," tatap Aksa mengiba. "Semua orang yang mengenal kita tahu, gimana cintanya aku sama kamu, Nad," matanya memanas. Sejak dulu, bila Nada meminta putus, ia adalah orang yang merengek tak menginginkannya. Aksa tak pernah malu mengakui perasaannya. "Aku menderita, Nad. Menceraikan kamu adalah mimpi buruk yang nggak akan pernah aku lupa. Dan tiap detiknya, yang aku mau cuma kembali sama kamu."

"Tapi nyatanya, kamu benar-benar ceraikan aku, Mas," Nada tak pernah mengatakan hal ini sebelumnya. Tetapi, Aksa yang terlebih dahulu memulai. "Hampir tiga tahun aku nunggu kamu, Mas. Dan setelah kamu kembali, kamu justru ceraikan aku," air mata itu menggenang di pelupuknya. Tinggal satu kali kedipan dan ia akan menerjunkan bukti kesakitannya. "Kamu nggak akan pernah tahu rasanya, Mas. Di saat anak perempuanmu ada digendonganku. Sementara anak laki-lakimu sedang kutuntun buat menyambut kamu. Di situlah kamu datang untuk menceraikan aku."

Lepas.

Air mata itu terjun bebas.

Memperlihatkan penderitaan yang selama ini ia simpan.

"Apa salahku, Mas?" bisik Nada merintih. "Apa salahku waktu itu?" ia tekan dadanya tanpa menghapus air mata. "Kamu janjikan masa depan. Tapi kenyataannya, kamu justru beri aku perpisahan," Nada terisak. Pandangannya mengabut akibat air mata yang tak tertahan. "Aku masih mencari-cari kesalahanku, Mas. Tapi rupanya, kamu udah melenggang mendapatkan pasangan. Dan sekarang, kamu minta kesempatan?" Nada menggeleng pedih. "Hanya sebulan, Mas. Hanya sebulan. Dan kamu udah menikah lagi."

"Nad," Aksa punya segudang pembelaan. Tetapi, semua kalah pada air mata Nada yang tumpah. Kesakitan yang wanita itu perlihatkan, teramat keras memukulnya. "Maaf, Nad. Maafin aku."

Nada membekap mulutnya dengan sebelah tangan. Berharap tangis yang ia keluarkan kali ini tak terdengar menyayat. "Aku nggak bisa, Mas," ia mengaku kalah pada semesta. Tak kuat menjalani hari-hari seperti yang sudah-sudah. "Cukup jadi ayahnya anak-anakku aja, ya, Mas?" pintanya sungguh-sungguh. "Aku nggak sanggup kamu terbangkan tinggi, lalu tiba-tiba kamu hempas ke perut bumi. Aku nggak kuat kalau itu terjadi lagi."

"Tapi aku nggak akan ngelepas kamu lagi, Nad," Aksa bersikeras menahan mantan istrinya. Tangan yang tadi terlepas dari genggaman, telah ia raih tuk digenggam erat.

Nada tak terharu mendengar deklarasi itu.

Mencoba melepaskan genggaman, ia menarik tangannya.

Namun Akas, sedang tak ingin mengalah. Ia pertahankan tangan Nada dalam genggamannya.

"Lepas, Mas," Nada mencoba meredam suara. "Lepas."

Tetapi Aksa, berusaha keras kepala. Ia menggeleng, sambil terus menancapkan atensi pada wanitanya.

Ya, hanya Nada satu-satunya.

Hanya Nada yang ia inginkan di dunia.

Ia tak mau kehilangan wanita itu lagi.

Ia tak ingin mereka berjauhan kembali.

Maka dari itu, otaknya yang sudah hilang kendali justru berbuat hal yang jelas-jelas akan ia sesali. Ia menarik mantan istrinya itu mendekat ke arahnya. Tak membiarkan wanita itu menikmati keterkejutannya, Aksa menurunkan wajah, melabuhkan satu kecupan di bibir seorang Senada Anulika.

Demi Tuhan, ia mencintainya.

Demi Tuhan, ia hanya ingin Nada di hidupnya.

Lalu, sebuah tamparan mendarat begitu keras di pipi. Buat Aksa seolah tersadar, bahwa mereka tak lagi saling memiliki.

"Lancang kamu, Mas!"

*** 

Yaa maaf yaa Nad, namanya juga Duda rindu belaian. Pengennya sih khilaf sama2, eh nggak tahunya kamu tuh kuat iman dan taqwa wkwkwkk

Kemaren ada yg nanya, isi part di wattpad sama gk sama yg dikaryakarsa, jawabannya sama yaaa.
Terus, cara beli koinnya juga gampang lho. Bisa bayar pakai shopeepay, dana, gopay, atau tf bank. Kalo mau top up aku saranin, beli via web aja ya, lebih murah soalnya.
Caranya, tinggal masuk ke akun kalian dari google, terus ya tinggal pilih top up aja. Ntar menu pembayarannya bakal keluar kok kyk yg aku sebutin tadi.

Okee yaa see uu

Continue Reading

You'll Also Like

7.2M 351K 75
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...
365K 19.8K 28
Mature Content ❗❗❗ Lima tahun seorang Kaia habiskan hidupnya sebagai pekerja malam di Las Vegas. Bukan tanpa alasan, ayahnya sendiri menjualnya kepad...
3M 152K 62
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _𝐇𝐞𝐥𝐞𝐧𝐚 𝐀𝐝𝐞𝐥𝐚𝐢𝐝𝐞
844K 79.8K 51
Ini adalah Kisah dari Kila. Kila Prastika yang ternyata memiliki seorang bapak kos yang kebelet kawin ... "Nikah sama saya, kosmu gratis seumur hidu...