Aksara Senada

By ndaquilla

2.1M 257K 13.7K

Mereka pernah bersama. Membangun rumah tangga berdua, sebelum kemudian berempat dengan anak-anaknya. Bahagia... More

P R O L O G
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Empat
Dua Puluh Lima
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Delapan
Dua Pulun Sembilan
Tiga Puluh
Tiga Puluh Satu
Tiga Puluh Dua
Tiga Puluh Tiga
Tiga Puluh Empat
Tiga Puluh Lima
Tiga Puluh Enam
Tiga Puluh Tujuh
Tiga Puluh Delapan
Tiga Puluh Sembilan
Empat Puluh
Empat Puluh Satu
Empat Puluh Dua
Empat Puluh Tiga
Empat Puluh Empat

Dua Puluh Tujuh

41.2K 5.7K 168
By ndaquilla

Drama per-haid-an Lova masih berlanjut yaaa hahaha cerita ini kan emang slowburn yaaa jadi yaa bener2 pelan-pelaannn

Okee yaaa, happy reading ....

"Nanti, Adeknya dijaga bener-bener, ya, Bang?"

Oka sedang memangku sebuah katalog perumahan di pangkuan, saat ayahnya datang dan bergabung bersamanya di ruang tamu. Ikut duduk juga di sebelahnya, tangan pria itu menggeser remot televisi ke atas meja. "Cuma Abang aja yang harus jaga Adek? Ayah nggak mau ngejaga dia?" pertanyaan itu dilempar tanpa tedeng aling-aling. "Kerjaan Abang udah banyak, Yah. Ngejaga Bunda, sekarang harus jaga Lova juga. Ayah nggak mau bantuin?"

Aksa terhenyak mendengar perkataan sang putra. Ia yang semula berniat merebahkan punggung di sandaran sofa, kini duduk dengan tegap. Memandang anak laki-lakinya lama, lalu pandangan Aksa mengarah pada foto berbingkai besar yang ia pajang tepat di depannya. "Lihat, dulu Abang masih segitu," Aksa menunjuk salah satu bayi yang ada di foto itu dengan jemarinya. "Masih bayi, botak lagi," kekehnya seraya mengulurkan tangan mengusap rambut anaknya. "Tapi sekarang, Abang udah tinggi. Bentar lagi ngelebihin Bunda tingginya. Terus, rambutnya udah lebat. Ganteng lagi."

Ketika ayahnya tertawa, Oka pura-pura mendengkus. Namun matanya, ikut mengarah pada potret keluarga yang tadi ditunjuk pria itu. Ada sepasang orangtua muda dengan dua bayi kembar dalam gendongan masing-masing. Potret itu begitu sederhana, berikut dengan pakaian yang dikenakan mereka. Namun entah kenapa, Oka bisa merasakan tatapan ayahnya ketika melihat potret itu begitu berharga. Seolah-olah, benda itu adalah hal paling istimewa di seluruh perabot mahal yang ada di apartemen ini.

"Foto itu, kapan diambil, Yah?" tanyanya penasaran.

"Hm, dua minggu sebelum Ayah berangkat," kini Aksa sudah merasa jauh lebih santai dari sebelumnya. Ia meninggalkan mantan istri juga anak perempuan mereka di dalam kamar. Nada yang meminta, wanita itu bilang ingin berbicara berdua saja dengan Lova. "Kita datang ke studio foto dianterin sama Om Akhtar. Bunda cantik, ya, Bang?" tanyanya sembari menyertakan senyum bangga.

Pertanyaan yang kontan saja membuat Oka menatap sang ayah dengan kening berkerut. Sementara pria itu malah melemparnya dengan cengiran. Oka berdecak, ia tutup katalog yang berada di pangkuannya, lalu meletakkannya kembali pada laci di bawah meja. "Istri Ayah yang dulu, nggak marah ada foto itu di sini?"

"Dia nggak tinggal di sini," desah Aksa dengan berat.

"Ayah juga nggak tinggal sama dia 'kan?"

Aksa mendesah. "Ayah tinggal di sini. Bareng sama kenangan-kenangan kita," ucapnya sendu. Senyumnya terpatri tipis, sementara matanya mendayukan rindu. "Bunda cantik, ya, Bang?" netranya memaku pada potret seorang wanita muda yang berada di sisinya sewaktu muda. Wanita itu mengenakan kemeja putih yang serupa dengan miliknya. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai. Dan senyumnya benar-benar indah. "Andai waktu bisa kembali, Ayah bakal milih nggak berangkat ninggalin kalian. Andai Ayah tahu waktu yang kita jalani sama-sama begitu singkat, Ayah pasti nggak mau ninggalin kalian cuma buat kuliah lagi."

Oka masih tak paham betapa rumitnya kehidupan orang dewasa.

Pikirnya, selain bekerja dan mencari uang, hidup orang dewasa akan baik-baik saja. Jatuh cinta, menikah, lalu punya anak. Oka mengira, permasalahannya hanya begitu saja. Tetapi sepertinya ia salah. Kehidupan dewasa benar-benar membingungkan.

"Kenapa Ayah menikah sama mamanya Adiva tapi nggak tinggal bareng mereka?" sebenarnya itu juga membuat Oka bingung. Fakta bahwa ayahnya kerap membawa mereka ke tempat ini, mereka pikir, tante Anyelir pun tinggal di sini.

"Karena tempat ini punya kita," Aksa menoleh pada putranya. Tangannya menepuk-nepuk paha anaknya sambil memakukan tatapan pada potret harmonis di depannya. Melihat sejuknya senyum Nada dan dirinya di waktu muda. Oka yang masih belum ditumbuhi rambut lebat. Serta Lova yang mengenakan bando merah muda serupa dengan baju yang dikenakan bayi mungilnya itu. "Tempat ini punya kita berempat. Dan Ayah nggak akan mengizinkan dia buat tinggal di sini. Ayah nggak mau dia nodai kenangan kita."

"Terus, kenapa Ayah nikahi tante itu?" tanya Oka makin tak mengerti. "Bukannya suami istri itu harusnya tinggal bersama, ya? Dulu, Bunda sama Ayah tinggal bareng 'kan?"

"Oh, jelas," Aksa tertawa. "Mana mau Ayah jauh-jauh dari Bunda kalau nggak karena terpaksa."

"Terus, kenapa sama tante Anye, Ayah nggak tinggal sama-sama? Apa karena terpaksa juga?" Oka menyecar ayahnya. "Ayah—"

"Nanti, ya, Bang," Aksa memotong ucapan anaknya seraya mengacak-acak rambut sang putra. "Suatu saat nanti, Ayah bakal ceritakan semuanya. Kalau Abang sama Adek udah cukup dewasa. Ayah pasti cerita."

Oka terdiam. Ia pandangi ayahnya dalam-dalam. Namun, bibirnya terkunci rapat. Banyak yang ingin ia tanyakan, namun seperti yang tadi ayahnya ungkap, mungkin bukan sekarang waktu yang tepat. "Ayah masih cinta Bunda?" pertanyaan itu tak mampu ia tahan. Sudah mengendap lama di ujung lidah. Dan sepertinya, inilah saat yang tepat tuk menanyakannya. "Apa Ayah masih cinta Bunda?"

Aksa hanya menjawabnya dengan senyum lebar, kepalanya mengangguk sekilas lalu kembali menatap potret yang ada di depannya.

"Mau ngapain sih foto-foto segala?" Nada berdecak memandang suaminya tajam. "Anak kamu ini dua lho, Mas. Dan mereka suka tantrum kalau lagi nggak nyaman."

Aksa pulang membawa dua kemeja putih yang diberikannya pada Nada. Sementara tangannya yang lain, menenteng tas plastik berisi baju-baju untuk si kembar. "Ya, kan, kita nggak punya foto keluarga, Nad," Aksa membela diri. "Buat dipajang di ruang tamu nanti kalau kita udah punya rumah."

"Ya, ampun, Mas. Kamu tuh kerjanya masih lama. Ini aja mau sekolah dulu," Nada berdecak.

"Tapi 'kan, gajinya gede, Nad. Siapa tahu aku langsung dapet klien kelas kakap. Bisa jadi, gaji sama insentifnya besaran insentifnya lho."

"Kamu tuh, ya, belum juga kerja, tapi udah ngayal gajinya aja," Nada bergumam sewot.

"Oh, jelas dong. Itu 'kan, booster semangat," Aksa terkekeh. "Jadi, mau 'kan, foto keluarga?" Aksa menaik-turunkan alisnya sengaja. "Ya, Nad? Sayang? Cinta? Bunda?"

"Jijik," dengkus Nada sambil tertawa.

Tetapi dua hari kemudian, mereka sudah berada di studio foto milik teman Aksa. Dengan keriuhan si kembar yang kompak menangis karena merasa gerah. Hari itu, tidak akan terlupa. Sewaktu Oka sudah tenang, justru Lova yang mencari gara-gara. Bayi perempuannya itu buang air besar, di saat sudah didandani dengan cantik.

Dan kini, hasil foto tersebut sudah Aksa pajang.

Tiap kali melihatnya, ia merasa tetap berada di saat-saat menyenangkan itu.

"Rasanya, nggak nyangka lho, kalian udah sebesar ini," Aksa mendesah diiringi kesyukuran yang menyertai. "Abang udah tinggi, Adek juga udah menstruasi. Rasanya, waktu itu nggak adil, ya, Bang? Tahu-tahu kalian udah remaja."

***

Nada ikut bergabung dengan mantan suami dan anak laki-lakinya setelah menjelaskan pelan-pelan pada Lova mengenai kondisi yang kini tengah dialami sang putri. Awalnya, Lova masih saja merasa takut. Tak jarang, anaknya pun menangis selama Nada memberinya pemahaman. Dan kini, anak gadisnya itu malah terlelap. Mungkin, campuran rasa ngeri dan juga lelah, membuatnya menyerah pada alam bawah sadar yang merayu.

"Lova mana, Bun?" todong Oka begitu ibunya keluar dari pintu kamar.

"Dia tidur, Bang," Nada mengerutkan hidungnya lucu. "Capek dia nangis terus, jadi ngantuk," ia terkekeh.

"Jadi, tadi tuh, Lova bener-bener menstruasi, Bun?" ringis Oka yang merasa aneh menyebut kata itu. Sembari menggeser tubuhnya ke tengah, Oka memberi ruang agar ibunya duduk di sisi kanannya. Sementara yang ayah berada di sisi kiri. Jadi posisinya, ia yang berada di tengah. Bukan sengaja, hanya saja, ia sempat menangkap keengganan di wajah Bunda saat melangkah ragu ke sofa ini. "Histerisnya bikin panik lho, Bun," ia mengadukan kelakukan adiknya yang ajaib. "Ayah aja sampai bingung. Dia bilang perutnya berdarah, Bun. Ayah sampai mau bawa dia ke IGD."

Mengerling sang mantan suami yang sedari tadi hanya menatapnya lekat, Nada mencoba mengabaikan tatapan pria itu. Walau ia tahu apa arti dari tatapan tersebut. Sambil berdeham singkat, ia memutuskan tuk mengarahkan atensi pada putranya saja. Menolak ekor matanya yang hendak mengerling ke arah pria yang telah memberinya dua anak, Nada memilih memandangi putra mereka lekat. "Adek juga panik, Bang. Dia baru pertama kali ngalamin ini. Makanya, sampai omongannya ngaco gitu. Abang, ih, pakai teriak-teriak kesel gitu ke dia tadi."

"Bajunya masih muat, ya, Nad?" sambar Aksa tiba-tiba. Lidahnya gatal bila tak mengomentarinya. "Udah lama banget, aku nggak lihat kamu pakai baju itu," lanjutnya memiringkan kepala. Agar matanya, dapat melahap mantan istrinya secara puas.

Nada mengerang dalam hati mendengar komentar Aksa. Bibirnya menipis, seraya melempar tatap tajam untuknya. Namun, Aksa tak sepenuhnya salah. Ia sendiri yang cari penyakit dengan memilih mengganti kebayanya tadi. Setelah drama pencarian celana dalam untuk Lova yang Nada ambil sendiri, karena merasa tak nyaman bila pria itu yang membongkar-bongkar pakaian dalam yang dulu pernah ia kenakan. Nada menemukan kaus hitam kesayangannya dulu di antara tumpukan baju yang tertinggal di apartemen ini.

Dan itulah yang tengah ia kenakan sekarang. Memadukannya dengan celana piyama bermotif garis-garis hitam, Nada pun sudah mencuci wajahnya yang tadi sempat dipulas make up. Kini, ia memang merasa jauh lebih nyaman dan juga segar. "Aku nggak pernah ngerasa gendut kok," jawab Nada sekenanya saja.

Aksa manggut-manggut. Meski terhalang putra mereka yang duduk di tengah, namun ia merasa bersyukur berada dalam jangkaun jarak sedekat ini dengan sang mantan istri. "Gendutnya waktu hamil si kembar, aja, ya, Nad? Dulu naik sampai berapa kilo, ya? Dua puluh, ya, Nad?"

"Iya," Nada menjawabnya spontan. "Kamu ngasih aku makan martabak terus tiap malam," lanjutnya tanpa sadar.

"Kalau nggak gitu, kamu ngerengek nggak kenyang. Aku pusing nyari makanan tengah malam," kekeh Aksa sambil mengenang masa lalu.

"Kan aku makan buat tiga orang. Wajar dong, kalau kelaperan terus."

"Tapi dulu, kontrakan kita jauh dari peradaan tongkrongan malam, Nad. Kami pengin sekoteng jam satu pagi. Di mana coba aku nyari?"

"Usaha kamu kurang, Mas. Padahal yang aku kasih, langsung dua bayi," Nada mencebik.

Oka memandang kedua orangtuanya dengan takjub.

Ia tak mengatakan apa-apa, namun binar matanya begitu hidup.

Ternyata, beginilah bila ayah dan bunda sedang ribut.

Rupanya, seperti inilah jika ayah dan bunda sedang sama-sama sewot.

"Dek, kamu harusnya nggak usah tidur. Biar kamu bisa lihat gimana interaksi Bunda sama Ayah sekarang. Pasti kamu seneng, Dek. Ini impian kamu," desahnya dalam hati.

Well, Oka tak berbohong,

Inilah impian Lova.

Adiknya itu ingin sekali melihat, bagaimana ayah dan bunda mereka berinteraksi di masa lalu. Dan itulah yang tengah ia dapati. Hingga diam-diam, Oka menundukkan kepala. Ia mengulum bibirnya demi menyamarkan senyum yang terpatri di ujung bibirnya.

"Sekarang, kamu nggak laper?" Aksa melempar pertanyaan itu pada sang mantan istri. "Tadi sempat makan nggak?"

"Oh, iya," Nada baru sadar bila ia belum makan siang. Kepanikan akibat tangis Lova membuatnya tak sempat merasakan rasa laparnya. "Aku belum makan."

"Aku pesankan, ya?" Aksa meraih ponselnya di atas meja. "Mau makan apa? Bakso kesukaan kamu yang dulu itu, masih jualan lho di belakang," maksudnya adalah belakang gedung apartemen ini. "Eh, kamu inget nggak warung Tomyam seafood yang dulu kamu suka itu, Nad? Sekarang udah jadi resto. Dan rasanya tetap enak kayak dulu."

"Yang di perempatan jalan itu 'kan, Mas?"

"Iya. Yang di situ. Aku pesanin, ya? Enak lho. Aku masih sering beli."

"Boleh deh, Mas."

"Udah, itu aja? Anak-anak nggak sekalian?"

Dan ketika pertanyaan itu terlontar, sepasang mantan suami istri tersebut baru saja tersadar akan tingkah mereka. Keduanya serentak memandang anak mereka yang sejak tadi berada di tengah-tengah.

"Abang nggak apa-apa, kok, Yah, Bun," sahut Oka kalem. Seolah tahu arti dari tatapan kedua orangtuanya yang tersemat padanya. "Abang mau istirahat di kamar sebelah aja, ya, Yah," ia menunjuk kamar yang isinya adalah barang-barang mereka waktu bayi dulu. Ada sofabed di sana, jadi alasan Oka masih terdengar masuk akal. "Pesen makanannya buat Ayah sama Bunda aja, ya? Abang capek, mau tidur dulu," ia pun beranjak dari sana. Meninggalkan orangtuanya dengan senyum tipis yang ia bagi untuk keduanya.

***

"Gimana, Sa?" Akhtar memandang adiknya penuh harap. "Kesempatan ini nggak datang dua kali lho, Sa. Kapan lagi coba, lo buktikan ke Papi, kalau lo juga bisa sukses tanpa bantuan dari dia."

"Masalahnya, istri sama anak-anak gue gimana, Mas?" Aksa mendesah. Jujur, ia tergiur. Namun bayangan istri dan anak-anaknya juga langsung mengisi benak. "Mereka baru setahun lebih."

"Untuk biaya hidup mereka, Om, yang tanggung, Sa."

Aksa menatap Om Sahrir sambil menghela. "Masalahnya, aku nggak bisa Om, jauh-jauh dari mereka," Aksa cemberut.

"Ya, namanya untuk masa depan yang lebih baik, Sa," Sahrir berusaha meyakinkan keponakannya itu. "Berkorban sebentar untuk hasil yang lebih baik, kan nggak masalah, Sa. Selama kamu pendidikan, Om yang bakal jamin kebutuhan hidup anak sama istri kamu. Nanti kita diskusiin sama-sama nominalnya. Uang saku selama kamu di sana pun, bakal di tanggung firma kita."

"Udah gitu, kan, ada gue di sini, Sa," Akhtar terus meyakinkan adiknya untuk menerima tawaran Om mereka. "Kerjaan lo sekarang, nggak menjamin masa depan si kembar, Sa. Inget, cita-cita lo itu jadi pengacara. Selain duit melimpah, lo butuh tawaran ini buat buktiin ke Papi, kalau lo baik-baik aja tanpa tunjangan uang dia. Ayolah, Sa, kapan lagi coba? Mumpung lo masih muda. Percaya sama gue, gue bakal jagain istri sama anak lo. Gue sama Mbak Arti, bakal tanggung jawab sama mereka."

"Ini juga permintaan Mami kamu, Sa. Mami kamu tuh, sedih lihat kehidupan kamu. Andai dia bisa bantu, dia pasti bakal bantu kamu. Tapi kamu tahu sendiri gimana watak Papi kamu 'kan? Coba kamu pikir-pikir dulu. Kamu obrolin sama istri kamu. Nggak nyampe tiga tahun kok, Sa. Setelah itu, kamu langsung kerja di firma Om."

Setelah itu, Aksa benar-benar menjadi pengacara yang bekerja untuk firma hukum milik Omnya. Namun, istrinya bukan lagi Senada Anulika.

Dan segala pencapaian itu, terasa sia-sia.

*** 

Yaa gituu sih, namanya juga hidup yaaa mana ada yg bisa nebak gimana akhirnya

Cerita ini terdiri dari 2 season yaaa udah tamat di karyakarsa berikut sama expartnya yg ulala
Di karyakarsa tuh aku update sekali 2 part. Jadi yaa enak bacanya panjang gituuu

Okee deh semuanyaa see uu yaa

Continue Reading

You'll Also Like

1.4M 111K 35
"Aku benar-benar akan membunuhmu jika kau berani mengajukan perceraian lagi. Kita akan mati bersama dan akan kekal di neraka bersama," bisik Lucifer...
477K 1.5K 9
Katya Shelomita memiliki insekuritas tinggi terhadap salah satu bagian tubuhnya sejak dia menginjak bangku SMP. Gadis manis yang mungil itu kehilang...
6.9M 47.5K 60
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...
394K 43.4K 26
Yg gk sabar jangan baca. Slow up !!! Bagaimana jika laki-laki setenang Ndoro Karso harus menghadapi tingkah istrinya yang kadang bikin sakit kepala. ...