Aksara Senada

By ndaquilla

1.9M 248K 13.4K

Mereka pernah bersama. Membangun rumah tangga berdua, sebelum kemudian berempat dengan anak-anaknya. Bahagia... More

P R O L O G
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Empat
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan
Dua Pulun Sembilan
Tiga Puluh
Tiga Puluh Satu
Tiga Puluh Dua
Tiga Puluh Tiga
Tiga Puluh Empat
Tiga Puluh Lima
Tiga Puluh Enam
Tiga Puluh Tujuh
Tiga Puluh Delapan
Tiga Puluh Sembilan
Empat Puluh
Empat Puluh Satu
Empat Puluh Dua
Empat Puluh Tiga
Empat Puluh Empat

Dua Puluh Lima

38.4K 6K 188
By ndaquilla

Semesta itu punya tujuan. Walau realita yang digariskan tak selalu menyenangkan. Namun percayalah, hal itu bertujuan tuk mendewasakan. Sebab konsepnya, jalani meski pahit. Lalui meskipun sulit.

Simple, ya?

Tetapi percayalah, butuh tekad kuat agar tak mengeluhkan takdir yang sudah terlanjur digariskan.

Nada bukanlah remaja, atau pun wanita awal 20an. Usianya dewasa, berikut dengan pemikirannya. Sebelum menjadi istri seorang Aksara Bhumi, ia adalah gadis tangguh yang ditempah langsung oleh kehidupan. Justru, menikah dengan Aksa membuatnya merasakan seperti apa dimanja. Ia dicintai seolah-olah dirinyalah wanita paling berharga di dunia. Aksa mengentasnya dari rasa pesimis yang terlanjur mandarah daging. Walau setelahnya, pria itu juga yang mengempasnya hingga berkeping-keping.

Tak masalah, Nada berhasil melalui hari-hari yang pahit.

Jadi, ketika akhirnya ia nekat keluar dari zona nyamannya yang enggan melibatkan hati, Nada tahu hal-hal apa saja yang akan ia jumpai. Ia juga telah memperkirakan, bagaimana harus menyikapi semua.

"Ini Nada, Bu."

Senyum Nada terpatri tulus, ia menyalami wanita setengah baya dengan jilbab menutupi kepala. Mengenakan kebaya yang senada dengan keluarga pengantin, wanita yang usianya ia perkiraan sama dengan ibunya itu, melengkapi penampilannya yang rapi dengan kacamata yang tangkainya menghilang ditelan penutup kepalanya "Saya Nada, Bu," ia memperkenalkan diri dengan sopan.

Jujur, Nada tak memiliki ekspektasi apa-apa dengan perkenalan ini.

Namun, ia tahu bagaimana adab berbicara dengan orang yang lebih tua darinya.

"Bagaimana kabarnya, Bu? Sehat?"

"Alhamdulillah sehat," Ibu kandung Dirga itu menjawab singkat. Ia biasa dipanggil Widya. Dan kini yang ia lakukan adalah menatap putra sulungnya lamat-lamat. Lantas berganti pada wanita yang berdiri di sebelah sang putra. "Kayaknya Ibu pernah dengar yang namanya Nada ini diceritanya Dirga," ia coba menggali ingatan tuanya. "Tapi yang mana, ya? Kok Ibu lupa."

"Itu lho, Bu, yang anaknya sekolah di SDnya Mas Dirga."

Nada langsung mengarahkan atensi pada wanita seusianya yang mengenakan kebaya baby blue bercorak sama seperti yang dikenakan ibu Widya. Hatinya memang tidak terusik dengan perkataan itu, tetapi ia mengerti betul makna dibalik intonasi tersebut. "Iya, benar, Bu," tak akan ia ingkari keberadaan anak-anaknya. "Tapi kebetulan, sekarang anak-anak saya udah SMP."

"Lho, anaknya berapa, Nad?" tanya Bu Widya kaget. "Kalau sekarang udah SMP, berarti kamu nikahnya muda banget dulu, ya? Nggak kuliah?" pertanyaan itu meluncur tanpa sadar.

"Pertanyaan Mama itu, udah masuk ke ranah pribadi. Dan dalam kategori percakapan, pertanyaan Mama masuk ke golongan nggak sopan," Dirga menegur tegas.

"Nggak apa-apa kok, Mas," Nada menengahi. Sungguh, ia tidak merasa marah atau tersinggung. Hanya saja, ia terlampau malas menjelaskan tentang dirinya pada orang-orang yang jelas-jelas cuma ingin menilainya sebelah mata. Sebab itulah yang ia tangkap dari pertanyaan yang dilontarkan wanita setengah baya di depannya ini. "Iya, Bu, kebetulan dulu nikah muda. Saya juga sempat kuliah, tapi berhenti di tengah jalan."

"Karena udah duluan nikah?"

Itu sebuah tuduhan.

Sebenarnya, versi halus dari tuduhan hamil duluan.

"Nggak kok, Bu. Dulu, nikah sama ayahnya anak-anak, begitu beliau lulus S1. Saya dan mantan suami satu kampus. Tapi, di tengah-tengah semester lima, saya berhenti," ujarnya jujur. "Kalau Ibu tanya alasan kenapa saya berhenti, saya memilih menyimpan alasan itu sendiri, Bu," yang artinya ia enggan berbagi kisah hidupnya lagi dengan sosok di hadapannya ini. Terlebih, ia tak mau lagi berinteraksi dengan orang ini.

Wajah yang tadi tampak penasaran dalam memandang, langsung berubah dengan binar yang begitu defenisif. Walau tak kentara, namun Nada tahu arti dari tatapan itu. Ia tak ingin mempermasalahkan. Sebab, wajar baginya menerima pandangan begitu. Ia pun tak lantas berkecil hati. Ia tahu, berinteraksi dengan orang-orang teramat melelahkan.

"Oh, ya, Nad, ini tuh Adekku," Dirga menunjuk wanita di sebelah sang ibu. "Namanya Melly, kayaknya kalian seumuran deh," Dirga segera mengalihkan pembahasan.

Nada hanya mengangguk singkat, ia bersalaman dengan wanita itu sambil menyebutkan namanya. Setelah itu, obrolan yang ada di sekitarnya pun berubah. Tak lagi membahas mengenai dirinya. Mereka bicara mengenai hal-hal yang Nada tak mengerti. Tapi bagi Nada, hal itu jauh lebih baik daripada mencoba mengorek kisah hidupnya.

Kini, ia tahu pasti, tujuannya membuka hati pada Dirga bukan tuk menjadi sosok spesial yang kelak 'kan menuntut diperjuangkan oleh pria itu. Baginya, cukup dengan berteman saja. Sebab, ia tidak memiliki minat untuk berusaha lebih dekat pada orang-orang yang sejak awal sudah menganggapnya sebelah mata.

Lantas, keadaan tak nyaman ini justru membuat ingatannya berlari.

Pada sosok wanita setengah baya, yang luar biasa bersahaja.

Beliau tak hanya terlahir kaya, namun pintarnya luar biasa. Tetapi yang membuat sosoknya berbeda adalah beliau tak pernah menganggap orang lain sepele.

"Kamu kenapa sih, Nad, manggil Mami terus-terusan Ibu, gitu?"

Nada meringis malu.

"Kamu 'kan, udah jadi pacarnya Aksa sekarang. Udahlah, panggil Mami aja."

Menutup mata, Nada menggigit bibirnya resah.

Aksa benar-benar tak bisa dipercaya.

Bukankah Nada sudah mewanti-wantinya untuk tak memberitahukan hubungan mereka pada orang-orang?

Bukan apa-apa, Nada tak nyaman bila harus menjadi bahan gunjingan. Ia terbiasa mengambil peran tak terlihat. Dan berpacaran dengan Aksa yang memiliki latar belakang serta kepintaran yang mentereng, tentu akan membuat orang-orang ingin tahu tentang dirinya.

"Be—begini, Bu—"

"Mami, dong, Nad," Yashinta memaksa. Saat ini, mereka sedang berada di ruangannya. Nada mengantarkan berkas yang ia cari sejak kemarin. Dan hal itu ia gunakan untuk berbincang santai pada kekasih anak ketiganya. "Mami tuh, udah feeling banget dari awal, sewaktu Aksa mulai nanya-nanya soal kamu. Mami yakin, Aksa pasti naksir. Eh, ternyata bener."

Nada memandang sosok itu sejenak. Lalu, sempat tertegun lama, ketika menyadari tak ada raut keberatan di wajah pemilik Kasih Perempuan tersebut terhadap statusnya. "Ibu nggak keberatan Aksa berpacaran dengan saya?" mendadak, Nada menyuarakan pertanyaan itu.

"Kenapa harus keberatan?" Yashinta tertawa kecil. "Kamu anaknya baik. Pekerja keras dan mau belajar. Kamu tahu, jadi pengacara itu nggak cukup dengan bermodal pintar. Tapi, kita harus punya keinginan untuk terus belajar. Kalah dipersidangan ini, besoknya kita harus evaluasi lagi kesalahan kita di mana. Supaya nanti, kalau ada kesempatan membela klien lagi, kita tahu di mana letak kesalahan kita. Dan yang saya lihat, kamu sosok yang seperti itu, Nad," Yashinta melebarkan senyuman. "Aksa mungkin pintar. Tapi, dia terlalu sombong sama kepintarannya. Sampai-sampai, dia selalu ngerasa pendapatnya pasti benar. Karena secara teori, dia udah di atas awan. Cuma buat empati, Aksa kurang."

Benar.

Aksa itu terlalu pintar.

Sosoknya begitu mencolok bila berada di kelas. Bahkan sepengamatan Nada, Aksa adalah salah satu yang terpindar di Angkatan mereka.

"Asal kamu tekun, Nad, kamu bisa jadi pengacara nanti. Atau kalau hubungan kamu sama Aksa panjang, kamu bisa gantiin Mami di sini."

"Bu—"

"Mau aja, ya, Nad?" Yashinta membujuknya. "Aksa pasti maunya jadi pengacara yang banyak uang kayak Mas Akhtar," ia terkekeh membicarakan kedua anak laki-lakinya yang sama-sama ingin berkecimpung dalam dunia hukum. "Mbak Arti itu maunya jadi pengusaha," tak lupa ia menyebut nama anak perempuannya juga. "Nah, kalau Alvin, hm ... dia pengin jadi artis, Nad. Makanya, kamu di sini aja sama Mami, ya?"

Tetapi takdir, memutus harapan itu tanpa aba-aba.

Namun, bukan itu poinnya.

Yang menjadi fokus Nada, adalah penerimaan mantan ibu mertuanya itu terhadap dirinya. Padahal, jelas-jelas ia hanya seorang anak yang mendapat beasiswa karena rasa iba beliau. Sosok itu juga tahu betul tentang kondisi keluarganya. Tetapi, tak sekalipun memperlihatkan ketidaksukaan terhadapnya.

Mami ....

"Dirga, nanti Mama pulang sama kamu, ya?"

Suara itu berhasil menarik Nada dari kenangan masa silam. Bukan seorang Yashinta Gusta yang berdiri di hadapannya. Melainkan sosok ibu lain, yang punya pengharapan agar putranya memiliki pendamping yang jauh lebih mumpungi dari seorang janda.

Dan Nada sama sekali tak merasa sakit hati.

Toh, ia pun tak memiliki harap lebih.

"Nanti kita baliknya tunggu acara selesai, ya? Mama udah janji sama Tante Rifa, buat tetap di sini sepanjang acara."

"Tapi aku sama Nada, Ma."

Nada tak ingin menimpali, ia diam sebagai penyimak.

"Ya, kamu 'kan naik mobil toh? Masih banyak kursi kosong 'kan, buat Mama? Memangnya kamu mau pacaran yang aneh-aneh gitu? Jadi takut diganggu Mama, iya?"

Untuk satu alasan yang pasti, Nada tak nyaman dengan tuduhan yang dilontarkan tersebut. Walau Bu Widya tidak berbicara padanya, namun tetap saja hal itu menyangkut dirinya.

"Mama," Dirga menegur ibunya. "Oke, nanti Mama pulangnya sama aku," putusnya lalu mengarahkan tatapan ke arah Nada. "Nad, nggak masalah 'kan, kalau Mamaku ikut kita pulang?"

Nada mengangguk.

Ia pun mengiakan ajakkan Dirga untuk mulai mengantri makan siang seperti tamu-tamu lain.

"Nada, kamu boleh tersinggung dengan ucapan mamaku tadi. Aku nggak bakal ngebela mama."

"Kenapa, ya, Mas, stigma janda selalu lebih buruk dari duda?" tanya Nada tiba-tiba.

Dirga berhenti sejenak. Ia memandang Nada lekat. "Itu sebenarnya karena salah populasi. Jumlah perempuan lebih banyak dari jumlah laki-laki. Dan pencetus rumor yang memberatkan perempuan adalah kaum perempuan itu sendiri."

Nada tertawa kecil, namun ia paham apa yang diucap laki-laki itu. "Dan kenapa ada istilah laki-laki selalu salah, padahal yang dihujat adalah perempuan?"

"Karena seperti yang aku bilang tadi, jumlah kalian lebih banyak. Jadi, persaingan pun semakin ketat. Laki-laki memang selalu salah. Tapi pada penerapannya, setelah kesalahan itu dibuat, selalu ada saja yang mulai dengan pemakluman. Sementara buat perempuan, sekali cacat itu terbentuk. Kesalahannya akan selalu dikenang orang-orang."

"Rasanya nggak adil, ya, Mas?" senyum Nada tercetak muram.

"Aku minta maaf, atas perkataan mama yang menyinggung kamu."

"Mama kamu nggak salah, Mas. Mama kamu lagi mencoba memaparkan realita untuk kamu. Bahwa, di antara banyaknya populasi perempuan, kenapa kamu harus bawa aku?" tak ada kemarahan dari kalimatnya. Nada sudah teramat ikhlas menerima statusnya selama ini. "Dia cuma pengin bilang itu sama kamu, Mas. Dan nanti, mungkin kamu bakal diminta jawabannya," ia memperdengarkan tawa kecil.

Namun, bersamaan dengan itu ponselnya yang berada dalam clutch bergetar. Nada meminta waktu pada Dirga untuk menjawab panggilan yang ternyata dari nomor anak-anaknya.

"Hallo, Nak?" sebab ia tidak tahu siapa yang memegang ponsel itu sekarang. "Hallo?"

"Bundaaa ...."

"Lho, Dek? Kenapa?" Nada berjalan mencari tempat yang jauh lebih sepi. Suara tangis Lova mendadak membuat perasaannya menjadi tak enak. "Adek?"

"Buuunnn, perut Adek berdarah, Bun."

"Hah?!" Nada tak sadar bahwa ia memekik kencang. "Apa, Dek?"

"Bundaaa ... perut Adek sakit, Buunn ...."

Baiklah, Nada resmi kehilangan ketenangannya.

"Adek di mana sekarang?"

"Huhuhu ... di apartemennya Ayah, Bun."

"Terus kok bisa perutnya berdarah, Dek? Aduh, Adek nakut-nakutin Bunda."

"Tapi, Adek juga takut, Bundaaaaa ...."

***

Jadi, kedua anaknya sedang makan siang bersama mantan suaminya di sebuah restoran beberapa saat yang lalu. Dan sebenarnya, Lova sudah mulai merasakan perutnya sakit saat masih berada di rumah. Namun, demi bertemu ayahnya, sang putri tak mengindahkan rasa sakitnya.

Tetapi rupanya, hal itu tak tertahan setelah makan siang. Lova meminta ke toilet di perjalanan mereka untuk melihat rumah. Posisi mereka saat itu dekat sekali dengan apartemen Aksa. Jadi, ayah dua orang anak itu memilih melajukan mobilnya menuju tower apartemennya.

Dan kini, Lova masih menangis di kamar mandi dan enggan keluar.

Itulah alasan yang membuat Nada turun dari taksi yang berhenti tepat di pelataran lobi tower kondominium itu.

Demi Tuhan, Nada tahu tempat ini.

Ia pernah tinggal satu tahun di sini.

Setelah berpamitan pada Dirga, dan menolak tawaran pria itu yang ingin mengantarnya, Nada langsung bertolak ke tempat ini setelah terlebih dahulu meminta supir taksi berhenti di minimarket yang mereka lewati.

Dan ketika kaki-kakinya mulai memasuki lobi, jantungnya justru berdentam resah. Kenangan-kenangan yang terkubur lama mulai berlarian di kepala. Berapa lama ia tinggal di sini?

Hanya satu tahun empat bulan.

Tetapi sumpah, kenangan yang tertoreh sungguh luar biasa.

Mata Nada yang semula nanar, kini mulai terfokus pada satu titik di depan sana.

Pada pria dewasa berkaos hitam yang tengah melangkahkan kaki tuk menjemputnya. Sepatu hak tinggi yang Nada kenakan, memang tak mampu membuatnya berlari. Tetapi sepatu itu juga tak menyulitkannya dalam mengatur langkah. Namun entah kenapa, ia justru memilih berhenti. Seolah sedang menanti. Dan itulah yang dilakukan sang pria tadi.

"Selamat datang kembali," bisik Aksa ketika sudah berada tepat di depan mantan istrinya.

Membuat Nada perlu mengerjap, demi menyadarkan dirinya sendiri.

"Anak-anak kita udah nunggu di atas," Aksa sengaja turun ke bawah untuk menjemput mantan istrinya yang tak lagi memiliki kode akses unitnya. Ia bisa saja meminta resepsionis membukakan akses lift untuk Nada. Namun Aksa lebih senang merepotkan diri.

Nada menggigit bibirnya. Netra yang ia gunakan tuk menatap pria di depannya itu, memanas seketika. Aksara Bhumi masih terlampau menyilaukan untuknya. Bahkan setelah belasan tahun berlalu, sosoknya yang tinggi rasanya tak pernah sebanding dengannya. Maka, ketika mendengar mantan suaminya menikah dengan seorang Anyelir Pratista, tak lama setelah mereka berpisah, Nada tahu jodoh itu harus setara.

Mencoba mengenyahkan rasa melankolis yang menyandra dada, Nada menarik napas panjang. Ia mengisi paru-parunya berkali-kali demi mengusir bayang-bayang masa lalu mereka yang terus mengikuti.

"Adek masih di kamar mandi?" ia bertanya untuk memecah kemelut resah yang menghampiri mereka.

"Iya. Dia nggak mau ditungguin aku atau Oka."

Tanpa sadar, Nada tertawa membayangkan kehebohan apa yang telah dibuat oleh putri mereka. "Nih," ia menyerahkan plastik putih itu pada sang mantan suami.

Dengan kening berkerut, Aksa menerimanya. "Apa nih?"

Senyum Nada tercetak lebih lebar, kala pria itu membuka bungkusan tersebut. Matanya berpendar geli, saat Aksa mengeluarkan isinya.

"I—ini?" tanyanya terbata. Berikut dengan tatap horor yang tersemat untuk mantan istrinya.

"Selamat, Mas, sepertinya anak perempuan kamu benar-benar udah gadis," celetuk Nada tertawa.

"Pembalut?"

Iya.

Itulah yang Nada beli tadi.

Sebuah pembalut.

Astaga, Lova memang biang kehebohan.

*** 

Lova emang biang kehebohan hahaha
Hati2 Sa, anak kamu udh gadisss

Btw, cerita aku yg di karyakarsa yg judulnya Nyala Rahasia itu tokohnya aku ambil dari salah satu lingkup pergaulannya Aksa. Yg udah baca Aksara Senada sampai tamat, pasti ngeh kok.

Tapi buat yg pengen coba baca, juga bisa kok. Anggap aja tokoh baru yaaa
Yg mau icip2, ceritanya udah tayang di Karyakarsa.

Continue Reading

You'll Also Like

1.9M 8.5K 17
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. 🔞🔞 Alden Maheswara. Seorang siswa...
3.5M 38K 32
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...
17M 753K 43
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...
7.2M 351K 75
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...