Aksara Senada

By ndaquilla

1.9M 248K 13.4K

Mereka pernah bersama. Membangun rumah tangga berdua, sebelum kemudian berempat dengan anak-anaknya. Bahagia... More

P R O L O G
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Empat
Dua Puluh Lima
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan
Dua Pulun Sembilan
Tiga Puluh
Tiga Puluh Satu
Tiga Puluh Dua
Tiga Puluh Tiga
Tiga Puluh Empat
Tiga Puluh Lima
Tiga Puluh Enam
Tiga Puluh Tujuh
Tiga Puluh Delapan
Tiga Puluh Sembilan
Empat Puluh
Empat Puluh Satu
Empat Puluh Dua
Empat Puluh Tiga
Empat Puluh Empat

Tujuh Belas

43.9K 5.7K 215
By ndaquilla

Baiklah, aku lupa ternyata hahaha
Okee, hapoy reading yaaa

Oka selalu tak nyaman dengan segala hal pertama yang terjadi dihidupnya.

Baginya, momen pertama kali tak sepenuhnya baik.

Setidaknya, itulah yang ia rasakan.

Seperti, ketika pertama kali ayah datang setelah menyelesaikan pendidikannya, kedua orangtuanya tersebut justru berpisah. Atau saat pertama kali bunda memberikan mereka kartu debit yang berisi uang pemberian ayah selama ini, waktu itu pula mereka baru saja mengetahui dari neneknya bahwa ayah sudah menikah lagi.

Dan masih banyak momen-momen pertama kali yang tak Oka sukai.

Siang ini, ia kembali dihadapkan oleh momen pertama kali yang rasanya begitu asing. Terlampau sulit untuk ia terjemahkan, hingga buatnya kontan terdiam. Langkah-langkahnya yang tadi memacu bersama teman-teman sekelas, sontak melambat. Bahkan kini, Oka menghentikan ayunan kakinya.

Termenung di depan gerbang. Ia mengerjap demi meyakini bahwa sosok yang berdiri di depan mobil yang mengkilap akibat teriknya matahari, merupakan sosok nyata. Bukan ilusi, apalagi fatamorgana.

"Bang!"

Oka menghela, napas yang tadi sempat ia tahan kini berembus pelan.

Sosok itu benar-benar nyata. Tengah melambai padanya sembari melempar senyum begitu lebar. Di saat semua orang nyaris mengernyit karena matahari yang bersinar terlalu terik, ayahnya justru tampak bahagia.

Ayahnya?

Iya.

Sosok yang berdiri di depan mobil tersebut adalah ayahnya.

Buat Oka mau tak mau harus meninggalkan teman-temannya tuk beralih melangkah menuju sosok itu.

"Adek mana, Bang?"

Oka tak lupa menyalaminya. "Ayah ngapain?" sungguh, pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibirnya. Ia tak mampu menahan diri lagi. "Ayah kok bisa ke sini?"

Dengan kemeja yang telah tergulung hingga siku dan dasi yang tak lagi melilit kerah, Aksa hanya tersenyum. Ia acak surai putranya yang berkeringat. "Abang masuk mobil dulu aja, ya? Panas banget ini, Bang. Ayah aja yang nungguin Adek di sini."

"Yah—"

"Nanti aja Ayah jawabnya. Adek pasti juga ngasih pertanyaan kayak gitu 'kan? Jadi, kita tunggu Adek, oke?"

Oka mengembuskan napas pelan. Sungguh, kehadiran ayahnya di depan gerbang sekolah adalah khayalan yang selalu mengendap di otak Lova yang penuh dengan daya imajinasi. Karena buat Oka, hal tersebut tak pernah terbayang. Dan dirinya, memang tidak ingin membayangkan. "Ayah ke sini karena ada urusan atau memang sengaja mau jemput kita?" ia bertanya lagi.

"Sengaja mau jemput Abang, dong," Aksa menjawab lugas. "Udah, Abang masuk dulu. Panas nih," ia bukakan pintu penumpang di sebelah sisinya mengemudi. "Kalau Abang haus, itu ada air mineral punya Ayah. Minum aja, ya?"

Sebenarnya, Oka masih ingin membantah. Namun entah kenapa, saat melihat wajah ayahnya yang berbinar seperti itu, ia jadi tak tega. Mengurungkan niat, ia pun mencoba mengalah. Ia turuti permintaan pria itu walau hatinya menyimpan tanda tanya besar.

Aksa memang sengaja.

Well, ia benar-benar sengaja datang ke sini untuk menjemput anak-anaknya sepulang sekoalh.

Di masa lalu, ia adalah orang paling impulsif di keluarga. Dan kini, ia tengah melakukan hal serupa. Apa yang terlintas di kepala, harus segera ia realisasikan. Bertahun-tahun ia telah kehilangan jati diri. Bertahun-tahun juga, ia selalu berpikir ribuan kali sebelum bertindak. Tetapi sekarang, ia tak mau hidupnya terus begitu. Telah ia selesaikan satu per satu masalahnya. Jadi, biarkan dirinya tuk melakukan apa yang sempat tertunda.

"Adek!" ia melambai tinggi. Matanya begitu awas menatap satu per satu siswa-siswi yang lewat di depan gerbang. Dan anak gadisnya, tampil begitu mencolok siang ini. Bando merah bersarang di kepalanya. Rambutnya yang panjang di kuncir ekor kuda dengan srunchie berwarna neon yang terang. Astaga, Lova benar-benar dirinya di masa lalu. "Adek! Sini!"

Mata Lova membulat. "Lho?! Ayah?!" serunya kencang.

Tidak seperti Oka yang terlebih dahulu mendatangi ayahnya baru bersuara. Maka Lova melakukan hal sebaliknya. Tepat di depan gerbang dengan hiruk pikuk anak sekolah yang padat, ia pun memperdengarkan keterkejutannya.

"Ayah ngapain?!" serunya kuat-kuat. "Ayah jemput Adek?!" lagi suara lantangnya terdengar di antara riuhnya teman-teman sebaya yang berebut langkah cepat untuk pulang.

Aksa tertawa, ia mengangguk sambil meminta anaknya mendekat. "Sini, Dek!"

"Mil, aku duluan, ya? Eh, besok aja kita sambung cerita soal Dafa," Lova berpamitan pada teman-temannya. "Tapi nanti kalau kalian ketemu dia di jalan, kalian coba aja say hello gitu. Kalau dia memang suka sama Dira, pasti dia bakal sok nanya-nanya gitu deh. Secara, kita kan tadi sempet ke kantin bareng Dira. Kalau dia suka Dira, dia pasti kepo."

Setelah kemarin bolos sekolah, Lova jadi ketinggalan gosip. Maksudnya tadi, ia akan berjalan bersama teman-temannya sambil menunggu angkutan umum. Dan ia ingin mendengar gosip hits yang sedang terjadi antara Dira dengan Dafa. Pasangan ketua kelas dan sekretaris yang sedang giat-giatnya mereka comblangi.

"Oke, Mil, Fer, aku duluan, ya? Dadah ...," setelah melambaikan tangan pada kedua temannya, Lova segera berlari menuju sang ayah. "Kok Ayah bisa di sini?" ia ulang kembali pertanyaan yang belum dijawab. "Adek kaget, Yah," ia sungguh-sungguh terkejut. Tetapi, ia tak mampu menyimpan senyum di wajahnya. "Ayah dari mana? Ayah ada kerjaan di sekitar sini makanya mampir, ya?" rentetan pertanyaan itu ia lontar dengan curiga. Namun binar matanya menunjukan hal sebaliknya.

Demi Tuhan, jantungnya berdetak bahagia.

Karena, ia sering mengkhayalkan hal ini tiba.

Dijemput ayah adalah bayangan yang sering kali hadir ketika bel pulang sekolah berbunyi. Bahkan sejak SD, ia sudah memiliki angan bagaimana bahagianya bila mereka dijemput orangtua.

Mereka sempat menyalahkan bunda waktu itu. Marah, karena bunda lebih memilih bekerja daripada menjemput mereka. Begitu iri dengan teman-temannya yang ditunggui di depan gerbang, mereka harus selalu menelan kekecewaan karena tak ada siapa pun yang menanti mereka di gerbang.

"Ayah jemput Adek?" Lova tak lupa menyalami ayahnya. "Ayah ke sini buat jemput Adek sama Abang?"

Aksa juga tak bisa menyembunyikan binar cerah di matanya. Kepalanya mengangguk semangat, sementara sebelah tangannya mengusap kepala putrinya. Ada haru yang menyeruak di dada, lalu yang ia lakukan adalah memeluk jelmaan mantan istrinya dalam versi yang jauh lebih ramah. "Iya, Ayah ke sini buat jemput Adek sama Abang. Adek masuk, ya?" ia lepaskan pelukan. Hidungnya mengerut lucu, saat tangannya yang lain mencubit pipi putrinya itu. "Abang udah ada di dalam. Yuk?"

Seperti yang Aksa lakukan pada putranya, ia pun melakukan hal serupa untuk Lova. Ia membukakan pintu agar anak gadisnya segera masuk. Setelah itu, ia pun bergegas memasuki sisi pengemudi. Merasa lega karena langsung diterpa pendingin, ia menoleh sejenak tuk memandang anak-anaknya.

Ini mimpinya.

Dan kini, ia tak perlu lagi membayangkan seperti apa rasanya menjemput kedua anaknya di sekolah. Namun, ia juga masih memiliki keinginan lain. Yaitu, mengantar si kembar pagi-pagi ke sekolah.

Belajar dari kesalahan, Aksa enggan serakah.

Ia akan mewujudkan keinginan tersebut pelan-pelan.

"Jadi, Ayah ngapain ke sini?"

Oka tak mampu menahan pertanyaannya lebih lama. Ia mengabaikan celoteh adiknya yang mengabarkan tentang teman sekolah mereka yang katanya sebentar lagi akan jadian. Bagi Oka, informasi itu tentu saja tak penting. Baginya, mendesak sang ayah jauh lebih baik daripada menyerap informasi tak berbobot dari Lova.

"Abang nggak sabaran banget, ya?" Aksa mulai melajukan mobilnya pelan-pelan. "Ayah ke sini benar-benar buat jemput Abang sama Adek."

"Kok bisa?"

Mengerling putranya, Aksa tertawa kecil. "Ya, bisalah."

"Yah," Oka mendesak tak sabar. "Jelasin dong," tuntutnya tak puas mendengar jawaban ayahnya.

"Mau dijelasin gimana sih, Bang?"

"Ya, jelasin sejelas-jelasnya, kenapa tiba-tiba Ayah jemput kami?"

"Hm," Aksa berpikir sejenak. Memilih kata-kata yang sekiranya sederhana tuk dimengerti anak-anaknya. "Karena udah waktunya Ayah jemput Abang sama Adek," ucapnya mengumbar senyuman.

"Jadi, dulu-dulu belum saatnya gitu?" tanya Lova polos.

"Dulu, Ayah masih harus nyelesaikan masalah, Dek. Dan sekarang, masalah itu mulai selesai satu per satu," ia tolehkan kepala ke belakang. Membagikan senyum untuk putrinya.

"Lebih penting masalah itu dari kami?" cerca Oka yang merasa belum puas dengan jawaban-jawaban yang terlontar dari ayahnya.

Aksa tak segera menjawab, ia membagi perhatian pada jalanan padat di depan. Jam anak sekolah pulang yang serentak, membuatnya harus ekstra hati-hati. Namun sebelum itu, ia sempatkan sebelah tangannya tuk mengusap kepala Oka. "Justru, karena kalian lebih penting, Nak. Makanya, Ayah harus selesaikan masalah-masalah itu dulu."

"Ayah sama aja kayak Bunda. Sukanya main rahasia-rahasiaan," celetuk Lova dengan bibir mengerucut.

Aksa hanya tertawa. "Kita makan siang dulu, ya, Nak?" ia menatap kedua anaknya bergantian. Lalu, pandangannya bersirobok dengan Oka yang sepertinya masih menyimpan banyak pertanyaan. "Tahan semua pertanyaannya, ya, Bang? Nanti Ayah jelasin pelan-pelan sambil makan," tuturnya penuh pengharapan.

Sambil mendesah, Oka berpura-pura tak peduli. "Tapi, kami udah janjian mau makan siang sama Bunda. Makanya, tadi Abang disuruh Bunda bawa hape. Supaya bisa ngasih tahu Bunda kalau udah pulang. Tadi Bunda bilang, Bunda udah ada di warung soto tempat kami mau makan siang."

"Memangnya, janjian makan siang di mana sama Bunda, Bang? Ayah boleh ikut?"

Sejenak, Oka dan Lova saling melempar pandangan.

Mereka takut membuat keputusan dalam menjawab pertanyaan bernada penuh harap itu.

Satu sisi, mereka tidak tahu bagaimana respon bunda nanti. Namun di sisi lain, rasanya tidak tega juga melihat sang ayah yang sudah jauh-jauh kemari. Lagipula, masih banyak hal yang ingin Oka tanyakan. Tetapi, bagaimana bila bunda marah?

Astaga, mereka jadi serba salah.

"Gimana, Dek?" Oka lempar pertanyaan itu pada Lova secara terang-terangan. "Boleh bawa Ayah?"

"Ya, nggak tahu," Lova mengedik saja. "Kan, hapenya sama Abang. Abang dong, telepon bunda. Bilang aja, kalau Ayah mau ikut makan siang bareng," katanya enteng.

Oka meringis mendengar perkataan sang adik. Dengan ragu, ia membuka tasnya untuk mengeluarkan ponsel yang ia simpan di sana.

"Kalau memang nggak boleh, nggak masalah kok, Bang," Aksa menahan sang putra yang hendak menghubungi mantan istrinya. "Kalau nanti ada Ayah suasananya jadi nggak nyaman, mending nggak usah. Ayah cukup dengan nganterin kalian aja buat ketemu Bunda. Ayah janji nggak bakal ikut makan siang kok."

Suasana mobil mendadak hening.

Oka dan Lova makin merasa tidak enak.

Memang bukan salah mereka, mengapa tiba-tiba ayah ada di sini untuk menjemput keduanya. Mereka tak pernah meminta dijemput. Sebenarnya, menolak masuk ke dalam mobil ayah pun, mereka bisa. Tetapi entah kenapa, mereka tak melakukan hal itu.

"Jadi di mana nih, janjiannya sama Bunda, Bang? Ayah kan nggak tahu tempatnya. Tunjukin, aja, ya?" Aksa memecah kesunyian. Wajahnya masih mempertahankan senyuman. "Heh, Ayah nggak apa-apa lho, Nak," ia dapat membaca raut-raut bimbang di wajah kedua anaknya itu. "Sumpah, Ayah nggak apa-apa. Jadi, kalian nggak perlu ngerasa nggak enak sama Ayah. Udah, cepet di mana tempat makannya, Bang? Biar Ayah anterin. Kasihan nanti Bunda nunggu kalian lama."

"Ayah beneran nggak marah?" tanya Lova kikuk.

Aksa menggeleng cepat. "Ngapain Ayah marah, Dek? Justru, Ayah ngerasa bersyukur banget, kalian masih mau terima Ayah," ungkapnya jujur.

Karena panas setahun tak mungkin dihapus oleh hujan sehari.

Itu artinya, menjemput anak-anaknya sekali, tak lantas membuat Aksa dapat menebus seluruh kesalahan. Semuanya perlu waktu. Dan ia punya seumur hidup tuk menunggu.

"Itu warung sotonya, Yah," Oka menujukkan jalan. "Nah, itu Bunda."

Namun kesabaran Aksa runtuh, begitu sosok Nada kembali tertangkap indera.

"Bunda sama siapa itu, Bang?" Aksa bertanya tanpa sadar.

"Oh, itu Pak Dirga, Yah," Lova yang menjawab cepat. Ia mengenal sosok berseragam ASN yang tengah mengobrol dengan bundanya. "Pak Dirga itu, kepala sekolah kami waktu SD, Yah," Lova memberi informasih tambahan tanpa perlu diminta. "Hm, pernah datang ke rumah beberapa kali. Nenek pikir, mau ngedeketin Bulek Fira. Eh, nggak tahunya, suka sama Bunda. Pantes ya, Bang, dulu di sekolah dia baik banget sama kita."

"Dek!" Oka menegur adiknya. Ck, Lova itu memang suka sekali mengoceh. "Udahlah, Dek. Bunda juga udah nolak kok."

Terpaku mendengar perkataan anak-anaknya, Aksa meremas setir tanpa sadar. Matanya tetap memaku jalanan. Berusaha tetap tenang hingga berhasil memarkirkan mobilnya di tepi jalan. "Banyak yang coba deketin Bunda, ya, Bang?" tanyanya kering.

Sebelumnya, ia terlampau percaya diri tuk menjadi satu-satunya pria yang dicinta. Tetapi kini ia sadar, ia adalah si penoreh luka. Kedudukannya di hati Nada tak lagi sebagai si paling berharga. Sebab, yang ia beri justru derita.

Ketika mesin mobilnya berhenti, ia terlampau malu tuk bertemu sosok itu. Jadi, ia hanya akan menurunkan anak-anaknya aja di sana. "Salam sama Bunda, ya, Bang, Dek," ia tutupi kemelut resahnya dengan senyuman. "Nanti, kalian pulangnya hati-hati, ya?" tambahnya masih dengan senyum yang tak sampai ke mata.

"Ayah nggak turun dulu?" tanya Lova ragu-ragu. "Ayah mau langsung pergi lagi?"

Mungkin hari ini, cukup segini dulu.

Aksa tak pantas meminta lebih.

Namun, ketukan pada jendela mobilnya, membuat dirinya sontak terperanjat.

"Itu, Bunda, Yah," Oka memberitahu. "Abang bilang, kita dianterin Ayah," ia menunjukan roomchatnya pada sang ayah.

Oka dan Lova keluar dari dalam mobil tanpa payah.

Sebaliknya, Aksa justru menelan ludah.

Mendadak, ia linglung.

*** 

Ketemu mantan gugup ya Sa? Hahaha

Aku pernah gitu juga, Sa, ketemu mantan pacar di depan ibunya. Eh, malah ibunya ngeledek. Maluuu bgt sih, Sa. Hahahaa
Eh, tpi kalo kamu ketemu sama ibunya Nada malah dijudesin ya, Sa? Ckckck kasiaann

Continue Reading

You'll Also Like

2.8M 299K 50
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...
2.6M 36.7K 29
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...
2.9M 204K 36
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
593K 25.4K 40
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...