Setelah pertemuan resmi dengan Nahida dan para dekan dari semua fakultas, Kaveh resmi diangkat sebagai pemimpin utama proyek pemugaran aset-aset di gurun. Nama resmi proyek itu adalah:
Kebangkitan Ay-Khanoum
Ay-Khanoum adalah nama kerajaan kuno yang dipimpin oleh Raja Deshret, Nabu Malikata, dan Rukkhadevata di masa lalu sebelum akhirnya Nabu Malikata meninggal dan Rukkhadevata memutuskan untuk berpisah dan membangun peradabannya sendiri di timur Sumeru.
Itu adalah kerajaan yang hebat. Meski yang tersisa kini hanyalah puing-puing semata, tapi warisannya tak lekang oleh waktu di hati warga Sumeru.
Pemimpin utama proyek Kebangkitan Ay-Khanoum adalah Kaveh dan wakilnya adalah Alhaitham. Ketika Alhaitham tahu Kaveh tidak akan pernah mau mundur dari proyek, ia mengajukan diri untuk mendampinginya dalam proyek tersebut. Karena tidak ada siapapun yang keberatan, Kaveh dan Alhaitham resmi menjadi tonggak kesuksesan proyek tersebut.
Satu minggu kemudian, rapat pertama Kebangkitan Ay-Khanoum diadakan.
Di hadapan semua orang, Kaveh dengan percaya diri mendeklarasikan, "Aku akan membuat wilayah Ay-Khanoum menjadi permukiman."
Semua orang membelalakkan mata mereka.
Cyno sang Mahamatra bertanya, "Apa maksudmu? Bukan tempat wisata, bukan juga cagar budaya yang dilindungi, tapi kau menjadikannya sebagai permukiman?"
Kaveh mengangguk. "Yup. Selama ini orang mengira Sumeru hanya berisi Akademiya, tapi melupakan kalau gurun juga bagian dari kita. Menurut kalian kenapa?"
Cyno menjawab, "Karena Akademiya bisa dibilang yang memimpin Sumeru?"
"Ya, memang benar Akademiya memimpin Sumeru, tapi bukan itu jawabannya. Gurun tersingkirkan karena kita, pimpinan Sumeru yang kau maksud, sengaja menyingkirkannya."
Seorang dekan yang duduk di sudut meja lalu bertanya, "Tapi jika kau ingin merangkul gurun dan menjadikannya permukiman, apa tidak sulit? Untuk menumbuhkan lobak di pasir tandus itu saja nyaris mustahil."
Seolah tahu kalau para hadirin akan menanyakan itu, Kaveh segera menjawab tanpa ragu. "Apa kalian lupa salah satu julukan Raja Deshret di masa lalu?"
"Apa?"
Kaveh dengan bangga menjawab, "Ahli holtikultura. Alasan rakyatnya bisa hidup berabad-abad di gurun tandus itu karena ia berhasil menciptakan sistem irigasi yang mampu menghidupi peradabannya."
Alhaitham tidak mengubah ekspresi wajahnya saat ia mendengar Kaveh mengutarakan kelebihannya di masa lalu, tapi ia tersenyum dalam hati.
Kaveh kemudian mengambil Mehrak yang sedari tadi ia letakkan di atas meja dan mengontrol tabletnya itu menyorotkan peta gurun di udara melalui cahaya hologramnya.
"Aku sudah mengumpulkan banyak penelitian terkait Ay-Khanoum. Memperbaiki puing-puing kota kuno tidaklah susah. Selama kita berhasil membangun sistem penopang hidup di sana, orang akan dengan sendirinya bermukim di sana dan membantu kita membangkitkan kembali Ay-Khanoum."
Selagi ia menjelaskan rencananya, ia menunjuk satu per satu wilayah gurun dan rencananya di masa depan. Ia juga mengatakan akan butuh waktu lama untuk menyelesaikan proyek Kebangkitan Ay-Khanoum, tapi dalam satu tahun ke depan ia yakin bisa menjadikan Eye of The Sands, tempat yang diperkirakan sebagai istana Raja Deshret di mana lalu, sebagai pusat permukiman Ay-Khanoum di masa depan.
Mendengar itu, Alhaitham yang sedari tadi diam pun bertanya, "Apa kau sungguh-sungguh menginginkan itu?"
Itu adalah pertanyaan yang aneh. Di saat yang lain bertanya tentang teknis atau jadwal pembangunan yang Kaveh rencanakan, Alhaitham justru menanyakan perasaan Kaveh seolah itulah yang terpenting dalam proyek ini.
Kaveh menjawab, "Bukan masalah aku menginginkannya atau tidak. Dalam sebuah penyusunan karya ilmiah, bukan penulisnya yang menentukan hasilnya, tapi kondisi dan fakta lapangan yang ada. Aku merasa rencana ini adalah yang terbaik karena lokasi Eye of The Sands yang dekat dengan Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia yang nanti akan membantu kita membangunnya."
Namun, Alhaitham tetap pada pertanyaannya. "Jadi, kau memang ingin membangun istana itu?"
"Ya!" jawab Kaveh pada akhirnya untuk menghindari perdebatan yang menyebalkan di hadapan semua orang.
Alhaitham pun mengangguk. Ia tidak melarang Kaveh apalagi memperdebatkan. Ia justru berkata, "Baiklah. Kalau begitu aku akan membantumu menyempurnakan rencanamu. Aku tahu beberapa hal tentang Eye of The Sands. Temui aku di ruanganku sore ini dan kita bisa mendiskusikannya."
"...." Kaveh tidak tahu harus berkata apa.
Apa pula maksudnya Alhaitham? Di saat ia kira Alhaitham akan menjadi musuh terbesarnya dalam proyek ini, ia tak menyangka justru Alhaitham yang pertama kali setuju tanpa ragu. Pria itu seolah yakin apapun rencana Kaveh akan berhasil. Pria itu juga seolah yakin kalau pengetahuan apapun di otaknya akan membantu Kaveh mewujudkan proyeknya.
Selagi sepasang suami itu memandang satu sama lain dalam diam, tiba-tiba Kaeya berceletuk memecahkan keheningan. "Umm, bolehkah aku ikut diskusi kalian?"
Alhaitham dan Kaveh sama-sama memalingkan pandangan mereka untuk menatap Kaeya.
"Karena dalam tim ini aku yang akan menjadi perantara Sumeru dengan negara lain jika kalian membutuhkan material atau dukungan dari luar, aku perlu perlu tahu kebutuhan rencana kalian, bukan?" ujar Kaeya meyakinkan mereka.
Kaveh merasa Kaeya ada benarnya. Sebagai seorang arsitek yang telah lama berkarir di Sumeru, ada banyak material yang tidak bisa didapatkan dari negaranya. Jelas dalam proyek ini ia membutuhkan material dari negara lain tak hanya dari Liyue atau Mondstadt yang berdekatan dengan Sumeru, tapi mungkin juga dari Inazuma walau pengiriman barang membutuhkan waktu lama.
Hanya saja, sebelum Kaveh menyutujui permintaan Kaeya, Alhaitham lebih dulu menjawab, "Tidak perlu. Di masa lalu, istana itu bisa berdiri tanpa bantuan dari negara lain. Tentu saja saat ini juga bisa."
Secara refleks, Kaveh hendak membantah perkataan Alhaitham. Meski pendapat pria itu masuk akal, terkadang dendam di masa lalu mengambil alih otaknya dan membuat mulutnya secara spontan menentang Alhaitham.
Tapi sebelum Kaveh mengucapkan sepatah kata pun, Alhaitham melanjutkan perkataannya dengan nada tinggi demi menekan keinginan Kaveh untuk membantahnya. "INI HANYALAH diskusi santai sepasang pemimpin dan wakilnya. Kalaupun kami butuh material atau dukungan dari negara lain, kami akan memberitahumu secara terpisah di luar rapat."
Kaeya mengerti apa yang Alhaitham maksud. Pria itu masih belum menerimanya 100% dan Kaeya tidak bisa memaksanya. Ia pun mengangkat tangan tanda menyerah dan mempersilakan Kaveh melanjutkan rapat mereka.
Sebenarnya garis besar rencana Kaveh sudah diutarakan. Tak lama setelah itu, rapat pun dapat ia tutup dan semua orang bertepuk tangan atas Kebangkitan Ay-Khanoum yang ia rencanakan.
Tak terasa, pagi berganti siang dan siang berganti sore. Setelah Kaveh mengisi kelas arsitektur usai rapat paginya dengan tim, ia bergegas menuju ruang dosen di Fakultas Haravatat. Kehadirannya di sana mengundang banyak tanya dari para mahasiswa, terlebih lagi saat ia masuk ke ruangan Alhaitham dengan wajah masam.
BRAK!
Kaveh membuka pintu dengan kasar, menutupnya dengan kasar, menarik kursi dengan kasar, dan duduk di atasnya dengan kesal.
"Aku harap alasanmu memanggilku kali ini masuk akal dan tidak membuat darah tinggiku naik."
Ketika Kaveh datang berkunjung, Alhaitham sedang membaca buku. Dengan tenang ia meletakkannya di atas meja sebelum mengambil seteko teh yang sudah disiapkannya di mesin penghangat otomatis.
Alhaitham berkata, "Minum ini. Ada ramuan herbal dari Tighnari di teh ini untuk meredakan darah tinggimu."
Tighnari adalah seorang ahli botani yang bekerja di hutan Sumeru. Dia adalah pasangan Cyno dan selama ini Alhaitham memesan sebuah ramuan herbal dari pasangan pimpinan Mahamatra itu.
Kaveh menggeram. "Itu hanya kiasan, bodoh! Hanya kiasan! Aku tidak benar-benar punya darah tinggi! Hhh, lama-lama aku bisa benar-benar darah tinggi karena berurusan denganmu."
Alhaitham tidak mengatakan apapun. Dia kembali duduk di kursinya dan meneguk tehnya sendiri.
Alhaitham tidak berbohong. Itu memang memiliki ramuan herbal dari Tighnari yang membantu mengurangi darah tinggi mereka. Hanya saja, ada efek samping lain yang bisa didapatkan jika meneguknya. Soal itu, Kaveh tidak perlu tahu apa.
Merasakan suasana hati Alhaitham tidak buruk, Kaveh perlahan menurunkan kewaspadaannya dan meneguk teh di hadapannya. Ia lalu bertanya, "Jadi, rencana apa yang kau maksud saat rapat tadi?"
Baru saat inilah Alhaitham memasang wajah seriusnya. Ia menyalakan Akasha-nya dan mengirim beberapa dokumen ke Akasha Kaveh.
"Buka dan pelajari itu. Itu adalah rangkuman yang kubuat selama seminggu ini untuk membantumu menghadapi medan di Eye of The Sands."
Mata Kaveh terbelalak. Ia buru-buru meletakkan tehnya, membuka Akasha-nya, dan mengamati satu per satu dokumen yang pasangannya itu kirim.
Kaveh sudah mempersiapkan diri untuk membaca dokumen penting itu saat sebuah pemberitahuan berdering di telinganya.
Untuk membuka dokumen, Kaveh memerlukan kata sandi. Ia mendongak untuk menatap Alhaitham dan berkata ketus, "Apa kau serius?"
Alhaitham dengan santai menjawab, "Kata sandinya adalah tanggal pernikahan kita."
"...." Kaveh tidak tahu harus berkata apa, tapi ia mengikuti petunjuk Alhaitham dengan memasukkan delapan angka yang dimaksud.
Begitu terbuka, Kaveh semakin terkejut ketika melihat nama dokumen di sana tak hanya Eye of The Sands, tapi juga makam Raja Deshret yang rencananya akan dibangun tahun depan, dan Oasis Abadi yang akan dibangun dua tahun lagi.
Semua data itu jauh lebih lengkap dari koleksi penelitian mahasiswa Akademiya selama berabad-abad ke belakang. Bahkan, di bagian Oasis Abadi yang Kaveh ketahui selama ini hanyalah berupa pusat mesin irigasi Raja Deshret, Alhaitham menulis ada rahasia tersembunyi yang tak pernah diketahui siapapun sebelumnya.
Kaveh tergagap saat ia bertanya, "Peristirahatan terakhir Nabu Malikata?! Oasis Abadi yang jika berada di dalamnya waktu berhenti berputar?!"
Alhaitham mengangguk. "Jangan sampai proyekmu menyentuh zona itu. Itu daerah terlarang dan untuk saat ini, hanya kita berdua yang tahu."
"A-apa kau gila? Mana ada tempat seperti itu di dunia ini? Aku tahu di masa lalu dunia ini penuh dengan sihir. Bahkan, orang-orang memiliki kekuatan untuk mengendalikan elemen air, api, tanah, dan sebagainya. Hanya saja, sekarang semuanya berubah. Langit tidak lagi memberi kita kekuatan itu. Jelas tempat-tempat sihir seperti ini sudah tidak ada lagi."
Alhaitham tidak mendebat Kaveh. Ia hanya berkata, "Terserah kau mau percaya atau tidak. Yang jelas, kau harus mempertimbangkan data itu dan jangan sampai juga data itu jatuh ke tangan orang lain."
"Tapi ...."
"Kaveh, ingat apa pedoman seorang ilmuwan ketika meneliti suatu hal?"
"Apa?"
"Jangan sampai asumsi yang kau buat menghalangi otakmu untuk menerima fakta yang ada. Untuk saat ini, jangan anggap bodoh peringatan dariku. Jalani saja dulu dan lihat di lapangan. Jika kau kesulitan dalam menghadapi medan, jangan ragu untuk mendiskusikannya denganku. Aku bukan hanya rekan kerjamu, Kaveh. Aku juga pasanganmu."
Kaveh terdiam. Kali ini Alhaitham tidak memiliki kesalahan dalam kalimatnya. Ia tidak bisa membantah dan mau tak mau harus menerima kalau mereka sedang dalam hubungan yang baik-baik saja.
Kemudian, Alhaitham bertanya, "Jadi, kapan kau berencana pulang? Sudah satu minggu kau pergi entah ke mana. Apa sehina itu aku di matamu sampai-sampai kau tidak sudi menginjakkan kaki di rumah kita?"
Kaveh mendongak. Karena ia tidak tahu harus berkata apa, ia berakhir kembali menunduk merasa bersalah. "Aku ...."
"Kaveh, aku minta maaf karena akhir-akhir ini aku terlalu memaksakan pendapatku. Aku mengalami hari yang buruk dan saat itu aku benar-benar takut kehilanganmu. Itu sebabnya aku ...."
"Kau tidak ingin aku terlibat dalam proyek yang menurutmu berbahaya?" ujar Kaveh melanjutkan.
Alhaitham mengangguk.
"Lalu, apa sekarang kau mengizinkanku?"
Tanpa ragu, Alhaitham menjawab, "Umn. Sejak dulu, tidak ada yang bisa menghalangimu. Satu-satunya hal yang bisa kulakukan hanyalah menjagamu. Kali ini mungkin harus lebih ekstra, tapi aku akan melakukannya."
"Su-sungguh?" Kaveh tersipu dengan perkataan Alhaitham. Saat bertanya untuk memastikan, wajahnya bahkan memanas dan berubah merah.
"Umn. Sebenarnya aku lebih suka kepribadianmu yang sekarang. Kau mengikuti kata hatimu meski itu bertentangan denganku, suamimu sendiri. Dengan begitu, kau tidak akan mati bodoh jika di masa depan aku membuat keputusan konyol yang mengancam jiwamu."
"...." Kali ini, Kaveh tidak mengerti apa yang Alhaitham bicarakan. Ia mengamati ekspresi suaminya untuk mencari tahu makna tersembunyi di dalamnya, tapi yang ia temukan justru kesedihan seolah pria di hadapannya itu sedang larut dalam trauma masa lalu.
Perlahan, Kaveh mengulurkan tangannya. Ia meraih tangan Alhaitham dan menggenggamnya dengan lembut. Ia jarang melakukan itu tapi di momen-momen rapuh seperti ini, ia harus melakukannya. Terkadang untuk memghibur suaminya, terkadang untuk menenangkan dirinya, terkadang juga untuk menyelamatkan pernikahannya.
"Hayi, apa kau baik-baik saja?"
Panggilan spesial itu membuat kesadaran Alhaitham kembali. Ia sempat hanyut pada momen kematian Nabu Malikata, tapi kini yang bisa ia lihat hanyalah raut wajah rupawan Kaveh yang begitu mengkhawatirkannya.
"Kaveh."
"Ya?"
"Malam ini kau benar-benar harus pulang."
"...."
"Aku akan menunggumu," lanjut Alhaitham dengan nada yang melembut. "Selarut apa kau pulang, aku akan menunggumu."
Mungkin Kaveh harusnya menilai ujian para mahasiswa di kantornya malam ini. Mungkin juga Kaveh harusnya ke bar Diluc untuk berdikusi dengan Kaeya terkait proyek mereka.
Tapi, merasakan telapak tangan sang suami yang menggenggamnya erat, melihat raut wajah hangat yang selama ini dingin ketika menantang dunia, Kaveh luluh. Ia melupakan segala urusan dunia dan memutuskan untuk pulang bersama pujaan hatinya.
Kaveh mengangguk dengan pipi semerah tomatnya. Ia secara refleks menyentuh rambutnya berharap penampilannya masih menarik di mata sang suami.
*
*
*
Bersambung
*
*
*