Dated; Engaged [COMPLETED]

By Kaggrenn

914K 95.7K 14.1K

Sekian lama move on, Trinda mendadak CLBK-crush lama belum kelar-melihat mas-mas mempesona berkemeja batik sl... More

d a t e d
d-1 | why we want who we want
d-2 | mirror mirror on the wall
d-3 | back seat of the blue car
d-4 | he showed up, she can't get enough of it
d-5 | can never be friends
d-6 | she'll grow up next summer
d-7 | she can't pass if she doesn't know the code
d-8 | he smells the perfume, and it's obvious
d-9 | she'll break the ceiling
d-10 | when the world revolves around them
d-11 | wishes she came out smarter
d-12 | couldn't have him sit there and think
d-13 | a lightweight drinker, she is
d-14 | in case she needs fresh clothes
d-15 | this is how you fall in love
d-15 | this is how you fall in love pt.2
d-16 | keep your head up, princess!
d-16 | keep your head up, princess! pt. 2
d-17 | they say love is only equal to the pain
d-18 | you could turn my sorrow into a song
d-19 | river flows in you
d-20 | someone who feels like a holiday
d-21 | you're still with me, now I know
e n g a g e d
1 │ nggak jadi mampus
2 │ warming up
3 | sebuah tekad menghapus diri dari daftar hitam
4 | ghibah bapack-bapack
5│tempat kejadian perkara
6 | if the world was ending
additional part 6 | world war
7 | it must be exhausting rooting for the anti-hero
8 │sudah luka, ditabur garam
9 | cari mati
10 | tanggap darurat
11 | pret
12 | sambutan pertama
13 | sambutan kedua
additional chapter 11 | well, this is embarassing
14 | jadi, intinya mah ...
15 | ... seperti itu
16 | mengejar sang juragan
17 | kampret, tapi mail sayang
18 | mas, kamu nyebelin!
19 | jadinya, couple spa sama siapa?
20 | good, good night
additional part 20 | good good night
21 | curiga tahun depan jadi trilyuner
22 | kukira kau rumah [part 1]
22 | kukira kau rumah [part 2]
23 | maloe-maloe kocheng
24 | di atas langit ada ...
25 | dibayar tunai
26 | are we good?
27 | ada yang tajem tapi bukan piso
Ugh
28 | deal breaker
29 | at the end of the day ...
additional part 29 | bromance hanyalah fatamorgana
30 | hold on
31 | reminisce part 1
31 | reminisce part 2
32 | yang patah ... tumbuh?
random marriage life diaries #1 | when neo and aaliyah are just babies

33 | str_nger [END]

34.3K 1.6K 672
By Kaggrenn


Patah hati ... apa itu?

Beberapa pengalaman memang pantas disebut sebagai duri dalam daging, tapi Mail adalah jelmaan ikan, so what?

Selepas ditinggal pulang teman-temannya, dia minta izin Igor untuk mengambil cuti dan mendaftar dua overseas dive trip sekaligus dalam sebulan. Maldives dan Jepang, masing-masing berdurasi sepuluh hari.

Pulang dari Jepang, dia teken kontrak setahun untuk villa yang bulan lalu dia tempati itu, lalu keliling Canggu mencari tanah kosong untuk diduitin. Yes, hatinya sudah mantap banget untuk pindah hidup ke Bali! Emang cuma cewek doang yang bisa come back stronger setelah putus cinta? Huh, usus dua belas jari Mail tertawa.

"Untung belum jadi hapus tattoo, ye? Nangis-nangis nggak lo sekarang kalau waktu itu langsung cus mulai treatment?" Oscar mengejek ketika suatu hari Mail menyombongkan rencananya untuk mulai project landed house pertamanya setelah urusan interior kafe Canggu selesai, tiga atau empat bulan mendatang.

Padahal mah ... duitnya belum ada. Tabungan setahun yang rencana awal hendak dipakai nikah sudah ludes jadi tanah 8,5 are doang. Tapi, nggak masalah. Selama income aman, project masih bisa jalan dengan sistem pencairan RAB per bulan—nggak seperti project Mail sebelum-sebelumnya yang pencairan berdasarkan persentase progress pembangunan. Repot sih, tapi harusnya jadi mempermudah controlling dan penyesuaian apabila ternyata ada yang nggak berjalan sesuai rencana.

"Nggak lah. Mana pernah gue meratapi masa lalu?" Mail menyahut sembari mengelus dan memperhatikan detail tattoo di sepanjang lengan kirinya.

Nggak nangis? Ya nangis lah, gilaaa.

Semua tattoo Mail dia sayangi kayak anak-anak sendiri. Kalau waktu itu beneran langsung dihapus, mungkin setelahnya dia butuh waktu buat grieving dulu, jaga jarak dengan pacarnya. Dan begitu hubungan kandas seperti sekarang, waaah ... auto nyesel tujuh turunan delapan tanjakan!

"Tugas yang terakhir gue kasih gimana?" Mendadak Mail ingat tujuan utamanya memanggil PA-nya itu.

"Regina?" Muka Oscar langsung nggak enak dilihat. "Lo pikir nyari orang setelah lost contact sepuluh tahun tuh gampang?? Mending kalau info pendukung yang lo kasih memadai. Lah ini??"

"Butuh berapa duit, sih?"

Mendengar kata duit, Oscar jadi cengangas-cengenges, dalam hati bersyukur bos kampretnya jadi makin royal pasca putus. Padahal ngakunya lagi miskin, tapi malah lebih sering ngajakin buang-buang duit untuk hal-hal kurang penting. "Lagian, kenapa nggak nyuruh gue nyari doi dari dulu-dulu, sih?"

"Karena ..." Mail sengaja bikin penasaran, sampai-sampai Oscar memajukan tubuhnya biar lebih fokus. "Bukan urusan lo!"

Bukannya menjawab, dia malah tiba-tiba mencomot mulut Oscar, bikin Oscar misuh-misuh.

Kenyataannya, bukannya nggak mau menjawab, tapi memang Mail nggak berniat mengorek-ngorek hatinya untuk mencari jawaban.

"Nggak tinggal di Indo dia tuh." Oscar manyun.

"Terus di mana?"

"Ya sejauh ini gue taunya baru yang kemarin gue bilang, sembilan tahun lalu dia kerja di Tokyo." Kemudian Oscar mendesah pelan. "Heran, lagi stress bukannya pindah ke kota yang lebih tenang, malah pindah ke tempat yang mayoritas penduduknya sama-sama stress. Ya berdoa aja semoga dia masih idup sampai sekarang."

Mail geleng-geleng, menolak berpikiran negatif. Lalu bangkit berdiri. "Gue transfer sebentar lagi, lo cari dia sampai ketemu, jangan sampai lewat bulan ini. Kalau lewat, kayaknya kita udahan aja."

"Anjrit. Sebelum punya rumah di Pondok Indah, gue belum boleh dipecat, ya!"

~

Bagusnya, Oscar menyelesaikan tantangan tepat waktu.

Mail memejamkan mata sejenak, nggak langsung keluar begitu menemukan tempat parkir kosong di PI.

Finally, salah satu kegundahan terbesar dalam hidupnya nyaris terjawab.

Belum lama ini, Oscar memberitahu bahwa perempuan yang dia cari sedang pulang kampung ke Jakarta, dan langganan WFC di sebuah coffee shop di PI. Kalau mau sekadar melihat dari jauh, Oscar menyuruhnya ke sana, tapi jangan sampai ketahuan. Soalnya, si cewek tidak bersedia ditemui.

"Biasanya jam berapa, dia ke sono?" tanya Mail waktu itu.

Oscar mengangkat bahu. "Coba lo standby aja dari jam sepuluh. Kalau nggak ketemu, kalau dia udah balik ke Jepang, ya berarti emang nggak jodoh."

Mail berdecak, tapi nggak punya pilihan lain.

Karenanya, pagi ini jam sepuluh, Mail sudah ke PI. Mencari coffee shop yang dimaksud, kemudian memilih untuk mengintai dari kafe lain tak jauh dari situ.

Sampai jam makan siang, nggak ada tanda-tanda keberadaan orang yang dicari.

Ya elah, Mail nggak berharap bakal selancar ini juga sih. Sepuluh tahun nggak ketemu, seminggu penuh duduk di situ juga bakal dia jabanin!

Karena lapar, cowok itu memutuskan cabut cari makan sebentar, lalu kembali ke posisi semula sejam kemudian.

And ... voila. She's there.

Jantung Mail langsung bergemuruh setelah memastikan berulang kali bahwa dia tidak salah lihat. Bahwa yang duduk beberapa puluh meter darinya itu bukan perempuan lain yang berwajah mirip.

Senyum Mail terkembang tanpa sadar, dari ujung ke ujung pipi.

Yes. She's the girl from ten years ago. Mantan summer fling Mail. Yang cuma hitungan minggu berhubungan dengannya, tapi menorehkan luka cukup dalam karena berpisahnya pakai malapetaka.

Perempuan itu duduk menyamping dari posisi Mail melihatnya, dengan pandangan terfokus pada laptop di meja.

Rasa rindu, penasaran, sekaligus kelegaan perlahan-lahan menyeruak di dada Mail.

Menyadari bahwa kemungkinan selama ini mereka berpapasan tanpa menyadari keberadaan satu sama lain, membuat Mail gelisah.

Bagaimana kabarnya? Apa kesibukannya sekarang? Adakah sedikit rasa penasaran di hatinya mengenai kabar Mail selepas mereka berpisah?

Well ... maybe that's not important anymore.

Lebih dari semua rasa ingin tahunya, mendapati perempuan itu masih hidup—seperti kata Oscar—juga tampak sehat dan punya kesibukannya sendiri, Mail merasa sudah sepantasnya dia bersyukur.

Yang mereka jalani dulu itu, cuma hubungan singkat yang nggak pantas diungkit-ungkit.

But damn, she never left the space in the deepest recess of his heart, the space that Mail only knew existed.

Too bad, they used to meet at inconvenient times, but now that he is more secure about meeting her, she doesn't even want him anymore.

Mail menyesap cangkir kopi ketiganya hari ini dengan mata terpejam. Merengkuh dan menyemangati inner teenager yang patah hati dalam dirinya, mengatakan bahwa dia bangga karena bisa melewati masa-masa yang kelam itu.

Baru saja dia memutuskan hendak pergi, dari arah lift muncul dua sosok familier.

Trinda dan Oscar!

Oscar emang minta ditampol!

Menunduk dalam-dalam biar nggak dikenali saat dua orang itu lewat di sebelahnya, Mail menyipitkan mata mengikuti arah langkah mereka ... yang berakhir di antrean counter coffee shop yang sama dengan tempat Regina duduk!

Tuh kan, emang Oscar rada-rada!

Batal pergi, masih Mail perhatikan hingga dua orang itu duduk.

Gelagat Oscar terlihat natural, seolah dia bukan sedang dalam misi khusus mengerjai Mail.

Awas saja, kalaupun nggak bisa dipecat, Mail nggak akan bersikap ramah lagi padanya!

Dengan rasa gelisah yang jadi berlipat, sekali lagi Mail memperhatikan Regina.

She looks bussy. Ada telepon yang dia angkat, dan gestur yang dia tunjukkan cukup bersemangat.

Kemudian pandangannya beralih ke Trinda.

Ck. Tuh bencong maunya apa sih? Mau membuktikan bahwa Mail masih galau? Sorry, nggak bisa. Karena jujur saja, meski ada sensasi pening di kepala, sebagian besar dari dirinya ikhlas melihat Trinda dan dirinya duduk berjauhan seperti saat ini.

Mail mengangguk-angguk.

Yes, he gradually overcame his old wounds and moved on from his previous partnership. He's now single and ready to mingle.

Merasa bakal awkward jika ada yang melihatnya, Mail memutuskan pergi.

~

Nggak ada desas-desus, tau-tau Iis mengabari jadwal pengajian empat bulanan hamil anak kedua. Gila, nggak?

Sebagai om paling budiman, Mail datang jauh sebelum acara dimulai.

Kali ini bukan di rumah orang tua Iis, tapi di rumah dia dan Agus sendiri.

"Astaga, Is. Catering busui lo kudu extend, ya, berarti? Siap aja deh gue. Nggak jadi bapak, gue bisa jadi rich uncle."

Iis cuma ketawa-ketiwi, nggak mau nolak rezeki. "Lo abis jalan-jalan nggak bawa oleh-oleh?"

"Pie susu sama arak Bali?"

"Ish. Yang dari Jepang, dong!"

"Ya Allah ... udah sebulan gue balik dari sono, baru minta."

"Ya elo nggak nawar-nawarin! Masa gue duluan yang disuruh minta-minta?"

"Yaah, sorry. Ntar deh, balik dari Mekkah, gue ke Jepang lagi, khusus buat lo."

Iis menyentil jambul Mail dengan sepenuh emosi. "Jadi umroh? Alhamdulillah, biar gue nggak sakit mata lama-lama lihat nih rambut jamet." Udah ngatain gitu, baru tuh orang inget minta izin. "Gue boleh body shaming, kan? Gatel banget ini mulut."

Mail udah pasrah aja. "Bumil mah bebas, asal bukan ngidam minta cere ama Agus aja."

Iis ngakak, lalu mulai mengomentari penampilan Mail dari ujung kepala sampai ujung jempol kaki. Yang iteman kebanyakan melaut lah, yang potongan rambutnya nggak cocok banget lah, yang menakut-nakuti kalau nanti Mail dibotakin jadi mirip tuyul kurang gizi lah. Bebas. Mail cuma ngangguk-angguk aja.

"Dipikir-pikir, enak banget ya jadi lo? Nggak ada yang marahin."

"Katanya, bumil bebas?"

"Ya, elo doang. Bumil lain belum tentu punya temen baik-baik semua kayak gue dan yang lain-lain."

"Elo tuh baiknya baru sekarang-sekarang ini, kali. Dulu-dulu bikin gue istighfar mulu."

"Masa iya?"

Iis mendengus, tapi ogah mengingat-ingat. "Tiba-tiba mau umroh, lo beneran udah bertaubat, ya?"

Mail mau sesumbar, tapi takut tobatnya nggak diterima.

"Siapa yang ngajakin, sih? Nggak mungkin atas inisiatif sendiri."

"Apa sih yang nggak mungkin??"

"Gue kenal elo, Bambang!"

Ya sudah, nggak ada pilihan lain. Mail terpaksa jujur. "Mau gue ceritain nggak?" Sebelum dijawab, dia malah sudah semangat cerita duluan. "Minggu kemarin Oscar tiba-tiba aja kena DB. Kualat abis ngerjain gue, opname seminggu di RS. Langsung inget dosa, dong. Jadilah dia mohon-mohon minta diberangkatin umroh buat balas jasa atas kesetiaannya sepuluh tahun ini."

"Tapi gue lihat status nyokap lo ...."

"Ya kalau umroh, nyokap jelas nggak mau ketinggalan, lah. Jadilah rencana pergi berempat sama bokap sekalian."

Iis manggut-manggut bangga, sebelum kemudian ada yang memanggil karena pengajian akan segera dimulai.

Trinda.

~

Selepas acara, seiring para tamu satu per satu meninggalkan lokasi, nggak mungkin dong Mail ikut-ikutan melipir pulang tanpa menyapa Pakde-Bude? Apalagi teman-temannya yang lain sudah duluan sungkem semua.

Alhamdulillah, beliau-beliau sudah kelihatan lebih ramah dibanding sebelumnya. Malah, Pakde sempat titip salam ketika Mail bilang nggak ikut menginap bersama yang lain karena orang tuanya sedang di Jakarta.

Setelahnya, dia menimbang-nimbang apakah perlu bertegur sapa dengan Trinda atau tidak. Tapi akhirnya dia hampiri juga sang mantan pacar.

"I've told you not to be friendly." Trinda langsung galak.

Senyum geli Mail terkembang.

Kangen, nggak? Ya kangen lah!

"Am I not forgiven yet?" tanyanya kalem, biar nggak ditampol.

Tapi seperti yang sudah bisa diduga, nggak semudah itu membuat Trinda mau diajak beramah-tamah. "There's nothing to be forgiven."

"Skripsi lancar?"

"Lancar, lah."

"Udah sampe mana?"

"You guess."

"Sempro?"

Trinda menggeleng kesal.

"Belum sempro?"

Ditebak seperti itu, Trinda jelas makin kesal. "Bali Project udah kelar?"

"Belum. Target beres sampe interior, dua bulan lagi."

"Lama amat? Ckckck. Cepetan aku. Minggu depan semhas. Target yudisium bulan ini."

Wow? Kontan aja Mail melotot. "Kok cepet?" Kenapa nggak dari dulu-dulu aja niat ngerjain kayak gini, Maemunah?? Walau tetap nggak direstui, minimal tuh skripsi nggak jadi beban tambahan.

"I've told you, I have a plan. The proposal takes the most time, but the rest is like a piece of cake."

"Well ..." Mail menghela napas panjang. Nasi udah jadi bubur. "I'm proud, and ... ashamed."

"... for looking down on me?"

"Yeah."

"Apologize, then."

"I'm ... sorry."

Trinda juga cuma bisa menghela napas panjang, lalu melirik sekeliling, mencari alasan untuk pergi, hingga sepasang matanya menemukan Saad yang lagi menangis di gendongan ncus. "Gotta go. Bye, Mas. Usahain jangan ketemu lagi."

Hmm ... diaminkan pun juga percuma, Mail ngedumel dalam hati sembari melangkah keluar rumah temannya itu. Selama dia masih jadi temannya Iis, nggak mungkin nggak ketemu cewek itu lagi.

~

Tapi sumpah, Mail bukannya sengaja mencari-cari alasan biar ketemu.

Siapa sih yang bakal mengira kalau lebih dari dua minggu kemudian, ketika dia muncul di rumah Iis dengan kepala botak sepulang umroh untuk mengantar oleh-oleh pesanan si bumil, Trindalah yang membukakan pintu rumah temannya itu.

Sekian detik pertama, cewek itu kontan pengen tertawa. Hingga sadar dan kembali pasang wajah sok cool dan mempersilakan masuk.

Mail langsung ke ruang tengah biar tidak terjebak di ruang tamu bersama Trinda yang lagi momong Saad.

Tapi ternyata ... ada Bude Hari di ruang tengah.

Otomatis Mail mampir sungkem dulu.

"Iis lagi nerima tamu di teras belakang. Tunggu di sini dulu aja, kalau nggak buru-buru."

Mail mengiyakan, meletakkan bawaannya di meja, dan duduk di sebelah Bude.

"Gimana kabarnya, Mas? Sehat?"

Mail mengangguk, sembari melafalkan doa-doa biar Iis cepat muncul dalam hati. "Bude sekeluarga juga sehat-sehat, kan? Oh iya, denger-denger Trinda udah mau Semhas."

"Udah selesai. Kompre juga udah. Tinggal Yudisium besok Senin."

Wah. Mail menghina sendiri logikanya yang nggak jalan. Jelas-jelas Trinda memberitahukan info tersebut padanya hampir tiga minggu yang lalu. Ya jelas udah kelewat semua lah!

Mail lalu mengangguk-angguk, canggung.

Bude memang sudah tidak lagi melakukan gencatan senjata, tapi tetap saja Mail merasa ada yang menahannya untuk memulai obrolan santai. Seperti tetap ada dinding-dinding tak kasat mata yang mencegahnya melompati batas.

Tapi dia maklum dan nggak berniat memaksakan diri sama sekali.

Siapa sih yang bisa akur dan sama sekali no hard feeling dengan orang tua mantan pacar yang habis menolak mentah-mentah? Ya kalau ada, Mail acungi jempol. Soalnya, levelnya baru sebatas menjaga sopan santun saja.

"Bude di sini terus sejak tiga bulan lalu?" Mail bertanya basa-basi.

Bude mengangguk. "Nerima undangan jadi dosen tamu sekali, eh keterusan jadi banyak acara sampai sekarang."

Mail mesem doang, dalam hati berdoa makin giat. Sekalian membuat catatan di kepala, bahwa bertanya ada siapa saja di rumah sebelum berkunjung ke rumah Iis dan Agus tuh hukumnya wajib.

Menyadari obrolan tidak natural di antara mereka, Bude Hari tersenyum getir. "Masih dendam sama Bude?"

Jelas saja Mail tersedak. "Oh, enggak, enggak," sahutnya kelewat cepat. "Saya nggak pernah nyimpen dendam. Udah paling bener waktu itu Bude minta saya dan Trinda putus. Kalau enggak, kayaknya sampai sekarang masih stuck di situ-situ aja. Terbukti, abis putus, selang tiga bulan, Trinda udah lulus aja."

Bude mengangguk-angguk setuju, dan Mail menanggapi dengan mengulas senyum lagi.

Sebenarnya, yang Mail ucapkan bukan basa-basi semata. Dia cukup salut mengetahui mantan pacarnya itu jadi lebih niat lulus pasca putus. Entah treatment apa yang bude berikan padanya.

Kalaupun nggak putus, ya mungkin bisa-bisa saja Trinda tetap bisa lulus secepat sekarang. Tapi Mail ragu bahwa dia bakal punya peran dalam membantunya. Soalnya, beberapa bulan sebelum mereka berpisah pun, Mail sudah setengah gila. Walau cinta mati, waktu itu pesimis lebih mendominasi perasaannya. Kayak ... ngapain usaha mati-matian, toh nggak bakal direstui juga?

Di manakah Iis berada?

Mail ingin menoleh kanan-kiri, mencari-cari wujud temannya. Dan Bude segera menyadari kegelisahannya itu.

"Bude minta maaf kalau kemarin ada salah-salah, kalau omongan Bude sempet nggak ngenakin, ya Mas? Lebih tua nggak selalu lebih bener."

"Enggak, enggak, Bude." Lagi-lagi Mail menjawab kelewat cepat. "Saya malah berterima kasih karena jadi punya banyak waktu buat refleksi. Padahal cuma tiga bulan, tapi kalau nengok ke belakang, rasa-rasanya udah ngelewatin banyak hal."

"Bude nggak pernah benci kamu."

Di manakah Iis ber—eh???

Kedua mata Mail melebar tanpa sadar.

Dia belum budek kan ya?

Tapi daripada salah dengar, dia hanya mengangguk-angguk sebagai jawaban.

"Soal bude minta kamu pisah sama Trinda kemarin, juga bukan karena bude nggak mau kamu yang jadi pasangan Trinda. Ya, tentu, kecewa pasti ada. Orang tua mana yang nggak berharap muluk-muluk untuk anaknya? Tapi itu bukan yang utama. Anak Bude suka sama siapa aja, ya Bude nggak punya kuasa ngelarang-larang. Toh, orang selalu bisa berubah jadi lebih baik. Tapi, kalau sudah ngomongin gaya pacaran kalian kemarin ..." Bude menggeleng. "... nggak bisa, Mas. Bude tegas menolak. Semoga kamu ngerti ya."

Mail sudah introspeksi diri dan jelas sudah amat menyadari semua kesalahannya. Jelaslah dia nggak menyangka saat Bude bilang nggak membencinya.

Seriuskah? Kalau Mail jadi Bude sih, lain cerita. Jelas-jelas punya power, bakal dia hancurkan bisnis cowok bajingan yang merusak moral anak gadisnya, sampai nggak berani mimpi buat hidup macem-macem lagi.

"Tapi itu Bude. Mas Agus mungkin beda lagi. Bagaimanapun juga, kalian udah lama banget berteman. Dibanding Bude, ekspektasinya ke kamu jelas lebih tinggi, jadi dobel-dobel sakit hatinya. Ya pelan-pelan ajalah, kalau emang masih berniat nyambung silaturahmi."

Mail ... nggak bisa berkata-kata.

Seperti sedang dikasih lampu hijau, tapi khawatir ini hanyalah ujian.

Mana template wajah Bude Hari memang tegas begitu dari sononya, hingga sulit membaca isi hatinya.

Lagipula, sesabar-sabarnya Bude, agak sulit dipercaya bisa semudah itu luluh, sih. Nggak ada alasan yang mendukung, gitu. Karena ... ya Mail yang sekarang ini masih Mail yang tidak punya kualifikasi buat dijadikan calon mantu.

"Gimana, setelah refleksi? Udah jelas maunya, atau masih galau?"

Seperti ada biji kedondong di kerongkongan Mail.

Padahal jawabannya sudah ada di kepala, tapi sulit diungkapkan.

Bude serius nggak, sih? Atau Mail aja yang kepedean mengartikan ucapan-ucapannya?

Whatever. Citra Mail sudah buruk. Emang masih bisa jadi seburuk apa lagi kalaupun hari ini dia mempermalukan diri sendiri?

"Trinda sendiri gimana, Bude? Kayaknya udah move on, ya?" Dengan pedenya, dia balik nanya.

Akhirnya, setelah sekian menit ragu, sebuah senyum geli di bibir Bude membuat keyakinan Mail mulai tumbuh subur. "Ya nggak tahu. Coba tanya sendiri."

Nggak bisa dicegah, Mail tersenyum lebar dengan noraknya. Lalu refleks menoleh ke arah ruang tamu dan menemukan cewek itu sedang balas menatapnya dengan muka merah padam.

"Ibuk, ghibahin anak sendiri dosa lho, Buk!" Trinda melotot.

Bude Hari cuek bebek. "Ghibah apanya? Wong Ibu nggak ngomongin kamu. Kamu tuh yang dosa, nguping orang ngobrol."

Nggak bisa menjawab, Trinda melempar pelototan ke Mail, kemudian menggendong ponakannya dan membawanya menghilang ke lantai dua.

Senyum lebar Mail makin nggak ilang-ilang.

Berarti ... cuma nggak boleh pacaran doang kan, ya? Siaaap!

Semangat hidup Mail auto meroket.

TAMAT





bonus scene

Setting: sebelum reminisce, di rumah Mbak Iis.


Jam setengah sembilan malam di hari Senin, Ehsan mengetuk pintu rumah sahabatnya dengan percaya diri. Sebuah box besar berisi aneka macam pastry ada di satu tangan, sementara tangan lain menjinjing tas laptop. Capek dan berkeringat, tapi bahagia.

Kebetulan, Iis sendiri yang membukakan pintu.

"Nih," ujarnya sembari menyerahkan box di tangan ke Iis. "Lo ngode di story, langsung gue beliin, nggak pake wacana. Baik kan gue?"

Iis buffering selama sekian detik, tapi kemudian menerima uluran box itu dengan senyum bahagia. "Iya, makasih banyak, ya, San? Beruntung banget nanti yang jadi bini lo."

"Iya, dong."

Segera Iis mengajak temannya itu masuk ke ruang tengah.

"Agus mana?" Ehsan nanya sambil jalan.

"Lagi nyebokin anaknya, abis pupup."

Ehsan manggut-manggu, dan kemudian Iis menanyai apakah dia sudah makan malam apa belum.

Belum juga Ehsan menjawab, fokusnya teralihkan pada keberadaan duo Zane dan Bimo di situ.

"Gue nggak lihat ada mobil lain di depan." Cowok itu berkomentar.

Bimo menjawab, "Gue tadi nebeng Rachel."

Zane ikut menjawab, "Gue nebeng Agus dari PP."

Ehsan pasang wajah meremehkan. "Gue dong, bela-belain rebutan naik TJ ke sini demi nganter Saint Cinnamon doang buat nyonya rumah."

Bimo dan Zane saling pandang. Lalu keduanya menoleh ke Iis yang berdiri di belakang Ehsan.

"Hmm ... thanks? All out banget perjuangan lo buat temen. Gue terharu." Bimo manggut-manggut. Sementara Zane geleng-geleng dan membiarkan Ehsan duduk tanpa menimpali ucapan Bimo lagi.

Baru juga duduk sedetik, pandangan Ehsan jatuh ke meja makan.

"Asyuu!" Tuh anak langsung berdiri dengan latah. "Kenapa nggak bilang-bilang kalau kalian udah bawain duluan??"

"Lo nggak nanya." Bimo membela diri.

Ehsan auto melotot ke Iis. "Lo juga nggak bilang!"

Iis mengkerut, merasa bersalah. "Tapi kan gue juga nggak tau kalau lo berniat ke sini dan beliin ini juga."

"Astaghfirullah ...." Ehsan sampai mengacak-acak rambutnya sendiri saking frustasi. "Ya abis bikin story BM Saint Cinnamon, bikin story lagi dong kalo udah ada yang beliin. LAGIAN KENAPA KITA KOMUNIKASI LEWAT IGS COBA??" Ehsan duduk lagi dengan wajah merana. "Gue bela-belain naik TJ tau, Is. Lo pernah naik TJ, nggak?"

"Ya maaf, San, maaf. Gue bikin story bukan buat ngode elo. Please dong, maafin gueee."

"Ya Allah ... pamrih banget, sih? Ngasih mah ngasih aja, nggak usah emosi gara-gara udah ada yang ngeduluin." Zane berdecak-decak. "Lagian penghuni rumah sini banyak. Nggak bakal mubadzir."

Setengah jam berikutnya, semua orang sibuk ngebaik-baikin Ehsan biar nggak pundung.

~

"Gue mau weekend-an di Bali, ada yang mau ikut nggak?" Setelah hilang kesalnya, Ehsan buka topik lain.

Mbak Iis yang masih merasa nggak enak hati kemudian menyahut, "Dalam rangka kerja apa liburan?"

"Kerja sambil liburan."

"Kalo gitu nebeng Mail aja akomodasinya, biar hemat. Doi lagi di sono sampe minggu depan paling cepet. Bentar, gue tanya Oscar, ya."

Tadinya Ehsan nggak berminat, tapi ketika kemudian Iis bilang kalau Mail menempati 5 bedrooms villa sendirian, hatinya tergelitik juga.

"Pastiin lagi dong ke Oscar, bener apa enggak sampe minggu depan? Sama mintain alamatnya."

Iis mengangguk-angguk. "Nggak usah bilang Mail ya, biar surprise. Tapi kalo diusir, ya siap-siap aja lo checkin ke tempat lain."

"Gampang."

Kemudian Iis kepikiran dia udah lama nggak liburan. "Nanti gue tanya Agus deh, boleh nyusul apa enggak. Ntar lo bantuin gue sama ncus kalo Saad tantrum malem-malem, ya."

"Siaap." Ehsan mengacungkan jempol.

Melihat kedua temannya mau menikmati hidup berdua aja, jelas Zane dengki. Dia lalu noleh ke Bimo. "Gue mau ikut mereka . Lo ikut, nggak?"

"Sibuk gue."

"Lo kan pengangguran!"

"Gue sengaja nganggur bukan buat main-main ke Bali."

Baru saja Zane mau menyahut lagi, Iis memekik heboh. Menunjukkan HP-nya yang menampilkan sebuah villa di maps ke teman-temannya.

"Ini yang kita sewa buat magang dulu bukan?" tanya Iis.

Ketiga cowok itu kompak menyipitkan mata sembari berpikir keras. Cukup lama mereka scrolling foto-foto dari pengunjung lain yang kebanyakan banjir filter dan editing.

"Iya, bener. Vila yang itu." Bimo mengangguk.

Ehsan berjengit ngeri.

Zane berdecih. "Emang nggak bener temen lo itu. Banyak tempat lain, ngapain dia ke sono lagi?"

Semua diam selama beberapa saat.

"Tu anak emang cari perkara." Ehsan agak lambat menyetujui ucapan Zane.

Iis manggut-manggut juga.

"Sama Agus masih gitu-gitu aja?" Zane nanya.

Mbak Iis mengangguk. "Masih."

"Nah, emang cari mati. Belum beres satu, udah nambah masalah lagi. Nggak bisa didiemin, nih."

Mereka semua diam lagi. Lebih lama dari sebelum-sebelumnya.

Tepat semenit kemudian, keempatnya saling pandang dengan senyum miring terkembang.

"Ini kita berbagi akal bulus yang sama nggak, sih?" Ehsan ragu.

Yang lain mengangguk-angguk dengan wajah geli.

"Gimana, masih nggak mau ikut?" Zane menyenggol Bimo.

Meski lagi sibuk ngurus persiapan pernikahan, jelas Bimo nggak ikhlas melewatkan momen bersejarah. Soalnya, kemungkinan hasilnya cuma dua: Agus dan Mail baikan, atau sebaliknya.

"Tapi Agus mana bisa digiring ke sono?" Ehsan skeptis.

Zane ganti menyenggolnya. "Lo ngeremehin taktik Ibu Iis?"

Iis salting. "Doain aja, pulang-pulang gue nggak dikutuk sama Agus."

Baru juga mereka mau membahas rencana itu lebih lanjut, yang lagi diomongin muncul dengan si bayi yang udah ganti baju.

Keempat sohib itu auto saling lirik sembunyi-sembunyi.

Dan malamnya, mereka punya grup chat rahasia berempat.




A/N

HOLLA. TENGKYU UDAH MENEMANI NULIS CERITA INI SAMPAI TAMAT. VOTE DAN KOMEN KALIAN MENYEMANGATIKUUUH.

POV Trinda yang diomelin Bude Hari udah ada di Karyakarsa, ya. Komen aja di baris ini, nanti kupilih 20 yang beruntung, bakal ku dm kode voucher biar bisa baca gratis.

[EDITED 3/13/23 VOUCHER UNTUK EXTRA CHAP TRINDA'S POV SUDAH SELESAI DIKIRIM]


Extra Chapter? Tenang, udah aku list request kalian dan bakal aku up di Karyakarsa secepatnya tanpa pemberitahuan lagi di lapak ini, jadi kalian langsung cek secara berkala aja di KK langsung. Yang mau voucher juga, komen aja di extra yang kalian mau di bawah ini.

1. Proses balikan dan pacaran halal sambil nunggu Ijab

2. Kondangan 7 hari 7 malem di Magelang

3. Honeymoon, wqwq.


Ada request extra chapter yang lain? Isi di sini ya:

Tengkyuu. Sampai ketemu di cerita on going selanjutnya.



EDITED [1/4/2024]: Extra chapter 1-5 udah tersedia di Karyakarsa



Continue Reading

You'll Also Like

All in All By Hai You

General Fiction

30.1K 820 16
Tenica pemilik WO yang selama ini selalu profesional. Suatu hari, dia bertemu klien bernama Nuca yang membuatnya emosional. Hingga suatu momen, membu...
915K 52.3K 53
BELUM DIREVISI. "Suutttt Caa," bisik Caca. "Hem?" jawab Eca. "Sttt Caa," "Apwaa?" Eca yang masih mengunyah, menengok ke samping. "Ini namanya ikan ke...
92.7K 9.1K 46
Natasha Vienna (Wina), seorang mahasiswi baru yang tengah bersemangat menjalani awal kehidupan kampusnya. Bertekad untuk memiliki banyak teman dan be...
291K 29.6K 28
Secuil kisah ajaib bin menarik dari keluarga mapia Papi Rion Kenzo dan Mami Caine Chana beserta tuyul-tuyulnya. YES THIS STORY CONTAIN BXB!