Aksara Senada

By ndaquilla

1.9M 248K 13.4K

Mereka pernah bersama. Membangun rumah tangga berdua, sebelum kemudian berempat dengan anak-anaknya. Bahagia... More

P R O L O G
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Empat
Dua Puluh Lima
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan
Dua Pulun Sembilan
Tiga Puluh
Tiga Puluh Satu
Tiga Puluh Dua
Tiga Puluh Tiga
Tiga Puluh Empat
Tiga Puluh Lima
Tiga Puluh Enam
Tiga Puluh Tujuh
Tiga Puluh Delapan
Tiga Puluh Sembilan
Empat Puluh
Empat Puluh Satu
Empat Puluh Dua
Empat Puluh Tiga
Empat Puluh Empat

Dua Belas

46.5K 5.5K 342
By ndaquilla

HALLO, aku cuma mau ngasih tau yess, kalau dibagian bawah nnti ada flashback. Biar kalian gk tiba2 bingung aja

Happy reading yaaa

Angin sejuk dapat membuai gerah dari rasa panas yang menyiksa. Namun, angin badai yang mengamuk membuat porak-poranda seluruh bangunan yang dibangun lewat tetes air mata. Aksa begitu terampil menekan emosinya. Ia teramat mahir bila harus pura-pura tertawa. Jadi, saat takdirnya tiba-tiba berubah, ia siasati hatinya yang remuk redam dengan wajah bahagia.

Ia baik-baik saja di depan mereka.

Ia tertawa saat ada yang melempar lelucon tentangnya.

Namun hal itu hanya ketika ia berada dalam lingkup yang ditonton banyak pasang mata. Selebihnya, ia terlalu gemar termangu dalam ruang hampa yang menyandra kepala. Tak sanggup mengikhlaskan semua yang telah pergi, ia simpan segala kenangan itu dengan sesal abadi.

"Pernah nggak sih, sekali aja, Ayah ngebayangin hidup bareng kami?"

Sering.

Pertanyaan itu buatnya segera menoleh pada sang putra. Wajah mereka bisa saja sangat mirip. Alis lebat putranya nyaris menyatu. Dalam keadaan tidur seperti ini, Oksata Altherio adalah perwujudan dirinya dalam versi yang lebih muda.

"Sekali aja, Ayah pernah nggak ngebayangin sebahagia apa kita kalau sama-sama?"

Cengkramannya pada kemudi mengerat.

Padahal dulu, tak pernah sekalipun ia pernah membayangkan sebuah perpisahan.

Bercerai dari Nada adalah sebuah kemustahilan. Ia tak mungkin rela melepas wanita itu di saat ia sendirilah yang jatuh bangun tuk mengejarnya.

"Kerupuknya tinggal satu."

"Ya, udahlah, sekerupuk berdua."

Nada mencibir, sementara Aksa tertawa.

Aksa menerima sepiring nasi yang disodorkan padanya. Meletakkannya terlebih dahulu di karpet, sebab ia perlu membantu Nada supaya duduk di depannya. Wanita itu sudah sukar sekali melakukan aktivitas-aktivitas sehari-hari. Perut bundar berisi dua janin tersebut, semakin terlihat bulat di usia delapan bulan ini.

"Wuiih, bayam lagi ...!" seru Aksa setelah ia menjatuhkan atensi pada lauk yang berada di atas piringnya.

"Omongan kamu tuh jatuhnya sarkas lho," cebik Nada sebal.

"Ah, masa?"

"Iyalah!"

Aksa tergelak. Ia meraih sendok dan memberikan suapan pertamanya pada Nada. "Makan yang banyak, ya?" ucapnya sambil menatap wanita itu lekat. "Nggak apa-apa hari ini makan bayam dulu. Yang penting, besok bayam lagi. Lusa, bayam lagi."

"Mas, ih!"

"Lho, itu pujian. Namanya juga akhir bulan. Nanti kalau udah gajian baru kita makan enak lagi."

Air matanya mengalir di pipi.

Dengan rahang mengerat, ia berusaha mengatur napasnya pelan-pelan. Menghapus air mata supaya tak ada jejak kesedihan yang tertinggal. Aksa teramat menyadari anak-anaknya sudah kritis dalam mengomentari banyak hal sekarang ini. Dan dirinya, sedang tak ingin anak-anaknya mengkritisi rasa sesalnya.

"Kenapa sih, Ayah sama Bunda sama aja?"

Tergagap, Aksa tak siap karena ternyata putranya telah terjaga. "Oh, Abang udah bangun?" menepikan keterkejutan ia lempar senyum lebar. "Minum dulu, Bang," ia meraih satu botol air mineral dan menyerahkannya pada sang putra.

Oka memang menerimanya, namun ia belum ingin membukanya. Ia masih ingin menatap ayahnya itu lamat-lamat. "Kenapa Ayah sama Bunda selalu pendam semuanya?"

Menatap anak gadisnya dari spion tengah, Aksa menghela karena rupanya Lova pun mulai terjaga. Sambil mengembuskan napas, ia bagi perhatian pada jalanan juga anak-anaknya. "Kenapa, ya, kira-kira, Bang?" responnya terhadap pertanyaan yang tadi dilempar putranya. "Hm, karena mungkin ada beberapa hal yang lebih baik dipendam sendiri," ujarnya berpura-pura santai. "Eh, sebentar lagi kita sampai nih," ia berusaha mengalihkan pembahasan. "Bunda sama Kakek mau dibeliin makanan nggak, Bang? Atau Adek udah laper lagi belum, Nak?"

Si kembar kompak tak menjawab.

Dan Aksa sudah terbiasa.

"Kenapa Ayah milih nikah lagi?"

Deg.

Pertanyaan Oka membuat Aksa pias.

"Apa karena tante itu lebih kaya?"

Hal itulah yang membuat Oka teramat kecewa.

Itulah yang membuatnya membenci ayahnya.

Awalnya, ia hanya tahu bahwa kedua orangtuanya sudah berpisah. Ia tidak tahu alasan dibaliknya. Karena bunda tak pernah mengatakan apa-apa. Mungkin bagi bunda, mereka masih terlalu kecil untuk tahu urusan orang dewasa.

Namun, sepertinya bunda lupa bila mereka hidup bertetangga. Perkataan-perkataan ibu-ibu di sekitar rumah, tentu saja sampai ke telinga mereka.

"Bundamu kok nggak mau nikah lagi, sih, Ka? Padahal bundamu itu masih muda lho. Masa bundamu kalah sama ayahmu. Denger-denger, gitu cerai ayahmu langsung nikah, ya, Ka?"

"Eh, jadi kalian udah pernah ketemu sama istrinya ayah kalian?"

"Dulu tuh, bundamu kan dicerai gara-gara ayah kalian mau nikah lagi."

"Ya maklumlah wong sugih, pasti maunya besanan sama wong sugih juga. Kakek sama nenekmu 'kan, kere. Makanya, ayahmu nikah lagi sama yang lebih kaya."

"Bundamu dulu nyaris dimusuhi orang sekampung, Ka. Gara-garanya, bundamu ngelaporin anaknya Pak Kades ke polisi."

Bunda masih berada di kantor kala omongan-omongan tetangga didengar mereka. Lova yang lebih sering mendengarnya. Tak jarang adiknya itu pulang bermain dalam keadaan menangis. Ia diejek gara-gara ayah dan bundanya berpisah. Dicela karena ayah mereka menceraikan bunda karena ingin menikah lagi.

Begitulah orang-orang bergosip.

Dan mereka berdua menanyakan hal tersebut kepada sang nenek. Karena hanya ada nenek yang berada di rumah ketika siang.

"Nek, apa bener, ayah udah nikah lagi?" suatu hari Lova pulang sambil menangis. Langsung mengadu pada neneknya dengan wajah sembab. "Mamanya Ria bilang gitu, Nek. Kemaren juga waktu Adek beli garam di warung, Bu Fira pernah ngomong gitu. Apa iya, Nek?"

"Iya. Ayahmu memang nikah lagi. Makanya, kalian jangan ngelawan sama Nenek. Nurut sama Nenek. Kalau kalian bandel-bandel, nanti Nenek anter kalian ke istrinya ayah kalian, mau?"

"Nek, kenapa ayah cuma datang setahun sekali, Nek? Kenapa ayah nggak pernah datang waktu lebaran?"

"Karena hari lebaran ayah kalian itu, dihabiskan sama keluarganya. Mungkin, dia nggak mau anaknya yang di sana cemburu."

Bunda tidak pernah mengatakan apa-apa.

Bunda selalu bilang, ayah terlampau sibuk bekerja hingga tak bisa menemui mereka sering-sering. Bunda selalu berkata, ayah bekerja demi mereka. Bunda tak pernah sekalipun menyalahkan ayah.

"Ayah sayang sekali sama kalian."

Lalu, apa ayah sudah tidak sayang lagi pada bunda?

Itulah pertanyaan yang selalu ada di kepala Oka. Bila konsep hidup bersama adalah saling menyayangi dan mencintai. Berarti, ayah tak lagi sayang dan cinta bunda. Buktinya, ayah rela berpisah dari bunda.

"Kenapa Ayah ngelakuin itu?" tuntut Oka. "Kenapa Ayah harus sejahat itu sama Bunda? Bunda nungguin Ayah. Bunda selalu setia sama Ayah. Tapi kenapa, Ayah khianatin Bunda?" cercanya terus.

Mereka tumbuh di lingkungan yang bertetangga.

Mereka besar dengan mencerna apa yang orang lain ucap tentang ayah dan ibunya.

"Ayah nggak pernah ngekhianati Bunda, Bang," Aksa tak membela diri. Tetapi hal itu murni dari hatinya. Ia hanya mencintai Senada Anulika. Mahasiswi hukum yang kerap sekelas dengannya sejak tahun pertama. "Ayah nggak pernah khianati Bunda," matanya berembun dan tegukannya pada ludah terasa menyayat nadi. "Cuma Bunda, Bang," bisiknya menguatkan diri. "Cuma Bunda."

Aksa menghentikan laju mobilnya tepat di depan rumah milik sang mantan mertua. Tempat ini masih sama seperti tiap kali ia memulangkan anak-anaknya di hari ulang tahun mereka.

Sunyi.

Senyap.

Dan gelap.

Namun kali ini, tampaknya ada yang berbeda. Sosok wanita yang sebelumnya enggan bertemu dengannya, sekarang tengah berdiri cemas di teras. Jantung Aksa berdegub tanpa mampu ia cegah. Matanya terus menyorot sosok itu. Tak sabar ingin melihatnya dari dekat. Rambut panjang yang dulu terbiasa tergerai di kelas pagi, kini tampak tercepol tinggi. Bahu kurusnya terlapis cardigan biru tua. Tidak seperti dulu yang kerap mengenakan kaus serta celana jeans panjang, malam ini, tubuh tersebut berbalut daster sepanjang betis. Netra bundar yang dulu memancar begitu hidup, kini menatap begitu risau.

"Nada ..."

Dan ketika ibu dari anak-anaknya berjalan menghampiri, Aksa tahu hatinya tetap menggigilkan pilu.

Sumpah, ia rindu.

Pada satu-satunya wanita yang selalu memberinya cinta yang utuh.

***

Hari itu ....

Sinar matahari begitu terik menyengat. Bola raksasa yang menyinari dunia tampak berkuasa atas manusia-manusia yang mendiami semesta. Memancarkan panas. Memberi efek luar biasa bagi yang nekat terus berdiri di bawah kuasanya.

Para mahasiswa baru fakultas hukum, berdiri gelisah. Dengan kemeja putih yang telah basah oleh keringat, kaki-kaki yang terbalut celana hitam itu pun menuntut istirahat. Namun sayang, panitia ospek di depan sana terus saja mengoceh. Mengatakan banyak sekali omong kosong yang tidak ada habisnya.

"Woy! Yang paling belakang ngapain, woy!!"

Aksa yang merasa dirinya juga berada di barisan paling belakang sontak saja ikut menjadi pusat perhatian.

"Kalian ngapain ngumpul-ngumpul gitu?! Woy! Cewek-cewek!"

"Ada yang mimisan, Bang!" sahut salah satu dari kerumunan perempuan yang memang mengerubung di barisan belakang.

"Ada juga yang udah mau pingsan, Bang! Mukanya pucet banget!" seru yang lain tak kalah heboh.

"Ya, udahlah! Cepet bawa ke ruang kesehatan!"

Aksa hanya menatap sekilas saja.

Sumpah, ia tidak tertarik.

Namun, ada satu hal yang mengganjal penglihatannya. Di antara kerumunan heboh itu, ada satu perempuan yang berdiri di tengah-tengah dan tampak tak terganggu dengan kehebohan yang lain. Bahkan ketika dua mahasiswi baru itu di bawa oleh beberapa orang panitia ospek, gadis itu juga tak menoleh. Wajahnya yang bersimbah keringat hanya menatap ke depan. Seolah-olah, ada pemandangan menarik di depan sana.

"Hey?" Aksa yang sudah merasa lidahnya gatal akibat terlalu lama diam pun mulai usil. Ia memanggil gadis itu. "Woy," ingin berteriak juga seperti panitia sok oke tadi. Namun, ia malas menjadi perhatian. "Kuncir dua," ia tidak tahu nama gadis itu. Hanya memanggilnya berdasarkan rambutnya yang diikat dua saja.

Gadis itu menoleh. Wajahnya tampak galak. "Apa?" sahutnya ketus.

Aksa menunjuk saku roknya yang terlihat mengantongi bungkusan tisu kecil. "Lo punya tisu. Kenapa nggak lo kasih ke temen-temen lo tadi?"

"Mereka nggak minta."

Hah?

Aksa melongo.

Sementara gadis itu langsung melengos.

Merasa lucu dengan jawaban tersebut, Aksa terpingkal tanpa sadar. Bisa-bisanya ada gadis secuek itu. Entah karena cuek atau memang tidak peduli.

"Woy! Itu siapa lagi yang ketawa?! Kesurupan apa gimana?!"

"Iya, Bang, Maaf!" Aksa malah menjawabnya sambil meneruskan tawa. Mencoba meredam, ia menutup mulut dengan sebelah tangan. Hal itu malah membuat bahunya bergetar. Akhirnya ia kembali tak tahan. Ia keluarkan lagi kekeh kecil yang resmi menjadi pusat perhatian.

"Ah! Berisik banget lo! Maju sini!"

Aksa kontan terdiam. Mulutnya pun terkatup rapat. Ia benci bila sudah begini. Sambil berdeham, ia coba kembali tenang. Namun desakan di depan sana membuatnya yang masih berstatus mahasiswa baru hanya bisa menghela. Lalu, ekor matanya mengarah pada gadis ketus tadi. Seringainya terbit segaris, sebelum kemudian ia mengangkat tangan tinggi-tinggi. "Boleh bawa temen, Bang?!" tanyanya berteriak.

"Temen ape? Temen hidup?!"

"Temen yang bikin saya keserupan barusan!"

Dan gadis itu langsung menoleh. Matanya memancarkan aura permusuhan. "Jangan aneh-aneh," desisnya memperingatkan. Di lehernya menggantung karton bertuliskan nama Landak. Rambut kuncir duanya dibalut oleh sedotan berwarna merah dan hijau. "Jangan bikin masalah."

Tetapi Aksa tak ingin ke depan sendirian. Toh, ia merasa tawanya tadi tercipta berkat andil gadis itu. "Gimana, Bang?!"

"Wah, makin nggak bener aja maba-maba sekarang?" gerutu Edgar—sang panitia. "Ya, udah, bawa sini temen lo! Gue mau lihat beneran bisa bikin kita-kita kesurupan juga apa nggak!"

"Oke!"

"Jangan macam-macam!" ancam gadis itu dengan mata melotot.

"Lha, lo nggak denger kita dipanggil ke depan?" sahut Aksa santai.

"Hey! Ngapain lagi lo berdua?! Buruan elah! Malah pacaran! Buruan woy! Nggak tahu panas nih, panas!"

"Nah 'kan?" Aksa menatapnya pongah. "Lo milih jalan sendiri atau dijemput mereka di sini?" tantang Aksa sembari menaik-turunkan alisnya.

Mendecih sinis, gadis itu terpaksa berjalan ke depan. Diikuti banyak pasang mata yang menatap mereka sinis. Bukan apa-apa, semuanya sudah teramat lelah. Harusnya mereka bubar sebentar lagi. Tetapi, gara-gara ada saja yang membuat ulah, mereka pun harus bertahan lebih lama lagi di bawah terik yang menyengat ini.

"Nama siapa?!" todong Edgar begitu kedua maba tersebut berada di depannya.

"Siap, Bang! Aksara Bhumi Alfath!" Aksa menyebutkan nama lengkapnya.

"Alasan masuk fakultas hukum?" tanya panitia yang lain mulai tertarik. Pasalnya, maba tersebut tampak sangat familiar.

"Disuruh nyokap, Bang," jawab Aksa jujur.

Mahasiswa lain sontak tertawa mendengar jawabannya.

"Halah, adeknya Akhtar ternyata," sahut Edgar berdecih. "Adeknya Akhtar, woy!" ia memberitahu yang lain. "Pantesan nggak ada takut-takutnya," decaknya sebal. "Minggir lo!" ia menyuruh pemuda itu untuk menyingkir. "Nah, kalau lo siapa?" telunjuknya gantian mengarah pada mahasiswi tanpa senyum itu. "Iparnya Akhtar?"

"Siap! Bukan, Bang!"

"Jadi?"

"Nama saya Senada Anulika, Bang!"

"Alasan masuk FH?"

"Karena dapat beasiswa dari LBH Kasih Perempuan, Bang."

"Eh?" Aksa menatap gadis itu lebih lekat. Ia sangat mengenal nama Lembaga bantuan hukum itu. Dan seingatnya, Lembaga tersebut sangat jarang menggelontorkan dana demi memberi beasiswa pendidikan. Biasanya, dana-dana yang masuk ke Yayasan, lebih sering disalurkan pada target-target yang membutuhkan.

Seperti, anak-anak terlantar korban perceraian. Atau, membukakan usaha untuk wanita-wanita yang baru saja bercerai dari suaminya setelah proses yang panjang. Para korban KDRT yang tak lagi diberi nafkah karena memilih kabur dari suaminya. Pemulihan untuk gadis-gadis korban pemerkosaan. Bahkan bila ada yang mengandung akibat tindak asusila itu, Lembaga yang didirikan ibunya tersebut pasti akan ikut andil dalam memberi bantuan hingga melahirkan.

"Oh, LBH nyokap lo 'kan?" tembak Edgar pada Aksa.

Aksa mengangguk. Dan perempuan itu pun tampak kaget dengan informasi yang baru saja didapatnya.

"Kalau boleh tahu, apa yang ngebuat lo bisa dapat beasiswa di situ?" tanya Aksa penasaran.

Gadis yang akrab dipanggil Nada itu, sontak memandang tak suka. Tetapi, karena nyaris semua yang berada di lapangan ospek ini tampak menunggu jawabannya, ia pun terpaksa mengembuskan napas pelan. "Saya menjadi saksi kunci dari sebuah kasus pemerkosaan di daerah tempat tinggal saya."

Dan itulah yang membuatnya nyaris menjadi musuh bagi semua warga kampungnya. Berkat kesaksiannya, ia dituding sebagai dalang yang menjebloskan anak kepala desa sekaligus orang paling kaya di sana ke dalam penjara. Juga, memutus mata pencarian kedua orangtuanya yang sebelumnya bekerja mengurus lahan si kepala desa.

Aksa tak berkedip memandangnya.

Pelan-pelan, tatapnya menelisik. Netranya tahu, gadis itu menarik.

Bagai benang merah yang menjuntai, Aksara Senada pun dimulai.

*** 

Aku tuh paling suka kalimat terakhir di part iniii,  apaa yaa kayak mendeskripsikan diriku yg sesungguhnya gitu hahaha
"Aksara Senada pun dimulai."
Ahaaii begete yesss

Yg masih bingung, kenapa mereka cerai. Jawabannya udah jelas lhoo, semua karena AKU. Mereka harus cerai, supaya aku bisa ngerangkai kisah yg berdarah2 hahaha

Continue Reading

You'll Also Like

1.8M 86.5K 55
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
2.8M 299K 50
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...
2.9M 204K 36
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
16.9M 747K 43
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...