Mail mimpi pindah ke Bali, ke sebuah rumah sederhana bernuansa tropis dekat pantai.
Nggak tahu pantai mana, pokoknya sepi dan berpasir putih, yang ombaknya kece banget untuk dipakai surfing.
No woman around. Just a big white doggo.
Ofc, 'no woman' dalam kamus Mail bukan berarti benar-benar nggak ada, melainkan nggak ada yang 'official'.
What a life, no?
He used to fantasize about living a life free of drama. Tidak terikat komitmen dengan manusia manapun. Tidak membiarkan siapapun mengikis kebebasan dan kebahagiaannya dengan berbagai ekspektasi. Meminimalkan masalah seminimal-minimalnya.
Kalau kata netizen, keinginan seekstrem itu adalah manifestasi dari kepahitan hidup yang dia alami di masa silam. Dan kata mereka pula, nanti lama-lama juga berubah pikiran.
Well, mereka sotoy.
Walau ucapan tersebut valid berdasarkan pengalaman pribadi mereka, tapi yang valid bagi mereka belum tentu valid bagi orang lain. Dan dalam piramida sifat buruk manusia, sotoy ini Mail klasifikasikan sebagai deal breaker pertama.
Berisik, anjing. Bermanfaat enggak, bikin budek kuping doang buat apa?
Tentu, jalan pikiran manusia itu dinamis. Keinginan dan pandangan bisa berubah-ubah seiring pengalaman. Menjilat ludah sendiri juga harusnya bukan sesuatu yang memalukan. Sebaliknya, merupakan pertanda bahwa pengetahuan dan kebijaksanaan kian bertambah.
Tapi, balik lagi ke atas, menggurui dan mengivalidasi perasaan, pengalaman, pandangan, atau keputusan orang lain tuh enggak banget!
Manifestasi kepahitan hidup? Duh. Gimana kalau menurut Mail harapannya yang nyeleneh bagi kebanyakan orang itu hanya salah satu dari sekian pilihan yang menurutnya masuk akal? Nggak perlu bernasib malang dulu untuk memilih hal yang berbeda dari keinginan orang kebanyakan.
Lama-lama berubah pikiran? Yeah, he did. Tapi jelas bukan karena omongan netizen maha benar. Sampai sekarang pun dia masih merasa nggak ada yang salah dengan jalan pikirannya di masa silam. Yang membuatnya berubah haluan adalah kapasitasnya dalam menoleransi masalah, menoleransi invasi orang lain dalam hidupnya, jadi makin besar. Dan itu adalah satu-satunya alasan, alih-alih berada di Bali sekarang, dia malah berada di Park Hyatt, dengan satu-satunya perempuan yang dia 'toleransi' untuk mengusik kebebasan dan ketenangan hidupnya, menunggu matahari meninggi melalui floor to ceiling window di seberang tempat tidur mereka.
"Mau turun sarapan jam berapa?" Perempuan kesayangannya itu bertanya dalam pelukan Mail, memaksa Mail move on dari mimpi yang sedang dia ingat-ingat.
"Hmm ...." Wangi ginger yang manis tercium dari helaian rambut Trinda, memanjakan penciuman Mail. Cowok itu kemudian balik nanya sebagai bahan pertimbangan, "Bapak ibumu flight jam berapa?"
Mail bebas hari ini, nggak ada agenda apapun. Jadi kenapa bukan dia saja yang mengantar mereka ke bandara?
"Jam satu."
"Bilangin, aku yang nganter ke bandara."
"Tapi aku nggak bisa nemenin. Ada meeting sama Mamanya Saga siang ini."
"Oh?" Sebelah alis Mail terangkat sedikit. "Masih kerja aja? Aku udah minta Iis nge-cut kamu dari project yang lagi jalan lho."
"Terakhir." Trinda meyakinkan. "Masa aku mau cabut nggak pamitan? Nanti klienku nyariin."
"Oke. Aku nganter sendirian nggak apa-apa."
"Yakin?" Sepasang mata cantik itu mencari-cari miliknya.
"Yakin." Mail mengangguk mantap.
Memang, kalau perginya tanpa Trinda, sudah bisa dipastikan perjalanannya nanti akan awkward dan terasa menyiksa. Tapi, Mail nggak bisa terus-terusan mengiyakan permintaan Bude untuk menjaga jarak, kan? Makin jauh jarak membentang, makin nggak tercipta kesempatan untuk saling mengenal dan memahami.
Dengan Mail ngotot pedekate, Bude mungkin akan merasa kesal. Tapi kalau nggak dipaksa, bisa-bisa restu hanyalah fatamorgana.
"Oke kalau gitu." Trinda memberi senyum paling manis sedunia sebelum kembali memejamkan mata di dadanya.
~
Mail berhasil mengantar orang tua Trinda tiba satu jam sebelum jadwal keberangkatan. Tapi karena macet tadi bikin ngantuk, Bude Hari mengajak Mail nyari kopi dulu.
Meski nggak diucapkan secara gamblang, baik Mail maupun Pakde sudah tahu bahwa Bude ingin bicara empat mata dengan Mail. Karenanya Pakde memutuskan tidak ikut, pilih menunggu koper.
Nervous? Tidak. Mail sudah ada di titik nggak akan pakai hati, apapun yang dikatakan Bude nanti.
"Single shot? Less ice?" Mail memastikan pesanan Cafe Americano Bude ketika tiba antrean mereka di counter salah satu kedai kopi bandara, dan Bude mengiyakan.
Beberapa menit kemudian, mereka sudah duduk dengan kopi masing-masing di meja dekat pintu.
"Udah check out dari Park Hyatt?" Pertanyaan pertama Bude harusnya bikin jantungan, tapi Mail sudah siap mental.
Cowok itu mengangguk. "Sudah, Bude."
"Ini terakhir ya, Mas."
Suara Bude serak. Beliau menyesap es kopinya sesaat, dan Mail sabar menunggu. Memutuskan tidak bertanya.
"Dek Trinda udah cukup bikin Bude pusing. Bude nggak bisa nerima calon mantu yang ngiyain aja maunya Trinda, padahal udah jelas-jelas salah ...."
Ugh. It hurts.
Mail tersenyum miris. Tapi masih ingin mendengarkan kelanjutannya.
"... Padahal tadinya Bude optimis kalian berdua bisa menghormati proses sampai semua orang bener-bener yakin dan legowo nerima kalian, tapi ternyata nggak bisa. Percuma Bude ngasih syarat ini itu, janji kalian nggak bisa dipegang. Bude kecewa. Ya sudah, mending kita putusin sekarang aja."
Satu tarikan napas panjang diambil Bude, berkebalikan dengan Mail yang dari tadi menahan napas.
Bude melanjutkan dengan wajah tenang, "Mohon maaf, Bude nggak bisa terima hubungan kalian. Tentu aja Bude bukan nyalahin Mas, karena nyatanya Trinda memang belum pantes menjalani hubungan serius. Trinda masih butuh banyak belajar, dan itu tanggung jawab Bude."
Mail cuma bisa bengong saking nggak bisa memutuskan harus bereaksi bagaimana. Dia kalut.
"Bude sendiri yang akan bilang ke Trinda. Biar Trinda ributnya sama Bude, Mas nggak perlu ikut menanggung."
Final.
Menusuk hati dan kuping. Tapi Mail tidak terkejut.
Sejak awal memang sudah tipis kesempatannya.
Dengan ketenangan yang sama, cowok itu berusaha mencerna. Tak lama kemudian dia mengangguk-angguk paham. "Baik, saya menghormati keputusan Bude. Tapi ada satu concern saya." Dia menghela satu napas panjang, mencari susunan kalimat yang pas. "Trinda nggak punya support system dalam hal akademik. Bude pasti sudah tau kalau teman-temannya sudah pada lulus dan sibuk dengan urusan masing-masing. Bahkan kemarin Trinda sempro nggak bilang siapa-siapa." Dia menarik napas lagi. Agak perih. "Dan bahkan, waktu sempronya ditolak dan harus mulai dari awal lagi, dia kabur sendirian ke Park Hyatt. Seharian dia nggak mau dikontak, nangis di kamar sendirian. Saya nggak bermaksud menjustifikasi kesalahan saya, karena gimanapun juga tetep salah. Cuma, ya itu tadi, supaya bisa jadi concern Bude juga."
Case closed.
Mail telah didepak.
~
Balik dari bandara, cowok yang lagi patah hati itu pergi ke Tribuana. Melunturkan rasa sesaknya ke dasar kolam yang katanya berkedalaman 16 meter. Terus karena FOMO, kelar latihan dia ikut-ikutan PO long fins keluaran terbaru, yang nggak tau kapan bakal terpakai, karena dive trip kalau cuma sehari-dua hari jelas dapet capek doang.
Balik ke apart, hari sudah gelap dan tulang-tulang seperti mau rontok semua.
Dia berencana mau langsung tidur dan bangun agak siangan di hari Senin.
But ... his girlfriend is already there. Standing behind the messy stove island.
"Aku bikin steak lagi. Maap, steak mulu, ngidam banget soalnya." Tu cewek meringis. Secara keseluruhan, wajah dan suaranya sudah hampir kembali riang setelah mental breakdown Jumat kemarin.
Tapi sekarang giliran Mail yang diterpa kemalangan.
"Steak is fine." Mail berjalan melewati dapur. "Wine?"
"Yes, please."
Cowok itu lalu mengambil sembarang wine yang sudah dibuka di cellar. Lalu mengambil dua gelas dari rak.
Dia duduk di salah satu bar stool. Minum duluan sembari memperhatikan Trinda menyajikan baked potato ke piring.
"Tadi aman, Mas? Nggak sampe telat?" Trinda nanya sambil memasukkan daging ke pan yang sudah berasap.
"Aman. Sejam sebelum flight udah nyampe sana."
"Great, then."
Tentu saja Mail nggak berusaha menghidupkan obrolan.
They'll break up in no time. Jelas rasanya serba salah kalau mau bersikap manis, seolah nggak terjadi apa-apa.
Lima menit kemudian, dua potong daging sudah diletakkan dalam piring masing-masing. Medium rare, as usual.
"Senin siang aku ke Depok." Trinda membuat pengumuman.
Mail mengangguk. "Biar dianter Oscar, ya?"
"Oke."
"Butuh bantuan buat packing?"
"Enggak. Baju di Depok banyak. Aku bawa printer aja paling. Printer yang di sana lama nggak kepake, nggak keluar tintanya."
Sekali lagi Mail mengangguk sebagai sahutan ala kadarnya.
Karena Trinda sudah memasak, selesai makan Mail menawarkan diri untuk mencuci piring.
"Oke." Trinda tersenyum girang, mendorong tumpukan piring mereka berdua ke arah Mail. "Aku mau mandi kalau gitu."
And she'll sleepover, Mail nggak bisa bilang enggak.
"Mas ... when was the last time I had my period?"
Nggak ada angin nggak ada hujan, cewek itu muncul di ruang tamu dengan handuk membebat kepala, dengan pertanyaan yang seketika menggagalkan Mail dari usahanya memejamkan mata di sofa.
"Your period?" tanyanya memastikan tidak salah dengar, dengan kepala agak kliyengan karena mendadak dipaksa melek. "Like a month ago? Waktu tamponmu hilang."
Trinda mendekat dengan gelisah, dan Mail segera mencari-cari ponsel yang ternyata dia duduki. Kemudian membuka kalender menstruasi Trinda yang sengaja di-install di HP mereka berdua.
"I haven't got it this month." Muka Trinda pucat.
Mulai connect dengan arah pembicaraan ini, jantung Mail berhenti berdetak seketika.
Otaknya tiba-tiba blank.
Butuh beberapa saat baginya untuk kemudian mendapatkan kembali kesadarannya.
"Okay, catch your breath." Mail meraih tangan pacarnya itu dan menggenggamnya, membantunya mengatur napas. Kemudian dia memfokuskan pandangan ke layar ponsel. "Yes, Babe. Looks like you have been late for more than a week. Tapi tenang dulu. Nggak perlu panik. Aku orderin testpack sekarang."
"Aku takut, Mas ...." Sepasang mata Trinda memerah, sudah hampir menangis.
Jujur, Mail ingin ikut menangis melihat kepanikan pacarnya. Perutnya sendiri mulai bergejolak tak nyaman, membayangkan hal-hal tak terduga akan segera terjadi.
Tapi dia segera ingat perannya.
Dia rengkuh perempuan itu dan tepuk-tepuk pelan punggungnya. Sadar nggak ada kalimat apapun yang punya kemampuan untuk menenangkan pacarnya itu saat ini, dia biarkan saja Trinda menangis sampai lega.
~
Mail mengulurkan cup plastik ke pacarnya. "Bisa sendiri?"
Trinda mengangguk.
Mail menggenggam tangan perempuan itu sekali lagi sebagai dukungan, kemudian membiarkannya masuk ke kamar mandi.
Cukup lama Mail menunggu, membuat anxiety-nya meroket sampai atap. Sampai kemudian Trinda memanggilnya.
Ketika Mail menyusul masuk, wajah perempuan itu sudah banjir air mata.
Mail menghampirinya dengan cepat. Langsung merengkuh sang perempuan begitu jumlah garis pada testpack di tangannya tertangkap matanya.
Dua.
Great God, she's pregnant.
PS. Yang dalam hati pengen protes kalo partnya gak ada manis2 dan ngakaknya, gw gampar onlen nih! Udah mau tamat ya saatnya konflik atuh. Kalo mau yang ngakak, ya ntar kapan2 w bikinin extra chapter lagi.