Forestesia | Pribumi dan Penj...

Oleh Adel_Aidan

3.1K 577 144

🍁Teen-Lit - Fantasy - Minor Romance🍁 Aku manusia robot, kata Anna. Ucapannya salah, padahal yang manusia ro... Lebih Banyak

🍁I : Tugas Prakerin (a)🍁
🍁I : Tugas Prakerin (b)🍁
🍁I : Tugas Prakerin (c)🍁
🍁II : Bumi Kedua dan Manusianya (a)🍁
🍁II : Bumi Kedua dan Manusianya (b)🍁
🍁II : Bumi Kedua dan Manusianya (c)🍁
🍁III : Apa Itu Ketakutan (a)🍁
🍁III : Apa Itu Ketakutan (b)🍁
🍁IV : Aduh, Sial (a)🍁
🍁IV : Aduh, Sial (b)🍁
🍁IV : Aduh, Sial (c)🍁
🍁V : Apa Itu Bahaya?🍁
🍁VI : Aku Adalah 'Bahaya' (a)🍁
🍁VI : Aku Adalah 'Bahaya' (b)🍁
🍁VII : Wah, Tugas Bonus Bernilai Tinggi!🍁
🍁 VIII : Ke Bumi Lagi (b)🍁
🍁VIII : Ke Bumi Lagi (c)🍁
🍁VIII : Ke Bumi Lagi (d)🍁

🍁VIII : Ke Bumi Lagi (a)🍁

104 20 3
Oleh Adel_Aidan

•Anna•

Orang tua Saga datang ke rumahku tepat setelah tirai malam terpasang di langit. Dan aku tertidur dari sore sampai pagi. Mereka tidak membangunkanku sama sekali. Itulah mengapa, aku sangat kaget mendengar keputusan Ibu dan Ayah ketika kami sedang sarapan.

"Ibu dan Ayah ikut aku ke Bumi?" ulangku tidak yakin.

"Radit juga ikut," tambah Ibu.

Radit berucap 'yeaaay' dengan suara parau—dia baru bangun.

"T-tapi kenapa?" Suaraku agak meninggi.

"Kami tidak bisa mempercayai siapa pun untuk menjagamu di sana, makanya kami putuskan kalau kamilah yang akan melakukannya," timpal Ayah dengan logat bicara cepat dan jelas seperti pak guru.

"Ibu dan Ayah tidak bisa begitu," kataku spontan. "Maksudku, kita akan pergi ke planet yang tidak kalian ketahui. Kalian akan syok berat."

"Kamu sama Radit pernah tinggal di sana sendirian. Tentu kami akan kaget, tapi kami akan segera beradaptasi." Ibu memukul kecil punggung tangan Ayah karena pria itu mengambil tempe goreng dengan tangan yang dia pakai untuk menyuap. Ibu pun mengambilkan tempe untuk Ayah dengan tangannya yang masih bersih. "Lagi pula, kami ras ganjil sudah terlalu sering berpindah-pindah tempat tinggal. Kami akan berbaur dengan cepat."

"Tapi," rengutku, kehilangan kata-kata untuk mengungkapkan argumen yang tepat.

"Kalian perlu keberadaan orang dewasa," kata Ibu mulai tegas. "Tiga orang anak remaja tidak bisa menjaga satu sama lain dengan benar. Ibunya Saga juga setuju kalau Ibu pergi, sekalian menjaga putranya."

Ada benarnya, sih ... tapi, harusnya Ibu bangunkan aku agar aku ikut bicara dengan kalian. Ini tentangku, kan?

Mungkin Ibu dan Ayah sudah tau kalau aku bukan orang yang berpendirian teguh. Yah, mereka benar. Aku memang biang masalah yang tak bisa menyelesaikan masalah sendiri dan selalu menyeret orang lain agar kesusahan juga. Mau sampai kapan pun, aku akan seperti itu.

Selalu begitu.

"Kalau kamu menjumpai Amara sebelum sore, langsung aja bilang keputusan Ibu padanya, ya?" kata Ibu. "Ini hari terakhir Ibu berladang sebelum pergi, jadi Ibu ingin mengerjakan lebih banyak hal sebelum meminta izin cuti. Ayah juga ikut bantu-bantu."

"Apa kamu berniat membawa sayur ke planet lain, Lya?" tanya Ayah. "Di sana pasti ada sayur juga, bukan begitu, Dit, Na?"

"Benar," kataku.

"Iya," balas Radit.

Ibuku menatap Ayah dalam diam. "Bukan itu. Intinya, Ayah juga ikut sama Ibu," tekan wanita itu.

Saat Ibu bangkit sembari membawa piring kotor sendiri, Ayah bergumam pelan pada kami. "Meskipun Ibumu yang mengambil keputusan nekat itu, dia sebenarnya sangat gugup." Ayah melirik Ibu sebelum lanjut berkata lagi. "Ayah tau kami sudah seenaknya, tapi kami peduli padamu. Ayah mohon, jangan merengut lagi tentang keputusan itu di depan Ibumu, ya?"

"Oke ...." Jadi, aku salah sudah menyuarakan pendapatku tadi?

Ibu dan Ayah pergi ke kebun seperti yang mereka ucapkan. Ibu memintaku untuk mencuci piring sementara Radit menjemur seprai dan selimut di balkon belakang.

Adikku menyelesaikan tugasnya dengan cepat dan dia bertanya sambil membantuku menyeka air di piring. "Kak Anna gak suka kalau kita pergi sama-sama ke sana?"

Desahan lelahku keluar. "Bukan gak suka. Lebih ke 'kaget', 'takut' dan 'risau'."

"Takut kenapa?"

"Di sana banyak hal yang gak mereka tau. Sudah begitu, kita akan pergi ke negara lain. Alhasil, ada kemungkinan aku tidak bisa membantu Ayah dan Ibu kalau mereka bingung."

Sebenarnya aku juga tidak tau pasti tentang apa yang kutakutkan, jadi hanya itu alasan yang bisa kusuarakan.

Radit mendengus singkat. "Kaaak, kak. Kenapa Kak Anna sama Ibu sama-sama suka overthinking ke hal yang gak perlu di pikirin, sih? Ibu sama Ayah bukan anak kecil. Dan kalau ada yang tidak kita tau, tinggal dicari tau."

"Tapi—"

"Tapi, tapi, tapi," ledek Radit dengan muka dan suara jelek.

Aku mencipratkan air keran ke adikku yang mengesalkan. "Iiih!"

Dia menghindar dengan mudah dan bangga.

Pintu rumah kami diketuk tiga kali. "Saga kali, ya? Semalam dia janji mau datang pagi-pagi," ucap Radit sembari melangkah ke pintu.

"Janji?"

"Iya, mau ngajak kita main sama Taro katanya." Kudengar pintu terbuka, lalu adikku bilang, "Pagi, Letnan Kai."

Aku seketika menoleh karena tidak percaya. Ah, benar. Laki-laki berkulit gelap itu tampak di depan Radit, memakai pakaian yang lain dari biasanya dan wajahnya terekspos—kaos hitam lengan pendek yang agaknya terlalu mencetak tubuh, celana bahan hitam yang longgar dan ujungnya dimasukkan ke sepatu bot hitam bertali setinggi setengah betis—.

"Masuk dulu, Letnan. Mau minum apa?" tawar Radit, mempersilakan tamu kami.

"Aku ingin teh saja, kalau tidak keberatan," balasnya sopan sembari duduk membelakangi pintu masuk.

Loh, dia kemari sendirian? Kak Amma mana?

Adikku bertanya. "Letnan ... pakai pakaian orang Bumi?"

Aku juga berpikir begitu.

"Pagi buta tadi Putri Amara dan aku hendak memesan tempat penginapan di sana, jadi kami bersiap-siap ke Bumi. Namun, Putri melarangku pergi setelah aku bersiap." Senyumnya terpasang sembari menghempas napas. "Dia bilang aku terlalu menarik perhatian. Ujung-ujungnya, prajurit kami yang pergi karena kami terus berargumen. Sekarang, Putri Amara berada di rumah Lofi. Dia memintaku menjemput kalian."

Dia bangga atau pasrah dipuji begitu?

"Aku aja sempat bingung tadi, 'wah, aktor dari mana ini?' gitu," canda Radit yang duduk tak jauh dari Letnan. "Kak, aku juga mau teh!"

"Ih, aku pikir kamu yang bikin," jengkelku, tapi segera meraih gelas batok bersih yang sudah kuseka dan menyiapkan teh herbal.

"Aktor?" ulang Letnan.

"Itu, tuh, orang yang dibayar untuk berlakon."

Letnan menimpali, "mungkin yang kamu maksud itu 'Wayang'? Orang-orang yang berperan menjadi tokoh dari kisah yang hendak disampaikan. Itu mata pencaharian orang-orang Aderida."

"Eh, begitu?" kagum Radit. "Berarti di Iredale tidak ada yang menjadi aktor?"

"Kami memandang pekerjaan itu terlalu rumit. Aku pribadi melihatnya seperti menipu orang."

Aku menyajikan teh di meja, duduk di sebelah Radit dan menyadari kalau Letnan juga memakai anting pipih bulat mirip cincin yang diameternya menyamai bagian bawah daun telinga sebelah kanan.

" ... apa Kak Amma yang menyuruh Letnan pakai anting juga?" tanyaku.

"Iya."

Gimana, sih, Kak? Seorang 'Letnan' didandani kayak 'preman'.

"Padahal Kakakmu terlihat puas melihat tampilanku, tapi dia tidak bilang apa-apa. Menurutmu bagaimana, Athyana?"

Aku mengerjap, memikirkan kata yang tepat untuk dilontarkan. "Bagus."

"Hanya 'bagus'?"

"Erm ... Sesuai." Kepalaku mengangguk-angguk lambat.

Manik biru Letnan masih terkunci padaku seolah menunggu aku melontarkan kata yang lain.

Tidak! Aku tidak mau! Aku malu!

"Oh iya, untung aku ingat!" ujar Radit. "Letnan, Ibu sama Ayah setuju sama saran Mbak Amma. Dengan syarat, Ibu, Ayah dan Aku juga ikut pergi ke Bumi bareng Kakak."

Letnan langsung terkalihkan. "Orang tua kalian ikut serta?"

"Mereka bilang 'tiga orang remaja mana bisa menjaga diri', begitu," ungkapku malas, meski ucapan Ibu memang benar.

Laki-laki itu terdiam sejenak. "Kalau begitu, Uta bisa dititipkan ke kalian nanti."

Alisku bertaut karena nama Uta mendadak terucap. "Kenapa?"

"Malam tadi, pihak otoritas planet Uta sudah menyetujui 'kerja sama' antara mereka dengan pihak Iredale dalam penangkapan Falcon. Mereka menetapkan Maza untuk menjadi prajurit selama misi berlangsung."

"Ha?" ungkapku dan Radit berbarengan.

"Memangnya Maza bisa?" tanyaku. Bukan berarti aku tidak menyangka, tapi dia dikirim untuk membimbing Uta, jadi aku rasa dia mungkin hanya di-setting untuk itu.

"Maza tidak jadi masalah. Selama dia patuh pada komandoku dan Putri Amara. Kami hanya risau kepada Uta yang jelas-jelas tidak paham akan 'bahaya'. Satu lokasi dengan kami tentu memungkinkan dia mendapat dampaknya, apalagi dari segi mental." Letnan menyesap teh yang hangat sampai habis, lalu bangkit dari duduk. "Sebaiknya kita segera bergegas dan memberitahu keputusan orang tua kalian ke Putri. Dengan begitu, kami bisa menentukan tempat aman untuk Uta."

Aku menyesap teh sejenak dan menyesal begitu lidahku tersengat panas. Tunggu, aku pikir tehnya tidak sepanas itu karena Letnan meneguknya sampai habis.

... ck, dia, kan, ras Api. Aku tidak terpikirkan sampai ke sana.

Baru saja kami turun dari tangga bambu, suara panggilan dari Saga terdengar dari beranda depan toko di seberang. "OOOI!"

"Berisik banget—" jengkelku.

Tiba-tiba tumbuhlah cabang pohon sequoia dari batang pohon utamanya, menebal dan memanjang sampai melewati batang pohon sequoia rumahku. Saga menyeberangi cabang pohon itu sambil berlari ditonton beberapa masyarakat. Seorang anak kecil bahkan jadi merengek minta dibantu naik ke cabang pohon itu oleh ibunya.

Saga melompat ke lantai kayu dekat kami, berlagak bangga. "Pagi!" sapanya. Kemudian dia dan Radit bertukar salam yang rumit dan cepat.

"Pagi-pagi udah berisik aja kamu, Ga," kataku, menyusul Letnan yang hendak menyeberangi jembatan gantung di depan toko guci.

"Kalau gak berisik, gak akan terdengar, kan?" lontar laki-laki yang kelewat tinggi itu.

Cabang pohon yang Saga kendalikan menyusut kembali ke tempatnya seolah dia tidak pernah tumbuh. Seperti biasa, si Peri melakukan itu tanpa harus mengatakan atau berbuat sesuatu.

"Mau ke tempat Lofi?" tanyanya.

"Iya. Mau membahas acara jalan-jalan kita ke Bumi." Radit tidak menyembunyikan rasa antusiasnya.

Saga bersuara kagum. "Enak, deh, kalian sekeluarga bisa pergi. Ayah sama Ibu aku udah gak mau ke sana lagi. Maklum, cinta planet sendiri."

"Mereka juga lagi sibuk, kan? Tempat les kalian lagi ramai. Sayang-sayang kalau cuti berhari-hari."

Si Peri mendecak. "Kami udah kebanyakan uang, kok."

"Maksudku anak-anak yang mau belajar di sana."

"Tinggal oper ke orang lain. Om Jo misalkan."

"Ngaco."

Mereka mendadak membicarakan kenangan bersekolah di Bumi dan teringat pada sekolah Nascombe yang sedang diusahakan untuk kembali beroperasi. Lalu mereka memperkirakan seperti apa pelatihan yang diselenggarakan oleh Iredale nanti.

Obrolan random mereka membuatku teringat pada Yuan. Dan aku kembali menyayangkan rusaknya persahabatan kami.

Aku juga ingin bersama sahabat baikku lagi.

Ruang depan rumah Lofi kali ini agak berantakan dari yang biasa kutemui—dipenuhi obeng, perangkat besi, dan lain-lain.

Si pemilik rumah sendiri sedang duduk mengangkat satu kaki. Alisnya naik sebelah menatap Maza sebelum menoleh pada kami dengan mata membelalak. "Siapa ... oh, Letnan."

Kak Amma berdeham. "Letnan, bukankah aku sudah bilang kalau ingin berganti pakaian, ganti saja?"

"Anda ingin aku membuang waktu untuk berganti pakaian dan ke sini lagi?"

" ... ya sudah, tidak perlu."

Kak Amma sendiri memakai gaun musim panas—agak mirip daster Nascombe—sepanjang lutut warna putih gading dengan area leher berpotongan kotak. Bagian lengan mengembangnya hanya menutupi setengah lengan atas. Surainya bahkan digerai begitu saja dan sangat cantik. Sungguh style yang berlawanan dengan Letnan.

"Kakak mau jalan-jalan apa mau menjalankan misi?" ejekku sambil duduk di sebelahnya.

"Tapi, cantik, kan? Oh iya, Kakak juga beliin buat kamu. Warna hijau pastel."

Mulutku menganga. "Mana, mana?"

Kakak mencubit batang hidungku yang tak begitu mancung. "Eits, itu untuk nanti, pas kamu pergi ke Bumi. Supaya kamu bersemangat latihannya."

Asik! Aku dibelikan daster cantik!

"Putri Amara, orang tua Athyana memutuskan untuk ikut pergi ke Bumi. Radit juga ikut," kata Letnan, dia duduk di bangku untuk satu orang di sebelah Kak Amma.

Manik gelap Kakak membulat. Lalu dia menatapku yang mengangguk dua kali padanya. "Ibu dan Ayah tidak bisa membiarkan tiga orang remaja berkeliling di Bumi tanpa pengawasan orang dewasa," lontarku, mulai lelah mengatakan ini ke setiap orang yang bertanya.

Sang Putri mendengus tawa, kemudian berkata, "benar juga. Aku setuju sama ucapan Bu Lya. Kamu, Saga dan seorang gadis lain bukan kombinasi yang bagus. Aku bisa membayangkan kecanggungan kalian."

"Aku juga berpikir begitu, Mbak," lontar Radit, duduk di seberang, dekat Lofi.

Saga yang duduk di sebelah adikku bilang. "Mana mungkin canggung kalau ada aku."

Itu dia. Aku tidak mengerti maksud Kak Amma dan Radit. Orang-orang pintar punya kalimat mereka sendiri.

"Maka dari itu, aku rasa kita bisa menitipkan Uta pada mereka ketika penyergapan dimulai," lanjut Letnan.

"Itu ide bagus. Ngomong-ngomong, Uta dan Maza kenapa lama sekali? Kamu udah bilang kalau aku ingin menemui mereka, kan?" tanya Kakak ke Lofi.

"Sudah," malas si tukang bengkel. "Tapi, tadi mereka sedang berbincang ke pembimbing Prakerin lewat saluran komunikasi mereka sendiri. Mungkin mereka lupa."

Orang yang dibicarakan langsung muncul dari pintu putih sebelah kiri. Maza keluar lebih dulu, disusul Uta.

Aku mengalihkan wajah, mengingat perempuan itu masih takut padaku. Ketakutan seperti itu tidak mungkin menghilang begitu saja, bukan?

"Amara, boleh aku duduk di sebelahmu?"

Eh?

"Boleh, Uta. Sini, sini."

Aku dan Kak Amma bergeser, mempersilakan Uta duduk di sisi kiri bangku putih panjang, dekat Letnan. Sementara Maza duduk di seberangnya.

Uta menoleh padaku, memasang senyum tipis. "Athyana, terima kasih untuk potongan buah beku yang kamu belikan."

A-ah, iya. Aku lupa kalau aku benar-benar membelikan es buah beku itu untuk Uta. "Kamu suka?" tanyaku.

Dia mengangguk senang. "Aku suka stroberinya."

Dia suka. Bagus, deh.

Senyumku merekah diam-diam. "Terima kasih kembali."

"Baiklah, aku rasa kamu sudah dengar garis besar kerja sama antara planet kalian dengan planet kami, Maza," tebak Kakak.

"Benar, Amara. Pembimbing Prakerin kami menggerutu terus menerus. Tidak heran, aku juga tidak ingin terlibat dalam urusan ini," keluhnya—wah, robot pun mengeluh, ya. "Di tambah, misi di jalankan di planet yang tidak memiliki jalur teleportasi. Alhasil, pengiriman laporan harian Uta akan terhambat sampai misi selesai."

"Siren juga bilang kalau tugas-tugas Prakerin kami ditunda sampai Falcon ditangkap," ungkap Uta. Dia tidak terdengar kesal, tapi tidak riang seperti biasa.

"Namun, dia bilang keberhasilan misi akan berpengaruh pada nilai prakerin kalian, bukan?" ujar Letnan.

"Nilainya akan bertambah drastis!" seru Uta yang mendadak senang. "Makanya, aku tidak keberatan kalau Maza ikut serta dalam misi."

Harusnya kamu keberatan, Uta.

"Siren bilang rincian misi akan diberitahu olehmu, Amara," kata Maza.

"Ah, iya." Kakak berdeham, suaranya menjadi lebih serius. "Di misi ini, penyerbu garis depan diserahkan ke Letnan Kai dan prajuritnya. Lalu, untuk membuka jalan mereka dari musuh, tim 'pembantai'; Aku dan Maza akan melawan para Cyborg."

"Tim 'Pembantai' ...." Aku merinding ngeri.

Radit malah tampak kagum. "Tim 'Pembantai'."

"Terus aku?" Lofi menunjuk dirinya sendiri.

"Tetap. Strategi dan kelancaran komunikasi antar anggota kami serahkan ke kamu, Fi. Berhubung kamu sudah paham teknologi Bumi. Kami perlu seseorang yang melihat segalanya dan mampu memberi usulan dengan cepat."

Kakak menolehkan wajah ke Uta. "Untuk Uta, selagi Maza ikut dalam misi, rasanya lebih baik kamu tinggal bersama Athyana dan keluarganya. Mereka juga ada tujuan khusus pergi ke Bumi."

Uta mengerjap sekali. "Tapi, aku tidak bisa jauh dari Maza."

"Eh?" bingung Kakak.

"Sebenarnya, ada sistem khusus yang tercantum dalam setiap robot partner, di mana sistem itu berfungsi sebagai 'ikatan' antara robot dengan peserta Prakerin. Melalui sistem khusus tersebut, kami para robot partner bisa memantau detak jantung, kondisi kesehatan dan perubahan ekspresi peserta sehalus apa pun. Kalau kami terpisah sampai lebih dari dua puluh kilometer, sistem khusus otomatis mengirim sinyal bahaya ke sistem utama, memberitahu bahwa 'Peserta jauh dari jangkauan'. Kemudian, sistem utama akan mengambil alih robot di tengah aktivitas apa pun yang mereka kerjakan untuk segera mencari peserta sampai mereka berada dalam jangkauan 5 meter. Tak peduli rintangan apa pun yang ada," tutur Maza.

Karena semua orang tercenung, Lofi menimpali. "Dengan kata lain, kamu akan jadi 'Ganas' kalau Uta jauh dari jangkauan?"

"Kurang lebih seperti itu."

Seram juga.

"Berarti ... kalian tidak bisa berjauhan lebih dari dua puluh kilometer, ya." Kak Amma memangku dagunya. "Lofi, jarak antara penginapan dengan bangunan GNA ada berapa kilometer?"

"Sekitar dua puluh lima kilometer dalam garis lurus."

"Lebih lima kilometer ...." Kakak berpikir dalam-dalam.

"Biarkan saja Uta ikut ke GNA dan bersembunyi," saran Letnan. "Aku akan mengutus satu prajurit lagi untuk menjaganya."

Kak Amma tampak tidak percaya. "Letnan, kamu lupa kalau Falcon sudah sering sekali menciptakan cyborg prajurit putih? Bagaimana kalau Uta tidak bisa membedakannya dan dia dalam bahaya?"

Tatapan laki-laki itu tampak malas meladeni argumen Kak Amma. "Kalau begitu, bagaimana kalau kita ganti saja penginapannya?"

"Oke. Selepas prajurit putih pulang, kita berdua kembali ke sana untuk membatalkan pemesanan penginapan yang sebelumnya sekaligus mencari penginapan baru," balas Kakak.

Uta menatap lurus ke Maza. Dia juga sedang menatap ke arah perempuan itu.

"Aku tidak akan membiarkan satu musuh pun menemukan lokasi kamu, jadi tidak perlu khawatir," ujar si robot dengan yakin.

"Lofi, Pihak Iredale dan Pihak dari Uta setuju kalau misinya dimulai besok," kata Kakak. "Sampaikan juga ke orang tua kalian, ya, Saga, Anna."

Seketika kesenyapan menguasai ruangan.

"BESOK?" seruku, Radit dan Lofi.

Saga malah ber-yes tanpa suara.

Amara, Letnan Kai dan Uta langsung menutup telinga.

"Gak lusa aja?" tawarku.

"Loh, kamu kan Cuma numpang ikut ke Bumi doang, Na. Bukannya gak masalah, ya? Meski mendadak," ujar Kak Amma.

"Kalau besok rasanya tuh ... gak siap!"

"Yaaa, tapi itu udah keputusan kedua pihak. Jadi, siap gak siap mesti pergi ...."

Radit bilang, "berarti kita mesti segera beres-beres, ya, Kak Anna."

"Iya ...."

"Sebenarnya, aku sudah membeli banyak sekali pakaian untuk misi, jadi Radit, Saga sama Anna gak perlu bawa banyak barang. Ditambah, biaya makanan, transportasi sama biaya lain juga aku tanggung," jelas Kakak.

Aku mengerjap bingung. "Paduka Raja gak marah kalau Kakak mengeluarkan biaya selain untuk misi?"

Tangan kanan Kak Amma menepis udara dengan sikap santai. "Permata Kakak udah berlumut karena bertumpuk terus, tapi gak terpakai. Mending aku pakai buat hal yang bermanfaat."

"Ditambah, nilai permata yang dijual ke Bumi lebih besar dari nilai jual di Iredale dan Aderida. Mata orang-orang Bumi agaknya sangat jeli menilai perhiasan," ungkap Letnan.

"Kamu bisa kasih permata yang berlumut itu ke aku, Amara. Kenapa pusing-pusing menjualnya ke Bumi?" timpal Lofi.

"Kamu sudah banyak uang, Lofi."

Letnan menyentuh telinganya, lalu bergumam, "bagus. Tunggulah kepulangan kami di markas." Dia kemudian memanggil Kakak yang tengah bercanda dengan Lofi dan Saga. "Putri Amara, prajurit kita sudah kembali."

Kakak mengangguk singkat dan bangkit dari duduk. Dia mendaratkan tangan sejenak di puncak kepalaku. "Kakak pulang dulu, ya. Besok sore, kita berangkat ke Bumi."

"Hati-hati di jalan, Ka," kataku.

Aku melihat Uta menatap jemarinya yang menggenggam erat bahan rok daster. Dia tampak memikirkan banyak hal.

"Uta, kalau kamu keberatan dan ingin mengatakan sesuatu, langsung katakan," kata Lofi. Bahkan dia menyadarinya.

"Hmmm?" sahutnya, kembali mengulas senyum.

"Mereka seenaknya menempatkan kamu dan Maza dalam misi. Padahal kamu ...."

Agak aneh mengatakan padanya kalau dia 'manusia biasa'. Apalagi ketika aku selalu merasa diriku hanyalah manusia biasa, sampai saat ini.

"Aku?" ulangnya.

Radit menambahi. "Kamu manusia biasa. Sudah begitu nanti terpisah dari Maza," timpalnya. "Guru kamu gak bisa kasih pembelaan atau protes supaya kamu dan Maza tidak ikut andil?"

"Aku tidak punya guru. Namun, pembimbing Prakerinku—Siren—berkata, dia sudah berusaha untuk tidak melibatkan kami dengan urusan internal planet, tapi Pihak Insider tidak peduli. Kebijakan dari mereka memang suatu kewajiban. Tak boleh ada alasan atau penolakan," tuturnya.

Gila. Aku memang tidak mengenal siapa pun di planet sana selain Uta, tapi orang yang seenaknya menempatkan seseorang dalam situasi berbahaya adalah orang yang patut dipertanyakan empatinya.

"Aku sudah bilang kalau orang-orang di planet Uta juga tidak paham akan perasaan, bukan? Pihak Insider termasuk. Maka dari itu, selama orang-orang kurang empati menjadi pemegang kekuasaan tertinggi di planet, tidak ada yang bisa Siren dan Uta lakukan untuk menolak," kata Maza.

Lofi mendengus sarkas. "Kalau aku jadi kamu, aku sudah menggulingkan mereka dari kursi kekuasaan bodoh itu."

Aku mulai khawatir dia akan melakukannya seperti dia menggulingkan Quan dan para menteri diktator.

Lanjutkan Membaca

Kamu Akan Menyukai Ini

12K 916 17
[Pemenang The Wattys 2018 Kategori The Heroes] [MASUK DALAM DAFTAR PENDEK (SHORTLIST) WATTYS 2018 (15/08/18)] Highest Rank: #1 di Wiaindonesia (15/07...
683K 41K 63
(WAJIB FOLLOW SEBELUM MEMBACA!) Ini tentang Amareia Yvette yang kembali ke masa lalu hanya untuk diberi tahu tentang kejanggalan terkait perceraianny...
364K 950 8
konten dewasa πŸ”žπŸ”žπŸ”ž
1.1M 106K 32
Kaylan Saputra anak polos berumur 12 tahun yang tidak mengerti arti kasih sayang. Anak yang selalu menerima perlakuan kasar dari orangtuanya. Ia sel...