Another Pain (END) âś”

By goresanlaraf

243K 14.9K 974

[COMPLETED] [BELUM DI REVISI] Mereka pernah berkata, jika rumah adalah tempat ternyaman untuk pulang. Mereka... More

I •Hati yang terbalut luka•
II •Yang tak pernah teranggap•
III •Berjuang untuk diri sendiri•
IV •Keluh dan rasa sakit•
V •Terlalu sulit berdamai dengan hati dan keadaan•
Vl •Sosok yang mengingatkannya pada masa lalu•
VII •Khawatir•
VIII •Hari terpenting dan hancur•
IX •Diary depresiku•
X •Kisah tentang duka•
XI •Pulang untuk kembali terluka•
XII •Aku bukan pembunuh•
XIII •Tak berujung•
XIV •Semangat hidup yang di patahkan•
XV •Sembunyi di balik tawa•
XVI •Berkorban•
XVII •Tuhan masih menyayanginya•
XVIII •Hati nurani yang telah hilang•
XIX •Terlalu letih•
XX •Berarti•
XXI •Pupusnya sebuah asa•
XXII •Tak lagi bersama•
XXIII •Tak lagi utuh•
XXIV •Menghindar•
XXV •Hadir untuk di acuhkan•
XXVI •Masa sulit•
XXVII •Rasa yang terpendam•
XXVIII •Ketulusan hati•
XXIX •Kebahagiaan itu semu•
XXX •Sakit yang mendalam dan keputusan•
XXXII •Tak akan sendiri•
XXXIII •Selalu salah•
XXXIV •Permainan tanpa garis finis•
XXXV •Opera Tuhan•
XXXVI •Masih disini merakit luka•
XXXVII •Rapuh yang terbalut indah•
XXXVIII •Dalam belenggu•
XXXIX •Setiap sesak mengandung luka•
XL •Mimpi itu tak lagi tentang kebahagiaan•
XLI •Untaian kata yang tak sampai•
XLII •Paksaan untuk tetap bertahan•
XLIII •Bunga merekah yang tak akan pernah layu•
XLIV •Berselimut dengan kenangan•
XLV •Untuk diri yang tak ingin terluka lagi•
XLVI •Luka yang telah pergi dan tak akan kembali•
• Timbal balik kehidupan
AYO KENALAN SAMA DHEGA
• MEMORABILIA
• Hidup setelah kehancuran

XXXI •Bukanlah segalanya•

3.6K 276 12
By goresanlaraf

🎶 Playing song : Whee In - With My Tears 🎶

HAPPY READING

“Jika tidak bisa berbuat kebaikan, maka jadilah salah satunya.”

—Regi Sabiru

     —Preview bab sebelumnya.

     "Gua gak mau lihat orang yang gua sayang sedih, Bim."

     "Gua mau donorin ginjal gua buat Reyga."

•••

     Bima menggenggam erat ponsel milik Regi, bahkan sampai urat-urat di tangannya pun terlihat begitu jelas. Rahangnya ikut mengeras saat kembali mengingat dengan jelas apa yang di katakan Regi beberapa detik lalu.

     Prak!!

     Lalu setelahnya terdengar bunyi pecahan sebuah benda yang terlempar di lantai. Ya benar, ponsel Regi sudah retak di sana.

      Bersamaan dengan itu kedua mata Bima memanas lalu ia berjalan dengan cepat ke arah Regi, menarik kerah baju anak itu dengan napas yang memburu. Bima dalam emosi yang tak terkendalikan.

     "Bilang itu sekali lagi, Gi," ucapnya sedikit berdesis.

     "Gua..." Regi menggantungkam ucapannya, menatap Bima dalam dengan jejak air mata yang masih tertinggal. "Gua mau donorin ginjal gua buat Reyga," lanjutnya.

     Dan... BUGH!

     Kepala Regi melengos ke samping, bunyi itu berasal dari kepalan tangan Bima yang mendarat di wajahnya. Belum sempat Regi menghapus jejak darah yang tertinggal di sudut bibirnya, buru-buru Bima kembali menarik kerah bajunya.

     Dan kini Regi bisa melihat kembali wajah sepupunya yang begitu memerah.

     "Lo gak akan sadar kalau gak gua tonjok, Gi," ucapnya sembari mengangkat kembali kepalan tangannya ke udara.

     Regi menggeleng pelan. "Bim, gua cuman... sebelum ... sebelum Tuhan cabut nyawa gua."

     "LO— BANGSAT...

•••

     "Woi! Woi! Woi! Bim! Lo apa-apaan, anjir!"

     Dari arah pintu Danu dan Ciko terbelalak atas apa yang mereka lihat. Bahkan Danu langsung melepaskan kantong keresek itu begitu saja dan menerjang Bima, menahan tubuh bongsor anak itu—menjauh dari Regi.

     Sedangkan Ciko berdiri di tengah sembari merentangkan tangannya.

     "LEPASIN GUA BANGSAT! LEPASIN! GUA MAU NGASIH PELAJARAN SAMA ORANG TOLOL KAYAK DIA!"

     Bima meluapkan emosinya, suaranya meninggi dengan napas yang memburu dan peluh yang mulai menetes, lelaki itu menatap tajam Regi yang hanya diam tak berkutip.

     "Bim tenang dulu, anjing!" Danu ikut kalut, sekuat tenaga ia menahan tubuh Bima yang berontak.

    Sedangkan Ciko, anak itu menatap Regi dan Bima bergantian.

     "Lo berdua kenapa, dah? Kenapa jadi berantem gini?" tanyanya lalu memfokuskan pandangan pada Bima. "Dan lo Bim, kendaliin emosi lo. Mukul bukan cara yang terbaik buat nyelesein masalah, sat!"

     Regi masih diam, ia memilih menundukkan kepalanya dalam. Ia juga lelah dengan semuanya, lelah dengan hidupnya, lelah dengan apa yang kini sedang ia hadapi.

     "GUA GAK BISA SABAR ANJING! LEPASIN GUA! BIAR GUA HAJAR DIA SAMPAI BABAK BELUR!" Bima masih mengamuk.

     "Gi, ada apa sebenernya? Kenapa Bima bisa semarah ini?" akhirnya Danu kembali angkat suara.

     Namun Regi tetap memilih diam dan tak memberikan penjelasan apapun pada kedua sahabatnya. Itu yang membuat Bima semakin muak dan kini terdengar kekehan kecil di sana.

     Kesabaran Bima habislah sudah. Yang mana akhirnya Bima melepaskan diri dari Danu yang mengukungnya. Napasnya masih tersenggal, tatapanya masih tajam—mengarah pada Regi yang kini malah terdiam.

     "Lakuin sesuka lo." itulah kata terakhir yang keluar dari mulut Bima sebelum anak itu memilih untuk pergi meninggalkan Danu, Ciko dan Regi tentunya.

     "Bim!"

     "Gi?" Ciko memanggil Regi.

     Regi beranjak dari kasur itu, memakai sepatunya dan sama sekali tak menatap sahabatnya.

     Ia hanya berkata, "Gua mau sendiri."

     Setelahnya Regi ikut pergi dari sana—meninggalkan Danu dan Ciko yang masih bertanya-tanya.

•••

     Melupakan kejadian beberapa jam lalu, pertengkaran hebat antara dirinya dan Bima. Regi memilih untuk masuk kerja, walau Pak Jeremy masih memberikannya waktu libur. Akan tetapi, Regi tak boleh membuang-buang waktu hanya untuk hal yang bisa ia tangani sendiri.

    Hingga kini ia sudah berada di salah satu bilik kamar ganti, lekas memakai seragam resmi milik kafe. Di depan kaca bilik kamar ganti, Regi menatap kedepan dengan diam dalam beberapa detik.

     Regi harus mengumpulkan uang untuk membayar SPP sekolah. Ia harus lebih bekerja keras lagi. Dengan menghembuskan napas pelan, Regi kembali pada dunia nyata.

     Ia menatap pantulan dirinya lalu tersenyum simpul. "Lo bisa hadapi semua Gi, Lo bukan cowok lemah." setelahnya Regi memakai topinya dan beranjak keluar dari ruang ganti.

     "Eh, Gi... Udah sehat kamu?"

     Itu adalah Bang Ardhan. Selaku juru masak. Penampilannya yang sedikit beringas, membuat kesan pertama jika Bang Ardhan pasti galak. Akan tetapi itu semua hanya cover saja. Bang Ardhan begitu baik.

     "Iya, Bang," jawabnya seraya tersenyum.

     Ardhan mengangguk lalu menepuk bahu Regi pelan. "Yaudah syukur kalau kamu sudah sehat. Sekarang kafe lagi Rame ... semangat kerja, ya!"

     Kepalanya mengangguk, senyuman Regi terpatri begitu manis. Sepeninggal Ardhan, Regi nampak menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan sebelum kakinya beranjak keluar dari ruang belakang.

     "Semangat!" tukasnya pada diri sendiri.

•••

     "Bang, apa Regi baik-baik aja? Udah lama aku gak lihat dia. Dia gak apa-apa, kan?"

     Alan terdiam saat pertanyaan itu keluar dari mulut Reyga. Terlewat sudah lima belas menit semenjak cuci darah, Reyga nampak lemas tapi wajahnya masih tersirat kahangatan.

     Dan bukannya menanyakan hal lain, justru adiknya menanyakan Regi.

     "Bang kenapa?" Reyga kembali bertanya kala Alaan nampak terdiam dalam beberapa detik,

     Tangan Alan lekas terangkat lalu mendarat pada kepala Reyga dan mengusap surai hitam itu penuh kasih sayang.

     "Regi baik kok Rey, tadi dia berangkat sekolah sama Bima. Kamu gak usah khawatir ya, gak usah mikirin yang aneh-aneh dulu," jelasnya pada Reyga.

     Ya Reyga tahu jika tadi Regi berangkat sekolah dengan Bima, bahkan mereka nampak bahagia hingga tertawa satu sama lain. Jujur, Reyga iri dengan kedekatan mereka.

     "Papa gak ngapa-ngapain Regi lagi, kan, Bang?" pertanyaan Reyga kembali tertuju pada Alan.

     Dan Alan kembali terdiam beberapa detik, hingga ia pun berucap, "Enggak, kok... Lagian Regi sekarang jarang pulang ke rumah, Rey."

     Alan membatin. Maafin Abang harus bohong. Sebenarnya kemarin Regi masuk rumah sakit karena Papa.

     "Jangan cuma perhatian sama aku ya, Bang? Tolong perhatiin Regi juga."

     Reyga menaikkan selimut sebatas dada, lalu berpindah posisi memunggungi Alan. Di remasnya selimut itu—Reyga sungguh merindukan saudaranya, Regi. Sedangkan Alan, lelaki itu mengangguk kecil lalu mullai mengusap kepala belakang Reyga.

     "Iya, Rey ... Abang akan perhatiin adik Abang juga."

•••

     Ringisan kecil terdengar sangat lirih—keluar dari celah bibir Regi yang terbuka saat ia sedang membersihkan meja bekas pelanggan. Tangan kirinya yang bebas mencengkeram perutnya yang terasa melilit.

     Regi tak tahu mengaja penyakitnya akhir-akhir ini sama sekali tak bisa ia ajak kompromi. Bahkan ia selalu kehabisan tenaga hanya karena perutnya yang terkadang terasa begitu perih.

     Regi sedikit menunduk, memejamkan mata sejenak, menarik napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya perlahan.

     Ia mengusap perutnya yang terbalut seragam kafe. Lalu berucap, "Jangan bikin gua susah ya? Sekali ini aja, gua masih kerja."

     Dan anehnya rasa sakit itu perlahan mereda, hingga membuat Regi bernapas lega. Setidaknya ia tidak membuat semua orang repot akan dirinya yang tiba-tiba saja tak sadarkan diri. Itu sungguh memalukan.

     Tepat saat rasa sakit itu mulai menghilang, ada seseorang yang menepuk pundaknya. Regi sontak menoleh kebelakang, melihat siapa gerangan.

     "Aku liat dr tadi kamu megangi perut kami, Regi ... Kamu gak kenapa-kenapa, kan?" itu adalah suara Mbak Syifa, wanita cantik 28 tahun yang menjabat sebagai manajer kafe. Wanita yang juga memberikannya kesan begitu baik.

     "Ah, gak, Mbak ... Aku gak apa-apa," balasnya yang tentunya berbohong.

     "Beneran?" tanya Syifa lagi. "Muka kamu agak pucat juga. Kamu sakit?"

      Regi menggeleng kuat. "Efek kemarin baru keluar dari rumah sakit kali, Mbak, hehe."

     Seakan percaya, Syifa lekas mengangguk lalu menepuk bahunya lagi. "Kalau gitu semangat kerjanya ya, kalau capek istirahat dulu gak apa-apa. Mbak tinggal dulu."

     "Siap, Mbak Syifa."

     Syifa pun pergi meninggalkan Regi yang nampak bernapas lega, bersamaan dengan itu lonceng yang menggantung di pintu masuk kafe pun berbunyi. Hal itu membuat Regi tentunya menyapa sang pelanggan secara spontan.

     "Selamat datang di kafe kami."

     Deg! Jantung Regi seakan berhenti berdetak.

•••

     "Maaf apa di sini ada pasien bernama Reyga Angkasa?"

     Ketika telah menemukan rumah sakit tempat Reyga di rawat, Bima mati-matian menahan emosinya. Bahkan di bawah sana tangannya sudah terkepal erat meski matanya menyembunyikan sorot tajam penuh amarah.

     "Sebentar ya Mas, saya cek dulu." Bima mengangguk, sedangkan sang perawat itu nampak sedang mengecek layar komputer.

     Selang satu menit, kepala perawat itu mendongak dan bibirnya mulai berbicara, "Pasien atas nama Reyga Angkasa ada di Bagian gedung A, kelas VIP lantai tiga Mas."

     Mendapatkan kamar Reyga, Bima lekas tersenyum kecil sembari mengangguk. "Terima kasih banyak, Sus. Permisi."

     "Sama-sama, Mas."

     Tak mengindahkan jawaban sang perawat, Bima lekas bergegas melangkahkan kakinya—mencari loft yang akan membawanya ke llantai 3, tempat di mana Reyga di rawat.

     Bahkan setelah berada di dalam lift pun, Bima masih nampak menahan emosinya. Sekelebat perkataan Regi terngiang di kepalanya.

     "Gua mau donorin ginjal gua buat Reyga."

     Tangan Bima yang sedari tadi tekepal erat meninju dinding lift. Ia pun mengumpat keras. "Sialan! Regi brengsek!"

•••

     "Bima? Ko-kok lo tau gua di sini? Dan tum-tumben lo jenguk gua."

     Reyga di kejutkan oleh kedatangan orang yang sama sekali tak pernah ia duga. Bima, Bima yang selama ini memilih menjaga jarak dengannya tanpa Reyga sendiri tahu apa alasan dia menjauhinya bahkan enggan menatap dirinya.

     Akan tetapi sekarang? Bima sudah berdiri di depannya. Dan tatapannya, tatapan itu membuat Reyga bertanya-tanya.

     "Bi-Bi-Bim ... Lo ken-kenapa?" kedua mata Reyga terbelalak terkejut kala Bima langsung menerjangnya, menarik kerah baju pasien yang ia kenakan dengan napas yang memburu.

     "Gak usah belaga gak tau, Reyga!" sentak Bima.

     Reyga menggeleng, ia bahkan benar-benar tak tahu apa maksud kedatangan sepupunya ke mari.

     "Apa gua ada buat salah sama lo?" Reyga kembali bertanya dengan tatapan takut.

     Dan cengkeraman itu pun semakin erat, membuat Reyga sedikit tak mampu bernapas.

     "Bi-Bim...

     "Kenapa lo biarin Regi ngelakuin itu! Kenapa, hah! Kenapa!"

     "Bim gua gak ngerti maksud lo."

     Kedua mata Bima bergetar lalu terlihat berkaca-kaca. Dengan kedua tangan yang masih setia mencengkeram erat kerah baju Reyga.

     "Apa selama ini lo semua gak puas udah ngerusak mental Regi? Apa selama ini lo semua gak puas nyakitin Regi? APA SELAMA INI LO SEMUA GAK PUAS UDAH BUAT REGI MENDERITA, HAH?!"

     Napas Bima terengah-engah, matanya berkilat tajam.

     "Bim Regi kenapa?" Reyga pun mulai berkaca-kaca.

     "Semua karena lo, Reyga ... SEMUA KARENA LO! SEMUA KARENA LO REGI JADI BEGINI! LO YANG HARUSNYA MATI! LO REYGA, BUKAN REGI!"

     "BIMA!"

     Di penghujung napas Reyga yang terputus-putus akibat cengkeraman Bima terlalu kuat, Alan datang dan langsung mendorong Bima—hingga membuat lelaki itu terhuyung dan mundur beberapa langkah.

     "Rey kamu gak apa-apa, kan?" tanya Alan mencoba memastikan keadaan Reyga setelah tau Bima mencekik Adiknya. Dan Reyga pun menggeleng.

     Setelahnya Alan menatap Bima kembali. "Dan lo Bima, lo apa-apaan, hah?! Lo giila!"

     "Bang...

     Bima meludah ke samping, lalu berdecih dan menatap kedua saudaranya jauh teramat dalam sebelum ia kembali berkata dan menjauh pergi.

     "Lo semua bakal ngerasain yang namanya kehilangan ketika orang yang lo sayang benar-benar pergi."

     Alan dan Reyga mematung di tempat.

•••

     Regi menatap nanar lelaki yang duduk di ujung kafe dengan menggenggam erat tangan seorang wanita itu. Tatapannya tak pernah lepas dari mereka. Ya, jantung Regi seperti sedang di pacu, berdetak begitu cepat. Karena tak bukan dan tak lain lelaki itu adalah Ayahnya.

     Ayahnya bahkan belum menyadari akan kehadiran dirinya di sini. Melihat Ayahnya yang tetawa begitu mesra dengan wanita itu benar-benar membuat hati Regi sakit. Ibunya sudah terlupakan.

     "Regi?" ada seseorang yang memanggil namanya dari arah belakang, tetapi Regi masih saja terdiam—matanya masih tertuju pada sang Ayah.

     "Regi?"

     "Ah, iya? Sorry, sorry Mbak," sesalnya saat ia baru tersadar jika Mbak Syifa memanggilnya.

     Syifa mengangguk lalu lekas menyodorkan nampan berisikan dua piring makanan kepadanya. "Tolong antar makanan itu ke meja yang di ujung itu, ya?"

     Regi menelan ludahnya, menatap sejenak meja yang di maksud Syifa lalu menatap wanita itu kembali.

     "Kesana Mbak?" tanyanya ulang.

     "Iya, Mbak tinggal dulu ya, masih repot di belakang."

     Sepeninggalan Syifa Regi masih mematung beberapa detik, ia nampak mencoba mengumpulkan keberaniannya untuk menghadapi siapa pelanggan di ujung sana. Ia hanya takut jika hal yang tidak-tidak akan terjadi dan merusak segalanya.

     "Huh, semangat Regi."

     Dengan penuh keberanian Regi lekas mengambil nampan itu dan kakinya pun mulai melangkah dengan mantap menghampiri meja sang Ayah. Jantung Regi mulai berdegup kencang lagi.

     "Permisi pesanan anda."

     "Oh, iya Mas taruh sin—loh, bentar... Mas Al ini bukannya...

     Deg! Regi menelan ludahnya. Bahkan tangannya pun malah bergetar saat lirikan mata itu tertuju padanya.

     Hingga, prank!

     "Auw!" wanita itu memekik kencang.

     Bola mata Regi terbelalak saat ia menjatuhkan makannya tepat di dress milik wanita itu dan bahkan piringnya pun jatuh ke lantai hingga terbelah dua.

     Semuanya berantakan.

     Dan saat itu pula kedua mata Adli ikut membola.

     "KAMU BAGAIMANA KERJANYA?!" Adli berteriak murka tepat di depan Regi. "SIAPA PEMILIK KAFE INI? BAGAIMANA BISA MEMPEKERJAKAN PELAYAN GAK BECUS SEPERTI KAMU?! PANGGIL ATASAN KAMU!"

     "Maaf Pak, maaf saya ngak sengaja," timpal Regi penuh penyesalan.

     "MAAF! MAAF! MANA ATASAN KAMU MANA!"

     "Sayang kamu ngak apa-apa, kan?" Adli mengalihkan pandangannya pada sang wanita.

     Semua mata tertuju padanya sekarang, Regi hanya mampu menunduk dan meminta maaf. Bahkan ia seperti benar-benar bukan darah daging Adli. Nyatanya Ayahnya masih saja mempermalukannya di depan umum.

     Regi memungut piring yang pecah, hingga terdengar suara langkah kaki mendekat.

     "Maaf Pak, maafkan pelayan saya. Karena dia habis keluar dari rumah sakit mungkin belum pulih sepenuhnya. Saya minta maaf, Pak." itu suara Mbak Syifa.

     Kedua mata Adli masih menatap tajam. "MAAF KAMU BILANG?! KALAU GAK BISA KERJA JANGAN DI PEKERJAKAN DONG! SUDAH SAYA GAK JADI MAKAN DI SINI!"

     "Saya minta maaf," Regi terus meminta maaf.

     "Cih," desis Adli lalu menuntun wanita itu. "Ayo sayang kita cari kafe lain."

     Adli benar-benar pergi begitu saja dengan sang wanita. Hal itu membuat Regi ikut berdiri.

     "Papa!"

•••

     "Papa tunggu!"

     Persetan dengan atensi beberapa orang yang mengarah padanya. Regi hanya ingin berbicara dengan Ayahnya, bahkan hingga Regi memiliki harapan jika kini Ayahnya akan menyayanginya, melindunginyaserta mengakuinya sebagai Anak.

     "Papa tunggu!" Regi berhasil menahan tangan Adli.

     Namun cepat-cepat Adli menepisnya dan berbalik dengan mata yang berkilat tajam. "Jangan sentuh saya dengan tangan kamu anak sialan!"

     Wajah Regi yang pucat pun sama sekali tak membuat hati Adli bergerak. Tatapan itu masih sama seperti tatapan-tatapan sebelumnya, tatapan penuh kebencian.

     "Papa selama ini udah memutus semua akses pembayaran sekolah Regi?" Regi menatap dalam mata Ayahnya.

     Dan di sana, Adli pun tertawa keras.

     "Kalau memang saya memutus semua kebutuhan kamu kenapa? Itu hak saya, bukannya kamu sekarang sudah bekerja? Bagus, tidak membebani saya sama sekali."

     "Kenapa Papa bisa melangkah sejauh ini?"

     Aldi memicing. "Apa perlu saya jelaskan lagi apa alasan terkuat saya membenci kamu?"

     "Karena kematian Mama?" Kepala Regi menggeleng. "Harus berapa kali Regi bilang kalau Regi bukan penyebab kem—

     Srak! Brak! Di dorongnya begitu kuat tubuh Regi saat lelaki itu blm sempat menyelesaikan ucapannya sehingga membuatnya tersungkur. Dan saat itu pula mata Regi benar-benar bergetar bahkan berair—pertanda jika air matanya akan lolos.

     "Regi hanya mau kebahagiaan dulu kembali terulang, apa sesulit itu, Pa?" tanya Regi lirih.

     "Dengar." Adli menunduk, menatap rendah Regi. "Tidak akan pernah."

     Seperti tak memiliki rtasa bersalah yang mendalam atas apa yang telah ia lakukan pada darah dagingnya, Adli bergegas memasuki mobil dan melajukan kendaraan itu—meninggalkan Regi yang di penuhi di dalam hatinya.

     "Ayo, Gi ... Berdiri. Lo gak boleh kayak gini."

     Ya, itu adalah Ciko sahabat Regi yang memang benar adanya jika sedari tadi ia melihat pertikaian sengit antar Ayah dan Anak itu. Rasanya Ciko ingin berlari dan menghantam keras wajah Adli, ia benar-benar baru menyadari jika Ayah Regi sekejam itu.

     iko membantu Regi berdiri, bahkan Ciko bisa merasakan hangatnya tubuh sahabatnya.

     "Kita pulang."

•••

     Ciko menyelimuti Regi, anak itu sempat mimisan hebat. Hingga beberapa menit akhirnya tertidur karena pengaruh obat dari Dokter yang sempat ia panggil ke apartemennya.

     Berteman dengan Regi, bertahun-tahun, bahkan dari Anak itu kehilangan Ibunya, Ciko tau semua baik atau bahkan buruknya Regi.

     Regi yang selalu lebih mementingkan orang lain dari pada diri anak itu sendiri, Regi yang selalu menghalalkan segala hal jika itu menyangkut orang yang dia sayangi.

     Regi yang selalu peduli dengan orang-orang sekitar. Regi yang selalu pandai menyembunyikan lukanya.

     Ciko mengusap sudut matanya yang tiba-tiba saja berair.

     "Lo harus kuat ya, Gi. Lo harus bisa bertahan sampai akhir." kepalanya menunduk mengusap paksa kedua matanya yang terasa panas karena air mata.

     "Dia gak apa-apa, kan, Cik?"

     Buru-buru Ciko mendongak, dan saat itu pula ia sudah menemukan Bima dengan pakaian yang sedikit berantakan, tatapannya begitu sendu—mengarah pada Regi.

     Kepala Ciko mengangguk pelan, lalu ia berbisik. "Gak apa-apa, kata Dokter dia kecapekan."

     Bima memilih duduk di samping Regi yang masih tertidur.

     "Bim," panggilnya pada Bima.

     "Hm."

     "Om Adli udah gak lagi biayayain sekolahnya."

     "Gua udah tau."

     "Kenapa lo gak cerita?"

     "Gua juga baru tau tadi dari Bu Diyana."

     "Tapi, dia gak bakal mau kita bantu, Bim."

     Bima hanya diam, matanya terus terpaku pada sepupunya. Rasanya Bima tak pernah tega jika melihat Regi seperti ini. Bima sungguh menyayangi Regi.

•••

     "Bim?"

     Di saat semuanya hanyut dalam sepi, larut dalam pikiran masing-masing. Tanpa tersadari jika kedua mata itu telah terbuka sempurna sedari tadi.

     "Kenapa? Mau apa? Ada yang sakit?" berbagai pertanyaan Bima lontarkan, ia lekas menggenggam tangan Regi dan Regi pun ikut membalas genggamannya.

     Namun bukannya menjawab, tubuh Regi malah bergetar hebat dengan air mata yang sudah sepenuhnya lolos—membasahi kedua pipinya. Tangisan itu semakin lama malah semakin terdengar pilu.

     Bima langsung bergerak dan memeluk erat tubuh Regi, membawa lelaki itu kedalam pelukannya. Dan di sana, tangis Regi semakin pecah. Tangannya mencengkeram erat baju Bima—seakan memberi isyarat jika ia benar-benar hancur saat itu juga.

     "Sakit, sakit banget rasanya, Bim ... Sakit."

     "Gua di sini, gua di sini. Lo gak sendiri. Gua ada sama lo di sini, Gi "

     "Gua salah apa? Apa Tuhan lagi ngehukum gua?"

     Kedua mata Bima memejam, hatinya berdesir hebat. Sakit yang Regi rasakan seakan ikut tersalurkan pada relung hatinya yang paling dalam.

     Regi semakin erat memeluk sepupunya, menumpahkan segala sesak, sakit yang selama ini tertahan.

     "Kenapa sakit banget? Rasanya gua mau nyerah."

Continue Reading

You'll Also Like

734 427 6
DEVANO ALSHAKA DENUAR nama dari seorang pemuda biasa yang dengan segala kenakalan dan ke absurdtannya. Biasa dipanggil shaka. Shaka Tidak tau siapa o...
RALD By Shofi Annisa

Teen Fiction

24.9K 2.9K 43
Kadang terlalu sempurna berarti abnormal. Berkali-kali top-5 di #Keren #Psikologi
CANCER By iamalfa

Teen Fiction

263K 13K 64
[BUAT PLAGIAT JANGAN MENDEKAT?] Follow dulu .... Aldy Samudra Gabriel, cowok ceria,penyayang, romantice,baik hati dan pastinya ganteng.Aldy termasuk...
REPAIR By Nanaa

Teen Fiction

2.1K 280 2
Next story from 'Sama tapi Berbeda.' Ada luka yang harus diobati. Ada rasa sakit yang harus dibayar. Ada air mata yang harus dihapuskan. Juga ... ada...