Live a Calvin Life ⁽ᴱᴺᴰ⁾

By permissiontohigh

50.6K 5.6K 747

Calvin punya cara untuk menciptakan bahagianya sendiri. ⚠️ 𝘢𝘯𝘨𝘴𝘵 More

A Glimpse
2. New Partner?
3. Grandpa dan Bunda
4. Bahagia itu sederhana, katanya.
5. A Trap
6. Bad Day(s)
7. Long Story Short
8. Sorry?
9. It's just the beningging
10. Step-by-step plan
11. One step closer
12. Big bro 👊
13. Well deserved
14. Calvin dan Jiwa-Jiwanya
15. Sepupu Baru
16. Staycation
18. Painful Truth
19. Too Much
20. Kusut
21. Papa | End of S1
| Road to Season 2 |
CALV Season 2
- Sequel Calv -

17. Vakansi

1.8K 238 44
By permissiontohigh

Ikhlas, sumpah Harsa ikhlas rambutnya dijambak, dijadikan pelampiasan saat kaki Calvin diurut pelan oleh Athala. Padahal dia tadi berikan tangannya untuk digenggam, tapi Calvin pilih yang terdekat.

"AaaAAaakkh!"

"Tahan bentar," ujar Athala masih fokus dengan kerjaannya. Tenang saja, dia berpengalaman.

"Bentar bentar terus dari 15 menit一AKh!"

Selesai, kaki Calvin yang tadinya dipangku Athala letakkan ke sofa. "Harusnya Harsa yang teriak nggak sih?" katanya saat sudah berdiri.

Duduk ngemper di lantai, Harsa tampak memijit kepala setelah pegangan Calvin terlepas. "Hehehe maaf kak," cengir Calvin.

"Simulasi jadi suami siaga nemenin istri lahiran ini mah," Harsa mendumel.

Dari samping rumah, teriakan Jonas tenggelam oleh suara musik. "Kalo udah selesai buruan ke sini!"

Mereka akan barbeque-an malam ini. Jonas sudah mulai memanggang dibantu Noah, walaupun sahabatnya itu hanya kebagian menyicip dan pastikan bumbu pas.

Calvin hendak menurunkan kaki dan menapak lantai, tapi Harsa mencegah. "Wait no, jangan turun dulu. Dingin lantainya."

Athala masih di sana. Berdiri diam memperhatikan kaki telanjang Calvin dibalut kaos kaki coklat motif paw kucing putih oleh Harsa.

Usai kegiatannya itu, Harsa berdiri. Lalu secara bersamaan Athala dan Harsa mengulurkan tangan di depan Calvin. Awkward. Calvin tidak mau membuat salah satu sakit hati, jadi dia tidak terima keduanya.

Ternyata Athala benar-benar kang urut. Sekarang kaki Calvin sudah bisa berjalan lebih normal dari sebelumnya, walau tetap sedikit pincang.

"Woaah baunya. Sedeeep," ujarnya menarik salah satu kursi di meja makan.

Kursi di sampingnya berderit mundur dan Harsa menempati dengan segelas air di tangan. "Minum. Suara lo serak habis teriak-teriak tadi."

Sesuai briefing dari Kinanti, Harsa pastikan Calvin minum tanpa tersedak. Setiap tetes air yang ditelan dia perhatikan secara seksama.

"Kak water heater lo mati," itu suara Nuki. Kedatangannya membawa semerbak bau lemon dan sabun.

Semakin dekat, semakin terlihat wujudnya yang telanjang dada. Nuki hanya mengenakan celana boxer sementara handuk putih mengalung di leher sambil digunakan untuk mengelap rambut.

uhuk uhuk uhuk

Calvin tersedak. Harsa panik dan otomatis mengelus punggung 'adiknya'一mari kita resmikan panggilan itu agar supaya dia senang.

"Pelan-pelan."

"Iya terakhir dipake Noah habis itu rusak," Jonas menjawab Nuki. "Terus lo mandi pake air dingin?" tanyanya kemudian.

"Ya iya, masa pake air laut?"

"Ck. Kali aja pake air anget, ngerebus dulu tapi, kaya Calvin tadi."

"Halah nggak dingin-dingin amat juga." Nuki yang sudah berdiri di belakang Calvin lantas mengusak rambut cowok itu, sambil berkata, "Dasar bayi."

Mata Calvin membelalak lebar. Pun si pelaku pembuat jantung Calvin berdetak maraton sudah berlalu kembali masuk. "What the hell一" Calvin mengumpat dalam hati. "That was a fucking thirst trap?"

Bulu kuduknya sampai berdiri tegak. Bukan karena sepoi angin, sebab Harsa telah menyampirkan selimut ke bahunya.

Joe, Athala一tadi ke toilet, dan Nuki datang langsung membantu Jonas di pemanggangan. Musik reggae meramaikan kegiatan mereka di sela ribut dan bercanda.

Sementara Harsa dan Calvin menata meja, Noah entah melakukan apa di dapur dalam.

"Ok done." Jonas menepuk tangan, lalu berkacak pinggang sambil memandangi hasil kerjanya sudah tertata rapih di meja.

Noah meletakkan semangkuk bubur bayi di depan Calvin. "Nih punya lo."

Bahu Calvin melorot. Banyak makanan sedap tepat di hadapan, tapi dia hanya bisa menikmati aromanya. Bosan itu pasti, tapi tidak ada pilihan lain karena Calvin ingin bersenang-senang di sini, bukan mencari penyakit. "Thanks kak," ucapnya lesu.

Semua menempati kursi dan dari sekian kursi kosong, Nuki pilih tepat di depan Calvin. Beruntung selama makan tidak begitu canggung. Pertengkaran Joe dan Athala cukup meramaikan suasana, sehingga pikiran Calvin sejenak teralihkan.

"Ck. Brisik banget sih lo," Joe memulai lagi.

Athala yang duduk di sampingnya tidak terima, "Gue dari tadi diem. Brisik apanya?"

"Lo makan nya ngecap kek babi. Risih gue dengernya."

"Terus gimana? Mingkem? Mana bisa." Lanjut menyuap daging, Athala menggumam, "Ribet banget anak kadal."

Masih terdengar jelas oleh Joe. "Wah udah berani ngatain ni ingus anoa."

"Dapet apa gue sampe nggak berani sama lo? Umur juga tuaan gue."

Joe terbahak. Untuk pertama kalinya mereka lihat tawa Joe yang sangat lepas sampai memegangi perut. Calvin jadi ikut nyengir walaupun tidak tau letak lucunya di mana. Sedangkan Athala memicing, merasa terhina.

Mencengkeram bahu Nuki untuk berpergangan agar tidak terjengkang, akhirnya Joe berhenti tertawa. "Ada gitu orang udah tua malah bangga. Banyak-banyak tobat deh, umur nggak ada yang tau, tapi biasanya yang tua-tua cepet ketemu Yang Maha Kuasa."

"Sialan," desis Athala.

"Aduh aduh kebelet." Joe segera melesat ke toilet terdekat. Karena dia berlari membelakangi yang lain, mereka melihat bagian belakang sweatpants abu-abu yang dipakai Joe sedikit basah. Lantas tawa pun pecah, apalagi Athala tampak paling puas.

"Tu anak udah gede masih ngompol?" tanya Athala pada Nuki.

"Emang gitu kalo ketawa ngakak."

"Ntar sebelum tidur coba lo taro capung di pusernya."

Begitu saja yang lainnya tertawa. Bagus, ternyata mereka receh; batin Athala.

"Tau nggak sih katanya undur-undur gedenya jadi capung?"

#wowfakta dari Noah langsung membuat semua terdiam. Dia lanjutkan, "Tapi itu hoax." Lalu sambil makan mereka dengarkan Noah mendongeng tentang metamorfosis capung. Sampai Joe kembali, sudah berganti celana dan menjadi korban olok-olok.

Malam pertama mereka berjalan diiringi musik, ditemani snacks dan cola一Calvin dilarang menyentuhnya. Terlebih Harsa seperti punya banyak mata. Setiap Calvin curi-curi menyicip, Harsa langsung memberi isyarat dengan jari tengah dan telunjuk ke matanya sebelum diarahkan ke Calvin.

Terhitung cepat bagi mereka mengakrabkan satu sama lain. Bahkan Athala yang baru bergabung hari itu pun mulai merasakan ikatan.

Dari sekian obrolan dan kegiatan, ada Calvin yang berusaha menghindari Nuki. Saat ditawari sesuatu, dia selalu menolak. Nuki berniat gabung duduk, Calvin langsung berdiri atau menyingkir. Begitu terus polanya dan Nuki mulai curiga.

"Calv, bangun."

Matanya mengerjap lambat guna menyesuaikan dengan cahaya. Tangan yang tadi menepuk lembut pipinya, kini beralih menyibak rambut hingga dahinya terekspose.

"Mandi, hm? Air angetnya udah siap."

Pandangannya mulai jelas. Dia dapati Harsa duduk di sisi ranjang, menatapnya lembut. "Jemur dulu," suara Calvin masih serak.

"Nanti keburu dingin. Mandi habis itu baru jemur."

Disetujui, kemudian Calvin menjulurkan kedua tangannya; meminta untuk ditarik bangun. Saat duduk pun matanya masih lengket. Butuh beberapa saat sampai dia berjalan gontai ke kamar mandi, malas karena biasanya ada Basta atau Tyan yang menggendong.

Mengurus Calvin beres, Harsa lantas turun untuk membantu Jonas menyiapkan sarapan. Sampai detik ini dia masih terheran-heran, ternyata anak manja seperti Jonas lumayan jago dalam urusan masak memasak.

Tak lama terdengar derap langkah dari tangga kecil yang menghubungkan dengan loteng. Athala bergabung setelah mengisi segelas air dari dispenser.

"Nggak diganggu tikus 'kan di atas? Sorry ya lo malah make kamar kaya gudang gitu," Jonas menyambut.

Meneguk air hingga tandas, lalu Athala menjawab, "Gudang dari mana. Malah bagusan loteng daripada kamar kontrakan gue. Kalo boleh tinggal di sini gue mending di sini dah."

"Setuju sih. Nyaman banget bikin mata seger. Bangun-bangun pemandangannya langsung laut," Harsa menimpali setelah mematikan kompor yang dia gunakan untuk memasak makanan Calvin.

Jonas terkekeh kecil. Memang ini tempat terbaik untuknya healing; menyembuhkan diri dari kepekatan hidup di dunia. "Kalian bisa ke sini kapan aja. Housekeeper udah hafal kalian temen gue, jadi nggak perlu izin gue lagi."

Athala dan Harsa saling tatap dengan mata berbinar. Refleks keduanya saling melempar tangan untuk beradu tos.

Satu persatu golongan muda datang. Mereka sarapan sambil membicarakan rencana hari itu. Kegiatannya lumayan padat一berbeda dari apa yang Calvin katakan pada Tyan. Kalau Tyan tau keponakannya beraktivitas berat dan bukan hanya diam di penginapan, sudah pasti Calvin digeret pulang sekarang juga.

♡ ♡

Daerah pesisir sekitar beach house merupakan wilayah private hanya untuk keluarga Jonas. Tidak jauh dari rumah ada tempat parkir kapal-kapal mini milik para jutawan atau yang disebut dengan yacht. Mereka akan menaiki itu untuk menyeberang ke pulau kecil.

"Ini lo beneran punya SIM buat nyetir kapalnya 'kan?" tanya Nuki pada Jonas saat mereka dipandu ke deretan kapal.

"SAM SIM SAM SIM, boating license namanya, norak," celetuk Joe.

"Ck. Sama aja cuma beda di air sama darat doang."

Jonas memutar bola mata, lelah mengulang jawaban padahal sudah dia tunjukkan syarat-syarat bahwa dia terlatih mengemudikan yacht. Di sisi lain, Harsa mengamati ukiran nama pada body samping kapal, menunjukkan dari perusahaan mana kapal itu diproduksi.

"Bokap gue beli dari bokap lo, mayan dapet diskon," ujar Jonas tanpa ditanya. "Gue juga baru tau kemarin kalo bokap kita saling kenal." Harsa mengangguk, pantas saja bentuk dan desainnya tidak asing.

Athala tampak ragu bergabung sampai Calvin harus menariknya melangkah ke kapal. Athala merasa kecil. Dibanding yang lain, ibaratnya dia hanyalah butiran debu. Latar belakangnya tak lebih dari seorang anak jalanan yang beruntung bisa mengenal Calvin. Sangat kontras disandingkan dengan mereka yang terlahir bergelimang harta.

Perjalanan menyeberang digunakan Athala untuk menyendiri di area terbuka bagian atas kapal. Tiba-tiba Athala mempertanyakan kegiatannya selama dua hari ini. Apakah dia layak menikmati ini sementara masih banyak yang harus dikejar?

"Di sini aja sih Calv, anginnya gede kalo naik." Dari bawah Athala dengar Harsa sedikit berteriak. Tak lama setelahnya ada langkah kaki berhenti tepat di sampingnya. Lantas Calvin berbaring di kursi pantai, menggunakan kedua tangannya sebagai bantal.

"Nikmatin aja kak. Masih banyak waktu."

Tentu saja terkejut. Anak itu seperti membaca pikirannya. "Ngerasa useless banget di sini. Baru kenal udah numpang, makan dibayarin, apa-apa dibayarin, nggak keluar uang tapi ikut seneng-seneng."

"Kalo mau bayar dari potong gaji aja."

"Ini beneran aku jadi driver-nya Jonas?"

Calvin menoleh ke samping. "Ya iya pas vacation ini doang." Matanya memicing saat Athala tampak tak menyukai jawabannya. "Apa mau jadi driver ku?"

"Terus bakal sering menghadap Paklik Tyan gitu? Enggak makasih. Liat dia sosmed makin banyak tatonya," Athala bergidik kecil.

Mendengar sebutan Athala untuk pamannya, Calvin tertawa. "Masih aja manggil gitu, udah pernah dimarahin Tyan juga."

"Ya emang 'kan beliau om mu?"

Dulu Athala sering bertemu Tyan saat pria tampan nan mapan itu menjemput Calvin.

"Jadi inget dulu awal kita ketemu Kak Thala masih medok banget. Sekarang lancar lo gue nya," Calvin bernostalgia.

"I feel lucky to meet you, Calv."

"Hm. And we became a family now."

Suara mesin bersambut gesekan air terdengar jelas saat keduanya diam, merenung. "Kak Thala mau tau?" hingga Calvin bersuara lagi.

Athala tau anak itu tidak tidur. Dilihat dari samping, di balik kaca mata hitam Calvin mengerjap lambat.

"Setelah sekian tahun, baru kali ini aku merasa lebih hidup."

Anak yang bertemu dengannya 2 tahun lalu itu menjalani hidup dengan banyak kekangan. Athala paham kini Calvin merasa bebas.

Sampai di pulau, Athala membenarkan ucapan Calvin. Dia harus menikmati. Mana mungkin keindahan alam yang membentang disia-siakan begitu saja. Tidak berlaku untuk Harsa yang tepar setelah mabuk laut.

Jonas memberi tahu kali ini Noah yang turun tangan menyewa jet ski. Pantas saja saat berganti pakaian renang Noah paling semangat 45.

"Ntar gue ajarin." Tadi Joe mengatakan itu saat Athala bilang belum pernah mencoba jet ski.

Niat baik Joe disambut curiga oleh Athala, katanya, "Lo nggak ada niat buruk mau nyeburin gue ke tengah laut 'kan?" Lalu mereka cekcok selama ganti di rumah transit.

Ketika berjalan mendekat ke laut, Joe tangkap keanehan dari anak di sampingnya. Joe hentikan langkah dengan menahan bahu Calvin, membuat keduanya berhadapan. Ada beberapa spot bercak merah di wajah yang sedikit terlindungi topi dan itu merupakan pertanda buruk.

"Lo harus ngaca." Alis Calvin menukik. "Muka lo kebakar, Calv. Mending lo balik ke Kak Harsa."

Calvin menepis pelan tangan Joe. "Gue udah pake sunscreen. Lagian item doang nggak masalah."

"Bukan itu. Gue udah baca-baca soal Lupus, jadi gue tau kulit lo sensitif sama sinar matahari langsung, apalagi sepanas ini."

"Kok lo jadi gini sih? Gue ngasih tau lo soal penyakit gue karena gue percaya lo beda. Lo nggak bakal nganggep gue lemah dan bisa tumbang cuma karena ketiup angin."

"Calv, really? Kaya gini perlu didebatin? Iwe do this because we care about you."

"Why? Why do you even care?"

"You're one of my bestfriends一orang penting bagi gue. Jadi gue nggak mau lo drop saat harusnya lo seneng-seneng."

Calvin bergeming, tidak menyangka Joe terang-terangan mengungkapkannya. "Gue cuma pengen jadi normal."

"You are normal," sahut Joe penuh penekanan. "Lo mau Kak Harsa lagi loyo kek pensil inul gitu tiba-tiba bangkit buat nyeret lo ke rumah sakit sekarang juga?

Gabung sama Kak Harsa at least sampe lo minum obat dan ngerasa mendingan. Gue nggak mau keseret kasus keturunan konglomerat tenggelam karena pingsan saat naik jetski."

Akhirnya Calvin berdecak dan berbalik arah kembali ke base. Namun, begitu Joe sudah pergi melatih Athala di tengah laut, dia mendatangi area parkir jet ski. Celingak-celinguk mencari temannya, tapi tidak temukan yang menepi.

"CALVIN!" Nuki memanggil dan tidak ada pilihan selain memboncengnya.

Sebesar apapun rasa suka Calvin dengan sinar mentari pagi, radiasinya tetaplah menjadi musuh jika sudah terlalu terik. Kulitnya mudah bereaksi terbakar dan itu semakin dirasakan saat bergerak jauh ke tengah laut dan bertemu Joe. Calvin sempat diomeli tapi tak dia hiraukan.

Mereka beradu kecepatan jet ski. Pertandingan antara Noah Jonas, Joe Athala, dan Nuki Calvin dimenangkan oleh pasangan termuda. Thanks to Nuki karena hukuman bagi yang kalah adalah berenang hingga daratan.

Reaksi aneh di badan Calvin terditraksi dengan perasaan bahagia.

Limit energi Calvin tercapai saat bermain voli pantai. Baru 10 menit bermain rasanya sudah akan ambruk. Maka dia menepi, berlindung dari matahari di bawah payung besar. Calvin sedang menunduk, mengatur napas saat tangan seseorang menyentuh lututunya.

"You ok?" tentu saja Harsa dengan raut muka khawatir. Calvin hanya mampu mengangguk. "Gue bilang yang lain udahan aja ya? Kita balik beach house."

Kali ini digelengi. "Gue mau jadi wasit," kata Calvin mengalihkan topik ketika yang lain menatap ke arahnya.

Joe malah ikut istirahat, meninggalkan pasangan Jonas Athala melawan Noah Nuki. "Sambil duduk ngewasitinnya."

Calvin membuang napas pasrah. Membantah juga percuma, bisa-bisa dia pingsan kalau dipaksa berdiri. Selama menyaksikan Nuki bermain, Calvin jadi semakin penasaran.

"Nuki tu ... straight nggak sih?" Sontak orang di kedua sisinya一yang juga sahabat dan tetangga Nuki一menoleh.

"Maksud lo?" Joe balik bertanya.

"Anu ... itu ... dia ... orientasi seksualnya ke sesama jenis atau lawan jenis?"

"Ngapa lo tiba-tiba tanya gitu?" Harsa heran. Setelah kejadian terkilir anak itu tampak menghindari Nuki, lalu sekarang membahas hal se-random itu.

Di depan sana Nuki tidak menangkis bola malah tertawa. "Lo ngira gue gay gara-gara kemaren gendong lo kaya manten?"

Oops. Salah Calvin suaranya terlalu keras saat suasana hening.

"Bukan! Dari pas kita jatuh lo bilang gue kaya bidadari!"

Nuki semakin terpingkal-pingkal. "Gue inget gue inget," dia mendekat masih berusaha menghentikan tawa. Permainan pun berhenti, para pemain menerima botol air dari Harsa lalu duduk.

"Itu gue teler. Otak gue error terus berhalusinasi dipeluk sama IU. Lo tau siapa?" Calvin menggeleng. "Penyanyi dari Korea. Cantik banget coba lo buka Google. Jadi gue doyannya cewek bukan cewok!"

Kalau bisa lari, Calvin sudah kabur dan bersembunyi sekarang. Dia seperti badut lelucon, ditertawakan oleh teman-temannya. Mukanya yang tidak tertutupi cream putih pun merah karena malu.

"Salah lo! Kemarin lo bopong gue pake bahas nikah sesama jenis di Jerman segala."

"Lah cuma bahas doang emang kenapa? Bukan berarti gue mau ngajak lo kawin lari ke Jerman, Calv."

"Lo mikir gitu?" Noah tampak jelas menahan tawa, lalu setelah Calvin mengangguk tawanya pun lepas. "Asli kocak banget Calv."

"Jadi ini yang bikin lo overthinking?" sambil tertawa, Harsa menepuk puncak kepala Calvin membuat yang lebih muda merengut kesal.

"E tapi kan kita nggak ada yang tau masa depan ya. Kalo diliat-liat lo cakep juga Calv," tiba-tiba Nuki mengatakannya dan sekarang Calvin merinding disko.

"HAHAHA! Just kidding forever underpass fly over!" seru Nuki seraya bangkit, kemudian berlalu pergi ke rumah transit.

Calvin terbengong bengong. Sialan.

"Bangsat ngeri banget tu bocah," kata Athala yang masih baru dengan tingkah absurd Nuki.

"Udah kena CPU-nya," imbuh Jonas.

Ketujuh pemuda kembali ke beach house saat matahari perlahan bersembunyi. Waktu paling pas untuk menikmati langit saat golden hour.

"Gila. Gue mabok laut dan harus balik lewat laut lagi. Double kill," ujar Harsa dramatis begitu memasuki rumah.

Ditimpali Jonas, "Elu aneh. Orang tua punya industri perkapalan malah mabok laut."

Usai bebersih diri, mereka berkumpul di ruang keluarga untuk makan malam. Terlalu lelah memasak, jadi hanya memesan fast food.

Malam terakhir niatnya akan digunakan untuk bersenang-senang dan kurang afdol tanpa sentuhan bir. Ternyata Athala paling paham soal itu. Dia pilihkan yang kadar alkoholnya tidak berat tapi cukup membuat badan terasa ringan.

Mereka berbagi tugas. Athala dan Noah berdiskusi di depan rak penyimpanan bir, Jonas dibantu Harsa dan Nuki membersihkan piring dan gelas sisa makan malam, sementara Joe dan Calvin mengambil cemilan serta gelas sloki.

Tidak ada hal aneh kecuali yang dirasakan Calvin. Baru lima langkah dari dapur, rasa lelah menjalar menjadi nyeri berpusat di kepala. Pandangannya berkunang, tangannya bergetar hingga gelas di nampan berdenting karena saling berbenturan.

Pyarr

Semua terjadi begitu cepat. Sebelum Calvin mengerjapkan mata, gelas-gelas itu sudah jatuh dan pecah berkeping-keping di lantai. Calvin langsung berjongkok walau pergerakannya sedikit oleng.

Derap beberapa langkap mendekatinya. "Calv?" itu suara Noah, tepat di samping telinganya tapi Calvin tidak bisa menjawab. Dia menunduk berusaha membereskan kekacauan.

"Tangan lo luka!" pekikan Nuki membuat Calvin menatap tangannya sendiri. Aneh. Tangannya tidak sakit, pun tidak ada goresan. Dari situ dia baru sadar asal darah itu mengalir; hidungnya.

Calvin mendengkus, tersenyum remeh saat menutup lubang hidung menggunakan punggung tangan. "Nggak papa udah biasa."

"Jangan dongak!" cegah Harsa menahan kepala Calvin tetap menunduk. "Ambilin tisu!" Lalu meminta entah ke siapa.

Calvin tidak berani menatap mata siapapun, terlebih Harsa yang kini mengelap hidungnnya dengan tangan bergetar. "Lo kecapekan," bisik Harsa, menggigit bibir bawahnya.

Kaki-kaki Calvin tidak sanggup lagi menopang tubuh. Alhasil dia oleng ke samping dan ditangkap Noah. Merasakan sengatan saat kulitnya bersentuhan dengan milik Calvin, Noah semakin cemas. "Badannya panas banget." Dan memberitahu yang lain.

"Bawa ke kamar. Gue siapin kompresan," titah Athala langsung berlalu. Sementara Noah dan Nuki membantu Calvin berdiri, kemudian memapahnya ke kamar.

Joe juga pergi setelah selesai membereskan pecahan gelas yang akan dibuang ke tempat sampah. Sedari tadi dia berusaha mengalihkan diri agar tidak ikut panik.

Harsa hendak menyusul ke kamar, tapi bahunya dicekal Jonas. "Udah biasa mimisan, tapi lo atau Calvin nggak bilang apapun ke gue." Nada bicara si tuan rumah terdengar dingin. Kalau tidak bersuara mungkin dia dikira patung.

"L-lo kenapa?"

"Ini rumah gue. Apapun yang terjadi di sini, bakal jadi tanggung jawab gue juga. Gue tau ini bukan cuma maag atau masalah lambung kaya yang lo bilang tiap Calvin harus makan makanan lembut. Sebenernya Calvin sakit apa?"

Harsa menghela napas berat. Dia sudah duga, hanya soal waktu sampai teman-temannya ingin tahu mengenai Calvin yang mudah sakit. "Jo, sikonnya nggak tepat buat kita bahas ini. Gue salah, sorry gue nggak bilang kalo Calvin gampang drop, tapi gue nggak bisa一"

"Calvin ngelarang lo? Gue ingetin lagi; gue tuan rumah dan gue perlu tau kondisi orang yang nginep di tempat gue. At least kalo darurat gue bisa bantu karna gue hafal daerah sini."

"Lupus. If that what you asked," Jonas tak bereaksi apapun. "Calvin punya autoimun dan kalo lo nanya sekarang dia kenapa, gue nggak tau."

Mata Jonas mulai bergetar. "T-terus kita balik aja? Atau bawa ke rumah sakit?"

"Habis itu Calvin marah ke lo一ke kita?"

"Gue harus gimana? Apa yang harus gue lakuin? Manggil dokter? Gue ada kenalan deket sini."

"Act like nothing happened, act like you don't know shit." Dahi Jonas berkerut. Sebelum lontarkan protes, Harsa lebih dulu mengimbuhi, "Lo bakal liat di dalem."

Bukannya istirahat Calvin malah dibuat semakin pusing karena Nuki. "Ini berapa?" Remaja itu duduk di bibir ranjang sambil mengangkat 2 jari di depan wajah Calvin.

"Gue nggak buta, bolot."

"Lo bilang kliyengan."

"Iya tapi gue masih bisa liat."

"Mending kita periksa ke dokter, Calv. Seinget gue di deket sini ada dokter kenalannya Jonas," bukan hanya Nuki, Noah pun membuatnya lelah.

"Suruh mereka keluar kak~" Calvin mengadu pada Harsa dan Jonas yang baru masuk.

"Tapi gue setuju sama Noah. Gue panggil dokter atau kita ke rumah sakit一"

"Kak Jonas," potong Calvin. "Gue nggak papa, jangan berlebihan. Kalian keluar aja deh. Gue mau tidur." Kemudian merebahkan diri dan menarik selimut sampai dagu. "Sorry bikin rumah lo berantakan. Sorry udah jadi party pooper. Sorry udah mecahin gelas lo, ntar pas pulang gue ganti."

Tentu Jonas tidak mempermasalahkan itu. Sementara Calvin sudah memejamkan mata, Harsa tarik ketiga temannya keluar kamar. "Serahin ke gue."

Dia tutup pintu dan hampir membentur wajah Athala yang sudah di depan kamar. Sedetik kemudian, dibuka lagi untuk menerima baskom dan kompresan dari tangan Athala.

Harsa membuka laci, mengambil pouch berisi perlengkapan Calvin. Dia tarik keluar termometer dan tabung berisi butiran pil. Pertama mengecek suhu. Ke-dua membantu Calvin duduk. Lalu dia gerus satu obat sebelum menyuapkan ke Calvin.

Lanjut mengompres dahi yang seperti terbakar, Harsa pandangi wajah pucat sang adik. Ini yang dia takutkan. Seharusnya dia lebih tegas. Namun menyalahkan diri sendiri juga percuma, Calvin lebih batu jika sedang menikmati hidup bebas.

Tengah malam Harsa masih terjaga. Ponselnya menempel di telinga sementara satu tangannya mengusap kepala Calvin. "Masih dok. Kalo besok belum turun minum obat yang mana?"

Dia menyimak Hendrik yang berbicara melalui telepon. Terpaksa mengganggu waktu istirahat sang dokter karena pengetahuannya masih pendek. Di bawahnya, Calvin bergerak dan melenguh.

"Oke noted, dok. Saya tutup dulu ya dok, Calvin bangun. Maaf ganggu waktunya."

"Kak Harsa nelpon siapa?"

"Dokter Hendrik. Kenapa bangun, hm? Badannya nggak enak?"

Calvin mengangguk, mendongak menatap yang lebih tua dengan mata berkaca-kaca. "Kak gue tadi keterlaluan ya?"

Dari duduk, Harsa mengubah posisi menjadi berbaring. Pun Calvin beringsut miring, menghadap Harsa sepenuhnya hingga wajah mereka berjarak dua jengkal, badan terhalang guling.

"Soalnya tadi gue ketus, mana ngusir juga. Kak Jonas marah ya sama Calvin? Mereka marah kita nggak jadi mabuk-mabukan sambil berjudi?"

Kening Harsa berkerut. "Siapa yang mau judi?"

"Itu tadi mau taruhan bola."

Harsa terkekeh. "Coba Kak Harsa balik deh. Emang Calvin kenapa tadi ngusir?"

"Nggak suka Kak Jonas berlebihan gitu kaya ... kaya Calvin keliatan lemah banget, fragile, sakit parah, sekarat."

Tangan Harsa terulur untuk mengusap pelipis anak tepat di hadapannya. "Karna lo anti-fragile? Anti ti ti ti fragile." Nyanyian Harsa dihadiahi dorongan lemah di bahunya.

"Gue serius," Calvin mencebik dan Harsa terkikik. Guling yang memisahkan mereka disingkirkan oleh Harsa, lalu menarik Calvin ke dadanya.

"Tidur. Besok lo bangun lebih fresh dan sadar kalo semuanya nggak sesuai sama isi kepala lo."

Terakhir yang Calvin rasakan adalah usapan di punggung, diikuti kecupan lembut di dahi serta bisikan, "Maaf kakak terpaksa ngasih tau Jonas. Well, mereka harus tau biar makin banyak yang jagain lo.

"Bukan karena lo lemah, but because you're worth it."

Enam pemuda sudah tersebar di ruang makan yang terhubung dengan ruang keluarga. Mereka baru saja selesai makan pagi一lebih ke siang karena matahari sudah nyaris tegak di atas kepala. Semalam mereka tidur menjelang subuh karena menonton bola. Tidak jadi mabuks setelah kejadian Calvin.

Paginya mereka sepakat tidak membahas apa yang terjadi semalam dan membiarkan Calvin mengarungi mimpi hingga detik ini.

"Nuki! Sempak lo gue bakar ya lama-lama!" Pasti perkara baju kotor yang berceceran di laundry room dan pelakunya selalu sama; Nuki, mendapat semprotan dari orang yang sama pula; Jonas.

Yang disemprot memungut sambil menutup telinga dengan satu tangan saat Jonas masih mengomel, "Mau nggak punya sempak trus tu tytyd lu sangkarin pake daun kelapa ha?!"

"Kedinginan menciut dong ntar," celetuk Nuki melempar asal celananya ke koper.

Sambil menyesap kopi, Harsa terkekeh dan menggeleng. Orang-orang tengah sibuk mondar-mandir packing saat pintu kamarnya dibuka dari dalam. Keluar lah Calvin, menggaruk rambutnya yang acak-acakan. Anak itu masih sedikit pucat, jaket dan kaos kaki membuatnya tetap hangat.

"Good morning," sapa Harsa merentangkan tangan.

Disambut oleh Calvin, langsung mendusel ke bahu yang lebih tua. Dia merasa sedang memeluk Tyan seperti pagi pada umumnya. Namun kali ini aromanya berbeda; harum kayu lembut bak berada di tengah alam, membuat nyaman dan tenang. Harsa sudah mandi, itu yang Calvin tau.

"Feeling better?"

"My stomach hurts, kaya ada naganya." Harsa terkekeh atas perumpamaan itu.

Seolah bisa memprediksi kapan Calvin akan bangun, Athala sudah siapkan bubur jagung hangat. Untuk meredakan sakit perut, katanya.

Kendati merasa tidak nafsu makan, Calvin menerima suapan dari Harsa karena cara membujuknya konyol; sendok diangkat ke udara dan meluncur seperti pesawat. "Kaya bayi," protes Calvin sambil terkekeh tak bertenaga.

"You are."

Melihat yang lain bersiap pulang, duduknya Calvin melorot di sofa. "Gue pengen di sini aja."

"Betah ya?" Noah bergabung, duduk di sisi kiri Calvin. "Kalo nggak kuliah sama sekolah sih gue juga maunya kita di sini terus. Ngerasa nggak sih vacation ini kaya jadi bonding buat kita?"

Tidak ada bantahan untuk kesimpulan Noah itu, sebab langsung dibuktikan dengan tawa menggelegar dari arah loteng tempat Athala tidur. Tak lama setelahnya suara kaki gedubrakan menuruni tangga. Joe dan Nuki berlarian dengan wajah ketakutan. Di belakang keduanya, Athala mengejar sambil membawa tikus putih dengan memegang bagian buntutnya.

Tiga orang di sofa terbahak saat Joe terpojok dan Athala mendekatinya sambil mengayunkan tikus, sementara Nuki menjadikan Jonas sebagai tameng.

Calvin semakin enggan beranjak dari rumah tepi pantai itu.

Sebelum dua pesan muncul di layar ponsel, membuatnya ingin segera pulang.

°

°

Chapter ini mayan hampir 4000 kata 😬


Thank you gaiss! ♡

Continue Reading

You'll Also Like

774K 37.3K 39
Alzan Anendra. Pemuda SMA imut nan nakal yang harus menikah dengan seorang CEO karena paksaan orang tuanya. Alzan kira yang akan menikah adalah kakek...
14.4K 2.7K 37
[Sekuel INSPIRASA] Pernahkah kamu membayangkan bagaimana orang-orang melanjutkan hidupnya sepeninggal insan terkasih yang tidak akan pernah kembali p...
9.5K 555 7
Tentang Gema yang dipaksa belajar ikhlas saat kebahagiannya direnggut secara tiba-tiba. Semesta runtuh tepat di pertengahan malam satu hari terakhir...
295K 18.5K 41
langsung dikepoin. Cerita ini murni dari pemikiran saya sendiri, jika ada kesamaan nama, tempat, kalimat,dan kejadian itu semua saya tidak sengaja, t...