SAKA - SILVIA : SELALU BERSAM...

By momomalili

1M 124K 7.8K

Forever, we will be Together, just you and me The more I get to know you, the more I really care With all of... More

PROLOG : Incredible Thing
Silvia : Magic, Madness, Heaven, Sin
Saka : Oh My God! Look At That Face!
Saka : Love's A Game
Silvia : Suit and Tie
Saka : I Can Read You Like A Magazine
Silvia : Ain't It Funny?
Saka : Rumor's Fly
Silvia : I Know You Heard About Me
Saka : Let's Be Friends
Silvia : I'm Dying To See How This One Ends
Saka : Grab My Hand...
SIlvia : I Can Make A Bad Guys Good For A Weekend
Saka : It's Gonna Be Forever
Silvia : It's Gonna Go Down In Flame
Saka : It's Over
Silvia : If The High Was Worth The Pain
Saka : Long List of Ex-Lovers
Silvia : Young and Reckless
Saka : Nasty Scar
Silvia : Stolen Kisses
Saka : Pretty Lies
Silvia : The Worst is Yet To Come
Saka : Screaming, Crying, Perfect Storm
Silvia : Rose Garden Filled with Thorns
Saka : I Get Drunk on Jealousy
SIlvia : Nightmare Dressed Like a Daydream
Saka : Insane
Silvia : Way Too Far
Numpang Lewat
Saka : It'll Leave You Breathless
Silvia : It's Torture
Numpang Iklan 😄
Saka : Don't Say I Didn't Warn Ya
Epilog : I'll Write Your Name

Silvia : My Next Mistake

44.1K 4.9K 400
By momomalili

Author's Note :D


Siang semuanyaa... Semoga hari kalian menyenangkan. Saya mau curhat dikit nih. Hmmm, kaya'nya saya sering banget ya curhat. Tak apa lah ya, hahaha...

Jadi begini. Beberapa saat yang lalu, ada komen yang masuk ke prolog salah satu cerita saya. Bunyi komen itu agak, yah, menyakitkan buat saya. Atau mungkin sayanya yang lagi sensi karena kecapekan koreksi? Sutralah.


Komennya begini, "Is this good?"

Dapet poinnya nggak? Pertama baca komen ini, saya tertegun. Bukannya apa, kaget bo. Kok ya adaaa gitu, orang tanya apa cerita ini bagus, sama penulisnya langsung, di lapak penulisnya! Dia mengharapkan saya bereaksi bagaimana?

Saya sempat cerita sama seorang writer di wattpad, dan dia juga kaget. Berati sebenernya bukan saya aja yang merasa aneh.

Analoginya sama nggak sih, sama ini? Kamu datang ke rumah orang (di sini, rumah itu adalah lapak wattpad saya), disuguhin teh gratis (yaitu cerita saya), dan kamu tanya, ini enak? Waw. That's... Rude. Why don't you just read it, and if you don't like it, just skip it? No need to hurt everyone else. No need to hurt me.


Saya nggak pernah minta apa-apa sama kalian, para readers. Bahkan voments pun tidak. Voments itu hak kalian. Saya hanya meminta kalian menikmati cerita saya. Apa permintaan saya terlalu banyak?

Itu saja.


Cukup lah galaunya. Silakan membaca. Sekali lagi, nikmati sajalah! :D


________________________________



"Why don't you tell him about the baby?" tanya Bima langsung saat aku masuk mobil. Ya elah. Biarin aku duduk dulu kek! Aku cemberut dan memasang seat belt.

"Nggak usah," ujarku pendek. Bima menatapku kesal.

"Dia berhak tahu, Sil! Itu anaknya juga!" omel Bima. Bima menggerutu, terdengar seperti "Cewek dimana-mana sama aja!". Ha!

Aku mendesah. Tau Bima bakalan bawel gini, mendingan tadi aku naik taksi! Tadi waktu aku pamit, Nania memaksa Bima untuk mengantarku. Jadilah sekarang aku terperangkap dalam rangkaian interogasi Bima. Dari tadi dia sudah protes keras saat aku memutuskan untuk berpura-pura lupa pada Saka. Helllooowww! Dia nggak tahu sih, apa yang aku rasain!

"Sudahlah, Bim. Anggap aja ini kesalahanku, seperti biasa. Anak ini anakku, titik." Aku menatap Bima tajam.

"Ya nggak bisa gitu, Sil... Ini Indonesia, bukan Perancis. Kamu hamil tanpa suami, apa kata orang nanti?"

"Mereka boleh bilang apa saja. Bukan mereka yang bakalan ngerasain, seperti apa rasanya punya suami gay! Gue nggak mau ya, suatu saat nanti, gue mengkhawatirkan suami gue yang nggak pulang-pulang kaya' Bang Thoyib, dan ternyata dia lagi nongkrong di Taman Lawang!" Aku menyedekapkan tangan dan membuang muka, melihat ke arah jalanan yang ramai. Berusaha keras menahan air mataku. Ya Tuhan, kenapa nasib gue gini banget sih? Apa ini karma karena aku dulu jahat banget sama cowok-cowok yang cinta sama aku? Memandang mereka seperti  sapu dan menginjak-injak mereka kaya' sepatu?

"Silvia... Saka gay, bukan banci..." ujar Bima berat.

"Nggak ada bedanya buat gue," ujarku pendek.

"Sil, lo perempuan smart. Salah satu perempuan terpintar yang pernah gue temui. Masa iya sih, lo mikirnya sependek itu?" Bima menatapku tajam. Aku cemberut.

Tentu saja, aku tahu bedanya antara gay dan transgender. Bedanya gay dengan orang yang mengalami Gender Identity Disorder. Gini-gini, saat aku ambil master degree-ku  di bidang Civil Law di Sorbonne Law School, aku sempat mengambil mata kuliah Psychology di semester awal. Dan kalau lihat penampakan  Saka, sepertinya dia bukan GID. Dia cowok banget! Apalagi saat melakukan itu sama aku! Hhh. Kepalaku langsung berdenyut-denyut. Pusing.

"You have to tell him, Silvia..." ujar Bima lagi.

"Nggak," ujarku keras kepala. Bima memaki kasar.

"Kalau aku bilang sama Saka dan menikah dengannya, it's gonna be my next mistake. Sudah cukup, Bima. Kesalahanku sudah banyak," ujarku.

"Permasalahan Saka itu... Kompleks, Sil. Banget. Jujur, gue kaget waktu lo bilang dia adalah ayah dari bayi lo. Karena, Saka itu jijik sama cewek. Dia bilang sendiri sama gue. Nhah, kalau gitu, gimana ceritanya dia bisa melakukan itu sama lo? Mungkin, sebenarnya Saka masih bisa diselamatkan, Sil..." ujar Bima. Aku menatap Bima.

"Dia bukan fakir miskin yang harus diselamatkan! Justru gue yang harus menyelamatkan diri gue! Kalau dia gay, tapi dia ML sama gue, kesimpulannya cuma satu. Dia AC-DC! Gila aja lo! Kalau gue kawin sama dia, gue nggak cuma harus waspada sama cewek, tapi juga sama cowok! Bisa mati muda gue, Bim!" ujarku emosi. Bima terdiam.

"Atau, dia memang berniat untuk berubah. Tidakkah terpikir sama lo? Saka itu mengalami masa kecil yang nggak menyenangkan, Silvia. Dia trauma. Dia memang butuh diselamatkan," ujar Bima.

"Siapa tahu, lo adalah penyelamat Saka, Sil... Gue lihat di matanya, Saka tertarik sama lo..."   

 "Sekarang, lo masih marah. Kecewa. Gue maklum kok, kalau lo marah-marah begini. Kalau gue di posisi lo, bisa dipastikan gue akan melakukan hal yang sama. Cuma, gue minta, pikirin lagi deh, dengan otak lo yang pintar itu, yang sering dipandang sebelah mata sama orang. Kalau lo bertingkah begini, lo cuma mengkonfirmasi apa yang dipikirin orang lain soal lo, Sil... Kalau lo itu jalang bodoh nggak berperasaan yang bisanya cuma nyakitin orang. You are more than that, Silvia..."

Aku terdiam. Aku memang sama sekali tidak tahu soal Saka. Apa penyebab dia menjadi gay. Sampai seberapa jauh ke-gay-annya.  Jahat kalau aku men-judge Saka hanya dari satu kata itu saja. Gay. Tapi... Memikirkan bahwa calon ayah anakku seorang gay, sudah membuatku mual. Astaga.

Aku menatap keluar jendela, dan meringis saat mendapati mobil yang dikemudikan Bima sudah masuk ke komplek perumahanku. Rumah Papa. Dan... Rumah Mbak Padmi dan Mas Bayu. Aku menghela napas. Oke. Mari kita singkirkan dulu soal Saka dan masalah orientasi seksualnya. Ada hal lain yang lebih penting.

"Mau gue antar ke dalam?" tanya Bima, menatapku prihatin. Tampangku pasti kacau sekali. Aku meringis.

"Nggak usah. Lo balik aja, nggak enak kan, di rumah lo lagi ada acara, lo malah ngurusin gue," ujarku pelan.

"Yakin?" tanya Bima lagi. Aku mengangguk.

"Makasih, udah dianterin," ujarku sambil membuka seat belt.

"Think about it, okay?" Bima menatapku. Aku balas menatapnya, enggan.

"Lihat aja nanti," ujarku pendek dan turun dari mobil. Bima membawakan koperku sampai ke depan pagar, lalu dia naik lagi ke mobilnya, dan melambaikan tangan, pergi meninggalkanku. Oke, Silvia. This is it...

Aku menekan bel, dan tak lama kemudian, Pak Ayub muncul dari posnya. Tampak kaget saat melihatku.

"Lho, Non Silvia! Naik apa, Non?" tanya Pak Ayub sambil buru-buru membukakan pagar.

"Diantar, Pak. Sama Bima," ujarku.

"Non Silvia dari Paris?" tanya Pak Ayub sambil mengambil alih koperku. Aku mengangguk.

Aku berjalan masuk sambil berusaha meredakan debaran jantungku yang tiba-tiba menggila. Aku terakhir pulang saat mengurus paspor, dan itu pun aku tidak bilang siapa-siapa kalau aku pulang. Aku menginap di hotel. Aku masih belum sanggup melihat Mbak Padmi dan Mas Bayu. Sekarang pun sebenarnya masih belum sanggup. Tapi aku tidak punya pilihan lain.

"Semua ada di rumah, Non. Tumben. Biasanya kalau Minggu begini, Mas Bayu dan Non Padmi pergi ke rumah orang tua Mas Bayu," ujar Pak Ayub. Aku meringis. Yaah, kenapa nggak pergi aja siiih! Setidaknya kan aku punya waktu untuk mempersiapkan diri! Aku menghela napas, pasrah.

"Tolong taruh di kamar saya ya, Pak, kopernya," ujarku. Pak Ayub mengangguk.

Aku berjalan masuk ke ruang tengah yang sepi. Terdengar suara-suara dari ruang makan. Ini memang jam makan siang sih. Aku mengepalkan tangan, menguatkan diri. Breath, Silvia... Breath...

"Siang semuanya..." aku memasang wajah penuh senyum, dan masuk ke ruang makan.

"Ya Tuhaaan! Silvia!" Mbak Padmi yang sedang duduk di meja makan yang penuh masakan, langsung berdiri saat melihatku, dan langsung memelukku erat-erat. Aku meringis.

"Hai, Mbak..." ujarku dengan suara tercekik. Mbak Padmi melepaskan pelukan eratnya dan tersneyum lebar.

"Kok pulang nggak bilang-bilaang! Kamu sama siapa dari bandara?" tanya Mbak Padmi sambil menyeretku duduk. Aku mencium tangan Papa dan mencium pipinya, sementara Papa tampaknya masih bengong melihatku.

"Aku semalam nginep di rumah Bima. Ada titipan buat dia, jadi aku antar sekalian. Abis itu aku nggak boleh pulang, suruh nginep. Ini tadi di drop sama Bima di depan," ujarku. Sekilas aku menangkap pandangan Mas Bayu. Mata hijaunya yang begitu aku rindukan... Aku tersenyum.

"Hai, Mas Bay. Makin gendut aja," aku tertawa, untuk menutupi rasa gugupku. Mbak Padmi tertawa, sementara Mas Bayu cemberut.

"Kamu tuh dateng-dateng bukannya kasih oleh-oleh, malah bikin BT," omel Mas Bayu.

"Kamu tuh, ngagetin Papa, Sil..." Papa tersenyum. Aku menatap Papa.

"Maaf ya Pa, Silvia jarang pulang. Tapi untuk sekarang, Silvia pulang seterusnya kok," aku tersenyum. Semua menatapku kaget.

"Lho? Seterusnya gimana, maksud kamu?" tanya Papa.

"Ya seterusnya. Nggak balik ke Paris lagi," ujarku.

"Kenapa? Kerjaan kamu?" tanya Mbak Padmi.

"Semua kontrak sudah aku beresin. Aku nggak betah, sepi. Kalau dulu kan ada Bima. Sekarang Bima pindah juga. Jadi males mau disana terus," ujarku beralasan.

"Kamu  ini, kebiasaan. Terus sekarang rencana kamu apa?" Papa menatapku. Aku memutar mataku. Ya elah, Papa. Baru aja nempelin pantat di kursi, udah langsung ditanya mau ngapain ke depannya. Ya mana mikir sih! Masih mau fokus sama masalah Saka dulu. Saka. Hiih.  

"Nanti dulu deh, Pa. Silvia mau santai-santai dulu, menikmati hidup, mumpung masih muda," jawabku asal. Papa menggelengkan kepala. Mbak Padmi menatapku dan Papa bergantian.

"Eh, Sil. Makan dulu nih! Tadi aku masak tu, pastel tutup. Percobaan," Mbak Padmi berusaha memecahkan ketegangan yang sempat tercipta antara aku dan Papa. Thanks, Mbak Padmi.

Setelah makan siang, aku masuk ke kamarku. Lelah sekali rasanya. Aku menghempaskan badan di kasurku yang empuk dan tidur telentang dengan nyamannya. Fuuuhhh. Aku memejamkan mata.

"Sil?" Mbak Padmi mengetuk pintu kamarku yang sedikit terbuka dan melongok ke dalam kamar. Aku membuka mata. Mbak Padmi sedang menatapku yang tidur telentang dari depan pintu. Aku buru-buru bangun dari tidurku.

"Iya, Mbak?" aku menatap Mbak Padmi, yang matanya menelusuri seluruh tubuhku.

"Kamu hamil?"

***

Continue Reading

You'll Also Like

15.5K 2.3K 5
Menikah? Di usia dua puluh tahun? Dengan laki-laki asing pilihan Papi? Ini lebih gila daripada disuruh pindah keluar negeri. Hidup seorang Geraldin C...
63.2K 5.2K 29
yang katanya rumah adalah tempat pulang ternyaman bagi orang-orang, tapi apakah tempat berpulang paling nyaman bagi gadis cantik berlesung pipi itu...
147K 30.2K 30
Kalau ada satu hal yang dihindari Rakha, itu adalah komitmen dengan lawan jenis. Dia menikmati kebebasannya dan tidak berniat menghadirkan seorang pe...
268K 48.9K 60
Blurb : Menikah adalah prioritas nomor ke sekian bagi Rolan, sebelum dia bertemu sosok Mita. Gadis polos penderita disleksia. Sayangnya, Mita adalah...