Live a Calvin Life ⁽ᴱᴺᴰ⁾

By permissiontohigh

50.5K 5.6K 747

Calvin punya cara untuk menciptakan bahagianya sendiri. ⚠️ 𝘢𝘯𝘨𝘴𝘵 More

A Glimpse
2. New Partner?
3. Grandpa dan Bunda
4. Bahagia itu sederhana, katanya.
5. A Trap
6. Bad Day(s)
7. Long Story Short
8. Sorry?
9. It's just the beningging
10. Step-by-step plan
11. One step closer
12. Big bro 👊
13. Well deserved
14. Calvin dan Jiwa-Jiwanya
16. Staycation
17. Vakansi
18. Painful Truth
19. Too Much
20. Kusut
21. Papa | End of S1
| Road to Season 2 |
CALV Season 2
- Sequel Calv -

15. Sepupu Baru

1.7K 248 39
By permissiontohigh

Rasa bersalah menggunung di dalam diri Calvin. Sejauh perjalanan ke rumah sakit dia tidak banyak bicara. Paramedis yang memeriksa pun bertanya banyak hal, tapi hanya dijawab dengan gerakan kepala. Setibanya di lobby depan UGD, Calvin berdiri diam saat brankar berisi Nuki diturunkan.

"Calvin!" Mendadak badannya diputar, dipegang bagian bahu, membuatnya meringis, "Akh."

"Maaf maaf. Apalagi yang luka?" Ners perempuan yang dia kenal sebagai teman Kinanti pun refleks menarik tangannya, tapi matanya memindai Calvin dari kepala hingga kaki. "Kakimu lecet!"

"Mbak nggak usah. Aku masih bisa jalan," Calvin menghentikan suster itu saat akan mengambil kursi roda.

Akhirnya Calvin dituntun ke ruang UGD, tiba setelah Nuki. Beberapa suster yang akan menangani Nuki sempat terkejut karena Calvin juga menjadi korban kecelakaan. Walaupun tampak jelas Calvin masih bisa berdiri tegak, tapi suster dan dokter jaga justru lebih mencemaskannya.

Dia berada di salah satu bilik sementara beberapa orang mengerubungi, cekatan mengobati lukanya. 

Tepat di bilik sampingnya, hanya dibatasi tirai adalah Nuki. Calvin khawatir dan ingin memastikan kondisinya baik, tapi tidak diberi akses untuk mengintip. Memikirkan Nuki jadi teringat...masa iya dia一Calvin meringis. Bukan karena prasangkanya, melainkan karena mulai merasa linu di salah satu bagian tubuh.

"Mmm kak一eh dok," ragu-ragu dia memanggil.

"Ya?"

"Dokter tau kan aku habis operasi di sini," ucapnya seraya menunjuk bagian dada. Dia yakin dokter muda yang entah sedang melakukan apa dengan bahu kirinya itu tau riwayat penyakitnya.

"Ehem?"

"Sekarang sakit. Kaya mau...eugh meninggal一"

Si dokter masih tampak santai. "Mau pake infus nggak?"

"Nggak," dengan cepat Calvin menyahut. 

"Dok." Calvin mengerang kecil lagi. "Dokter Rifza~"

Si dokter muda pun membuang napas panjang setelah selesai membebat bahu kiri Calvin. "Ada cedera di bahumu. Nanti kita MRI buat mastiin keparahannya."

"Terus, kalo bahu aja sakit, dadamu pasti juga sakit soalnya kamu guling-guling. Area bekas jahitan kemarin masih rentan, eh udah dipake aktivitas berat. Nyeri 'kan?"

Calvin mencebik di sela meringis. Bukannya langsung mengobati, malah mengomel. Salah dia juga sih main pergi tanpa izin. 

Beberapa saat kemudian Harsa dan Joe tiba. Calvin meyakinkan mereka bahwa lukanya tidak lebih parah dari Nuki. Keduanya pun beralih ke bilik sebelah di mana Nuki sudah sadar tapi masih linglung.

"Gagar otak ringan. Responnya bagus, kesadarannya bagus, cuma karena masih syok jadi agak bingung. Sementara butuh rawat inap 1 sampai 2 hari untuk liat ada dampak lain atau tidak," jelas dokter tentang Nuki.

Di penjelasan lanjutannya Joe sedikit terditraksi oleh Calvin yang dibantu menuruni brankar, kemudian dibawa keluar dengan kursi roda. Harsa berusaha fokus walau matanya tak tahan melirik kepergian Calvin bersama dua ners dan satu dokter.

"Dok, kalo temen saya yang satunya gimana?" Joe bertanya sesaat setelah dokter selesai menjelaskan.

"Siapa? Oh一Calvin?"

Joe mengangguk tapi dahinya mengernyit heran sejenak, sebelum sadar mungkin dokter itu mengenal Calvin karena Calvin sering berobat untuk autoimunnya. 

Belum dokter menjawab lagi, Harsa mendahului. "Gue aja yang nyusul Calvin. Lo nemenin Nuki." Sedikit melirik pria lainnya, memastikan si dokter tidak akan menjelaskan kemana Calvin dibawa, lantas Harsa bergegas pergi.

"Loh kenapa ini?"

"Selamat siang, Pak Basta," Dokter Rifza menyapa.

Di kamar Calvin hanya ada Basta yang tentu saja terkejut sebab Calvin pulang dalam keadaan memprihatinkan. Kancing atas seragam lusuhnya dibuka, menampilkan bahu kiri yang dibebat perban coklat. Celananya pun sudah berganti celana rumah sakit karena celana seragamnya sobek.

"Pelan-pelan," suster harus mengingatkan karena Calvin tergesa ingin segera berbaring di ranjangnya.

"Soal kejadiannya, bapak bisa tanyakan langsung pada Calvin. Saya akan menjelaskan kondisi lukanya terlebih dahulu."

Baru Calvin menyamankan diri, pintu menjeplak terbuka lebar-lebar.  Calvin sempat mengangkat kepala untuk melihat tiga dokter sebagai pelakunya. Dia memutar mata, lalu kembali rebahan.

Sebelumnya...

Metta, Oka, dan Hendrik sedang makan siang di cafetaria saat salah satu orang dari rombongan suster mendatangi meja mereka.

"Loh dok masih di sini? Katanya Calvin kecelakaan."

"Hah?!" Kompak ketiganya langsung tancap gas lari.

Jadilah sekarang Hendrik berdiskusi dengan dokter yang tadi menangani Calvin, sementara Oka memastikan kepala pasien kesayangannya tidak terdampak. "Pusing nggak? Matanya burem nggak?"

Digelengi Calvin. "Ini yang sakit," menunjuk dadanya dengan mata berkaca-kaca.

Metta duduk di kursi dan menggenggam tangan Calvin karena anak itu memejam tampak sangat kesakitan. "I feel so weird...eghhh...gini rasanya sakaratul maut?"

"Heh ngomong apa." Hendrik menerima obat yang baru tiba, dibawa oleh suster.

Selepas Dokter Rifza pamit keluar dan meninggalkan pesan akan menyiapkan ruang radiologi, situasi di kamar Calvin chaos. Jiwanya yang tadi sok kuat, kini dilepaskan sehingga para dokter perlu menenangkan.

Hingga pintu kembali dibuka, gerakan mereka terhenti sejenak. Dia Harsa, melirik sekitar dan lega karena selain tim dokter, hanya Basta yang ditemui. 

"Harsa. Kamu utang penjelasan." Suara berat Basta menyapa.

"I-iya mas," jawabnya terbata-bata. 

Tampaknya Harsa tidak diizinkan bernapas dengan tenang karena kini dia bimbang antara jujur atau mengarang.

"Bunda nggak mau ketemu Calvin buat yang terakhir kali?" anak itu masih meracau dengan pandangan terpaku pada lukisan keluarga astronout tepat di dinding depannya.

"Calvin..." Walau Metta tau ucapan itu keluar akibat obat yang diinjeksi, tetap saja nyesek. Secara tidak langsung, Calvin menginginkan keberadaan Bundanya. 

"But I'm dying..."

"No you're not. Relax ok? Kakak-kakak dokter mau sulap. Kaya biasanya, habis disihir habis itu, poof! Nggak sakit lagi," Metta berusaha menenangkan dengan mengusap kepala Calvin dan berbisik di telinganya.

"Poof," lirih Calvin. Obat mulai bekerja dan dia mulai tenang. Matanya pun berkedip lambat.

"That's right. Poof!"

"Poof," terakhir dan akhirnya Calvin tertidur setelah melirihkan mantra.

Pancaran mata Harsa menyendu. "Kak Tyan kemana mas?"

"Sama tuan dan nyonya besar, lagi nemuin Nona Camila. Beliau mau melahirkan."

Harsa mengumpat dalam hati. Sia-sia Calvin dan Nuki pulang lebih cepat menggunakan motor sampai terlibat kecelakaan.

"Terus kata dokter, Calvin gimana? Kok kayanya sakit banget."

"Nggak papa. Cuma dadanya bekas operasi kemarin ke-trigger karena benturan keras sama bahu kirinya mau di MRI habis Calvin istirahat."

Menyelimuti Calvin sebatas dada, mengecup pelipisnya sayang, kemudian Metta bersama dua rekan sejawatnya mendekat ke Basta dan Harsa. "Nggak papa?" tanya Basta.

"Yeah. Just being dramatic."

Mereka tertawa. Hasil pemeriksaan sementara tidak menunjukkan ada yang fatal atau sampai membuat Calvin sakaratul maut一seperti keluhannya tadi. Dasarnya Calvin saja yang drama dan mengeluarkan jiwa adik bungsu di tengah orang-orang yang dianggap kakak.

"Thanks ya udah sabar banget nanganin Calvin," ujar Basta tiba-tiba.

"Kaya sama siapa aja. Adek gue juga itu," sahut Oka.

Hendrik menepuk bahu Basta, memahami beban yang dipikul pria itu. Menjaga anak yang bandelnya minta ampun saja sudah stress, apalagi akhir-akhir ini Tyan sering mengajaknya mengurus perusahaan. Dan itu terjadi semenjak kehadiran Harsa. Tyan sudah menaruh kepercayaan kepada si mahasiswa.

🔞

"You look awful," komentar Jonas saat melihat wajah pucat Nuki yang duduk di ranjang pesakitannya.

"Yeah, at least I'm still alive."

"Untung lo pake helm trus jatohnya di tanah. Coba kalo dilindes tr一AW!" kalimat Jonas terpotong di akhir karena dengan tidak sopannya Nuki menendang bagian bawah (sakral) miliknya. "Fuck. Lato-lato gue," rintihnya.

"Mulut lo, main doain jelek."

"Misalnya. Bukan doain." Dengan kaki sedikit mengangkang, Jonas berjalan penuh hati-hati ke sofa terdekat, bergabung dengan Joe.

Noah menarik kursi di samping ranjang untuk duduk. "Calvin gimana? Lo udah ketemu lagi?"

"Belum. Cuma kata bokap pas mau nebus obat semua biaya selama gue dirawat bakal ditanggung keluarganya Calvin. Malah jadi nggak enak gue."

"Lah bagus dong dia tanggung jawab?"

"Ck. Justru harusnya gue yang tanggung jawab, yang nyetir 'kan gue." 

"Bukan Calvin atau lo yang salah, tapi mobil yang nerobos lampu merah," Joe menimpali dengan kepala menunduk mengotak-atik ponsel. Kemudian dia berdiri, menunjukkan layar ke Nuki dan Noah. "Ada CCTV di persimpangannya. Kak Harsa udah urus."

Mereka tidak terkejut. Kalau sudah menyangkut Calvin, pasti Harsa sudah beberapa langkah lebih maju. Jadi, sekarang yang belum terpecahkan adalah bagaimana kondisi Calvin.

Panjang umur, sebab pintu dibuka dari luar dan Calvin yang duduk di kursi roda masuk, didorong Tyan.

"Calv! Thank God, akhirnya. Hampir gue acak-acak ni rumah sakit buat nyari lo," heboh Jonas. Dia akan berdiri, tetapi area masa depannya masih berdenyut jadi terpaksa kembali duduk. 

Walaupun wajahnya tak kalah pucat dengan Nuki, senyum Calvin tetap menjadi favorit. Sedangkan mata Nuki membulat melihat sang panutan; Tyan. Pun Noah langsung berdiri cepat, hampir membuat kursi terjungkal.

Ingatkan Nuki untuk berkedip dan menutup mulut. Tak bosan-bosan dia mengagumi setiap jengkal tubuh Tyan. Rambut panjangnya disisir rapih, tato di lengan kekarnya terekspose karena menggunakan kaos lengan pendek, celana jeans robek, dada bidang berhias kalung, dan tentu postur tubuhnya tinggi kekar一idaman Nuki jika sudah besar nanti. 

Sungguh Tyan tidak menunjukkan usia om-om.

Kira-kira parfum apa yang dipakai Tyan sampai-sampai bau antiseptik tersamarkan oleh wanginya. Oh一jaket jeans hitam yang digunakan untuk menyelimuti paha dan kaki Calvin pasti lebih wangi.

Pikiran Nuki yang berkelana dipaksa kembali saat Noah mencubit pinggangnya. "Itu ditanya Pak Tyan."

"O-oh. Ya?" Nuki berkedip cepat.

"Gimana keadaanmu?" Tyan mengulang pertanyaannya.

"B-baik, pak(?)," dijawab dengan ragu-ragu. 

Tyan terkekeh kecil. "Kak aja," katanya.

Senyum Nuki melebar seperti orang mendapat kado istimewa. "Oke." Lalu mengangguk seperti orang bodoh. "Baik banget kok kak. Cuma gagar otak ringan sama lecet-lecet di kaki tangan."

Dari sofa, Joe memutar bola mata malas dan Jonas meringis julid.

"Nuki," panggil Calvin mencicit. "Gue mau minta maaf."

"Nggak perlu. Mobil yang nerobos lampu merah yang harusnya minta maaf. "

"Tapi gue melibatkan lo di nasib sial gue gara-gara gue bohong. Ya 'kan Tyan?" Calvin mendongak untuk menatap sang paman di belakangnya. Namun Tyan hanya mengedikkan bahu.

Membaca situasi, Joe menengahi. "Kalo gitu lo harus tobat. Lagian kalo bahas salah, semua salah. Gue nyaranin kalian naik motor, Kak Harsa mau-maunya bantu lo, Nuki nyetirin lo, trus lo berusaha ngewujudin impian lo. Yang terakhir jelas nggak salah, cuma cara lo kurang tepat."

Jonas membuat suara pekikan lirih karena kagum dengan kata-kata Joe. Sedangkan Nuki mengangguk, begitupun Noah. Merasa kepalanya diusap dari atas, Calvin mendongak lagi. Dia mendapati Tyan menaik-turunkan satu alis.

"Iya sih. Tadi Tyan juga bilang gitu, guenya aja yang ngerasa kaya dapet karma."

"Enakan juga kurma, Calv," ceplos Jonas lalu Noah berjalan menghampirinya. Dipikir akan menimpuk dengan bantal, ternyata bantalnya dipangku dan dia duduk di samping Jonas. "Jayus," bisik Noah tepat di telinga sahabatnya.

"Nuki selamat ya dapet juara 1 olimpiade Sains 'kan kemarin?"

Ucapan Tyan membuat senyum Nuki semakin lebar. Ada guratan malu-malu kucing di wajahnya. "Makasih kak."

Calvin tau Tyan sedang menyindirnya. Tadi pagi dia jujur tentang alasan kabur. Tyan tidak marah, malah meledek, katanya gara-gara tidak ada restu dari Tyan, jadi Calvin hanya memperoleh juara 2.

Melirik ke Joe, Calvin teringat ini masih jam sekolah. "Kok lo nggak sekolah?"

"Libur. Sekolah ditutup seminggu buat dievaluasi gara-gara kasus Regan."

Calvin tau perihal Regan dari berita yang tersebar. Dari banyaknya berita yang muncul, tak jarang dia menemukan wajahnya sendiri di-blur. Basta bilang Calvin tidak perlu takut lagi. Memang, tapi itu tidak mengubur fakta bahwa dia anak hasil hubungan di luar nikah.

Dari luar Calvin terlihat sudah berdamai dengan itu, padahal dalam hatinya selalu marah jika mengingatnya.

"Wah rame sekali," wanita paruh baya, Ibu dari Nuki masuk membawa banyak kantong di tangan. "Untung Mama masaknya banyak lho一eh ya ampun, ini Bastian Bastian yang sering kamu bahas itu 'kan, Nuki?"

"Ma!" Nuki melototi sang Ibu, tapi tidak dihiraukan. 

Setelah menyimpan bawaan ke meja, Mamanya menyelipkan rambun ke belakang telinga lalu menyalami Tyan. "Saya Atya, mamanya Nuki. Setiap hariii dia nunjukin fotonya nak Bastian buat minta izin nge-gym. Katanya biar badannya kaya Bastian gitu." Kemudian tertawa anggunly dengan tangan masih menggenggam erat milik Tyan.

"S-salam kenal, tante." Tyan menggigit bibir bawahnya saat wanita bernama Atya itu mencubit pelan lengannya.

"Duh tatonya banyak ya, pantes Nuki bilang pengen punya tato kalo udah kuliah.

"Saya tu boleh-boleh aja sebenernya. Cuma nggak bisa bayangin anak kelinci kaya dia jadi sangar apa nggak wagu."

Saat Tyan hanya bisa nyengir sekaligus meringis karena tangannya di remat, Calvin melepaskan tawa. "Bener tante. Nggak cocok," katanya menggoda Nuki yang menarik selimut sampai menutupi wajah.

"Kalo ini pasti Calvin. Gemesnya~" 

Tyan patut berterima kasih pada sang keponakan karena akhirnya dia bebas. Namun, dia meringis karena korbannya ganti Calvin一pipinya dicubiti.

"Gemesnya tante kok pake kursi roda? Sakit gara-gara jatuh sama Nuki kemarin ya? Kasian..."

Tangan lembut yang membelai pipi Calvin membuatnya terlena. Meski dia sering mendapat sentuhan itu dari Metta dan Kinanti, tapi rasanya berbeda dengan sentuhan tangan wanita yang berstatus Ibu.

Terakhir pipinya ditepuk lembut. Rasanya Calvin tidak rela saat tangan mama Nuki menjauh. "Dah sekarang ayo makan! Tante masak banyak ni gara-gara Nuki nggak suka masakan rumah sakit. Manjanya ampun deh."

Atya mencium kening Nuki lama dan itu membuat Calvin semakin terbakar api cemburu. Bukan maksudnya dia ingin memiliki Atya, melainkan ingin mendapat sentuhan seperti itu dari Bundanya sendiri.

"Calv," panggil Tyan seraya membungkuk dan berbisik. "Are you ok? Mau balik kamar aja?" Dijawab gelengan kepala.

"Ayo sini sini nak Bastian sama Calvin. Ambil suka yang mana. Apa mau diambilin?" tawar Atya saat pemuda yang lain sudah memegang kudapan masing-masing. 

"Enak tante!" Jonas bahkan menanyakan resep dan bertukar nomor dengan mama Nuki.

Sementara Calvin hanya bisa memandangi makanan lezat di hadapannya. "Calvin udah kenyang, tante."

"Ah masa? Kalo strawberry and banana smoothie suka nggak? Enak lho ini, kesukaannya Nuki."

Di antara mereka yang tengah menikmati makanan, Joe menatap Calvin penuh arti. Selain Tyan, dia tau Calvin tidak bisa makan tanpa feeding tube. 

"Calvin sukanya susu tan. Tante bawa susu sapi biasanya itu nggak? Yang fresh dari peternakan kakeknya Nuki," ujar Joe si paling peka.

"Bawa dong!"

Bergantian dari melirik Joe lalu Atya yang kini bersemangat menuangkan susu ke gelas, kemudian Calvin menoleh ke Tyan meminta persetujuan. 

"Boleh. Pelan aja minumnya," lirih Tyan. Otomatis senyum Calvin merekah hingga pipinya mengembang. Tyan mengusak rambut Calvin saking gemasnya. 

Segelas susu diberikan ke Calvin. Tadinya Tyan juga ditawari, tapi dia beralasan sedang diet, jadi hanya duduk di kursi yang diberikan Joe sambil memastikan Calvin minum secara perlahan.

Calvin coba menyeruput. Namun, saat menelan dia tersedak kecil. Begitu saja Tyan sudah panik dan langsung berjongkok di depan Calvin. "Kalo nggak bisa dibawa ke kamar aja gimana, hm?"

"Kenapa?" bisik-bisik keponakan dan paman itu tak luput dari perhatian Atya. Dia sampai berhenti mengupas apel.

"Nggak papa, cuma kepanasan," jawab Calvin nyengir.

"Di sini aja, Tyan," kini merengek pada Tyan. Alhasil gelas diambil alih, lalu dia disuapi Tyan menggunakan sendok.

Camila, anak ke-dua Diana dan Arthur Sanjeeva melahirkan bayi cantik kemarin. Awalnya Calvin tidak mau diajak membesuk kalau tidak ingat wanita itu masih tantenya. Tangan saja masih digendong untuk menghindari lama sembuh karena Calvin banyak polah.

Berjalan masuk, Calvin bersembunyi di belakang punggung kokoh Tyan dan Basta. Dia merasa kecil. Terlebih selain Grandma dan Grandpa, tidak ada yang menyambutnya seperti cara mereka menyambut Tyan. Bahkan saat Basta menariknya maju, hanya Tyan yang disapa.

"Ya ampun tanganmu sayang. Masih sakit?" Meski hatinya ingin cepat-cepat pergi, Calvin mengangguk dengan kepala masih menunduk. 

Tangan sang nenek yang mulai keriput terangkat untuk mengusap pipi sang cucu. Hatinya bersorak senang ketika bisa menyentuh tanpa ditepis. Namun, ada desiran pedih merasakan pipi yang dulu mulus, kini direkati selang dan plester.

Melihat air meluncur dari mata teduh Grandma, Calvin melangkah mundur. Walaupun dia masih menyimpan rasa kecewa, tapi dia lebih benci ketika Grandma menangis tepat di hadapannya, apalagi menangisi kelemahannya.

"Ayo sini," ajak Grandpa tidak mau membuat suasana yang seharusnya bahagia menjadi muram. Beliau menuntun Calvin ke box bayi. "Liat sepupu barumu. Cantik 'kan?"

"Cantik." 

"Kalo tangannya kotor jangan megang-megang bayi."

Calvin ingin menyentuh bayi merah itu, tapi ucapan Camila menghentikannya. Sang suami pun langsung menegur.

Tak lama keluarga lainnya datang silih berganti meramaikan kamar rawat. Semua orang memberi Calvin tatapan aneh. Sungguh Calvin ingin segera pergi untuk bernapas. Dia meminta izin pada Tyan ingin jalan-jalan keluar sebentar. Diizinkan, tapi ditemani Basta.

Rumah sakit tempat Camila bersalin adalah Rumah Sakit Ibu dan Anak yang tentu berbeda dengan rumah Calvin. Sekelilingnya dilalui oleh keluarga bahagia. Ada Ibu mengandung ditemani suami dan anak, keluarga kecil pulang setelah si Ibu melahirkan, dan anak-anak berlarian dikejar Ibunya. Calvin tersenyum miris.

"Calvin," panggil seorang pemuda saat mereka berada di taman. 

Otomatis yang dipanggil memutar badan. Dari jarak sekitar 5 langkah, berdiri sosok kakak sepupu yang sudah lama tidak menjalin komunikasi dengan Calvin karena kuliah di Jerman.

"Kak Dhito," lirih Calvin yang hanya terdengar oleh Basta.

Serius nanya, mau angst aja apa angst banget? 

Jawaban kalian menentukan karakter Dhito. Kemungkinan menentukan plotnya juga sihhh 😬

Ini nih idolanya Nuki,

Continue Reading

You'll Also Like

295K 18.5K 41
langsung dikepoin. Cerita ini murni dari pemikiran saya sendiri, jika ada kesamaan nama, tempat, kalimat,dan kejadian itu semua saya tidak sengaja, t...
35.5K 3.7K 65
⚠️MTL NO EDIT Judul asli: 當魔王穿成小可憐[星際] Penulis: 牧白 Status: Selesai Bab: Bab 126 [119 + 7 Extra] https://www.jjwxc.net/onebook.php?novelid=5759246
52K 6.5K 29
Setelah kepergian jennie yang menghilang begitu saja menyebabkan lisa harus merawat putranya seorang diri... dimanakah jennie berada? Mampukah lisa m...
2.6K 434 9
Winrina Sunda. . winrina#wintop#genben#.