God ....
Mail mendesah ketika membuka pintu joglonya dan mendapati seorang bidadari sudah berdiri di hadapan.
Paling lemah dia tuh kalau dihadapkan pada yang cantik-cantik begini. Bawaannya gampang luluh.
"Babe, nanti ada yang lihat, nggak enak," ujarnya, tapi sang pacar kelihatan sangat bertekad.
Nggak menggubris ucapan Mail, Trinda malah nanya, "Udah kelar, meeting-nya?"
"Udah."
"Kalau gitu ayo ngobrol dulu sebentar. Nunggu nyampe Jakarta, kelamaan."
Sekali lagi, Mail mendesah.
Ini kalau nggak sengaja dilihat oleh para Bude, bisa makin runtuh harapan mereka berdua endgame semester depan.
"Ngobrol di mana?" Mengkhianati kekhawatirannya, Mail balik nanya.
Bukannya menjawab, sedetik kemudian Trinda sudah menunduk dan menerobos masuk melewati bawah lengan Mail yang masih memegangi daun pintu.
Dengan pedenya cewek itu langsung mencari tempat duduk di dalam kamar Mail.
"Di sini aja. Aku udah pilihin Mas kamar tamu paling ujung, jadi aman. Nggak bakal ada yang ke sini."
Mail nyebut dalam hati. Terpaksa dia menutup pintu di belakangnya. Kalau nggak ingat lagi berjuang menggapai restu, didatangi sang pacar malam-malam begini ke kamarnya, sudah pasti akan dia manfaatkan dengan sebaik-baiknya.
"Go ahead.," ucapnya kemudian.
"Duduk dulu sini." Melihat Mail masih berdiri di dekat pintu, Trinda menepuk salah satu dari dua kursi di depan meja teh yang di atasnya masih terdapat laptop Mail yang terbuka, tapi sudah mati layarnya.
Mail menurut saja, kayak bocah.
"Coba Mas bilang, kenapa tadi siang kayak sebel banget sama aku?" Trinda mulai bicara.
Jelas aja alis Mail terangkat tinggi-tinggi mendengar pertanyaan pacarnya itu. "Emang beneran lagi sebel, bukan kayak."
"Oke, oke. Terus sebelnya kenapa?"
"Kenapa?" Astaghfirullah hal adzim. Mail nyebut untuk kesembilan ratus sembilan puluh sembilan kalinya hari ini. "Baru juga sehari yang lalu kita setuju sama syarat ibu kamu buat nunggu kamu lulus dulu sebelum ngomong ke bapak kamu. Eh, kamu main nyelonong ketemu beliau duluan dan nggak merasa bersalah. Jelas aja ibu kamu kecewa. Aku juga kecewa."
Trinda menghela napas panjang. Kesepuluh jemarinya saling bertaut di pangkuan. Kelihatan ... kalem dan sabar? Padahal, kalau ada yang bersabar hari ini, Mail lah orangnya. Trinda mah biang kerok!
"Percaya nggak semisal kubilang aku bukan dateng buat ngomongin itu?" Nada si cewek melembut ketika bertanya lagi.
Mail skeptis. "Terus bapak kamu tau dari mana?"
Trinda mengangkat bahu sedikit. "Intel?"
"Babe!"
"Ya mana aku tahu, Mas? Mungkin Mas Agus keceplosan ngasih tau? Atau ibu ngigo pas tidur? Atau beneran dia punya mata-mata di Jakarta?" Trinda being Trinda ... emang udah paling bener Mail nggak usah menanggapinya dengan serius. Karena bahkan yang kemudian keluar dari bibir sang cewek makin absurd saja. "Coba kamu selidiki rekeningnya Oscar. Ada transferan masuk satu M nggak? Jangan-jangan dia double agent. Dan aku bakal selidiki rekeningnya Winny."
Masih mau bete, tapi Trinda bego banget, bikin Mail kesusahan menahan tawa.
Terpaksa cowok itu mencubit salah satu pipi pacarnya keras-keras untuk melampiaskan kekesalannya. "Beneran kamu ke sini sama sekali nggak ngomong apa-apa?"
"You can count on me." Trinda membuat gestur menutup resleting di depan mulutnya, bahwa dia bisa dipercaya. "Aku tuh berusaha mati-matian untuk nggak nyebut nama Mas tiap ngobrol sama Bapak-Ibu, tau. Pokoknya aku berlagak bego biarpun ibu kayak julid banget lirikannya. Yang berhubungan sama Mas, aku cuma sempet ngasih tau tentang rukonya Mbak Zora aja. Mas kan tau Bapak demen nimbun properti di mana-mana."
"Udah, itu doang?"
"Sama aku bilang kopinya Nowness lebih enak dari Starbucks."
"Good."
"Sama aku bilang, kalau nggak dapet judul skripsi yang oke, aku mau minta data ke Nowness aja."
Mail mulai capek.
Trinda sama sekali nggak bisa dipercaya.
"Sama karena adik iparnya Mbak Elok yang kerja di SCBD bilang mau beli apart di District 8, aku bilang kalau Mas tinggal di sana juga, jadi bisa ditanya-tanyain kalau butuh info."
Beneran, Mail capek banget loh. "Kamu sengaja cari gara-gara, kan? Biar ibumu darah tinggi?"
"Enggak Mas, sumpah. Subtle banget hints-nya. Nggak mungkin bapak langsung bisa nebak kita pacaran kalau nggak ada yang ngomong." Dan sebelum kena jitak di kepala, cewek itu buru-buru memundurkan kursinya ke luar jangkauan tangan Mail, juga cepat-cepat mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah kanan sebagai lambang perdamaian. "Peace."
Karena susuk Trinda kayaknya manjur banget, Mail nggak bisa marah. Om-om itu cuma bisa berdecak, menyuruh ceweknya segera balik ke kamarnya sendiri sebelum ada yang sadar kalau dia meninggalkan kamar malam-malam begini.
"Abis dicemberutin seharian, minimal cium kek." Trinda masih aja punya muka buat nego sebelum pergi. Mana ekspresi mukanya tolol banget. Ampun, deh. Mail sampai sakit perut.
"Enggak. Besok aja." Cowok itu memberi janji-janji.
"Aish!" Dengan paksa, Trinda pasrah punggungnya didorong ke arah pintu.
Seiring kepergian pacarnya, senyum miring tercetak di bibir Mail.
Cium? Ugh, mana bisa Mail cium doang?
~
"Semalem aku lupa bilang ...." Ucapan Trinda itu menggantung di kuping Mail yang duduk di sebelahnya dalam penerbangan YIA-HLP keesokan paginya.
Karena selain mereka berdua hanya ada dua mbak-mbak bule yang menempati dua belas kursi itu, jadinya Trinda leluasa nyender-nyender, pegangan tangan, bahkan cium pipi pacarnya.
"Apa?" Mail balas nanya pelan.
Hari ini, mereka balik kayak baru jadian lagi, pasca lunturnya semua kekesalan akibat 'kesalahpahaman' kemarin.
"Aku udah dapet beberapa judul."
Berita yang diucapkan dengan senyum-senyum itu sempat membuat Mail nggak percaya. Tapi kemudian dia sadar, senyum-senyum Trinda kali ini bukan senyum-senyum nahan bohong.
"For real? That's good." Setelah kebanyakan bad mood, akhirnya Mail punya alasan untuk berbahagia minggu ini. "Kasih tau, coba, topiknya apa?"
"Ntar." Sayangnya, Trinda menggeleng. "Tunggu aku ketemu Bu Kiki dulu. Kalau dia oke, terus dosbing oke, aku kasih tau Mas."
Tetap saja, baby step kudu disyukuri. "Anak pinter. Gitu dong. Semangat." Mail mengacak-acak rambut sang cewek. "Berarti jadi ke Depok hari ini?"
Trinda mengangguk. "Dari bandara aku langsung ke Depok."
"Aku temenin aja deh." Mail sok nawarin, padahal jelas-jelas dia mau ketemu Zora jam makan siang nanti.
Untungnya Trinda masih waras. "Aku langsung balik Jakarta lagi ntar sore, kok. Mas temenin aku makan malem aja nanti, ya. Jangan malem-malem tapi. Kelarin kerjaanmu sebelum Maghrib. Bisa?"
"Bisa." Mail menjawab mantap.
Tuh kan, kayak baru jadian?
Bak berbagi sel otak yang sama, Trinda menautkan jari kelingkingnya dengan kelingking sang pacar. Perempuan itu menoleh, mengulas senyum yang seolah bikin Mail perlu mendapat suntikan insulin sekarang juga. "Bismillah ... semester depan halal ya, Mas?"
Sepasang mata cantik itu mengerjap.
Mail bisa melihat pantulan wajahnya di mata Trinda.
Dan tiba-tiba saja mukanya terasa panas.
Perlahan dia mengangguk. Anjrit, kenapa rasanya gimanaaa gitu.
Ketik Bismillah buat dobel update, wqwq