The Poem We Cannot Read

By Janeloui22

41.6K 4.9K 1.3K

[ON GOING] To understand something isn't her strongest point. However, the young genius professor that later... More

Cast
Chapter One
Chapter Two
Chapter Three
Chapter Four
Chapter Five
Chapter Six
Chapter Seven
Chapter Eight
Chapter Nine
Chapter Ten
Chapter Eleven
Chapter Twelve
Chapter Thirteen
Chapter Fourteen
Chapter Fifteen
Chapter Seventeen
Chapter Eighteen
Chapter Nineteen
Chapter Twenty
Chapter Twenty One
Chapter Twenty Two
Chapter Twenty Three

Chapter Sixteen

1.2K 167 16
By Janeloui22

Hello~~

This chapter will be short—tapi penting juga buat perkembangan plot. Heuheu... Selamat membaca~

❄️
❄️
❄️

“The future for me is already a thing of the past. You were my first love and you will be my last.”
—Bob Dylan—

Jaemin mengetuk dahi Minjeong tanpa permisi. Hal itu sekonyong-konyong membuat si gadis melempar tatapan tajam. Meski demikian, Jaemin hanya mengulas senyum, lalu mengusap puncak kepala Minjeong sebelum mendudukan diri di sampingnya. Ia menaruh kedua tangan di atas meja—menopang dagu dengan salah satu tangan yang dilipat sementara tangan yang lain ia gunakan untuk mengetik beberapa baris pesan di ponselnya.

“Sinting Jenius,” gumam Minjeong dari balik kepala Jaemin, “itu siapa?”

Seketika Jaemin mendongak, melihat Minjeong yang meliriknya tepat di mata. Itu membuat jantungnya berdegup kencang. Kendati sangat sering menggoda Minjeong, tapi beradu tatap dalam jarak sedekat itu dengan gadis pujaannya justru membuat Jaemin tersipu malu. “Oh… ini… um… Jaehyun.”

Jawaban terputus-putus dan kurang jelas yang diberikan Jaemin sontak membuat Minjeong tertawa kecil. “Wah, ini benar-benar tak biasa. Sejak kapan kau jadi pendiam dan pemalu begini? Rasanya seperti bicara pada orang lain.”

“Kau lebih suka aku yang berisik?” tanya Jaemin.

“Aku tidak suka keduanya,” jawab Minjeong tanpa ragu. Ia meregangkan kedua tangan ke atas—tampak cukup bebas karena hanya ada beberapa murid di kelas. “Tapi, kalau harus jujur, sikapmu akhir-akhir ini memang agak membuatku keheranan. Tidak biasanya kau diam dan tampak frustasi. Kau manusia paling berisik, paling bebas, dan paling bodoh yang pernah aku tahu. Tapi beberapa hari terakhir ini kau tampak agak… bagaimana mengatakannya ini ya… agak punya pikiran? Begitulah.”

“Setiap manusia waras memang biasanya berpikir ya?” Jaemin mengerutkan dahi saat menanyakan itu.

“Memang. Tapi kau kan bukan manusia waras.”

“Minjeong sangat galak tapi aku cinta.”

“Akhirnya kebodohan dan ketidak warasanmu kembali.”

“Satu-satunya hal pintar dan waras yang pernah kulakukan adalah mencintaimu.”

“Itu bodoh. Berhentilah.” Minjeong kembali menyandarkan bahu dan membaca buku. Kali ini dia membaca karya Dostoevsky—Notes from the Underground—Minjeong menyukai hampir seluruh tulisannya.

“Kau masih membaca Dostoevsky?” Jaemin bertanya sambil mengamati sampul buku milik gadis di depannya.

Secara tak terduga Minjeong memberikan respon, “Dia satu-satunya penulis yang kau sukai, kan?”

Kali ini air muka Jaemin mendadak membeku. Sontak ia menegakkan punggung, mengamati air muka Minjeong yang setenang danau, lalu mengecek kembali buku yang dipegangnya sekali lagi. “Ini hadiah yang kuberikan awal tahun ini, kan? Hadiah ulang tahunmu.”

Minjeong menutup buku—tidak bisa fokus membaca karena Jaemin yang bawel sudah kembali. “Kalau aku tidak salah ingat sih iya.”

“Kupikir kau membuangnya!”

“Kenapa aku harus membuang buku yang bagus?!” pekik Minjeong tak percaya.

“Karena kau tidak menyukaiku?” Jaemin hanya menebak,

“Bukan berarti aku harus membuang hadiah yang kau berikan, kan? Aduh, kau ini bodoh sekali. Aku hanya tidak menyukaimu, bukan membencimu. Bahkan aku masih akan menyimpan semua buku yang kau berikan kalaupun seandainya aku membencimu dengan seluruh hidupku. Tapi, lebih penting dari itu, apa ada yang menganggumu akhir-akhir ini? Kenapa kau selalu murung?”

Minjeong berhasil menanyakan pertanyaan yang ingin dia ajukan selama beberapa hari terakhir ini. Dia tahu kalau Jaemin tidak sedang baik-baik saja; mungkin dia sedang memikirkan pamannya. Lagipula, satu-satunya orang yang bisa membuat Jaemin sangat khawatir (sepertinya) memang hanya Jaehyun. Dugaannya hampir tepat; dan akan sepenuhnya tepat jika gadis itu pun turut memasukan dirinya ke dalam daftar ‘manusia yang akan Jaemin pikirkan’.

“Apa kau mengkhawatirkanku?” secara tak terduga, Jaemin nyatanya cukup peka.

Sontak Minjeong membuang muka—menyembunyikan semburat merah yang muncul di wajah cantiknya. “Tidak.”

“Kumohon katakana ‘ya’. Meskipun kau hanya berbohong, tapi itu akan membuatku sangat senang.”

“Aku tidak mau membohongimu.”

“Minjeong memang sangat baik,” ucap Jaemin, bahkan refleks tangannya turut bergerak hanya untuk mengusak rambut Minjeong. “Aku jadi semakin mencintaimu.”

Untuk sesaat ia menangkap sedikit ekspresi tersipu di wajah Minjeong yang dingin. Gadis itu dengan serta merta mendorong kening Jaemin—membuatnya menjauh dan mengaduh. “Kau tidak makan lagi siang ini? Sayang sekali kalau tidak ikut makan siang, padahal makanan di kantin banyak yang enak.”

“Kau juga tidak makan siang.”

“Aku tidak begitu kapar.”

“Itu jawaban yang kau berikan kemarin. Bahkan beberapa hari sebelumnya juga. Kau kurus karena jarang makan.” Jaemin memprotes, hampir selalu begitu.

“Aku baik-baik saja. Lagipula, meskipun tubuhku kurus, otakku tetap bekerja dengan baik,” katanya sambil menyentuh kepala. Respon yang diberikan Jaemin sontak membuat kedua ujung bibir gadis itu tertarik ke atas—membentuk senyum yang begitu manis dan membuat kawan lelakinya terpesona.

Selama beberapa menit mereka kembali mengobrol—sama sekali tak mengungkit apapun yang berkaitan dengan Jaehyun karena hal itu dirasa terlalu penting. Selain itu Jaemin merasa jika saat ini Minjeong tidak sedang dalam keadaan yang cukup baik untuk mendengar keluh-kesah dan kekhawatirannya terhadap sang paman. Gadis itu tampak lebih pucat dan sedikit lebih kurus. Oleh sebab itu, alih-alih membebaninya dengan cerita seputar keluarga, Jaemin memilih pergi ke kantin secepat yang dia bisa hanya demi membeli beberapa bungkus sandwich. Pemuda itu hanya berkata jika uang di dompetnya perlu dihabiskan—jika tidak ibunya akan marah.

“Biasanya aku tidak memaksa, tapi kali ini aku akan memaksamu untuk makan,” tutur Jaemin sambil memberikan satu kantong plastik berisikan sandwich yang dia beli. Dia hanya membawa satu, sebatas basa-basi karena tak mau membuat Minjeong merasa dikasihani.

“Mau ke mana?” tanya Minjeong dengan suara serak.

Sambil memiringkan kepala Jaemin menjawab, “Atap. Aku tidak bisa ikut pelajaran matematika karena itu akan membuat otakku terbakar.”

“Apa aku boleh ikut?”

“Bole—WHAT?! Are you for real?!

Ini sebuah anomali. Minjeong tak pernah bolos kelas meski hujan badai sekalipun.

“Tunggu, kau bercanda kan?”

Sambil menariknya keluar—sementara tangan kanannya memegangi sekantong sandwich—Minjeong hanya tersenyum kecil dan tidak mengatakan apapun. Bahkan saat mereka tiba di atap, dia langsung duduk di salah satu sudut paling teduh dan menepuk-nepuk tempat di sebelahnya, meminta Jaemin untuk duduk. Minjeong meluruskan kaki, menyantap sandwich tuna yang diberikan Jaemin, lalu membiarkan pemuda itu mengamati sosoknya sementara pandangannya tertuju ke langit.

“Bagaimana dengan kencan malam ini?”

“Bukannya kau harus pergi ke tempat les?”

Jaemin masih mengamati wajah Minjeong saat menjawab, “Persetan dengan les, aku mau menghabiskan waktu denganmu.”

“Aku harus bekerja.”

Part time sialan.”

“Begitulah.”

“Sehabis part time?”

Secara tak terduga, Minjeong memberikan anggukan. “Tunggu aku di taman dekat tempat les. Kalau hanya beberapa menit, kurasa orang tuamu tidak akan marah.”

“Aku akan minta bantuan Jaehyun, tidak usah khawatir.”

“Baiklah.”

Jawaban yang diberikan Minjeong sontak membuat senyum pemuda itu terukir lebar. Kini dia memilih mengalihkan pandangan—mengagumi objek yang sama dengan si gadis idaman sambil menyenandungkan sebuah lagu dari grup musik Barat yang terkenal saat kedua orang tuanya masih remaja. Ia mengenal grup ini karena Jaehyun. Pada titik ini, bahkan Jaemin sendiri mengakui, jika pria itu memang mendatangkan pengaruh paling besar ke dalam hidupnya.

Oleh sebab itu, sambil menunggu Minjeong di taman yang dijanjikan, pikiran Jaemin kembali tertaut pada sang paman. Ia duduk di ujung perosotan paling besar yang terletak di tepian taman. Beberapa kali Jaemin menghembuskan napas panjang sambil mengecek jam yang melingkar di pergelangan tangan kanan. Pukul sebelas lewat tujuh—Minjeong seharusnya tiba satu jam yang lalu. Hari ini Minjeong menunjukan terlalu banyak anomali yang membuat Jaemin khawatir. Bagi seorang gadis biasa yang hidupnya selalu monoton dan tidak banyak tingkah, perubahan ini jelas merupakan fenomena yang tidak bisa disepelekan.

Satu jam lain berlalu—jam malamnya jelas sudah lama lewat. Jaemin masih duduk di tempat semula, masih setia menunggu Minjeong yang tidak kunjung datang. Waktu terus bergerak maju. Kini jarum jam sudah menunjuk angka dua dini hari. Pemuda itu tidak lagi duduk di tempat yang sama, melainkan berjalan mondar-mandir sambil menunggu pesan balasan yang tak kunjung diterima. Ujung jaket baseballnya mengayun diterpa angin—pada titik ini Jaemin bahkan tak lagi menghiraukan angin yang menelusup melalui celah baju dan membuatnya menggigil. Tangan kanannya seketika terangkat—menjawab telpon yang secara mengecewakan justru datang dari Jaehyun.

“Kau di mana? Ini sudah jam dua dini hari. Share loc sekarang, biar kujemput.”

“Tunggu sebentar!” dengan serta merta Jaemin menolak. Telinganya bisa mendengar bunyi mesin bercampur dengan suara tenang milik pamannya. Ini sebatas dugaan, tapi jika seandainya Jaehyun dihadapkan dengan situasi yang mengecam sekalipun, Jaemin ragu kalau pria itu bakal kehilangan ketenangan. “Apa kau sedang menyetir? Dari mana? Bertemu dengan pacar barumu? Kau tidak ganti hobi, kan? Mempermainkan hati perempuan itu bukan hobi, kau harus tahu itu.”

“Siapa yang sedang kau ajak bicara di sini? Kalau maksudnya aku, tidak peduli dipikirkan seberapa banyak pun, aku tetap tidak paham.” Jaehyun menjawab dari balik telpon. Tampaknya ia sedang berbicara pada orang lain—kedengaran seperti suara perempuan yang manis dan lembut. Itu Rose. Jaemin menyimpulkan secara cepat. “Tetap di tempatmu sekarang. Aku sedang bersama Rose. Kami akan menjemputmu sekarang.”

“Tidak perlu memikirkanku. Nikmati saja waktu kal—”

“Tetap diam di tempatmu.”

Itu bukan hanya sekadar ultimatum. Dari cara Jaehyun bicara barusan—serta bagaimana dia memutus panggilan tanpa ragu—sudah cukup untuk membuat Jaemin menelan ludah karena pamannya mungkin sedang marah. Tidak ada yang lebih buruk selain ceramah panjang dari Jaehyun. Tidak ada waktu untuk mengelak atau melarikan diri. Dalam scenario terburuk, Jaemin bahkan bisa dilaporkan pada kedua orang tuanya. Jaehyun juga akan kena marah—tapi pria itu mungkin tidak akan peduli. Jaehyun tidak akan kehilangan uang jajan atau apapun yang membuatnya tidak bisa menemui orang yang disuka. Tapi situasi yang akan Jaemin hadapi bisa sepenuhnya berbeda: tidak ada uang jajan, tidak bisa keluar malam, harus belajar, harus menerima pengawasan 24 jam sekurang-kurangnya selama tujuh hari berturut-turut, dan harus makan malam dengan neneknya setiap Sabtu malam.

Ketika masuk ke dalam mobil, Jaemin hanya menundukkan kepala, berusaha menghindari amarah Jaehyun sebaik yang dia bisa. Jung Jaehyun bukan tipe yang akan berubah manis hanya karena sedang bersama dengan orang yang dicintainya; bahkan eksistensi Rose sama sekali tak bisa membatalkan kuliah panjang yang pria itu berikan sepanjang jalan pulang. Jaemin duduk mendengarkan—sambil sesekali mengirim kode bantuan pada Rose yang duduk di kursi depan.

“Kurasa itu sudah cukup, Jaemin pasti sudah paham di mana letak kesalahannya.” Rose akhirnya buka suara—bahkan menyentuh lengan Jaehyun hanya untuk membuat pria itu berhenti memberi ceramah.

Jaehyun menoleh, melihat sekilas ketenangan dan kelembutan terbaring di antara mata Rose yang sayu. Ia menarik napas panjang—seketika berhenti karena Rose tampak terlalu lelah untuk mendengar celoteh panjangnya. “Let’s call it a day, Jaemin. You better learn for good. I’ll help you reaching out Minjeong tomorrow. You have no idea how tired part time can be; let the girl take a rest.”

“Hopefully she is okay,” gumam Jaemin pelan. Dia menyandarkan kepala ke jendela, memandangi jalanan kosong yang tampak dingin.

Dari balik kemudi Jaehyun menjawab, “She will be fine. Don’t worry and rest assured. We will figure it out later.”

“I’ll give you a hand,” bahkan Rose juga turut menenangkan.

“Everyone will help. Just take a nap and give your empty head a proper rest.”

Jaemin selalu mempercayai perkataan Jaehyun, sebab dia tahu jika pria itu tidak pernah berbohong. Tapi, kendati Jaehyun sudah berusaha membantu dan mencari tahu, Minjeong tetap tidak muncul selama satu minggu penuh. Hari-harinya dipenuhi dengan beragam kekhawatiran serta ketidakpastian.

Pada hari ke-delapan, senyum Jaemin dapat kembali terulas lebar. Namun hanya sesaat—sebelum berganti kerut khawatir ketika matanya melihat sosok Minjeong yang tampak lebih kurus dan beberapa sudut wajahnya diwarnai biru lebam. Jaemin langsung menghampiri—hanya untuk menerima fakta jika Minjeong menolak untuk bicara dan mendorongnya semakin jauh ke belakang.

To Be Continued

Kira-kira Minjeong kenapa ya?

Buat yang kangen Jaerose, di chapter selanjutnya mereka baru muncul ya. Hehehe

Fact:
• Jaemin can speak English fluently—although he told everyone that he is suck at everything.
• Minjeong has few jobs and she is so hardworking. In everything.

That's all for tonight. Makasih udah baca. Lafyuuuuuu~

💖💛💕💙💞💜💝❣️💗💚❤️🧡🍑🌹

Continue Reading

You'll Also Like

145K 11.2K 86
AREA DILUAR ASTEROID🔞🔞🔞 Didunia ini semua orang memiliki jalan berbeda-beda tergantung pelakunya, seperti jalan hidup yang di pilih pemuda 23 tahu...
555K 56.9K 28
[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] 21+ ‼️ Apa jadinya jika si berandal Jasper Ryker yang dijuluki sebagai raja jalanan, tiap malam selalu ugal-ugalan dan babak...
713K 57.5K 61
Kisah ia sang jiwa asing di tubuh kosong tanpa jiwa. Ernest Lancer namanya. Seorang pemuda kuliah yang tertabrak oleh sebuah truk pengangkut batu ba...
781K 57.8K 53
"Seharusnya aku mati di tangannya, bukan terjerat dengannya." Nasib seorang gadis yang jiwanya berpindah ke tubuh seorang tokoh figuran di novel, ter...