Love mistake || NOMIN

By jenjaelee_

30.5K 2.1K 64

Lapak BxB‼️ Mpreg‼️ Nomin‼️ "Malam ini Lo harus teraktir gua sepuasnya dan apa yang gua mau Lo harus tururtin... More

01
02
cast
03
04
05
06
07
08
09
10
11
12
13
14
15
16
18
19
20
21
22
Ending

17

1.1K 88 2
By jenjaelee_

.

.

.

Jaenar membuang nafasnya gusar, Ini sudah pukul 9 malam tapi putranya belum pulang dari sekolahnya.  Sedaritadi dirinya menghubungi ponsel Jiendra tapi tidak ada jawaban.

"Udahlah Na, Jiendra juga udah hampir sebulan sekolah disini, gak mungkin kalo ilang" ucap Yuda menenangkan Jaenar.

"Ni anak perginya sama Jovan pasti," Jaenar menggerutu.

"Ayah udah tau kalo Jie selalu di jemput sama Jovan selama inikan? Kok gak ngomong ke Nana sih Yah"

Jaenar berjalan menghampiri Ayahnya dan duduk tepat disampingnya.

"Jie lagi, kenapa gak bilang kalo udah ketemu sama Jovan dari lama. Nana gak pernah marah, Nana juga tau Yah tapi selama ini diem aja. Nana yakin jie bakal cerita sendiri ke aku, tapi anak itu" Jaenar mengusap wajahnya kasar, lelah berbicara karena kemarahan menguasai dirinya.

Dia sudah tau bahwa putranya selalu pulang bersama dengan Jovan. Jaenar juga tau baru-baru ini saja, dan ternyata Jiendra dengan Jovan sudah bertemu sejak awal anak itu masuk sekolah yang berarti sudah hampir sebulan mereka selalu bertemu.

Ketakutan melanda Jaenar. Dia takut sewaktu-waktu anaknya akan lebih nyaman dengan Jovan daripada dengan dirinya. Dia juga takut kalau Jovan akan mencuci otak anaknya, walaupun dia tau itu tidak mungkin.

Jaenar bangkit dari sofa yang ia duduki saat mendengar suara mobil berhanti di depan rumahnya, ia bahkan mengabaikan Yuda yang mencoba menenangkan dirinya yang sudah dilanda dengan marah.

Jovan tersenyum, mengelus rambut hitam legam milik Jiendra sebelum anak itu masuk kedalam rumah.

"Udah larut Dad. Gak mau singgah dulu?" Ucap Jiendra menatap wajah tersenyum sang Daddy.

"Belum waktunya"

"Mau sampai kapan? Papa pasti butuh seseorang di hidupnya capat atau lambat"

Lagi-lagi Jovan tersenyum sambil mengelus Surai hitam putranya. Dianya tau itu, cepat atau lambat pasti Jaenar butuh wanita ataupun bisa saja pria untuk mendampingi hidupnya. Dan itu adalah hal yang tidak bisa dibayangkan oleh Jovan.

"Secepatnya. Udah sana masuk"

Belum selangkah Jiendra bergerak suara Papanya sudah masuk kedalam Indra pendengarannya. Membuat Jiendra maupun Jovan mematung.

"Gak tau jalan pulang Jie? Gak inget waktu kamu?"

Jaenar bersidekap menatap putranya yang tertunduk tidak berani menatap wajahnya.

"Papa selalu bilang sama kamu, jangan pernah pulang terlambat. Apa jangan-jangan kamu selalu pulang jam segini?"

Jiendra makin menunduk dalam. Benar dia selalu pulang malam, karena dirinya selalu diajak Daddy untuk berkeliling sekedar memberitahu dirinya tentang masa muda Daddy dan juga Papanya.

Sekuat tenaga Jaenar tidak menatap pria bermata sipit yang berdiri tepat di samping putranya. Namun semuanya gagal saat pria itu bersuara.

"Na, Jie pergi sama aku"

Sudah sekuat tenaga Jovan menahan suaranya untuk tidak berbicara. Namun ketakutan putranya membuat dirinya tidak bisa menahan diri.

Jaenar menatap Jovan dengan bersidekap dada. "Sementang lo Ayah biologisnya bukan berarti lo bisa ajak dia sesuka lo"

"Masuk Jie. Kalau besok Papa lihat kamu pulang larut Papa bakal homeschooling kan kamu"

"Na," Jovan mencoba mencoba menenangkan Jaenar. Dia tidak tahu harus berbuat apa, ini pertemuannya dengan Jaenar setelah belasan tahun.

"Lo stop manggil gua kek gitu, kita gak kenal"

Jaenar menatap manik legam milik Jovan, terlihat matanya menunjukkan kebingungan dan ketidak percayaan dalam satu waktu.

"Jie masuk ya, Daddy mau ngomong sama Papa"

Jiendra mengangguk berjalan masuk kedalam rumahnya. Terkejut melihat kakeknya yang mengintip dari balik pintu yang terbuka sedikit.

"Khem, dimana Papa kamu?" Yuda berdehem mencoba menghilangkan kegugupannya karena ketahuan mengintip.

"Papa sama Daddy mau ngomong katanya" Yuda mengangguk dan membawa cucunya untuk duduk di sofa.

"Kalo Daddy sama Papa Jie tinggal serumah Jie mau?"

Jiendra tentu saja mengangguk. Dia tidak boleh egoiskan, semoga saja itu juga terjadi. Memang awalnya sangat berat untuk menerima semuanya, namun sebesar apapun dirinya mengelak tetap saja dia sudah dilahirkan kedunia dengan seorang Pria.

Dia sudah mendengar cerita dari Daddy-nya bahwa pria besar yang berstatus Daddy nya itu dan pria manis yang melahirkannya adalah musuh bebuyutan sejak duduk di bangku SMP. Namun siapa sangka bahwa Daddy menyimpan prasaan aneh saat bertemu dan bertatap dengan Papanya. Daddy berkata bahwa sejak awal mereka balapan Daddy-nya hanya senang mengganggu Papanya agar mendapat perhatian kecil dari papanya.

"Kalau gitu buat Daddy kamu sama Papa kamu mengatakan prasaan keduanya" Jiendra mengangguk dan tersenyum mendengar ucapan kakeknya.

Selama ini berarti Daddy-nya tidak bertepuk sebelah tangan.

Kembali ke Jovan dan Jaenar yang duduk di gajebo halaman rumah Jaenar. Awalnya Jaenar ingin masuk menyusul Jiendra, namun dirinya ingin mendengar ucapan apa yang akan di ucapkan Jaenar terhadap dirinya. Tapi pria bodoh ini hanya diam tidak membuka suaranya sama sekali, begitu juga Jaenar. Kecanggungan meliputi keduanya.

"Khem" Jaenar berdehem mencoba membasahi tenggorokannya yang terasa kering.

"Kalo lo mau diem aja, mending gua masuk"

Jovan menatap Jaenar yang duduk di sebelahnya sembari menatap lurus kedepan.  Dia memang sudah menyiapkan kata-kata namun rasanya keluh untuk diucapkan.

"Gua ting-"

"Maaf"

Satu kata dari Jovan membuat Jaenar memberhentikan ucapannya dan berdesis.

"Terakhir kali lo juga bilang begitu" Jaenar terus menatap lurus, tidak berani menatap Jovan yang menatapnya.

Tatapan pria ini lebih tegas dari belasan tahun lalu. Wajahnya juga berubah, gayanya juga berubah. Semuanya dari pria ini berubah.

Dulu Jaenar selalu melihat Jovan menggunakannya jaket denim berwana hitam dipadukan dengan kaos hitam dalamnya jangan lupakan jeans hitam dengan koyakan di lututnya, beserta motor yang selalu ia naiki kemana-mana. Sekarang semuanya berubah. Jaket denim itu sudah berubah dengan Jas yang terlihat pas ditubuh kekarnya, kaos hitamnya sudah berubah dengan kemeja berwarna putih dan pria itu sudah tidak lagi menggunakan motor, motor yang selalu membuat Jaenar mengumpat kesal karena tidak bisa mengalahkan kecepatannya.

"Na, gua telat"

"Bukan hanya telat, tapi lo udah gak punya waktu"

Jaenar memberanikan diri menatap wajah Jovan. Wajah yang dulu penuh luka sebelum dirinya pergi kini lukanya tidak terlihat.

"Lo udah kehabisan waktu Jovan."

Manik mata milik Jovan bertubrukan dengan manik mata Kiki Jaenar yang menyiratkan kekesalan dan kesedihan.

"Lo udah gak punya waktu"

Lagi-lagi Jaenar hanya bisa mengatakan itu. Memang benarkan selama ini ia bertarung dengan waktu dan Jovan sudah kebahisan waktu.

"Waktu gua memang udah habis. Tapi tolong tambahkan beberapa menit biar gua bisa perbaiki semuanya dengan waktu yang tersisa"  Jovan berseruh dengan lirih menghadap ke Jaenar.

"Kasih gua waktu buat kembalikan hubungan kita yang dulu"

"Dulu kita gak punya hubungan Van. Sama seperti sekarang"

"Kalo gitu biar gua buat hubungan sama lo, gak perluh perbaiki hubungan karena kita memang gak punya hubungan."

Membangun hubungan dan memperbaiki hubungan itu lebih mudah membangun hubungan. Jika memperbaiki pasti ada cela karena sesuatu yang rusak tidak akan pernah kembali seperti semua walaupun sudah diperbaiki. Namun membangun hubungan itu lebih mudah dan pastinya akan lebih kokoh dari bangunan yang sudah pernah hancur.

"Buat sebuah bangunan itu butuh waktu yang lama. Lo harus butuh pondasi untuk bangunan itu"

Jovan mengangguk membenarkan ucapan Jaenar. Pria manis itu berbicara tentang bangunan, tapi maknanya bukanlah tentang sebuah bangunan dan Jovan tentu saja kemana arah pembicaraan itu.

"Pondasinya ada di kamu Jaenar"

Jovan menarik tangan Jaenar untuk di genggam, pemuda manis itu menolak namun kekuatan Jovan lebih besar dari dirinyakan.

"Dulu gua memang berengsake seperti yang lo bilang, dulu gua memang pecundang. Saat itu gua takut Na, takut lo sama Jie kenapa-kenapa. Papa selalu bilang hal yang sama setiap gua bicara tentang lo. 'ninggalin lo atau Jiendra gak bakal hidup di dunia"

Jaenar tertegun, mencari kebohongan dari manik mata milik Jovan.

"Waktu itu, malam itu. Gua buat janji sama lo, gua pikir lo akan tetap disini. Tapi lo ninggalin gua"

Malam terakhir dirinya dan Jaenar kembali terputar. Pertaman kalinya Jovan memeluk dan mengecup lama kening Jaenar untuk terkahir kalinya sebelum terpisah belasan tahun lamanya.

"Waktu nyokap gua meninggal hal pertama yang ada dipikiran gua waktu itu kamu Na. Setalah lima tahun lamanya gua terkurung di negri orang akhirnya gua balik kesini. Tapi apa yang gua dapet lo malah pergi dan gua gak tau lo dimana"

Benar ucapan Jovan, lima tahun usia kepergiannya dirinya mendapat kabar dari Ayahnya bahwa Jovan mencarinya dan ingin bertanggung jawab atas apa yang ia perbuat.

"Na, tolong izinin gua buat sebuah hubungan dengan lo"

Jovan mengelus punggung tangan Jaenar yang ada di genggamannya. Menatap manik hanzel itu dengan tatapan memohon agar dikasihani.

Jaenar nampak menimang ucapan Jovan. Memaafkan orang yang mencorengkan luka yang bekasnya begitu besar itu tidaklah mudah.

"Sebulan terakhir gua selalu jemput Jiendra pulang sekolah. Gua takut lo gak ngizinin gua buat ketemu dia, dan gua takut untuk ketemu lo. Takut lo nonjok gua" lirih Jovan di akhir kalimatnya.

"Cemen"

Satu kalimat yang mampu membuat Jovan terkekeh. Memang selemah itu dirinya, bukan takut ditonjok namun dia takut Jaenar menolaknya untuk berbicara.

"Udah malem. Lo pulang sebelum gua tonjok"

Jaenar menarik tanganya dari genggaman Jovan dan berdiri dari duduknya.

Dia belum mampu membiarkan Jovan membangun hubungan dengannya.

"Lo belum izinin gua Na"

"Kalo cuman demi Jiendra kita gini aja udah cukup Van, gak perluh sebuah hubungan hanya karena anak. Dia udah besar dia juga pasti ngertiin. Gua gak bakal ngasih batas gerak dia buat ketemu lo, tapi gua harap lo inget waktu saat bareng Jie, dia Masi remaja"

Hubungan yang akan dia bangun bukan hanya karena Jiendra semata. Kalau hanya di landasi karena adanya Jiendra, Jovan bisa saja meminta hak asu putranya kepadanya, dia punya banyak uang untuk itu. Hanya saja bukan itu tujuan utamanya.

"Siapa yang bilang demi Jiendra Na? Ini demi kita"

"Buat apa bangun hubungan kalo kita gak punya rasa Van, buat apa?"

"Lo selalu berasumsi sendiri. Buat apa gua nungguin lo balik Na, buat apa gua nyari setengah mati kalian. Gua pikir lo udah tau prasaan gua tanpa harus gua sebut"

Jovan berdiri menatap Jaenar yang juga menatapnya bingung.

"Gua suka sama lo udah dari dulu"

Jaenar mematung tentu sangat tidak percaya. Sedari dulu Jovan selalu mengganggunya, membulynya dan membuat Jaenar babak belur karena bergulat dengan ya.

"Lo pasti gak percayakan sama ucapan gua. Gua ngusik lo supaya lo ngasih perhatian lo ke gua walaupun sedikit. Gua tau cara gua itu salah tapi setidaknya gua punya cara supaya lo ngelirik gua Na"

Jovan memegang kedua bahu Jaenar agar mereka berhadapan.

"Dulu aku gak percaya sama apa yang aku rasain. Tapi setelah kita lulus SMA rasanya semakin besar, bahkan waktu malam itu aku gak sepenuhnya mabok."

"Lo sadar gak sih lo ngomong apa?" Jaenar menepis tangan Jovan yang bertengger di bahunya, "gua gak bisa di bohongin Van"

"Aku gak bohong Na" lirih Jovan sambil menatap Jaenar dengan memelas.

Kaduanya terdiam, memikirkan pikiran masing-masing. Jaenar Masi belum percaya sama apa yang di katakan Jovan. Itu tentu saja, selama Jovan hidup dia adalah musuh Jaenar, begitupun sebaliknya.

Jika memang benar rasanya sudah ada semenjak dulu mengapa Jovan menyembunyikan perasaannya padanya? Mengapa tidak mengucapkannya saja. Walaupun Jaenar akui bahwa dulu dirinya bukanlah seorang gay tapi jika Jovan berkata tentang prasaannya dan memperbaiki sikapnya kepada Jaenar maka Jaenar bisa mempertimbangkan lagi, dirinya dulu juga bukan seorang homoseksual.

"Kalo lo pikir kenapa gua gak ngomong tentang prasaan gua ke elo, itu karena papa gua Na. Dulu dia membenci yang namanya homo dan kakek gua paling anti sama itu. Dia anggap itu virus"

Seakan tau apa yang di kepala Jaenar Jovan mengatakan hal itu.

Itu benarkan dahulu Ayahnya itu benar-benar membenci hubungan sesama lantaran Ayahnya pun sama. Dan dialah hasil dari hubungan sesama itu, mengejutkan memang tapi itulah takdir yang harus diterima Jovan

Karena dulu kakeknya Masi hidup Ayahnya tidak berani mencari org yang melahirkan Jovan, namun kini pria tua itu sudah tiada jadi tidak ada salahnya mereka bebas memilih pasangan.

"Gua gak tau harus apa"

Menghembuskan nafasnya Jaenar menatap manik hitam milik Jovan.

"Lo gak harus ngapa-ngapain, biar gua yang bertindak buat yakinin lo dan buat lo juga ngerasain prasaan yang gua rasaiin untuk lo"

Diam dan tenang saja biar Jovan yang bertindak. Jaenar hanya perluh melihat seberapa besar effort pria dewasa di hadapannya ini.

Dia juga butuh seorang support sistem dalam hidupnya yang sudah tidak muda lagi, dia juga sudah bukan lagi remaja yang labil akan cinta. Dia sudah dewasa, mau bagaimanapun dia harus memiliki seseorang untuk menemani masa tuanya. Dia juga sudah kehilangan ketertarikan terhadap wanita setelah melahirkan Jiendra.

"Gua mau masuk dah malem" Jaenar berbalik ingin mengingatkan Jovan namun tangannya di cekal oleh pria itu.

"Boleh Na?"

"Terserah"

Apa katanya,  terserah. Itu kartu hijau untuk mendapatkan hati Jaenar kan? Katakan pada Jovan sekarang bahwa mendapatkan kartu hijau.  Senyum pria itu bahkan tidak memudar menatap punggung pria manis yang perlahan hilang di balik pintu rumahnya.

Mengigit bibir bawahnya dan menahan senyumnya membuat wajah Jaenar memerah. Oh ya tuhan dia bukan remaja belasan tahun, dia sudah 33 tahun mengapa wajahnya bersemu hanya karena pria dewasa itu.

"Pa"

Suara Jiendra membuyarkan lamunan Jaenar.

"Loh Jie kok belum tidur" Jaenar berjalan mendekati putranya dan Ayahnya yang duduk di sofa ruang tamu.

"Belum ngantuk"

"Ayah juga ngapain? Kok pada belum tidur"

Mengerutkan keningnya saat Ayahnya dan putranya menahan senyum melihatnya.

"Papa mau nikah lagi?"

"Emang papa pernah nikah? Aneh kamu" Jaenar duduk di samping putranya saat mendengar pertanyaan aneh yang keluar dari mulut putranya.

"Tadi di mobil Daddy bilang kalo mau ngelamar Papa. Tapi waktunya belum tiba karena dia takut papa tolak"

"Pecundang Daddy mu"

Suara Yuda membuat Jaenar menatapnya. Tidak suka dengan ucapan Ayahnya.

"Kalo pecundang dia gak nyari Nana Yah"

"Cie belain" Jiendra terkikik menggoda papanya.

"Kamu kebanyakan main sama Lele ya Jie? Ketularan kamu nih"

Sejak kapan putranya pandai menggoda dan berbicara panjang. Putra Harry benar benar membawa dampak.

"Udah ah tidur kalian. Jie kamu besok sekolah. Ayah juga besok kekantor, jangan tidur malam-malam"

Berjalan meninggalkan putranya dan Ayahnya yang masi setia menggodanya dengan suara yang besar supaya Jaenar mendengar walaupun sudah di lantai dua.

.

Pagi ini Jovan ingin menjemput Jiendra sekaligus Jaenar, hari pertama misinya untuk meluluhkan Jaenar agar mau menikah dengannya.

Derttttt
Derttttt

Ponselnya berdering menampilkan nama Papanya disana.

"Apa kabar kamu" suara Papanya yang sudah lama tidak bersua akhirnya terdengar kembali.

Dulu suara itu selalu membuat telingan Jovan sakit akibat ucapan ucapan pedas yang di lontarkan Papanya padanya. Namun semenjak kakeknya meninggal Papanya semakin dekat dengannya. Kakeknya memang membawa dampak buruk. g

"Baik, Papa disana gimana?"

Sambil berjalan menuju mobil Jovan berbicara kepada Papanya.

"Papa bulan depan mau menikah"

Jovan menghentikan tangannya saat ingin membuka pintu mobilnya. Apa kata papanya tadi, menikah? Ya ampun yang harusnya menikah saat ini Jovan tapi mengapa dilangkahi oleh Papanya.

"Sama orang yang lahirin kamu. Kamu mau ngomong?"

Di sebrang sana pria berparas cantik itu gelagapan saat calon suaminya menyarankan putranya untuk berbicara dengannya.

"Kok cepet udah ketemu?"

Heran? Tentu saja. Dia mencari Jaenar tujuh tahun terakhir tidak ketemu, tapi papanya sebulan saja sudah ketemu. Benar kata charle dia kurang giat.

"Emang kamu. Ya udah ini ngomong"

Jovan menyambungkan ponselnya ke speaker di mobil karena dirinya ingin menyetir sekarang. Tidak diperbolehkan menyetir sambil menelepon, walaupun berengsakenya dia adalah pria yang taat akan aturan pemerintah.

"Halo"

Jovan tertegun, suara pria itu lembut sekali. Cukup lembut untuk seukuran pria dewasa.

"Jovan, ini bubu"

Jovan mengigit bibirnya. Ini adalah sosok ibu yang ia cari selama hidup. Memang dia dibesarkan oleh wanita bersosok Ibu selama ini. Tapi pria yang melahirkannya ini benar benar ia butuhkan, suaranya sangat lembut berbeda dengan alm mamanya dulu. Ah tentu berbeda dia bukan putra kandungnya.

"Maafin Bubu ya sayang"

Sama halnya dengan Jovan pria di sebrang sana juga menahan tangisnya. Terdengar dari suaranya yang bergetar.

"Harusnya Bubu ada waktu Jovan nangis dulu, harusnya Bubu gak ngasih kamu gitu aja ke Papa kamu, harusnya.." suara itu bergetar tidak bisa lagi menahan tangisnya. Pria manis itu menangis di bahu sang kekasih.

"Bu, bubu gak salah"

Suara Jovan menenangkan pria manis itu, ia tidak bisa mendengar pria manis itu menangis.

"Bubu istirahat ya, jangan nangis."

Pria manis di sebrang sana mengangguk walaupun tidak bisa di lihat Jovan. Tapi Jovan yakin pasti bubunya mengiyakan.

"Pa, cepet pulang. Jovan mau tunjukkan cucu Papa yang pertama"

Jiendra cucu pertama keluarga Renandra. Lalu cucu kedua dari kakaknya Dirta yang sekarang hidup bahagia dengan suaminya.

"Papa udah tau sebelum kamu"

Jovan menggerutu mendengar ucapan Papanya. Kok bisa pria tua itu dulu yang tau? Mengapa tidak dirinya.

"Papa juga tau dia kecilnya gimana bentukannya"

Lagi-lagi Jovan terkejut mendengar ucapan Papanya. Ternyata Papanya selama ini tau keberadaan Jaenar dan Jovan.

"Kok papa tau?"

"Udah dulu Van papa sibuk"

'tut
'tut

Rasanya Jovan ingin mengumpat sekarang. Bagaimana bisa papanya tau lebih dulu dan mengikuti tumbuh kembang putranya sementara dirinya tidak. Dirinya yang mati-matian mencari keberadaan sang pujaan hati dan anaknya tidak bisa bertemu cepat tapi Papanya cepat sekali. Rasanya tixa adil tapi mau gimana lagi.




Lee jisung as Jiendra Pradipta/Renandra

Zong Chenle as Charle Mahesa.

Manis, cantik, ganteng tapi cerewet, kalo kata Jiendra.

Ini Papanya Jiendra.

Manis banget sih makhluk tuhan satu ini😣









Bentukan Jovan sekarang.








Bonus 😘

Makasih udah mau baca gays♥️
Jangan lupa vote sama komen ya we, makasih. ♡

Btw di Medan dingin banget akhir akhir ini sampai pilek akutuh🤧

Semoga sehat selalu untuk kalian♥️

Salam pacar Jeno ( ◜‿◝ )

Promosi Ig xixixi
@bluesky__ljn

Follow yaw😁

Continue Reading

You'll Also Like

300K 17.8K 36
JANGAN LUPA FOLLOW... *** *Gue gak seikhlas itu, Gue cuma belajar menerima sesuatu yang gak bisa gue ubah* Ini gue, Antariksa Putra Clovis. Pemimpin...
2.6M 140K 62
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...
1.1M 43.5K 51
"Gue tertarik sama cewe yang bikin tattoo lo" Kata gue rugi sih kalau enggak baca! FOLLOW DULU SEBELUM BACA, BEBERAPA PART SERU HANYA AKU TULIS UNTUK...
RAYDEN By onel

Teen Fiction

3.8M 231K 69
[Follow dulu, agar chapter terbaru muncul] "If not with u, then not with anyone." Alora tidak menyangka jika kedatangan Alora di rumah temannya akan...