Memetik Bulan [Completed]

By nursintarifiani

292K 47.2K 11.9K

* Spin-Off: I Wanna Get Lost With You (Uwi-Raka) Sejak kecil Ruisha selalu bercita-cita memiliki pasangan yan... More

1. RUISHA
2. RAKA
3. RUISHA
4. Salju yang Meleleh
5. Perjalanan Singkat
6. Melawan Tuhan
7. Di Ambang Keraguan
8. Putus atau Terus
9. Bertemu Kembali
10. Pulang
11. Hari Pernikahan
12. Pendekatan?
13. Staycation
14. Perjalanan Pulang
15. Saling Membutuhkan
16. Gosip Merebak
17. Sebulan Pertama
18. LDR
19. Ajakan Serius
20. Gangguan Kecil
21. Jualan di Toko
22. Marahnya Orang Sabar
23. Meminta Izin
24. Kunjungan Camer
25. Menuju Hari H
26. Hanya Kita Berdua
27. Hari yang (Tidak Lagi) Berat
28. Kunjungan Ibu Bos
29. Hari Spesial (1)
30. Hari spesial (2)
32. Terlahap Habis
33. Berjuang Bersama
34. Saling Mencintai
Extra Part
PENGUMUMAN

31. Susah senang bersama?

6.6K 1.2K 233
By nursintarifiani

Narasinya puanjang yaaa.

Sesuai prediksi Raka dan Uwi, toko bahan kue Mama menjadi lebih ramai sejak empat bulan masa pindah. Didukung juga oleh promosi dari instagram Raka dan Uwi yang memiliki jumlah followers yang cukup banyak.

Dalam waktu singkat, omset toko Mama meningkat drastis. Kini Mama bisa menggaji dua karyawan dari keuntungan toko. Bahkan bisa merekrut dua karyawan yang lain.

Perlahan kehidupan keluarga Uwi mulai stabil. Selain omset toko yang menanjak, utang KPR serta utang sisa kebangkrutan Papa dan Mama akhirnya lunas setelah belasan tahun. Tentu berkat campur tangan Uwi dan Raka. Uwi bersikeras untuk membebaskan Mama dari segala utang piutang, baru dia bisa tenang hidup terpisah dari Mama.

Empat bulan hidup terpisah dari Mama, segalanya terasa lancar dan damai. Goal hidup Uwi untuk membeli apapun tanpa melihat tag harga sudah terwujud. Bahkan setiap moodnya jelek, Uwi hanya tinggal membuka m-banking dan menatap sepuluh digit angka yang nggak pernah berkurang di sana, otomatis moodnya kembali membaik.

Kemajuan terbesar hubungannya dengan Raka adalah...Uwi akhirnya bisa merasakan sisi Raka yang menyebalkan. Bukan lagi sosok Raka yang penurut dan berusaha menyenangkan semua orang.

Mumpung hari Sabtu, saatnya Uwi mempraktekan masakan yang seminggu terakhir sudah dia pelajari dari buku resep, yaitu sayur asem. Menu yang sangat dia kuasai adalah telur dadar yang tinggal kocok-kocok dan dituang ke teflon, juga makanan apapun yang hanya menggunakan bumbu cepat saji.

Ilmu memasak Uwi yang dia praktekan selama di Munich entah mengapa menguap begitu saja. Mungkin karena dulu dia lebih sering mendapat tugas food preparation ketimbang masak memasak yang dilakukan oleh Lily.

"Apa ini Ruisha?" tanya Raka yang sudah menunggu di kursi makan. Uwi baru saja menaruh semangkuk besar sayur di atas meja. Bersanding dengan tempe dan ikan kembung panggang untuk Raka.

"Sayur asem, Ka. Ayo cobain." Uwi menuang sayur tersebut ke dalam mangkuk kosong di hadapan Raka.

Meskipun beberapa bulan terakhir masakan Uwi pasti mengejutkan rasanya, Raka tetap memakannya tanpa rasa curiga. Begitu kuah sayur tersebut menyentuh lidahnya, Raka langsung mengernyitkan dahi. "Asin banget, Ruisha," komentar Raka diiringi ledakan tawa. Sebetulnya Raka sedang menertawakan kelucuan Uwi, tapi yang yang Uwi tangkap adalah ejekan yang mengesalkan.

"Aku udah masak sesuai resep, Ka. Mana sini aku cobain." Uwi mengambil alih sendok di tangan Raka, lalu menyuap untuk dirinya sendiri. "Hueeekk. Apaan nih!" Uwi berlari menuju kitchen sink untuk meludahkan kuah sayur yang terlanjur mengisi dinding mulutnya.

Setelah minum segelas air putih, Uwi duduk terlunglai di sebelah Raka.

"Ini sih bukan sayur asem, tapi kuah garem." Uwi menghina masakannya sendiri. Nyaris dia mengeluarkan ponsel untuk memesan sayur melalui gofood, tapi ucapan Raka mengurungkan niatnya.

"Masih bisa ditambah air kok, Ruisha. Biar aku yang koreksi rasanya." Dengan tawa yang belum reda, Raka meninggalkan Uwi sembari mengangkut sayur asin gagal buatan istrinya.

Bak penyelamat, beberapa menit kemudian Raka membawa sepanci sayur gagal yang sudah dia rombak rasanya. Kini sayur asem yang mereka cicipi terasa normal seperti sayur asem pada umumnya. Makan siang Raka dan Uwi nggak jadi gagal.

"Ruisha, makasih udah masak. Tapi biar Bi Odah atau aku aja yang masak menu yang susah-susah. Setiap orang punya kelebihan sama kekurangan. Kalau kamu kan ahli banget masak mie instan," ujar Raka begitu menghabiskan makan siangnya.

"Ngeledek ya kamu?" Uwi melotot.

Raka terbahak lagi. "Nggak semua orang punya keahlian itu Ruisha. Jago masak mie instan itu anugrah."

"Aku jadi terdemotivasi belajar masak yang aneh-aneh." Uwi menggeleng-gelengkan kepala.

Bukannya berusaha membual untuk memotivasi Uwi, Raka malah menjawab, "Iya nggak apa. Biar Bi Odah yang masak. Kalau Bi Odah libur kayak sekarang, kita gofood aja ya."

"Kamu nyebelin tapi kamu bener." Uwi mendedah. "Ka, bulan depan Ibu sama Bapak kan mau ke Indo, masa aku masak pake bumbu cepat saji sih? Apa bikinin menu sehat kayak kamu ya? Kira-kira Ibu Bapak suka nggak?"

"Ibu Bapak nggak suka makanan rebus-rebusan hambar kayak makananku. Biar Ibu aja yang masak, Wi."

"Lah terus aku ngapain, Ka?" Uwi mendelik.

"Ya kamu liatin. Atau bantuin Ibu kalau mau." Raka tertawa lagi. Uwi semakin kesal mendengar tawa Raka.

"Hhh. Aku tuh mau pencitraan di depan Ibu, Ka. Bakal gagal lagi deh kayaknya."

Tawa Raka berganti menjadi senyuman teduh. "Ibu udah kenal kamu, ngapain kamu pencitraan, Ruisha?"

"Aku harus bisa masak makanan apa aja kayak Lily. Kalo bikin kue sih aku nyerah." Padahal dulu Mama sering mengomeli Uwi yang malas untuk belajar memasak sendiri. Uwi lebih memilih ketergantungan pada Mama, juga Lily saat di Munich. Alhasil skill dia nggak meningkat juga. Tapi entah mengapa, di hadapan keluarga Raka, dia ingin terlihat mampu mengurus suaminya.

Raka memajukan tubuhnya untuk meraih wajah Uwi. Mengelus pipi Uwi dengan ibu jari, Raka berujar, "Kata Ibu, beliau nggak pernah punya anak kesayangan. Semua Ibu sayangi sama rata. Begitu juga dengan mantu-mantu Ibu. Beliau nggak pernah menuntut apapun, termasuk bisa masak. Yang penting kita berdua bahagia, Ruisha."

Raka menyelipkan rambut Uwi ke belakang telinga. Memajukan bibirnya, hendak mengecup bibir Uwi. Tapi tangan Uwi menghalanginya.

"Setelah ini jadwalnya nyetrikain baju kamu. Enak-enaknya nanti aja," tolak Uwi.

Raka menarik tangan Uwi yang menghalangi wajah mereka. "Setrika bisa kapan-kapan, Ruisha." Raka tetap berhasil mencuri ciuman di bibir Uwi.

"Tapi kalo kamu udah nggak tahan ya Ka?" Balik menggoda, bibir Uwi melengkung maksimal. Hilang sudah rasa kesalnya pada Raka.

===

"Jadi ke rumah Mama nggak?" tanya Raka serak. Setelah pertarungan di atas ranjang, Raka dan Uwi langsung terlelap hingga pukul tiga sore. Bukannya langsung beranjak dari kasur untuk mandi dan bersiap ke rumah Mama, mereka malah enggan melepas tangan yang saling mengait pada tubuh masing-masing. Gaya gravitasi kasur lebih tinggi daripada niat mereka untuk beranjak pergi.

"Kok mager ya. Besok pagi aja kali ya sekalian angkut empat R." Riko sudah pindah ke rumah Mama lagi sejak bulan lalu. Beberapa minggu lalu dia baru lulus dan wisuda, sekaligus menambah satu beban pengangguran di Indonesia.

"Yaya kan bilang mau menginap di sini," Raka mengingatkan.

"Minggu malem aja nginapnya, Ka. Senin kan mereka kegiatan bebas di sekolah." Adik-adik Uwi baru saja selesai ujian, satu minggu terakhir Uwi dan Raka sengaja menginap di rumah Mama, untuk mengajari adik-adiknya. Uwi ingin hari ini hanya dipenuhi oleh Raka saja.

"Oke, Sugar." Raka menggerak-gerakkan hidungnya di dada Uwi. Yang membuat perempuan itu terkikik geli.

"Kamu tuh hobi banget ndusel-ndusel gini sih, Ka," komentar Uwi.

"Nggak apa kan?" Raka menatap Uwi dengan mata berbinar.

"Ya apa-apalah. Ini tuh namanya mancing," seloroh Uwi.

Raka menyematkan senyuman lebar. Dia mengeratkan tubuh Uwi semakin erat. Memejamkan mata, melekatkan telinganya pada dada Uwi. Dengan khidmat mendengar irama detak jantung Uwi. Menenangkan.

Terkadang Raka bisa menjadi sosok suami yang sabar, figur kakak yang karismatik, dan adik yang penyayang. Di lain waktu Raka juga bisa berubah wujud layaknya anak kecil yang polos seperti saat ini. Uwi mendekap erat tubuh Raka, nalurinya menuntun tangan Uwi mengelus punggung Raka naik turun.

"Kita akan terus kayak gini kan, Ruisha?" Membuka mata, Raka mendongak, memandangi wajah istrinya.

"Kayak gini gimana?" Uwi menaikkan kedua alisnya.

"Bareng-bareng terus." Raka kian mengeratkan dekapannya. Seperti anak kecil yang takut ditinggal pergi.

"Ya iyalah!" jawab Uwi dengan nada yang lebih tinggi. Uwi nggak pernah suka ketika Raka meragukan masa depan mereka.

"Aku sayang banget sama kamu, Ruisha." Raka melepas belitan tangannya pada tubuh Uwi, untuk bergeser ke atas, menyamai kepalanya sejajar dengan kepala Uwi. Dia mencium dalam kening Uwi. Menghirup seluruh sisa udara di dalam paru-paru, lalu menghembuskannya perlahan.

Uwi nggak menjawab apapun, tapi Raka tau dari tatapan mata Uwi, perempuan itu merasakan hal yang sama.

"Raka..."

"Iya, Ruisha?"

"Kayaknya aku udah siap untuk punya anak." Uwi mengusap garis bibir bawah Raka, mengagumi dalam hati bentuk bibir Raka yang terukir sempurna.

"Kamu yakin? Aku nggak masalah kalau kamu belum siap. Aku merasa cukup. Sekarang aku udah punya keluarga yang lengkap, ramai, dan hangat." Sebelum menikah, Raka dan Uwi sudah berdiskusi mengenai anak. Lalu bermuara pada keputusan mereka untuk menunda, karena fokus Uwi masih terbagi oleh anggota keluarganya.

Tapi sekarang, rasanya semua terasa mudah. Kondisi Papa berangsur membaik, meski belum bisa berjalan, tapi sosok Papa telah kembali. Toko Mama semakin ramai, utang keluarga sudah lunas, juga adik-adiknya semakin mandiri. Uwi betul-betul siap memulai lembar kehidupan baru bersama keluarga kecilnya.

"Yakin. Semalam aku udah nggak minum pil KB. Aku mau ada duplikat Raka di rumah kita." Membayangkan kehadiran bayi mungil yang menyerupai Raka, membuat hati Uwi menghangat.

"Duplikat Raka dan Ruisha. Buah cinta kita ya, Sugar?" Raka tersenyum sangat lebar. Mengelus pipi istrinya, merasakan gelora cinta yang semakin membara.

Anggukan Uwi dihadiahi kecupan Raka pada setiap inci wajah Uwi. Dia mengecup istrinya berkali-kali, membuat Uwi terkikik geli. Diakhiri oleh kecupan di dahi, Raka berbisik, "Sayang". Lalu bibirnya beralih mengecup pipi kanan Uwi, Raka melanjutkan kalimatnya, "banget". Tak lupa pipi kiri Uwi, sembari menyambung kalimat, "sama". Kemudian ditutup oleh ciuman beberapa detik pada bibir Uwi. Setelahnya Raka berbisik lagi, "kamu."

Hati Uwi bergetar. Hati dan matanya menghangat. Uwi harap, Raka bisa menangkap sinyal di matanya yang memancarkan rasa sayang yang lebih dari sekedar ungkapan kata.

Baru saja Uwi hendak menyerang balik Raka, tapi perutnya lagi-lagi nggak bisa diajak kompromi. Perut Uwi berbunyi nyaring, tanda kelaparan.

Terbahak kencang, Raka bangkit duduk. "Laper ya? Mau makan apa, Ruisha?"

"Kamu terakhir makan mie dua minggu lalu kan, Ka? Makan mie rebus yuk?" Uwi butuh makanan segera. Makan mie yang bermicin terasa menggoda.

"Boleh. Biar aku yang masakin kamu." Raka berdiri sembari memakai kausnya. Kemudian Raka memunguti kaus Uwi yang juga tergeletak sembarang di atas lantai. Raka memasukkan lubang kaus pada kepala Uwi, dia membantu istrinya berpakaian.

"Upah setelah kerja rodi di ranjang ya?" Uwi mengedipkan sebelah matanya.

"Mau gendong sampai ke dapur?" Raka merentangkan kedua tangannya.

Terkekeh, Uwi menepis tangan Raka pelan. "Emangnya aku Yaya? Badanku berat, Ka. Dapurnya jauh pula." Sembari meraih tangan Raka, Uwi memimpin jalan duluan.

Meski jarang olahraga, tapi bisa dipastikan Uwi lebih banyak jalan kaki sejak tinggal di sini. Karena rumah Raka dan Uwi sangat besar untuk ditinggali bertiga dengan Bi Odah.

Uwi menopangkan dagu di balik meja kitchen island, menunggu Raka yang sedang memasak mie. Memandangi figur gagah suaminya dari belakang.

"Ka, makan dari panci aja langsung. Biar nggak banyak cucian piring."

"Oke. Bumbunya aku masukin langsung ke panci ya."

Harum kuah mie rebus menguar di seisi dapur. Memancing air liur Uwi keluar lebih banyak. Raka meletakkan panci dengan dua pasang sendok dan sumpit di tepi meja.

Ponsel Raka berkedip dan menggetarkan meja. Terpampang nama Pak Salim di layar ponsel. "Aku terima telepon dulu ya, Ruisha. Kamu makan aja duluan."

Uwi masih bertopang dagu, menatap Raka di ujung meja yang sedang berbicara dengan Pak Salim. Raka yang bermode serius menguarkan karisma lelaki cerdas. Uwi suka melihatnya.

"Besok juga tiga shift, Pak? Karyawan ada yang bisa standby malam? Ya sudah, mungkin besok pagi saya visit pabrik ya. Tolong belikan makanan untuk yang lembur ya Pak. Minta reimburs uangnya sama Mbak Ela. Gagal pengiriman?"

Uwi merasa percakapan Raka dengan Pak Salim masih lama. Jadi dia inisiatif menyuapi suaminya, daripada mereka berdua memakan mie rebus megar berkuah dingin.

Raka bergeming sejenak ketika Uwi mengangsurkan suapan mie. Dengan sumringah Raka membuka mulut, mengunyah sambil menanggapi Pak Salim di balik telepon. "Jadi semua barang menumpuk di gudang? Ya sudah nggak apa, Pak. Bapak istirahat dulu aja ya. Sudah makan, Pak?"

Raka melahap lagi suapan dari Uwi. "Bu Rosidah juga kerja sampai malam? Radit sama siapa di rumah? Oh ada nenek kakeknya." Raka membuka mulut bersiap menerima suapan selanjutnya. "Iya, Pak. Terima kasih ya, Pak. Tolong titip ucapan terima kasih juga untuk yang masih kerja."

Mie tersebut dengan mudah Raka telan, dia kembali membuka mulutnya. "Waalaikumsalam." Meletakkan ponsel di meja, Raka bersiap menerima suapan dari Uwi lagi.

"Kamu udah bisa makan sendiri, Ka." Uwi mendelik dan protes, tapi tetap menyuapi suaminya.

"Ternyata lebih nikmat disuapin." Raka terkekeh. Meski sudah lupa kapan terakhir kali disuapi oleh Ibu, tapi nikmatnya terasa sama.

"Ada masalah di pabrik, Ka?"

"Enggak kok. Alhamdulillah pemesanan briket tiga bulan ke depan meningkat drastis. Sambil dibantu pasokan briket dari supplier eksternal, kita mau ngejar produksi di pabrik. Jadi beberapa hari terakhir semua karyawan longshift ganti-gantian."

"Duh kebayangan capeknya. Perlu vitamin sama susu tambahan dong untuk karyawan?" Uwi masih menyuapi Raka.

Sambil mengunyah, Raka menganggukkkan kepala. "Harusnya. Vitamin yang bagus apa ya, Wi?"

"Kamu nanya ke aku, ya pasti aku jawab vitamin dari Kuringer dong. Aku punya kenalan sales, aku bisa pesen ke dia dalam jumlah banyak. Mau?" Uwi menawarkan bantuan.

"Boleh. Nanti aku tanya Pak Salim dulu untuk jumlahnya. Makasih, istriku." Raka memajukan kepalanya untuk mencium singkat bibir Uwi. "Bulan depan aku tambahin nominal transferan ke kamu ya."

"Aku jadi enak, Ka." Ucapan Uwi bermakna ganda. Maksudnya enak karena dicium juga ditransfer lebih. Nikmatnya hidup gue, batin Uwi.

Raka terkekeh seraya berdiri dari stool. "Kamu udah nyuapin aku, jadi biar aku yang nyuci panci."

"Yaudah, aku siapin air untuk kita mandi besar ya." Berendam berdua setelah olahraga di ranjang adalah favorit Uwi.

"Kita mandi bareng?" Raka memastikan.

"Iya dong. Sekalian lanjutin yang tadi," goda Uwi.

Sore mereka dihabiskan dengan bermesraan di kamar mandi, solat jamaah bersama, kemudian menonton netflix di atas kasur sembari berpelukan di dalam selimut.

Lama kelamaan tv yang menyala berubah menjadi sekedar backsound belaka. Raka dan Uwi terlalu sibuk bercanda berdua. Berbagi cerita mengenai kisah masa kecil mereka yang lucu dan memalukan.

"Iya, Riko pernah lari sambil teriak nangis ketakutan gara-gara kantong belakangnya dimasukin cicak mati sama anak tetangga sebelah."

Kali ini ranjang mereka bergoyang karena tawa Raka dan Uwi. Di dalam selimut, kaki dan tangan mereka saling bertaut.

Seharusnya malam minggu mereka diisi dengan makan malam di kafe atau restoran baru di Bogor Kota. Tapi mereka lebih suka menjadi anak rumahan. Akhirnya order gofood menjadi pilihan.

Setelah makan, malam minggu mereka ditutup dengan solat isya berjamaah. Entah mengapa, malam ini Uwi berdoa hingga menitikkan air mata. Mensyukuri segala hal yang telah diberikan Allah untuknya.

Uwi bukan orang yang sangat religius, solat jarang di awal waktu. Tapi Allah begitu mengasihinya melalui kehadiran Raka. Suami seiman dan tampan. Iya, dan juga mapan.

Raka berbalik untuk mengecup kening Uwi, yang sangat menyejukkan hati perempuan itu. Raka yang masih memakai sarung memeluk Uwi yang bermukena. Mereka berpelukan dalam diam. Tapi Raka dan Uwi tau, mereka sedang mengamini doa yang sama.

Bukannya tidur, Raka dan Uwi melanjutkan deeptalk mengenai masa depan mereka. Rencana jangka pendek hingga jangka panjang. Semua hal indah dan menyenangkan ada di dalam agenda. Uwi terlalu yakin, angan-angan mereka sangat mudah tercapai, karena uang Raka nggak berseri. Uwi percaya, hidupnya akan selamanya mulus. Dia sudah lupa bagaimana rasanya menjadi orang susah, karena hidupnya kini terasa mudah.

Sampai Uwi tiba-tiba terbangun di kala tengah bermimpi indah. Karena getaran panjang ponsel di atas nakas. Sambil mengerjapkan mata, Uwi meraih ponsel, yang ternyata milik Raka.

Uwi menggoyangkan pelan bahu Raka. "Ka, bangun. Ada telpon. Berkali-kali geter terus. Nomornya nggak dikenal."

"Ini udah pagi, Sugar?" tanya Raka yang masih memejamkan matanya.

"Masih jam dua belas malem, Ka." Uwi berbicara dengan parau lalu menahan kuap lebar.

Mendengar keterangan dari istrinya, Raka memiliki feeling nggak enak. Kantuknya seketika sirna.

Rupanya perubahan mimik Raka mempengaruhi Uwi. Perempuan itu ikut tegang saat Raka menerima telepon.

"Halo."

"Iya, betul, Pak. Ada apa ya Pak?"

Terkesiap, bola mata Raka melebar. "Apa, Pak? Kebakaran?"

"Baik, saya segera ke sana." Setelah menutup telepon, Raka mengotak atik ponselnya, berusaha menelepon seseorang. Tapi nggak diangkat. Wajah Raka terlihat panik dan frustasi.

"Kenapa, Ka?"

"Pabrik kebakaran, Wi. Pak Salim nggak bisa dihubungi. Aku harus ke sana sekarang." Raka terburu-buru memakai jaket dan celana panjang.

"Aku ikut, Ka." Uwi beranjak dari kasur, hendak mengganti pakaian.

"Jangan, Wi," cegah Raka.

"Enggak. Aku mau ikut." Pabrik kebakaran dan Uwi dibiarkan di rumah sendiri? Mana bisa.

Raka menangkap kedua lengan Uwi. "Jangan, Ruisha. Please, nurut sama aku ya? Aku pasti kabarin kamu. Kamu lanjut tidur aja," tutur Raka dengan suara lembut.

Uwi melunak. Dia berbisik lirih, "Gimana aku bisa tidur, Ka?"

"Riko bisa nyetir kan? Aku suruh dia ke sini ya temenin kamu."

"Jangan. Yang ada aku makin stres ditemenin dia," keluh Uwi.

"Kamu berani di sini sendirian?" tanya Raka.

"Aku nggak peduli sama setan. Malingpun aku yakin nggak akan lolos masuk sini. Aku lebih mikirin kamu," ungkap Uwi.

"Aku pasti kabari kamu terus." Dengan berbekal janji itu, Uwi melepas kepergian Raka.

Dan untuk pertama kalinya, Raka mengingkari janji.

Uwi terjaga hingga pagi, tanpa tahu kabar Raka, apalagi kondisi pabrik. Menjelang subuh, Uwi menggonta-ganti chanel tv, berharap ada tayangan berita.

Lalu berita pagi ini membuat Uwi jatuh terduduk. Tubuhnya lemas kala melihat tayangan mengenai kebakaran pabrik Raka semalam. Layar kaca dipenuhi oleh kobaran api yang tinggi. Sulit dijinakkan oleh petugas pemadam kebakaran (damkar).

Diduga kebakaran berasal ledakan oven yang overheat. Percikan api dengan cepat merambat mengenai briket arang yang merupakan bahan bakar. Bak pasangan sejati, api dan bahan bakar yang bertemu, berkolabori menciptakan kobaran dan ledakan yang lebih besar.

Keterlambatan tim damkar yang datang, membuat kebakaran makin membesar dan sulit ditaklukkan. Belasan mobil pemadam kebakaran belum sanggup menjinakkan api.  Begitulah narasi berita yang Uwi dengar.

Uwi menganga tak percaya, menatap si jago merah yang melahap habis pabrik Raka. Iya, habis tanpa sisa. Bukan menyisakan barang, tapi menyisakan banyak korban luka hingga meninggal dunia.

Tubuh Uwi semakin lemas, dadanya sesak sekali seperti ditinju dengan kuat. Detak jantung Uwi berpacu semakin cepat kala nomor Raka nggak bisa dihubungi.

Uwi kembali gagal menghubungi Raka, karena layar ponselnya dipenuhi oleh panggilan-panggilan tidak terjawab. Keluarga mereka berebutan menanyakan kabar. Uwi membiarkannya. Tapi yang dia angkat hanya satu nomor, yaitu Lily.

"Beb, itu pabrik Mas Raka kan yang kebakaran? Kondisi lo sama Mas Raka gimana?" Lily terdengar panik.

"Ly, lo tau kabar Raka nggak? Raka ngabarin yang lain nggak?" Suara Uwi bergetar, dia sedang berjuang menahan air mata.

"Nggak tau, Beb. Lo nggak lagi sama Mas Raka?" Lily semakin heboh.

"Semalem dia pergi ke pabrik waktu tau kabar kebakaran. Terus...terus..sekarang dia nggak bisa dihubungin. Gue harus gimana, Ly?"

"Ya Allah. Gimana doong. Ya Allah, gue lagi di Jogja, Beb. Gue coba cari tiket pulang terpagi ya. Gue coba telpon Mas Dave dulu."

"Ly, tolong bilang ke keluarga yang lain, gue belum bisa dihubungin, kabarin aja via chat." Uwi bahkan hanya mengabari Mama via chat singkat. Dia butuh pikiran yang jernih. Kekhawatiran anggota keluarganya akan menambah kerisauan hati Uwi. Dia pun nggak mau membuat keluarganya panik akan ketidakpastian.

"Iya, gue ngerti. Nanti gue kasih tau yang lain gimana kondisi kalian. Wi, gue doain semoga Mas Raka segera ada kabar. Yang kuat ya, Wi. Hari ini gue pasti ke rumah lo. Nanti kita cari Mas Raka bareng-bareng."

Tapi Uwi nggak mau menunggu hingga Lily sampai ke rumahnya.

Matahari belum terbit, jalananpun masih gelap, Uwi nekat mendatangi pabrik Raka dengan Pajero. Padahal Uwi belum hapal jalannya, tapi dengan modal nekat dia memaksakan.

Otaknya terasa lelah. Dia belum tidur sejak semalam. Tapi otak Uwi dipaksa untuk sibuk memilah antara berkonsentrasi dengan patokan jalan, mengkhawatirkan Raka, memikirkan kebakaran pabrik, dan juga sibuk bersugesti untuk nggak menangis.

Sambil menggigit bibir, Uwi berusaha menelepon Raka. Yang masih gagal total. Semakin menjauhi Sentul, mobil Uwi memasuki pedalaman yang rimbun akan pepohonan liar. Sinyal provider milik Uwi mulai hilang timbul.

Mata Uwi semakin memanas. Dia nggak kuasa menahan ledakan air yang melesak keluar dari netranya. Uwi menangis dalam diam. Pelan, tanpa suara, lama kelamaan kian terisak. Dia mengkhawatirkan Raka. Sulit untuk berpikiran positif di saat seperti ini.

Entah keajaiban darimana, Uwi berhasil membawa Pajeronya memasuki kawasan desa dekat pabrik. Bukannya lega, tapi hati Uwi malah teriris melihat kondisi desa. Bukan senyum sapa yang ramah seperti yang terakhir kali Uwi lihat. Tapi warga yang sibuk lalu lalang dengan wajah tercoreng debu asap, sisanya sedang sibuk menangis. Suara isakan mereka menembus hingga ke dalam mobil, beradu dengan sirine mobil pemadam kebakaran.

Tubuh hingga jemari Uwi bergetar hebat. Mencari kekuatan, Uwi mengeratkan cengkraman jarinya pada kemudi. Mobil semakin melaju menuju lokasi. Hingga Pajero Uwi terhenti di belakang jejeran mobil pemadam kebakaran.

Uwi terpaku melihat kondisi pabrik Raka. Mata Uwi membola, air matanya mengucur deras. Uwi belum membuka pintu mobil, tapi tenggorokan Uwi sudah tercekat, napasnya terasa begitu sesak, rasa sakit mengisi rongga dada Uwi.

Tembok pembatas pabrik telah runtuh. Bangunan pabrik hanya meninggalkan jejak tumpukan puing hitam yang mengingatkan Uwi akan briket arang. Asap masih mengepul tebal. Beberapa anggota pemadam baru menyelesaikan tugasnya.

Uwi butuh waktu lama untuk menyiapkan diri, sebelum akhirnya dia membuka pintu mobil. Udara pekat akan asap langsung menyerang indera penciuman Uwi. Dia terbatuk kecil.

Uwi memaksakan diri berjalan mendekat ke lokasi, hingga terhenti di antara kerumunan warga. Mungkin dari jauh kerumunan ini tampak seperti masyarakat yang iseng menonton kebakaran. Tapi dilihat dari dekat, ternyata ekspresi mereka sama. Yaitu tengah meratapi. Menatap pilu pada sisa bongkahan hitam yang masih mengepulkan asap. Mereka memiliki harapan yang sama, yaitu semoga api dan bara segera padam, lalu mereka bisa membantu mengais apapun yang bisa diselamatkan.

Uwi merasa beruntung karena Raka sempat mengenalkannya pada pegawai pabrik. Hingga karyawan Raka mengenalinya. "Mbak Uwi?" sapa seorang wanita dengan wajah kuyu.

"Bu Dedeh." Uwi meraih tangan Bu Dedeh, merasa lega menemukan orang yang dikenal.

Baru saja Uwi mau bertanya mengenai suaminya, tubuh Uwi ditubruk duluan oleh Bu Dedeh. "Mbak Uwi. Maaf ya Mbak, saya nggak bisa ngapa-ngapain." Dari semalam Bu Dedeh menahan diri, menatap pasrah ketika si jago merah perlahan tapi pasti melahap bangunan pabrik. Bu Dedeh terpaksa berlari ketika teman-temannya terkena ledakan, bahkan terjebak oleh reruntuhan dan ikut terbakar. Dia berusaha masuk ke dalam, tapi nggak bisa.

Uwi memeluk tubuh Bu Dedeh, mengusap punggungnya naik turun. "Nggakpapa. Bukan salah Bu Dedeh." Asap yang pekat membuat mata Uwi perih. Tapi dia mengeluarkan air mata bukan karena perihnya asap.

Tangisan Bu Dedeh semakin kencang karena meracau menyebut nama teman-temannya yang menjadi korban kebakaran. Orang-orang di sekitar mereka menoleh. Sepertinya semua orang berusaha menekan rasa takut dan duka lara. Tangisan Bu Dedeh membuat mereka yang lain nggak kuasa menahan tangisnya lagi. Pada akhirnya mereka menangis bersama. Meratapi sumber mata pencaharian, sebagian teman-teman seperjuangan, juga rumah kedua mereka yang tiba-tiba hilang.

Setelah Bu Dedeh tenang, dia baru bisa bercerita. Uwi mendapatkan informasi bahwa Raka tengah fokus mengantar Pak Salim dan istrinya yang termasuk menjadi korban terparah ke Rumah Sakit terdekat. Sedangkan suami Bu Dedeh yang ditugasi untuk mengawasi situasi dan kondisi di pabrik.

"Tau nggak Bu dibawanya ke Rumah Sakit apa?"

"Kurang tau, Mbak. Mencar-mencar. Ada yang masuk IGD, ada yang langsung dirujuk ke Rumah Sakit lain, Mbak. Anak sama orangtuanya Kang Salim juga ikut, rumahnya kosong."

Uwi keluar desa untuk mencari sarapan para warga. Setelah mendistribusikan sarapan dan memastikan nggak ada lagi yang bisa Uwi lakukan di sini, dia pamit pulang.

"Bu, saya pulang dulu ya. Takut suami saya pulang ke rumah. InsyaAllah nanti saya mampir lagi ke sini sama suami."

===

Uwi mendapati rumahnya masih kosong. Bi Odah sedang pulang kampung. Raka masih nggak ada kabar.

Menjelang siang, Uwi belum mengisi perutnya sejak semalam. Dia nggak nafsu makan. Dengan wajah kuyu, Uwi bersandar di kepala sofa. Menunggu kedatangan suaminya.

Ketika Uwi nyaris memejamkan mata, pintu rumah terbuka. Uwi berlari menghampiri Raka.

"Ka, aku khawatir nyariin kamu."

Uwi hendak memeluk Raka, tapi suaminya menghindar. Tubuh Uwi membeku. Baru menyadari raut wajah Raka yang berbeda 180 derajat dari kemarin. Raut dipenuhi keputusasaan.

"Ruisha, aku...nggak punya apapun lagi." Raka merasa jadi manusia gagal dan pembawa sial. Raka baru saja menyaksikan rumah keduanya ludes terbakar, bahkan beberapa karyawannya ikut menjadi korban. Belasan jam terakhir Raka dikelilingi oleh tangisan para keluarga korban.

Harta berharga Raka sudah hilang. Raka menjadikan banyak keluarga yang kehilangan suami, istri, orangtua, juga anak. Dia gagal membahagiakan banyak orang. Dia membuat kesulitan di hidup orang. Raka nggak mau, Uwi merasakan sulit yang sama.

"Maksud kamu?" Belasan jam nggak tidur, sepertinya membuat kinerja otak Uwi melambat.

"Aku kehilangan pabrik dan orang kepercayaanku. Aku nggak punya apapun lagi, Wi." Bisik Raka lirih.

Melihat kondisi Raka, yang ingin Uwi ucap hanya, "Mau aku peluk, Ka?" Uwi merentangkan kedua tangannya.

Raka mundur ketakutan. "Jangan. Aku nggak pantes, Wi."

"Nggak pantes apa, Ka?" Uwi kebingungan melihat suaminya yang bertingkah nggak masuk akal.

"Aku nggak pantes jadi suami kamu. Aku akan buat hidup kamu susah." Raka meracau hal yang sama.

"Aku nunggu kamu semaleman tanpa kabar, terus kamu tiba-tiba pulang ngomong kayak gini? Kamu kenapa sih, Ka? Aku nggak paham."

"Pabrik dan gudang kita habis terbakar. Aku nggak punya apa-apa lagi, Wi. Bisa dipastikan semua uang yang kita punya akan dipakai untuk ganti rugi. Aku...aku...akan buat hidup kamu susah."

Uwi nggak bodoh, nggak mungkin mereka nggak mengalami kerugian materi. Uwi yakin kerugiannya bukan hanya sekedar sejuta dua juta. Tapi pikiran Uwi terlalu berpusat pada Raka. Selain itu, dia nggak peduli. "Iya aku tau. Aku udah liat kondisi pabrik, Ka."

"Aku gagal memenuhi impian kamu. Aku nggak bisa menafkahi kamu sebanyak dulu. Kamu boleh pergi, Ruisha."

Uwi tertegun mendengar penuturan Raka. Rasa lelah sangat mudah memantik emosi Uwi. "Really? Setelah semua yang kita laluin, kamu nyuruh aku pergi, Ka?"

"Dengar, Ruisha. Bisa aja sebentar lagi aku bangkrut. Aku nggak punya lagi harta sebanyak dulu yang aku janjikan saat kita belum menikah. Aku akan buat hidup kamu susah. Kamu akan kesusahan."

Semalaman menatap api yang merampas semua harta miliknya, yang pertama Raka pikirkan adalah Uwi. Dia gagal menjanjikan harta yang banyak dan kehidupan yang layak. Mendampingi karyawan-karyawannya yang menjadi korban, membuat kepercayaan diri Raka merosot tajam.

Ketika satu persatu karyawannya menjadi korban meninggal, Raka kembali terlempar ke masa lalu dimana kedua orangtuanya pergi. Raka kian ciut. Dia bertanya berkali-kali, kesalahan apa yang telah dia perbuat, hingga banyak orang meninggalkannya. Lalu bayangan istrinya mengisi lagi. Raka sengaja menghindar, sambil mengumpulkan keberanian untuk menemui istrinya, membawa kabar buruk.

Raka harus mempersiapkan diri menghadapi kehilangan terbesarnya. Kehilangan hartanya yang paling berharga. Yaitu istri tercintanya.

Ucapan Raka membuat Uwi menghayal akan masa depannya. Dia seperti merasa terlempar di masa lalu, ketika bengkel Papa bangkrut. Dari rumah mewah, mereka pindah ke kontrakan petakan. Masa-masa dimana Uwi hanya makan nasi dengan garam.

Uwi membayangkan, nggak ada lagi saldo sepuluh digit berderet, nggak ada lagi rumah dan mobil mewah. Waktu Uwi untuk menjadi orang tajir habis sudah.

Tapi entah mengapa...Uwi lebih takut kehilangan Raka ketimbang kehilangan harta.

"Serendah itukah Ka kamu ngeliat aku? Kamu nganggep aku mau sama kamu cuma dari harta?" Oke, Uwi akui memang awalnya dari harta. Tapi lambat laun, harta tak lagi menjadi poin utama.

"Kamu mau punya suami kaya, aku nggak lagi memenuhi kriteria," suara Raka bergetar. Dari semua yang Raka punya, hanya tersisa Ruisha. Tapi Raka nggak boleh egois, karena dia gagal memenuhi janji. Sedangkan Uwi berhak hidup layak.

Uwi tertawa seraya air matanya yang mengalir tanpa sebab.

"Jadi kamu nggak mau susah senang sama aku, Ka? Kamu cuma mau ngajak aku seneng-seneng aja? Iya? Terus kalau kamu kesusahan, aku boleh pergi? Itu maksud kamu?" cecar Uwi.

Raka bungkam. Emosi Uwi terpancing.

"Tatap mata aku, Raka. Jangan nunduk."

Raka mematuhi ucapan Uwi. Perempuan itu terhenyak mendapati mata Raka yang menjelaskan segalanya.

Emosi putus asa, kehilangan, rasa sedih, dan kebingungan.

"Aku nggak lagi pantes untuk kamu, Wi," lirih Raka.

"Selama ini kamu merasa pantes karena kamu punya uang banyak, Ka?" Uwi berjuang untuk berucap di tengah isak tangisnya.

"Seenggaknya dulu aku masih memenuhi kriteria kamu," Raka mengakui.

Pengakuan Raka membuat hati Uwi kian teremas kuat. Apa yang Uwi ucap berkali-kali dulu, mengenai kriteria pria idaman, terasa seperti bumerang. Menabrak Uwi kuat, menimbulkan efek sakit yang dahsyat.

"Kalo kamu, sebenernya maunya apa?" tanya Uwi yang masih memaku tatap pada Raka.

Raka terdiam. Uwipun sama. Mereka membiarkan hening semakin pekat. Membiarkan rasa sesak dan sakit berdesakan.

Dengan napas yang semakin terhimpit, Uwi bertanya lagi dengan suara bergetar. "Kamu maunya apa?" Air mata jatuh lagi satu persatu, lama kelamaan debitnya kian kencang. Uwi terisak lagi.

Di tengah kondisi fisik yang semakin melemah, pikiran kacau dan melantur, Raka berjuang menahan tangis. Memandangi wajah istrinya dalam waktu lama, perlahan keegoisan Raka mengakar kuat. Dia butuh Uwi. Dia butuh perempuan itu tetap di sisinya.

Berubah pikiran, Raka memutuskan untuk menjadi egois, dia memberanikan diri berkata, "Jangan tinggalin aku, Ruisha. Meski aku nggak punya apapun, jangan tinggalin aku."

===

Kalo Raka bangkrut, kondisi ekonomi mereka lagi terpuruk, Uwi masih mau bareng-bareng sama Raka nggak ya? :').

Continue Reading

You'll Also Like

753K 99K 21
- Pemenang Wattys 2021 kategori Chicklit - - Reading List @WattpadChicklitID kategori Agenda Meja Kantor Juni 2021 - Bahwa rupanya, orang terdekatmu...
503K 850 4
Kumpulan Cerita Pendek, penuh gairah yang akan menemani kalian semua. 🔥🔥🔥
452K 31.1K 41
Lyla tidak berminat menikah. Namun, siapa sangka ia harus terjebak dalam pernikahan dengan sahabatnya sendiri? "You're a jerk, Hanan." "And you're tr...
292K 45.7K 27
Mili sangat membenci kondisi ini. Dikejar-kejar oleh Mamanya sendiri yang mau menjodohkannya. Bahkan, titah untuk menikah sebelum usia 24 tahun terus...