About You

By fairytls

54.8K 5.5K 3.8K

[PRIVAT, FOLLOW UNTUK BACA LENGKAP] Trauma terhadap cinta membuat Leone Ice Fox tak ingin menjalin hubungan d... More

A T T E N T I O N
P R O L O G U E
1. Leone Ice Cole
2. Ocean Javiera
3. School
4. Clubbing
5. Girlfriend? Big No!
6. Ocean is a Germ
8. What? Mr. Ice
9. Gifts
10. Ck! She's Noisy
11. Damn! Crazy Girl
12. Poor Ocean
13. She's Not Cinderella
14. Physics Olympiad
15. She's Says "I Love You"
16. Family Date
17. Nightmare, Hug, and Hallucinations
18. Denial
19. Angry
20. Can I Eat Your Lips?
21. I Apologize
22. Who's she?
23. I Gotta Go
24. Missing You
25. Musée du Louvre

7. Freaky Girl

1.6K 195 18
By fairytls

Leone menjejalkan kaki masuk ke dalam sebuah kafe untuk mengisi perutnya karena ia melewatkan jam makan siang saat di sekolah.

Seorang pelayan dengan rambut panjang terikat rapi menghampiri meja Leone, untuk mencatat pesanan pria itu. "Mau pesan apa, Pak?"

Netra Leone masih fokus memilih menu yang tersedia, setelahnya ia mengangkat kepala. "Saya pesan—" Pupil Leone melebar kemudian mengecil dalam waktu singkat tatkala melihat pelayan yang berdiri di samping mejanya. "Kamu." Leone menunjuk Ocean, ekspresi kaget begitu kentara pada wajahnya.

"Pak Leo." Ocean rasanya ingin melompat riang karena rasa senang bertemu Leone di tempat ia bekerja.

"Kamu ngikutin saya?"

"Enggak, Pak, Bapak berharap aku ngikutin Bapak, ya?" Ocean menaik-turunkan alisnya menggoda Leone. "Aku enggak ngikutin, Bapak, kebetulan aku kerja di sini," lanjut Ocean agar Leone menghilangkan raut curiga di wajahnya.

Leone berdeham pelan, ia amati penampilan Ocean. Ocean mengenakan seragam pelayan serta membawa pulpen dan note kecil ditangannya.

"Bapak mau pesan apa?" Ocean bertanya siap mencatat pesanan Leone.

Leone mengalihkan pandangannya kembali pada buku menu. "Pasta mozarella dan jus lime."

"Okay babe, tunggu sebentar ya? Pesanan kamu akan segera diantar." Ocean mengedipkan sebelah matanya sebelum pergi, hal itu sukses membuat Leone bergidik ngeri.

Sembari menunggu, Leone menyapu maniknya melihat vista kafe yang ia tempati, sangat instagramable untuk anak-anak muda. Kurang dari sepuluh menit pesanan Leone tiba, dibawa langsung oleh Ocean.

"Silakan dinikmati, udah aku tambahin bumbu cinta di dalamnya." Ocean meletakkan satu piring pasta serta jus lime ke atas meja, kemudian Ocean duduk di depan Leone.

"Kamu enggak ada pekerjaan lain, kenapa duduk di depan saya?" tanya Leone dengan nada kesal.

"Memangnya enggak boleh aku duduk di sini?"

"Pergilah! Saya merasa terganggu dengan keberadaan kamu di sini."

"Tapi aku masih mau duduk di sini. Lagipula aku enggak melakukan apa-apa selain duduk dan melihat Bapak, apa itu mengganggu?"

Leone benar-benar tak habis pikir dengan kelakuan muridnya ini. Leone mengabaikan Ocean, kemudian mulai makan dengan tenang.

Dengan posisi tangan menopang dagunya, Ocean menatap Leone sambil senyum-senyum sendiri. Menurut Ocean pesona Leone sangat kuat bahkan sedang makan pun terlihat begitu tampan.

Melihat bagaimana kedua pipi Leone bergerak ketika mengunyah sangat manis pikir Ocean. Katakanlah Ocean berlebihan tapi itu memang kenyataannya.

"Berhenti natap saya atau saya cungkil mata kamu," cetus Leone merasa risih ditatap begitu intens oleh Ocean.

Ocean tak menghiraukan apa yang Leone katakan. Ocean asyik dengan acara mari menatap Leone.

"Mau aku suapin, Pak?" Ocean menawarkan.

Leone hampir tersedak mendengar perkataan Ocean barusan. "Dengar Ocean! Saya enggak tau tujuan kamu mendekati saya karena apa? Dan saya pun enggak mau tau. Jadi berhenti mendekati saya. Paham!" Leone mengatakannya penuh penekanan berharap gadis di hadapannya ini mengerti, iris hijau olive miliknya menatap dalam kedua netra milik Ocean.

Ditatap intens oleh Leone membuat jantung Ocean berdetak tiga kali lebih cepat. Ocean menjadi gugup apalagi dengan wajah serius Leone yang menambah kadar ketampanan pria itu.

"Kalau aku enggak mau gimana?"

"Aku suka sama, Bapak," ungkap Ocean untuk pertama kalinya.

"Dasar gadis aneh!" hardik Leone. "Gimana bisa kamu suka sama orang yang baru kamu temui?" Leone tidak percaya mendengar pengakuan Ocean. Bayangkan saja, mereka berdua baru beberapa hari bertemu di sekolah dan Ocean mengaku suka padanya? Terdengar sangat tidak masuk akal bagi Leone.

"Aku enggak tau, Pak, tanya aja hatiku kenapa bisa suka sama Bapak secepat itu."

"Kalau begitu buang perasaanmu jauh-jauh, karena saya enggak suka sama kamu." Leone tersenyum miring, ia yakin setelah ini Ocean akan sakit hati karena ucapannya dan membuang jauh-jauh perasaannya.

Tapi dugaan Leone salah besar, bukannya sakit hati Ocean justru terkekeh. "Bukan enggak suka tapi belum suka, aku yakin bisa bikin Bapak membalas perasaanku."

"Jangan mimpi! Saya enggak akan membalas perasaan kamu!" tegas Leone.

"Okay, kita liat aja nanti."

Dari jarak dua meter, seorang pelanggan di meja nomor lima memanggil Ocean. Ocean berdiri dari duduknya. "Kalau gitu aku permisi dulu, Pak. Sampai jumpa di sekolah besok, Pak." Ocean melambaikan tangan kanannya sambil tersenyum manis.

"She's freaky girl," gumam Leone menatapi punggung mungil Ocean manakala gadis itu melenggang menuju meja nomor lima.

***

Leone memasang jas ke tubuh tegapnya di depan cermin. Malam ini, ia bersama orang tuanya akan pergi menemui seorang gadis. Leone tidak tahu apa malam ini ia akan dijodohkan atau sekadar sesi perkenalan semata.

Keluarga Leone dan keluarga si gadis akan bertemu di sebuah restoran.

"Leo, kamu udah siap?" Suara Lucy memanggil Leone dari luar pintu.

"Ganteng banget anak Mama," puji Lucy saat melihat anaknya baru keluar dari kamar.

"Ayo berangkat, Papa udah nunggu di bawah," ajak Lucy sambil merapikan kerah kemeja Leone.

Leone on the way meninggalkan mansion beriringan dengan mobil orang tuanya. Memakan waktu 20 menit untuk mereka tiba di parkiran restoran, tak ingin membuang waktu mereka bertiga segera masuk ke dalam restoran.

"Udah nunggu lama?" sapa Lucy sehingga wanita seumuran dengannya menegakkan tubuh, mereka berpelukkan serta saling menempelkan kedua pipi.

"Enggak juga, kami baru aja tiba," balasnya.

Lionel bersalaman dengan Papa dari gadis yang akan dikenalkan kepada Leone.

"Leone, Om Tante," ucap Leone memperkenalkan dirinya.

"Oh, ini yang namanya Leone. Ganteng ya," puji wanita itu.

"Mari, silakan duduk." Orang tua si gadis mempersilakan Lionel, Lucy, serta Leone agar duduk.

"Di mana anak gadismu?" tanya Lucy.

"Dia lagi pergi ke toilet."

Para orang tua berbincang-bincang hingga datang seorang gadis memakai dress cream sebatas lutut serta high heels berwarna senada menghampiri meja mereka.

"Luna, kamu lama banget di toilet," omel sang Mama. Wanita itu telah berdiri dari duduknya.

"Maaf, Ma. Tadi toiletnya antre dulu."

Wanita itu tersenyum tipis lantas menarik lembut lengan Luna agar merapat padanya. "Kenalin ini anak kami, namanya Luna."

Luna menatap mereka. Leone dan Luna kaget melihat satu sama lain. Luna terdiam cukup lama hingga sang Mama menyikut lengannya. Luna tersadar segera mengulurkan tangan mengajak orang tua Leone berkenalan.

Luna beralih menatap Leone, dirinya enggan mengulurkan tangan lebih dulu kepada Leone.

"Ayo, kenalan juga sama Leone," suruh wanita itu kepada putrinya.

"Leo." Lucy menatap Leone, seolah tatapannya adalah kode agar putranya itu segera mengulurkan tangan untuk berkenalan.

Leone berdeham sambil memperbaiki postur tubuhnya. Lalu, tangan kanan Leone terulur ke depan Luna.

"Leone."

Untuk beberapa saat Luna hanya menatap tangan Leone, sebelum akhirnya ia jabat.

"Luna," kata Luna cepat-cepat menarik tangannya kembali.

Mereka duduk di samping orang tua masing-masing setelah berkenalan. Di bawah meja, Leone membersihkan telapak tangannya yang baru bersentuhan dengan Luna.

Hati Luna tidak karuan, awalnya Luna penasaran dan takut. Takut laki-laki yang akan orang tuanya perkenalkan tidak sesuai ekspektasi, tapi ternyata orang itu adalah Leone, melebihi ekspektasinya.

Mengobrol santai diselingi oleh tawa para orang tua. Leone sesekali ikut menyahut obrolan mereka saat orang tua Luna bertanya kepadanya.

"Kamu tahu, Leo, Luna kalau di rumah berisik banget, sampai kepala tante pusing dengarnya."

"Anak kami ini memang berisik, tapi kelebihannya dia bisa masak, walaupun cuma menggoreng telur." Kekeh pria itu seraya mengusap singkat pucuk kepala putrinya.

"Mama! Papa!" protes Luna sembari cemberut.

"Enggak bisa masak bukan masalah dikeluarga kami," sambar Lionel. "Bagiku seorang istri tugasnya bukan cuma memasak. Awal aku menikahi Lucy, dia enggak bisa masak, justru aku lah yang memasak untuknya," lanjut Lionel.

Orang tua Luna mengulas senyum tulus mendengar perkataan Lionel. "Kalau gitu aku enggak perlu khawatir seandainya putriku menjadi bagian dari keluarga kalian." Papa Luna membalas.

"Kalian berdua pergi aja jalan-jalan, kami mau bicara hal penting," suruh Lucy.

Meski sebenarnya Leone tidak mau. Ia tetap berdiri dengan gentle sehingga Luna ikut berdiri.

Leone mempersilahkan Luna untuk berjalan lebih dulu. Kemudian Leone menyusul di belakang gadis itu, Luna berjalan cepat keluar dari restoran.

Leone melihat gelagat gelisah dari Luna. Namun Leone tak peduli akan hal itu, mereka mengayunkan kaki di sekitar restoran. Hingga Leone melihat bangku panjang dan mengajak Luna duduk.

"Um, langitnya bagus ya, Pak?" Luna menunjuk langit malam.

Leone mendongak, tidak ada bagus-bagusnya, yang ada hanya langit gelap tanpa bintang. "Sepertinya kamu harus segera pakai kacamata."

Luna meringis malu, niat hati ingin mencairkan suasana agar tidak awkward. Luna yang tidak tahu harus melakukan apa, akhirnya mengutak-atik ponsel tanpa tujuan yang jelas.

"Apa kita mau dijodohkan?" celetuk Leone.

Seketika Luna berhenti bermain ponsel, tubuh Luna mendadak kaku, tak berani menoleh pada Leone. Luna meremat tangan kirinya di atas paha.

"Kenapa kamu setuju ketemu sama saya?" tanya Leone dengan pandangan lurus ke depan.

"Mama mau kenalin aku sama anak temannya, aku enggak tau kalau orang itu Pak Leo," balas Luna seadanya. "Lagian kita belum tentu dijodohkan."

***

Selesai acara berkenalan dengan keluarga Luna. Leone dan orang tuanya beranjak untuk pulang.

"Gimana, Leo, sama Luna?" tanya Lucy saat mereka sampai di parkiran.

"Apanya, Ma?"

"Pendapat kamu tentang Luna."

"Cantik," jawab Leone malas.

"Anak itu susah banget dekat sama perempuan," dumel Lucy melihat Leone memasuki mobilnya, lalu melesat pergi.

"Udah, Ma. Mungkin Leone masih butuh waktu." Lionel memeluk bahu Lucy mesra.

"Sampai kapan, Pa? Udah delapan tahun berlalu, tapi anak kita masih belum melupakan Stella."

"Iya, Papa tau. Nanti kita bicara lagi sama Leone. Sekarang, lebih baik kita pulang." Lionel memeluk pinggang Lucy, mengajak istrinya ke mobil.

***

Tangan kekar Leone sangat lihai memainkan stir, mata Leone fokus menatap ke depan dengan lampu di sepanjang jalan menyala terang. Atensi Leone teralihkan manakala mendengar suara ponsel, ia mengalihkan pandangan dari jalanan selama dua detik untuk meraih ponselnya.

Braakk! Leone menabrak bahu jalan karena menghindari objek di depannya, kening Leone menghantam stir menyebabkan luka kecil yang membuat pria itu meringis.

Leone membuka pintu mobilnya lalu keluar menghampiri orang yang sedang terduduk di tengah jalan, orang itu hampir ia tabrak.

"Kalau mau nyeberang jalan lihat-lihat dulu, kamu hampir mencelakai diri kamu sendiri dan orang lain!" marah Leone.

Orang yang Leone marahi mendongak membuat Leone tertegun. "Kamu lagi." Leone bernapas gusar, ia tak habis pikir, dari banyaknya manusia di bumi kenapa ia harus bertemu dengan Ocean lagi. Apa dunia begitu sempit?

Ocean yang sedang terduduk di aspal segera berdiri. "Maaf, Pak. Aku tadi buru-buru." Ocean menundukkan kepala, merasa bersalah.

"Lagian Bapak bawa mobilnya cepat banget, tadi aku lihat mobil Bapak masih jauh makanya aku nekat nyeberang."

"Dasar ceroboh, kalau saya tadi enggak banting setir kamu bisa mati ditabrak mobil saya."

"Maaf," cicit Ocean.

"Kamu enggak luka 'kan?" tanya Leone. Meski semua murni kesalahan Ocean namun pria itu masih memiliki sedikit rasa kasihan.

Ocean mengangkat kepalanya. "Enggak, Pak," balas Ocean. "Tapi justru Bapak yang luka." Ocean tatap kening Leone yang mengeluarkan darah.

Leone memegang keningnya lalu melihat bercak darah pada tangannya. "Ini karena salah kamu!" hardik Leone.

Ocean sibuk mencari sesuatu di dalam tasnya. "Ini, Pak." Ocean memberikan plester luka kepada Leone.

"Biar aku bantu pakaikan." Ocean membuka bungkus plester, ia berjinjit hendak menempel plester dikening Leone.

Leone mundur ke belakang menghindari tangan Ocean. "Enggak usah!" ketus Leone tidak mau disentuh Ocean.

"Sini." Leone meminta plester dari tangan Ocean dan Ocean memberikannya tanpa menyentuh kulit Leone.

Cih, gambar hati, batin Leone mencibir gambar plester ditangannya.

"Bapak makainya di tempat yang salah. Sini, kasih aku."

Leone tidak bisa melihat di mana letak pasti lukanya. Akhirnya Leone memberikan kembali plester tersebut kepada Ocean agar gadis itu bisa membantunya.

"Bapak bisa nunduk? Aku enggak sampai, Bapak tinggi banget."

Leone memutar bola mata malas. Namun tak urung ia menunduk agar wajahnya sejajar dengan Ocean.

"Udah selesai," ucap Ocean usai menempelkan plester.

"Maaf untuk kejadian barusan." Tanpa menunggu balasan dari Leone, Ocean berlari menjauhi Leone. Ocean baru pulang kerja, jadi dia buru-buru agar tidak kemalaman sampai di rumah.

Continue Reading

You'll Also Like

2.4K 402 12
[ SLOW UPDATE ] Cerita ini terinspirasi dari lagu yang berjudul "Unconditionally" Tentang seorang wanita yang tulus mencintai seorang pria yang sanga...
402 73 11
Perjodohan? Heii ayolah ini sudah jaman modern apa masih ada yang di namakan perjodohan. Tapi nyatanya sampai saat ini hal tersebut masih sering di l...
90.1K 6.8K 24
[Sequel of SHEZA] Obsesi membuat Julian menggila, kemudian nekat menculik Sheza. Tujuh hari menjadi waktu penetapan lamanya ia menculik sang pujaan h...
524K 25.8K 73
Zaheera Salma, Gadis sederhana dengan predikat pintar membawanya ke kota ramai, Jakarta. ia mendapat beasiswa kuliah jurusan kajian musik, bagian dar...