Aksara Senada

By ndaquilla

1.9M 248K 13.4K

Mereka pernah bersama. Membangun rumah tangga berdua, sebelum kemudian berempat dengan anak-anaknya. Bahagia... More

P R O L O G
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Empat
Dua Puluh Lima
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan
Dua Pulun Sembilan
Tiga Puluh
Tiga Puluh Satu
Tiga Puluh Dua
Tiga Puluh Tiga
Tiga Puluh Empat
Tiga Puluh Lima
Tiga Puluh Enam
Tiga Puluh Tujuh
Tiga Puluh Delapan
Tiga Puluh Sembilan
Empat Puluh
Empat Puluh Satu
Empat Puluh Dua
Empat Puluh Tiga
Empat Puluh Empat

Sembilan

46.1K 5.3K 279
By ndaquilla

Langit hari ini cerah. Awan berarak dengan terarah. Diikuti sepoi angin yang membelai lambat. Pagi seharusnya dimulai dengan hal-hal yang membuat semangat. Namun hal itu tidak berlaku bagi seorang Aksara Bhumi Alfath. Setelah lembur semalaman, ia masih diburu oleh denting email yang masuk sepagi ini. Buatnya terpaksa membawa tubuhnya bangkit dari peraduan. Memejamkan mata demi meminimalisir denyut di kepala, ia menghela ketika teringat pada persidangan siang nanti.

Sengketa lahan antar keluarga memang biasa terjadi. Namun apa jadinya bila yang berseteru adalah mantan suami dan istri yang kini masing-masing dari mereka telah menjabat sebagai orang-orang penting di pemerintahan. Banyak sekali berkas kecurangan yang dimanipulasi. Dan kebetulan sekali, klien Aksa kali ini tak sekadar memiliki permasalahan dengan mantan istrinya. Namun juga dilaporkan oleh anak-anaknya sendiri atas penggelapan dana perusahaan yang konon digelontorkan untuk istri sirinya.

Jadi, setelah sidang hari ini digelar dengan agenda melawan mantan istri kliennya. Lusa, Aksa akan kembali ke persidangan dalam agenda mendengar tuntutan dari anak-anak kliennya. Well, satu orang tertimpa dua masalah sekaligus. Dan Aksa yang harus membereskan. Karena hal itu memang bagian dari pekerjaannya.

Turun ke lantai satu, ia menenteng tas, jas sekaligus dasi. Pagi ini, ia memiliki meeting dengan anggota timnya terkait kasus yang dilimpahkan kepada tim mereka sejak beberapa hari yang lalu. Sebenarnya, bukan kasus baru. Kasus ini sebelumnya ditangani oleh Daniela-salah seorang lawyer di tempatnya bekerja. Hanya saja, banyak klien yang bertindak sesukanya. Dengan embel-embel nama besar keluarga dan ancaman tak ingin bekerjasama dengan firma hukum mereka lagi, klien itu berhasil menuntut pergantian kuasa hukum.

Lalu, ya, begitu saja, berkas-berkas itu beralih kepadanya.

"Pagi, Mi," ia menemukan ibunya sudah berada di meja makan. Menarik dua kursi sekaligus, ia meletakkan tas serta jasnya di salah satu kursi itu.

"Lho, Mas? Mami pikir Mas balik ke apartemen."

"Kasihan kalau Mami sendirian di rumah. Makanya, aku temenin," kelakarnya santai.

"Hm, iya, Papimu makin sibuk. Alvin juga nggak ada di rumah," keluh ibu empat orang anak itu yang tadi sempat berpikir akan sarapan sendirian di meja makan luas ini. "Mas Aksa juga sibuk banget, ya?"

Aksa mengangguk, menjawab pertanyaan sang ibu. "Urusannya Om Benni sama Tante Melanie bener-bener luar biasa," komentarnya sambil tertawa. Ia menyebutkan nama klien yang kebetulan juga dikenal oleh orangtuanya.

"Ya, salah si Benni," komentar Yashinta-sang ibu. "Dia yang selingkuh. Terus dia yang ceraikan Melanie. Belum cukup semua itu, dia justru gelapin uang perusahaan sekian milyar buat selingkuhannya."

Sebelum memutuskan pensiun dari seluruh aktivitas hukum yang selama ini digeluti, ibunya merupakan praktisi dari sebuah LBH. Konsernnya, lebih mengarah pada konsultasi hukum gratis kepada kalangan bawah juga pembelaan terhadap perempuan-perempuan yang mengalami ketidakberdayaan atas kasus dugaan KDRT, pelecehan, hak asuh anak akibat perceraian, serta hak-hak perempuan lainnya.

Bila keluarga besar dari pihak ayahnya adalah praktisi partai politik. Maka, keluarga pihak ibu berkecimpung di dunia hukum. Kakeknya, Wibowo Hamdzah, merupakan seorang notaris semasa hidupnya. Sementara ibu dan omnya memilih profesi sebagai pengacara setelah lulus kuliah. Walau dengan jalur berbeda. Ibunya pendiri Lembaga bantuan hukum cuma-cuma, dan omnya merupakan pemilik firma hukum yang melayani kasus-kasus berbayaran tinggi.

"Tapi Melanie juga ngambil langkah keliru. Seharusnya, sebelum menceraikan Benni, dia pastikan hak-hak anak-anaknya nggak diganggu gugat."

"Mi, please, dia klienku," potong Aksa sebelum ibunya meracaukan banyak hal lagi.

Yashinta berdecak kecil. "Benni pasti menang 'kan, Mas?" sindirnya pada sang putra.

Aksa hanya tertawa. Ia menerima nasi goreng yang disodorkan sang ibu. Mengucap terima kasih kepada asisten rumah tangga yang mengantarkan kopi untuknya, namun Aksa belum melahapnya. Sejenak, ia memakukan perhatian pada ibunya yang duduk di hadapannya. Matanya melirik pada sebuah tongkat yang bersandar di kursi sebelah sang ibu. "Mami hari ini terapi?"

Ibunya sempat mengalami kelumpuhan setelah kecelakaan yang terjadi delapan tahun lalu. Duduk di kursi roda selama hampir lima tahun, lalu mulai menggunakan tongkat berjalan beberapa tahun ini.

"Iya, hari ini Mami terapi. Kenapa? Mas Aksa mau nganterin?"

Sambil meringis, Aksa mengulum senyum kecil. "Lain kali, ya, Mi. Hari ini beneran sibuk banget," ungkapnya tak enak. Lalu nelangsa itu hadir tanpa mampu dicegah. "Maafin aku, ya, Mi?"

"Mas, kita semua udah sepakat mengikhlaskannya 'kan?"

Benar.

Tapi rasanya masih saja ada hantaman sesak di dada tiap kali melihat kondisi ibunya yang seperti ini. Andai dapat memutar waktu, Aksa tak akan meminta jemput di bandara hari itu. Mereka bertiga pasti baik-baik saja. Menjalani hari-hari sebagaimana takdir yang mereka inginkan. Tanpa ada rasa bersalah. Tanpa ada penyesalan.

Ibunya pasti tidak akan terluka.

Dirinya pasti tidak akan berada di sini.

Dan yang pasti kakak laki-lakinya-

"Mas?"

Aksa menelan ludah, kemudian mengeratkan rahangnya. "Maaf, Mi," gumamnya pelan. "Maaf," lagi ia haturkan penyesalan tanpa berkesudahan. "Maafin aku."

Demi Tuhan, ia tidak suka berandai-andai. Namun rasanya, pagi ini sesaknya benar-benar luar biasa. Sambil mengusap dada, ia mencoba mengatur napasnya pelan-pelan.

Andai saja, delapan tahun yang lalu itu ia pulang dengan menggunakan taksi. Mungkin saat ini, segalanya akan baik-baik saja.

"Mas Aksa?

"Ya, Mi?"

"Kata ajudannya papi, mereka ketemu anak-anakmu beberapa hari yang lalu."

Deg.

Aksa mengangkat wajah.

Rautnya pias, sementara matanya memanas.

"Hm," Yashinta menatap anaknya lekat. Tahu apa yang tersimpan di balik danau gelap dalam iris sang putra, ia menghela napas. "Si adek sakit katanya, Mas."

Aksa tak jadi menyuapkan nasi ke mulutnya. Sambil menelan bongkah bara yang tergulung di ujung lidah, ia raih cangkir kopinya. Menyeruput pelan, membiarkan panas mengaliri dada. Sebelum kemudian, ia eratkan rahang. Inilah yang membuatnya selalu ingin berandai tuk terbang ke delapan tahun silam.

***

Aksa adalah anak ketiga dari empat orang bersaudara.

Kakak pertama dan keduanya merupakan anak kembar. Laki-laki dan perempuan, persis seperti kedua anaknya. Kakak perempuannya mempunyai dua anak. Yang paling besar seusia anaknya-anaknya. Sementara kakak laki-lakinya telah meninggal. Memiliki seorang putri yang kini berusia tujuh tahun lebih. Dan Alvin-adik laki-laki Aksa belum juga menikah, padahal usianya sudah 30 tahun.

Sementara dirinya sendiri, kini berumur 34 tahun. Menjadi salah satu senior advokat di firma hukum milik Omnya alias adik kandung sang ibu. Mendedikan waktu serta pemikirannya dalam membantu menjalankan firma hukum itu hingga sebesar sekarang.

Menghabiskan hari-harinya dalam mencari bukti-bukti demi memenangkan tiap kasus yang berada di tangannya. Bertemu banyak orang dengan jenis karakter yang berbeda-beda. Berseliweran di pengadilan dan bila kebetulan mendapatkan klien seorang publik figure, Aksa harus menyesuaikan diri dalam konferensi pers. Dan itu jarang sekali ia lakukan. Ia lebih memilih menyerahkan hal remeh-temeh tersebut pada juniornya.

"Sa, Tante tahu kamu itu kuasa hukumnya Benni. Dan kamu pasti tahu betul, gimana berengseknya klien kamu itu. Tapi kenapa, Sa, kamu harus tega mematahkan semua bukti yang sudah Tante beberkan dipersidangan tadi?"

Beginilah susahnya bila lawan di persidangan adalah orang yang ia kenal.

Tidak sekali dua kali Aksa dikejar seusai persidangan oleh lawannya. Dengan alasan sangat mengenal kedua orangtuanya, lawan-lawannya sering kali menuntutnya tuk memberi mereka sedikit kelonggaran. Menceritakan bagaimana berengseknya klien yang tengah ia tangani. Bahkan tak jarang meminta bertemu demi membeberkan semua kejahatan kliennya.

"Mas Aksa, Papaku itu salah, Mas. Yang pertama, dia udah selingkuh, Mas. Lalu, dia menceraikan Mama. Dan sekarang, asset yang seharusnya menjadi milik kami pun, harus diselewengkannya juga. Semuanya untuk perempuan jalang itu, Mas. Bahkan dana perusahaan pun digelapkan demi perempuan itu."

Bila tadi Aksa hanya diserang tante Melanie, kini anak dari kliennya pun ikut-ikutan juga. Buat kepalanya pening namun dengan tetap memperlihatkan wajah ramah, Aksa hanya mampu tersenyum kecil. "Tante, Jessica," ia memberi atensi penuh pada ibu dan anak itu. Berada di lobi pengadilan dengan banyaknya orang yang berlalu lalang, Aksa berusaha tetap tenang. "Ini masih sidang pertama kok, Tan. Dan bukti-bukti yang Tante beberkan dipersidangan tadi memang nggak akurat, Tan. Banyak celah yang bikin saya dengan mudah ngebantahnya. Kalau Tante memang pengin menang melawan Om Benni, untuk sidang berikutnya tolong persiapkan bukti yang lebih kuat lagi. Minta pengacara Tante supaya lebih giat mencari bukti-bukti itu."

"Ya, mau gimana bisa menang, pengacara Benni aja kamu," gerutu Melanie sewot. Ia membenarkan letak bros mengkilap di hijabnya. Berperan sebagai wakil rakyat di kursi DPR, membuatnya merasa harus selalu tampil rapi dan berkelas. Ia yang dulunya merupakan istri dari seorang pengusaha, tentu tak sulit memilih perhiasan-perhiasan simple berharga fantastis tuk menyempurnakan penampilannya. "Kamu sih, kenapa nggak mau jadi pengacaranya Tante aja?"

Aksa tersenyum kecil. "Om Benni langsung ngehubungin Om Sahrir, Tante. Saya cuma kebagian kelimpahan kasus aja."

Dan setelah berbincang kecil, Aksa memilih undur diri terlebih dahulu. Junior teamnya sudah menanti sedari tadi. Dengan limpahan berkas di tangan, Rania sudah berkali-kali mengodenya agar segera angkat kaki.

"Mas Aksa lama banget sih?" keluh wanita itu dengan wajah memelas. "Kliennya udah nunggu di kantor, Mas," ia memberitahu setelah mereka masuk ke dalam mobil.

Terkekeh singkat, Aksa memilih memejamkan mata. Jas yang tadi terpatri rapi di luar kemejanya selama persidangan kini sudah ia lepas. Mengendurkan sedikit dasi, ia raih ponsel yang bergetar di dalam saku celana.

"Ya, Om?" ia menjawab panggilan itu cepat.

"Di mana, Sa?"

"Udah di jalan sih, Om. Tadi dihadang dulu sama tante Melanie," ia ceritakan sambil tertawa.

"Wah, disuruh ngalah nggak kamu?"

Yang menghubunginya saat ini adalah Om Sahrir. Walau hanya bergelar sebagai keponakan, Om Sahrir memperlakukan Aksa bak anak sendiri. Menjadi salah satu orang kepercayaan laki-laki paruh baya itu. Aksa juga kerap diminta pendapatnya mengenai klien-klien besar dengan beragam kasus yang terkadang sangat membahayakan.

"Ratama udah nunggu nih, di kantor, Om. Kamu masih lama?"

"Hm, bisa sampai sejam lagi sih, Om. Jalanan macet," ia menimbang waktu yang sekiranya dapat ia tempuh untuk kembali ke kantor. "Gimana kalau Om aja yang nangani langsung? Bukan apa-apa, ya, Om, sebenarnya aku agak ragu sama kedatangan dia. Mengingat gimana kacaunya hubungan keluarga kita sama keluarga besarnya berpuluh-puluh tahun yang lalu. Agak aneh rasanya, kalau dia datang ke kita untuk minta bantuan hukum."

Klien yang menantinya kali ini pun memiliki nama besar keluarga yang tak main-main. Tipikal klien kelas kakap bahasa umum yang sering digunakan orang-orang. Namun sebenarnya, teramat membingungkan bila menilik latar belakang keluarga mereka.

Well, klien kali ini sebenarnya adalah sepupunya. Nenek kliennya merupakan saudara kandung dari neneknya sendiri. Namun, permasalahan hak waris membuat hubungan darah itu tak hanya merenggang, tetapi diputus tiba-tiba. Harta yang seharusnya dibagi rata, dikuasai oleh sepihak saja. Dan neneknya adalah tipe pengalah. Neneknya membiarkan ketidakadilan itu menindasnya bahkan hingga neneknya tutup usia.

"Oke deh, Sa, kalau itu mau kamu. Om coba bicara dengan Ratama. Tapi, kalau kamu sudah sampai kantor, kamu harus langsung temuin Om, ya?"

"Beres, Om."

Setelah sambungan terputus, Aksa memilh menatap jendela. Ia tidak sedang memandang apa-apa. Hanya membiarkan pikirannya menerawang saja. Benaknya terus memikirkan banyak hal, buatnya makin merasa lelah.

"Hari ini, kerjaan kita banyak, ya, Ran?"

"Banget, Mas," keluh Rania cepat. "Tapi, besok kita agak santai, Mas. Sebelum lusa, kita harus fight lagi."

"Bahasa kamu," Aksa terkekeh. Dan ia memilih memejamkan mata. Seminggu ini ia tidak cukup beristirahat. Semenjak Larissa-putri kandung Om Sahrir mengambil cuti melahirkan, banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan. Tak melulu tentang kasus-kasus yang datang, namun juga berinteraksi dengan orang-orang demi mewakili firma hukum.

"Mas Aksa, yuk, udah sampai," Rania membangunkan seniornya. "Mas mau ketemu Pak Sahrir dulu 'kan? Biar saya pesankan makan siang sekalian."

Ketika membuka mata, Aksa bisa merasakan laju mobil berhenti. "Iya, Ran. Saya mau ketemu Om Sahrir," ia menurunkan kaki. Sementara tangannya kembali mengencangkan dasi yang mengikat leher. Menenteng jas di tangan, ia pun mulai melangkah terburu-buru. Sebelum kemudian, sebuah seruan menghentikan ayunan langkahnya.

"Ayaah ...!!"

Deg.

"Ayah!!"

Aksa segera memutar tubuhnya cepat-cepat.

Ia mencari sumber suara itu. Lantas terbelalak ketika matanya menemukan apa yang ia cari.

"Ayah!"

"Adek?" bibirnya bergetar. Jantungnya berdetak kencang. Kaki yang seharusnya melaju, ia bawa mundur. "Abang?" matanya coba mengerjap, takut bahwa dua sosok yang berada di sana merupakan hasil dari imajinasinya saja.

Namun ternyata, tidak.

Mereka nyata.

Anak-anaknya berada di sana.

"Adek!" kakinya mengayun. "Abang!" kini ia bawa ayunan langkah itu berlari.

***

Yupss, begitulah saudara2 acara termehek-mehek kita kali ini.
Jadii, apakah bapaknya mengakui anak2nya????
Hmmmm... penasaran yesss wkwkwk

Yg mau baca duluan bisa ke akun karyakarsa aku yaa, di sana udah sampai part 40

Continue Reading

You'll Also Like

333K 1.4K 16
⚠️LAPAK CERITA 1821+ ⚠️ANAK KECIL JAUH-JAUH SANA! ⚠️NO COPY!
2M 9K 17
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. 🔞🔞 Alden Maheswara. Seorang siswa...
870K 81.2K 52
Ini adalah Kisah dari Kila. Kila Prastika yang ternyata memiliki seorang bapak kos yang kebelet kawin ... "Nikah sama saya, kosmu gratis seumur hidu...
17M 754K 43
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...