Aksara Senada

By ndaquilla

1.9M 248K 13.4K

Mereka pernah bersama. Membangun rumah tangga berdua, sebelum kemudian berempat dengan anak-anaknya. Bahagia... More

P R O L O G
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Empat
Dua Puluh Lima
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan
Dua Pulun Sembilan
Tiga Puluh
Tiga Puluh Satu
Tiga Puluh Dua
Tiga Puluh Tiga
Tiga Puluh Empat
Tiga Puluh Lima
Tiga Puluh Enam
Tiga Puluh Tujuh
Tiga Puluh Delapan
Tiga Puluh Sembilan
Empat Puluh
Empat Puluh Satu
Empat Puluh Dua
Empat Puluh Tiga
Empat Puluh Empat

Delapan

42.3K 5.2K 205
By ndaquilla


Ajakkan Lova yang impulsif itu nyatanya disetujui Oka dengan mudah. Tanpa banyak berdebat Oka menyanggupinya. Namun, tidak di siang itu juga. Mereka butuh rencana. Karena, perlu perjalanan selama 2,5 jam untuk sampai di kota di mana ayah mereka tinggal dan menetap.

"Jadi, kita beneran bolos, Bang?" Lova berbisik di sela-sela sarapan. Bunda berdiri di depan sink untuk menyuci peralatan masak yang kotor. Jadi, mereka harus ekstra berhati-hati dalam bicara. Bahkan seharusnya, Lova diam saja dulu. Namun, ya, namanya juga perempuan, pantang diam bila sudah ada keperluan. "Bang?" panggilnya tak sabar.

Oka menatap adiknya tajam, sambil mengunyah ia beri pelototan pada gadis itu. "Bisa diem dulu nggak?" desisnya pelan. Melakukan kerja sama dengan Lova pasti berisiko ketahuan. Namun, karena hanya gadis itu satu-satunya saudara yang Oka punya, mau tak mau ia harus tahan. "Masih ada Bunda," bibirnya menipis ketika menambahkan.

Cemberut, Lova mengibaskan rambutnya yang panjang. "Bun?"

"Iya, Nak?"

"Bunda kerja nggak hari ini?"

Kegiatan Nada dalam mencuci wajan terhenti sejenak. Ia membalikkan tubuh dan menatap sang putri. Sebenarnya, itu adalah pertanyaan biasa. Tetapi dapat berubah layaknya pecut yang mengagetkan, ketika ada dusta yang tercipta. Dan Nada nyaris menahan napasnya. Namun, setelah berhasil menguasai diri ia pun melempar senyum. "Kerja dong," bohongnya karena belum dapat berkata jujur pada anak-anaknya. Ia hanya tak ingin mereka khawatir. Ia akan mengusahakan mendapat pekerjaan secepatnya. "Kenapa, Sayang?"

"Nggak apa-apa, Bun," Oka yang menjawab demi memutus racauan Lova yang bisa membuat mereka ketahuan. "Nanti, kalau Abang sama Adek pulang agak telat, berarti kita ada kegiatan di sekolah, ya, Bun," Oka mulai merajut kebohongan serupa. Ia juga melakukannya supaya bunda tidak mengkhawatirkan mereka. "Sebentar lagi hari Sumpah Pemuda, Bun. Rencananya, kita upacara di hari itu."

"Iya, Bun," Lova ikut-ikutan menyahut. "Kemarin, Adek ngajuin diri buat yang ngebaca teks Sumpah Pemuda. Tapi nggak tahu sih, entah kepilih atau nggak," ia menutup penuturannya sambil tersenyum. Lalu melempar pandangan ke arah sang kakak. Ingin sekali mengatakan, bahwa ia pun bisa diandalkan. "Abang tuh selalu ngeremehin Adek lho, Bun. Nggak percayaan banget sama Adek."

"Ya, karena memang kamu nggak bisa dipercaya," sambar Oka menatap adiknya malas. "Bun, pokoknya hari ini, Abang sama Adek pulangnya telat, ya, Bun?" ia haturkan permohonan maaf tanpa suara. Lewat mata yang memandang redup, Oka mencoba melebarkan senyumnya.

"Oke, yang penting pulangnya tetap bareng-bareng sama Adek, ya, Bang? Abang jangan pulang sama temen-temennya. Adek juga jangan sok pulang-pulang sendirian."

"Siap, Bunda!" seru keduanya kompak.

Mereka tahu bunda juga sedang berbohong. Bunda yang akan keluar pagi ini, bukan untuk bekerja. Justru, bunda tengah berjuang mencari pekerjaan. Namun apa pun itu, mereka tak mempermasalahkan. Bunda berdusta bukan tuk bersenang-senang. Bunda hanya tak ingin mereka sedih. Dan itulah yang membuat mereka semakin mencintai ibunya.

"Dek, jangan lupa bawa jaket atau sweater," Oka mengingatkan.

Lova mengangguk mengerti. Kakaknya itu, sudah mengatakannya sejak kemarin malam. "Abang juga udah bawa uang banyak 'kan?"

Mereka tak jadi membeli tas dan sepatu, jadi uang itulah yang akan mereka bawa hari ini. Perjalanan mereka nanti, bukan perjalanan penuh haru dalam mencari keberadaan sang ayah. Mereka pernah bertemu ayahnya. Walau setahun sekali, hal itu tak mungkin membuat mereka lupa wajah sang ayah. Hanya saja, mereka sedang melakukan sebuah kenekatan kali ini dengan datang sendirian ke sana entah untuk apa.

***

"Sebenarnya, kita mau ngapain ketemu ayah, Dek?" tanya Oka begitu mereka sudah masuk ke dalam bus. Duduk bersisian dan mulai sibuk mengancingkan jaketnya. Orang-orang di terminal tadi cukup banyak yang menjadikan mereka pusat atensi. Padahal, keduanya telah melapisi baju seragam mereka dengan masing-masing jaket yang mereka bawa. "Handphonenya mana, Dek?" tangannya menengada meminta ponsel.

"Bentar, Bang," Lova sedang ribet saat ini. Rambut panjangnya yang tadi ia gerai, tengah ia gelung ke atas. Bando berwarna orange yang menghiasi rambutnya, coba ia lepaskan. Ia akan mengenakan tutup hoodie selama perjalanan. "Iya, ya, Bang, kita sebenarnya mau ngapain ketemu ayah?" ia sendiri bingung.

"Lho, kan, ini ide kamu."

"Ya, memang," sahut Lova tanpa rasa bersalah. "Tapi, kenapa Abang iya-iya aja? Aku pikir, Abang udah punya rencana gitu," kilahnya enggan disalahkan. Bus telah melaju dan kini Lova sedang membokar tasnya. "Mana ya, Hpnya, Bang?" Lova mulai meringis karena belum mendapatkan benda yang seingatnya sudah ia masukkan tadi.

"Serius, Lova?" bila Oka sudah memanggil adiknya hanya dengan namanya saja, berarti ia sedang kesal. "Nggak usah macam-macam," maksudnya adalah jangan ada drama yang mengabarkan bahwa ponsel itu tertinggal di rumah. Bukan apa-apa, ini adalah perjalanan pertama mereka menggunakan bus hanya berdua saja. Mereka memang berdoa supaya tidak terjadi apa-apa selama dalam perjalanan, namun tetap saja, mereka butuh ponsel untuk menghubungi sang ayah bila sudah tiba di sana. "Lova?"

Lova menelan ludah, bibirnya tergigit resah. Buku-bukunya sudah ia keluarkan semua. Kotak pensil dan segala ruang-ruang bersleting di dalam tasnya, telah ia periksa. Namun, keberadaan ponsel tetap tak ada juga. "Tadi udah aku masukin, Bang."

Oka menghela pasrah.

Sungguh, kenapa sih tadi bukan dirinya saja yang memasukkan ponsel itu ke dalam tasnya?

Kenapa pula, ia harus menyuruh Lova?

Ck, sudah tahu adiknya itu teramat teledor.

Astaga, kalau sudah begini mereka harus bagaimana?

"Dek?" dengan nada jengkel, Oka menatap adiknya. "Kamu nggak serius 'kan?" maksudnya adalah keberadaan ponsel yang nihil di tas itu. "Kamu lagi main-main aja 'kan?"

Lova memejamkan mata, mimik wajahnya berubah seketika. "Maaf, Bang," sepertinya ia memang belum memasukkan ponsel itu ke dalam tasnya. "Kayaknya masih di cas di kamar, Bang," ringisnya merasa bersalah.

Hal yang kontan saja membuat Oka menepuk keningnya kuat-kuat. "Kalau bukan perempuan, udah abis kamu, Lov!" seru Oka kesal. "Astaga, Lova!" ia mengeratkan tangan jengkel. "AH! Terus gimana nanti kalau nyasar? Kita nggak tahu naik angkutan umum apa kalau mau ke kantor ayah!" omelnya benar-benar merasa marah. "Mau jadi gelandangan di sana?! Gimana mau neghubungin bunda kalau ternyata kita justru nggak bisa pulang karena nyasar?! Mau bikin bunda panik?!"

"Maaf, Bang," tutur Lova lemas. Ia sudah tak lagi memiliki tenaga walau sekadar hanya mengangkat kepala. "Sumpah, Bang, Adek nggak sengaja."

"Ck!"

Oka sudah terlanjur kesal.

Sekarang yang perlu ia lakukan adalah mencoba tenang.

Ia akan mengingat-ingat nama jalan menuju kantor sang ayah.

Benar.

Ia harus mengingat nama jalannya.

Walau sekarang yang terlintas di otaknya hanyalah nama firma hukum di mana sang ayah bekerja. Selanjutnya, ia tak mengingat apa-apa.

"Kamu ingat nomor ponsel ayah?" Oka bertanya sengit pada sang adik. "Kalau ingat, kita bisa minjem hape orang buat nelpon ayah." Dan gelengan Lova membuat Oka mengacak-acak surainya sendiri. "Terus apa yang kamu inget?"

Sambil menggigit bibirnya, Lova menyengir tipis. "Nama ayah, Aksara Bhumi Alfath. Ayah kerja di Sahrir Hamdzah and Partners. Hehehe ... udah, itu aja, Bang."

Ya, sudah, Oka juga hanya tahu itu saja.

Jadi, apakah mereka bisa berhasil bertemu sang ayah hanya bermodalkan tahu nama tempat kerja saja?

Oke, mereka perlu mencoba.

***

Lova sudah menangis sedari tadi.

Dan makin menjadi-jadi begitu mereka keluar dari dalam bus.

Mereka seharusnya tiba di terminal ini jam setengah sebelas. Namun di tengah perjalanan, bus sempat oleng. Ternyata, ada salah satu bannya yang kempis. Dongkrak yang digunakan pun sempat mengalami masalah. Hingga perjalanan mereka molor selama hampir satu jam. Hal tersebutlah yang membuat Lova ketakutan. Ia menangis setelah semua kekacauan yang terjadi hari ini.

"Udahlah, nggak apa-apa. Buktinya, kita selamat 'kan?" Oka terus menggenggam tangan adiknya yang dingin.

"Terus, sekarang kita gimana, Bang?"

Mereka turun dari bus disambut oleh sinar matahari yang menyengat. "Kita keluar dulu aja dari sini," ia terus membimbing adiknya. Tak sekalipun mengendurkan ganggamannya. Keramaian berpotensi membuat mereka kelabakan. Makanya, Oka berusaha tenang sambil memimpin jalan. Tempat ini begitu asing untuknya. "Kita makan dulu aja, ya?"

Namun Lova menggeleng. "Jam segini aja belum ketemu ayah, Bang. Terus, jam berapa lagi kita mau pulang?" cicitnya sambil menepikan air mata. "Kalau nggak ketemu sama ayah gimana, Bang?" ia kembali menangis. "Apa kita pulang lagi aja, ya, Bang?"

Sebenarnya, Oka juga sempat berpikir seperti itu. Tetapi buru-buru ia tepis. "Kita udah nyampe sini, Dek," ujarnya sambil menuntun adiknya ke tepi. Ada tempat duduk kosong di sana. Mereka perlu duduk sambil memikirkan cara bagaimana harus sampai ke gedung tempat ayahnya bekerja. "Duduk sini dulu," ia menyuruh adiknya duduk. "Minum," masing-masing dari mereka selalu membawa bekal air minum ke sekolah. Dan hari ini pun, mereka membawanya. Tinggal menariknya dari slot yang menempel di sisi kanan dan kiri tas.

"Bang?" Lova merengek lagi.

"Bentar, Dek," Oka mencoba bersabar menghadapi adiknya. Padahal, dari segi usia, mereka sama. Tak ada yang lebih tua dan lebih muda. Tapi pada kenyataannya, justru Oka tampak bertahun-tahun lebih tua dari adiknya. Ck, mungkin karena sejak awal ia terdokrin sebagai seorang kakak. Jadi, mau tak mau ia pun tumbuh dengan pemahaman bahwa dirinya wajib bersikap lebih dewasa. "Kamu jangan nangis lagi. Abang bingung, Dek," desah Oka mulai merasa frustrasi.

"Tapi nanti kita nggak bisa pulang, Bang?" Lova mengusap air mata. Ia tetap sesenggukkan karena benar-benar ketakutan. Tempat ini asing. "Kita masih kecil, Bang. Nanti kalau kita dihipnotis gimana?" racaunya benar-benar panik. "Bang, kita pulang aja, ya? Aku takut nggak bisa ketemu bunda lagi."

"Tenang, Dek. Kita pasti bisa pulang dengan selamat," Oka meyakinkan. "Ayo, kita jalan lagi," Oka kembali menggenggam tangan adiknya. Mereka keluar dari terminal dan langsung mendapati laju kendaraan yang berlalu lalang. Mendadak, Oka terserang gugup. Suasana di tempat ini benar-benar asing baginya. Bahkan, ia pun tak tahu harus mencoba melangkah ke mana.

"Bang?"

Rengekkan Lova membuat ubun-ubun Oka terasa makin mendidih. Ia tak boleh panik atau mereka akan menangis bersama di sini. Tanpa mengatakan apa-apa, ia genggam erat tangan Lova yang masih terasa dingin. Mengajak sosok itu terus bersama, mereka melangkahkan kaki menuju sebuah minimarket yang terletak persis di sebelah pintu keluar terminal.

"Mbak, kami boleh minta tolong?" pinta Oka langsung pada kasir minimarket yang ia temui usai mendorong pintu kaca. Terima kasih pada air mata adiknya yang sebelum-sebelumnya ia anggap menyebalkan. Karena, berkat air mata itu, kasir tersebut pun merasa iba. Lalu, mereka dipesankan taksi online menuju gedung di mana firma hukum Sahrir Hamdzah and Partners berada.

***

Namun, setelah sampai di sana pun semua tak berjalan mudah.

Gedung tinggi di hadapan mereka, tak memperbolehkan sembarang orang untuk masuk ke sana. Terik matahari begitu menyengat siang ini. Air mata Lova yang tadi sempat surut, kini menetes lagi. Kepanikan mereka kian mencekam. Mereka diusir oleh sekuriti yang bertugas bahkan sebelum sempat memasuki lobi.

"Tapi, Pak, ayah kami kerja di sini," Lova dengan air matanya terus mengalir. Walau berkali-kali sudah ia menghapusnya ketika melintasi pipi. "Tolong dipanggilin aja, Pak," rayunya mengiba.

"Kalian ini mengganggu saja! Sudah sana pergi-pergi! Anak-anak nggak boleh main ke sini?!" usir salah seorang satpam bertubuh gempal itu.

"Pak, saya mohon. Izinin kami masuk," Oka ikut mengiba. Keringat sudah bercucuran dan membuat bajunya basah. "Atau, Bapak bisa minta tolong resepsionis di sana untuk panggilin ayah kami, Pak," wajahnya teramat lelah. Mereka belum makan dan air minum di tumbler pun sudah habis. "Ayah kami salah satu advokat di Sahrir Hamdzah and Partners, Pak."

"Ck, kalian ini," desak seorang sekuriti yang lain. Laki-laki berkumis itu menghampiri kedua anak sekolah tersebut dengan raut kesal. "Sana, jangan di sini kalian!" usirnya menggunakan nada keras. "Jangan bikin keributan! Di sini kantor tempat orang-orang kerja! Bukan tempat main-main!" ia menyambar lengan anak laki-laki bertubuh tinggi itu. Mengempaskannya menuruni tangga dan membuat si anak terjatuh. "Pergi kalian! Jangan di sini!" serunya tanpa perasaan.

"Abang!" Lova berlari ke arah sang kakak yang tersungkur di paving keras. "Abang nggak apa-apa?" tanyanya sambil terisak. Kunciran rambutnya sudah awut-awutan, keringat menempel di dahi dan seragamnya. Ingin rasanya membuka hoodie yang benar-benar membuatnya gerah. "Bang, kita pulang aja, ya?" pintanya menyedihkan.

Sudah hampir jam dua.

Mereka telah teramat lelah.

Lapar dan dahaga pun menyerang begitu menyeramkan sekarang.

Oka meringis saat merasakan perih di lututnya. Benturan keras dengan paving tadi, membuat lututnya tergores dan sedikit berdarah. Tak menghiraukan luka itu, ia menerima bantuan sang adik untuk berdiri. Mengernyit kala memandang sinar matahari, Oka mengembuskan napas jengah. Mungkin, adiknya benar. Mereka harus pulang. Sudah jam segini, dan walau pun mereka mencoba cepat-cepat menuju terminal, mereka tetap akan tiba petang nanti. Masalahnya lagi, bagaimana mereka bisa sampai ke terminal? Mereka tak tahu harus naik apa ke sana.

Merasa gagal menjadi seorang kakak, Oka memandang adiknya dengan segunung rasa bersalah. Menarik tubuh sang adik mendekat, Oka memeluknya. Membiarkan Lova menangis di dadanya, sementara Oka hanya mampu menengadah menatap langit. "Maafin Abang, ya, Dek?" ia tak mampu membawa adiknya bertemu dengan ayah mereka. Mereka bahkan bak anak terluntah di sini. "Maafin Abang," ia tepuk-tepuk punggung Lova pelan.

Saat keputusasaan itu telah menggelung sepasang saudara tersebut dengan begitu pekat. Sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan lobi. Kedua sisi pintu penumpang terbuka. Yang pertama kali menjejak keluar adalah seorang wanita dengan blazer rapi dan tampak kepayahan membawa banyak berkas. Sementara dari sisi satunya lagi, laki-laki berpantofel hitam terlihat terburu-buru. Kemeja berdasi namun jasnya ditenteng di salah satu tangan, membuat lelaki tersebut terlihat siap berlari memasuki gedung.

Dan sebelum terlambat, Oka melepaskan pelukannya pada sang adik. "Dek?" panggilnya pelan. "I-itu ...," bibirnya keluh. Namun ia berhasil mengangkat jemarinya untuk menunjuk.

Lova mengikuti arah pandang kakaknya. Tangisnya yang semula deras, kini justru membuatnya makin terisak kuat. Dengan bibir bergetar menahan sesak, ia memanggil sosok yang nyaris berlalu di depan sana. "Ayah ...!!" serunya sekuat tenaga.

***

Continue Reading

You'll Also Like

3.4M 51.1K 32
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...
776K 50.2K 33
Semua orang mengira Saka Aryaatmaja mencintai Juni Rania Tanaka, namun nyatanya itu kekeliruan besar. Saka tidak pernah mencintai Rania, namun menola...
692K 34.4K 51
Ravena Violet Kaliandra. Mendengar namanya saja membuat satu sekolah bergidik ngeri. Tak hanya terkenal sebagai putri sulung keluarga Kaliandra yang...
3M 152K 62
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _𝐇𝐞𝐥𝐞𝐧𝐚 𝐀𝐝𝐞𝐥𝐚𝐢𝐝𝐞