Aksara Senada

By ndaquilla

1.9M 248K 13.4K

Mereka pernah bersama. Membangun rumah tangga berdua, sebelum kemudian berempat dengan anak-anaknya. Bahagia... More

P R O L O G
Satu
Dua
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Empat
Dua Puluh Lima
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan
Dua Pulun Sembilan
Tiga Puluh
Tiga Puluh Satu
Tiga Puluh Dua
Tiga Puluh Tiga
Tiga Puluh Empat
Tiga Puluh Lima
Tiga Puluh Enam
Tiga Puluh Tujuh
Tiga Puluh Delapan
Tiga Puluh Sembilan
Empat Puluh
Empat Puluh Satu
Empat Puluh Dua
Empat Puluh Tiga
Empat Puluh Empat

Tiga

45.9K 5.3K 84
By ndaquilla

Desas-desusnya sudah terdengar sejak beberapa hari yang lalu. Di mana, banyak petugas kebersihan dipekerjakan tiba-tiba. Pagar yang semula bercat kusam, sejak kemarin sudah berganti warna hijau cerah. Rumput-rumput di lapangan terpangkas rapi, hingga ornament-ornament yang tak pernah ada sebelumnya, mendadak menggantung di depan semua kelas.

Seolah-olah, sekolah ini tengah berbenah demi sebuah pencitraan.

Seakan-akan, sedang bersoleh hanya tuk mencari perhatian.

"Ada apa sih?"

Oka menatap Bagas—teman sekelasnya dengan wajah kesal. Saat ini, mereka sedang berbaris di lapangan. Kepala sekolah mendadak saja mengumpulkan semua siswa dan siswinya di lapangan. Ada pengumuman yang akan disampaikan. Padahal, hari ini bukan hari Senin. Tetapi hari Rabu, di mana kelas 7-1 harusnya melaksanakan olahraga di jam pertama. Namun demi mendengar ceramah sang kepala sekolah, mereka terpaksa harus memangkas jam pelajaran. "Dengerin ajalah," ia malas menjelaskan.

"Kan aku nggak dateng dua hari kemarin, Ka. Buta informasi nih. Kisi-kisi dong?" Bagas berbisik. "Lagian, ini kenapa sekolah kita tiba-tiba rapi banget gini sih? Bikin takjub aja," imbuhnya lagi.

Sebenarnya, Oka juga tidak tahu. Tetapi entah kenapa, ia sudah berfirasat. Keberadaan spanduk di gerbang sekolah dengan tulisan "Selamat Datang Drs. H. Amrullah Hidayat, M.Si" cukup membuatnya yakin bahwa apa yang ia pikirkan pasti benar. Kedatangan bakal calon pejabat daerah atau yang sudah menjabat, bukan sekali ini saja terjadi di sekolahnya. Terhitung lima bulan ia menjadi siswa SMP Negeri 1 ini, dan sepertinya sekolahnya telah tiga kali bersiap untuk menyambut pejabat-pejabat yang bertujuan sekadar memberi himbauan atau memantau proses belajar mengajar yang berlangsung. Padahal, mereka sudah tahu pasti semua tujuan itu hanya untuk mencari atensi.

Yang sedang Oka permasalahkan saat ini adalah, ia lupa memperingatkan adiknya. Bukan apa-apa, Lova terlampau sering bertindak gegabah dalam segala hal. Mempermalukan diri sendiri, adiknya itu terlalu mahir. Namun, Oka tidak mau menolerir bila dalam mempermalukan diri sendiri, adiknya itu justru akan terserang luka yang menyengat di hati.

"Ka?"

"Apa sih, Gas?" sahut Oka sekenanya. Ia mencoba menjangkau pandangan menembus kelas adiknya. Namun teramat sulit menemukan keberadaan Lova. "Kamu berisik banget," dengkusnya yang merasa makin kesal karena tak dapat melihat Lova di barisan.

"Siapa sih yang mau datang?" tadi Bagas sempat mendengar ketika kepala sekolah mengatakan bahwa akan ada yang mengunjungi sekolah mereka siang ini. Kepala sekolah meminta, agar para siswa tetap tertib dan menjaga kedisiplinan. Tidak boleh keluar dari ruang kelas sebelum jam istirahat. Bila ingin ke kamar kecil, harus bergantian. Tidak boleh bergerombol. "Ribet banget nih peraturan," gerutunya menguap. "Ck, emang anaknya presiden mau dateng, Ka?"

"Bukanlah," jawab Oka yang tak lagi berusaha mencari keberadaan adiknya. "Bakal calon Walikota. Biasa, nyari simpatisan masyarakat."

"Lha, serius?"

Oka mengangguk, lalu rahangnya mengeras.

Bagas terlalu cuek untuk menyadari perubahan ekspresi temannya. Remaja 12 tahun itu justru memutar kepala ke belakang. Memperhatikan seluruh penjuru sekolah. "Kampanye maksudnya? Emang kita udah boleh ikut pemilihan? Kok repot-repot ke sini?"

"Buat pencitraanlah, Gas. Kan diliput wartawan," sambar Zaki yang berdiri di belakang Oka dan Bagas. Tiap kelas, terdiri dari empat barisan. Dua baris perempuan dan dua baris untuk laki-laki. Oka dan Bagas berdiri bersebelahan. Sementara posisi Zaki ada di belakang Oka. Ia mendengar semua obrolan kedua temannya itu. "Kabarnya nanti, kita bakal dikumpulin di aula. Nggak semua sih. Tiap kelas diwakili sepuluh orang."

"Untuk apaan?" kini Bagas mengalihkan pandangan ke arah Zaki. "Bakal ada bagi-bagi hadiah sambil jawab pertanyaan?" tebaknya setelah mengingat bagaimana pejabat-pejabat daerah sering kali melakukan tindakan yang seperti itu.

"Iya," Zaki membenarkan.

"Serius?"

Zaki mengangguk. "Sepupuku ada yang sekolah di Bina Swara," maksudnya adalah sebuah Yayasan pendidikan yang dihuni oleh kaum menengah ke atas. Tidak seperti mereka yang bersekolah di sekolah negeri yang seluruh biayanya ditanggung pemerintah. Di sekolah swasta yang letaknya di tengah kota itu, dengar-dengar iuran SPPnya sampai jutaan setiap bulannya. "Cucunya si bakal calon ini sekolah di sana. Satu kelas sama sepupuku. Dan di sana udah duluan didatangi. Maklumlah, sekolah kita 'kan, pinggiran. Jadi, ya, belakangan aja."

Ketika Bagas menimpalinya dengan seruan panjang, Oka justru mengepalkan tangan. Ada yang bergemuruh di dadanya. Ada kebencian yang begitu pekat melekat di sana. Dan entah bagaimana bisa, mendadak saja selipan kecemburuan menggantung mengenaskan di palung jiwa. Bercokol dengan segenggam rasa tak terima.

"Ka, yok!"

Barisan telah dibubarkan. Mereka harus masuk ke dalam kelas.

"Duluan aja. Mau nyari Lova dulu," ia akan mencari adiknya. Lova harus diberi peringatan. Supaya tak gegabah dalam bertindak. Ia khawatir, Lova akan mengaku-ngaku bahwa si bakal calon Walikota itu adalah kakeknya. Padahal, jelas-jelas keberadaan mereka tidak pernah diakui. "Lova!"

"Eh, Abang!"

***

Kesepian tak pernah melihat waktu tuk hinggap. Tidak peduli keramaian datang mendekat, perasaan itu justru memeluk hati kian erat. Ruang sunyi adalah kegemarannya saat bersembunyi. Sementara menyendiri merupakan bahagianya yang tak boleh diganggu gugat.

Sebagai penyemarak dunia, manusia dibekali jutaan masalah. Namun, tentu saja sepaket jalan keluar disediakan dengan cuma-cuma. Persoalannya, banyak yang tak sabar menemukan jalan keluar itu. Hingga terjerembab putus asa dan memilih mengutuk semesta.

Nada akan berlaku demikian bila tidak mengingat akal sehatnya. Setelah dipandang sebelah mata selama beberapa bulan ini, ia harus menekan perasaan itu demi pekerjaan yang memang ia butuhkan. Menanti supervisor yang sama sekali tak pernah menganggapnya ada, Nada bertahan walau sudah sedari pagi tadi ia ungkapkan keinginannya tuk bertemu penanggung jawab tempat ini.

Hingga jam makan siang berlalu. Dan Nada mulai tak tenang duduk diam di kursi, akhirnya pria tambun itu bersedia meluangkan waktu untuknya.

"Ada apa?"

Pertanyaan bernada tak ramah langsung disuguhkan oleh pria berkacamata tersebut setelah Nada berusaha keras memperlihatkan wajah ramat ketika masuk ke ruangan sang atasan.

"Saya nggak punya waktu banyak. Saya harus mengevaluasi banyak hal setelah ini," lanjut pria itu ketus.

Nada bahkan tak dipersilakan duduk. Namun ia nekat menarik satu kursi yang berseberangan dengan sang atasan. "Saya mau membicarakan tentang surat—"

"Oh, kamu mau mengajukan resign?"

Nada menggeleng cepat-cepat. "Bukan, Pak."

"Jadi, kamu menyetujui mutasi?"

Ah, tentu saja tidak.

Nada ke sini untuk berdiskusi.

Anak-anaknya baru saja masuk ke SMP, dari yang Nada dengar, mereka sangat menyukai sekolahnya saat ini. Membawa anaknya pindah memang sudah ada dalam agenda. Tetapi setidaknya, tidak dalam waktu dekat. Paling tidak, sampai tahun depan. Anak-anaknya sudah bersusah payah ketika melewati serangkaian tes supaya diterima di sekolah yang mereka idam-idamkan. Dan baru lima bulan mereka bersekolah di sana. Bahkan ujian pun belum dilaksanakan.

Alasan Nada tetap bertahan di rumah orangtuanya adalah karena bila ia bekerja seharian, masih ada orang di rumah yang bisa memperhatikan keberadaan anak-anaknya. Paling tidak, ada orang di rumah ketika anak-anaknya pulang sekolah. Pekerjaannya, tentu saja tak membuat Nada bisa pulang tepat waktu tiap hari. Tak jarang ia pulang malam. Dan ia cukup mengkhawatirkan anak-anaknya bila mereka berada di rumah tanpa pengawasan orang dewasa.

Walau ibunya kerap beraura ketus terhadap anak-anaknya, tetapi ibunya pernah memergoki Lova yang hendak menyalakan kompor ketika baru berusia enam tahun. Oka juga pernah terjatuh ketika dibonceng temannya naik sepeda. Anaknya itu pulang berdarah-darah, Nada masih bekerja dan untungnya ada ibunya di rumah yang langsung membawa sang putra ke klinik terdekat. Itulah yang buat Nada berusaha bertahan di sana. Setidaknya, sampai setahun lagi.

"Kebetulan, anak-anak saya baru saja masuk SMP, Pak," Nada mulai dengan intonasi sopan. "Kalau boleh saya meminta kelonggaran waktu ke Bapak. Minimal, sampai tahun depan, Pak. Biar saya bisa mengajak anak saya sekalian."

Hari ini, ia menyepol rambutnya tinggi. Merias wajahnya seperti biasa, namun ia kehilangan pewarna bibirnya sehabis makan tadi. Ia belum sempat memulas kembali bibir tersebut, saat Pak Ferdy memanggilnya. Jadi, ia yakin sekali ia tampak pucat kali ini.

Alis sang atasan menukik tajam. "Kamu ingin mengatur perusahaan?"

Menggeleng pelan, Nama meremas kedua tangannya bergantian. "Maksud saya nggak seperti itu, Pak," ia mencoba meluruskan niatnya yang disalahartikan. "Tolong, beri saya satu kesempatan lagi, Pak. Saya berjanji akan meningkatkan penjualan."

"Nada, Nada," Ferdy menggeleng sambil tertawa. Ia singkirkan formulir-formulir pengajuan kredit motor yang harus ia tinjau dan tanda tangani. "Kesempatan bagaimana lagi yang harus saya diberikan? Kamu itu jelas-jelas nggak bisa kerja. Bilang sama saya, kamu mau dikasih kesempatan untuk apa, hah?" senyumnya meremehkan.

"Kesempatan untuk tetap bekerja di sini, Pak. Saya janji, akan meningkatkan performa saya—"

"Performa?" Ferdy memotong ucapan sang bawahan segera. "Hm, performa seperti apa?" ia manggut-manggut dengan senyum licik. Mengusap-usap dagunya, Ferdy menatap Nada dengan sirat aneh. "Maksud kamu dengan performa itu ...," ia sengaja menggantung kalimatnya. "Performa dengan tanda kutip 'kan?"

"Pak?!" Nada berseru tanpa sadar. Ia melipat bibir sembari meremas kedua telapak tangan yang berada di atas pangkuan. Ia mengerti maksud dari tanda kutip yang dikatakan laki-laki itu. Demi Tuhan, dengan statusnya sekarang, sudah tak terhitung berapa kali ia dilecehkan baik dari segi perkataan atau perbuatan. Walau orang-orang itu kerap membungkus pelecahannya dalam bentuk guyonan. "Saya nggak mengerti apa yang Bapak maksud," ia akan pura-pura bodoh. "Saya hanya ingin diberi satu kesempatan lagi, supaya tetap berada di sini, Pak."

"Kamu munafik sekali, Nad," cibir Ferdy sambil merebahkan tubuh pada sandaran kursi di belakangnya.

"Saya bukan munafik, Pak. Saya cuma butuh pekerjaan," jawab Nada lugas.

Ferdy menyemburkan tawa menyebalkan. Ia tatap sang pegawai dengan tajam. "Well, saya cukup terkejut karena Pak Heru mempertahankan kamu bertahun-tahun di sini sementara dari laporan yang saya terima beberapa bulan ini, kamu bahkan nggak pernah memenuhi target penjualan. Saya jadi bertanya-tanya, alasan apa yang membuat Pak Heru belum memecat kamu sejak lama," matanya jatuh pada perpotongan leher Nada yang jenjang. Dengan rambut yang dicepol tinggi, ia dapat melihat seputih apa leher sang bawahan. "Hm, ternyata kamu cukup menarik."

Wajah menyebalkan yang sebelumnya selalu memandang Nada tak ramah, kini berubah lebih menyeramkan dari sebelumnya. Sirat matanya memancarkan cemooh. Sementara senyum yang terpatri di wajah pria itu, bermakna merendahkan.

"Kamu kasih apa ke Heru sampai dia mempertahankan kamu di sini?"

Nada tahu, maksud dari pertanyaan itu.

Nada paham betul, arti dari tatapan yang tersemat untuknya.

"Maaf, mengecewakan Bapak. Tapi saya tidak pernah memberikan sesuatu seperti apa yang Bapak pikirkan," bibir Nada menipis.

"Oh, ya? Masa sih, kamu nggak pernah ngasih apa-apa?" Ferdy melepaskan kacamatanya. Ia bergerak perlahan, dan bangkit dari kursinya. Setelah berdiri, ia pura-pura merapikan ikat pinggang yang rasanya terlalu menekan perutnya yang buncit. Sebelum kemudian, ia berjalan memutari meja. "Kamu tahu, Nada? Sejak awal, saya nggak suka kamu," ia berdiri di sebelah kursi Nada. Menatap sang bawahan dengan kilat berbahaya dalam netra. "Saya benci wanita penggoda seperti kamu."

Nada otomatis mendongak. "Saya nggak pernah menggoda siapa pun, Pak," bantahnya keras.

"Kamu yakin?" senyumnya terbit miring. Ia mempersempit jarak dengan bawahannya. Tangannya yang gempal, bertengger di bahu kurus wanita itu. "Tapi, mungkin saya bisa mulai menyukai kamu, sesuai dengan imbalan apa yang bisa kamu berikan," bisiknya sembari meremas bahu Nada pelan. Membuat wanita itu sontak menepis tangannya. Namun tenang saja, Ferdy tak marah. Ia justru tertawa. "Kenapa? Kamu sukanya cuma disentuh Heru?" ujarnya sinis. "Wah, ternyata kamu pilih-pilih juga, ya?"

"Jangan kurang ajar, Pak!" suara Nada bergetar.

"Kenapa?" tanyanya sambil tertawa. "Istrinya Heru sering cerita ke istri saya, kalau kamu selalu godain suaminya. Dan setelah tahu saya dipindahkan ke dealer ini, istri saya juga selalu curiga. Saya sudah berusaha menghindari kamu. Tapi, istri saya tetap tidak percaya. Jadi, gimana kalau saya wujudkan saja kecurigaan istri saya itu, ya?" ia menarik kursi yang di duduki Nada. Mencengkram kedua bahu wanita itu, sebelum kemudian membelai lehernya. "Gimana? Saya juga bisa jamin kok, keberadaan kamu di kantor ini? Atau ... kamu mau sekalian dapet uang tambahan?"

"Kurang ajar!" Nada berseru kencang. Jantungnya bertalu hebat, ketika ia berhasil mendorong tubuh atasannya menjauh. Berdiri segera, matanya sontak memanas. "Jangan kurang ajar, Pak!" Bila tadi hanya suaranya yang bergetar, kini tubuhnya pun melakukan hal serupa.

"Kamu nolak saya? Harusnya kamu terima saya. Supaya kamu bisa tetap bekerja di sini."

Air matanya menetes tumpah. Sesak yang tadi ia tahan, ia luapkan dengan limpahan air mata yang membanjiri wajah. Sejak bercerai dari suaminya, belum pernah ia berpikir untuk menjalin hubungan dengan pria mana pun. Fokus utamanya adalah membesarkan anak-anaknya.

Tetapi, kenapa dunia begitu kejam hanya dengan status yang ia sandang?

Mengapa masyarat begitu rendah memandangnya yang tak lagi bersuami?

Tak tahukah mereka, bahwa tak satu pun wanita layak direndahkan begini?

"Saya bukan wanita seperti itu, Pak," ia punguti serpihan harga diri yang tadi dikoyak sang atasan. "Saya nggak tahu bagaimana pandangan Bapak terhadap wanita yang telah dicerai suaminya. Tapi, satu hal yang pasti, saya tidak pernah menjual tubuh saya demi mengemis pekerjaan," suaranya bergetar, namun Nada tidak gentar. "Saya tidak pernah menggoda siapa pun, Pak. Dan saya nggak akan pernah mau tergoda oleh siapa pun," tegasnya sembari menepikan air mata.

"Jadi, kamu memilih keluar dari tempat ini?"

Mengangguk mantap, Nada mengangkat dagunya tinggi. Walau ia akan pusing mencari pekerjaan setelah ini. Namun, ada harga diri yang wajib ia selamatkan. "Iya, Pak. Saya memilih keluar."

***

Tenang saja, ini bukan salahmu

Dunia hanya terlalu kejam denganku

Semesta tak ingin mudah memberiku bahagia

Tetapi tidak apa-apa

Aku baik-baik saja

Seperti badai yang tak akan abadi

Kelam yang membelengguku pasti berhenti

Setelah itu, langit akan dihiasi pelangi

Dan aku, akan berhenti

Menangisi derita ini ... 

Continue Reading

You'll Also Like

6.5M 335K 60
[SEBAGIAN DIPRIVATE, FOLLOW AUTHOR DULU SEBELUM BACA] Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusakny...
360K 19.3K 27
Mature Content ❗❗❗ Lima tahun seorang Kaia habiskan hidupnya sebagai pekerja malam di Las Vegas. Bukan tanpa alasan, ayahnya sendiri menjualnya kepad...
3.4M 49.7K 32
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...
1M 103K 27
Karmina Adhikari, pegawai korporat yang tengah asyik membaca komik kesukaannya, harus mengalami kejadian tragis karena handphonenya dijambret dan ia...