Aksara Senada

By ndaquilla

2.1M 257K 13.7K

Mereka pernah bersama. Membangun rumah tangga berdua, sebelum kemudian berempat dengan anak-anaknya. Bahagia... More

P R O L O G
Satu
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Empat
Dua Puluh Lima
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan
Dua Pulun Sembilan
Tiga Puluh
Tiga Puluh Satu
Tiga Puluh Dua
Tiga Puluh Tiga
Tiga Puluh Empat
Tiga Puluh Lima
Tiga Puluh Enam
Tiga Puluh Tujuh
Tiga Puluh Delapan
Tiga Puluh Sembilan
Empat Puluh
Empat Puluh Satu
Empat Puluh Dua
Empat Puluh Tiga
Empat Puluh Empat

Dua

54.7K 5.9K 342
By ndaquilla

Bukan ingin mengingkari, terkadang langit cerah tak serta merta membuat hati pun ikut dirundung bahagia. Sebab, semua bukan hanya sekadar perkara cuaca. Hati manusia terlampau riskan untuk dapat dipercaya. Selayaknya awan yang tiba-tiba menghitam lalu tertiup angin yang kencang. Hati pun, dapat terbawa oleh keadaan yang ada di sekitar.

Mendadak, suasana riang bisa berubah menjadi petaka, hanya karena sang hati tiba-tiba terluka. Merasakan amarah padahal sebelumnya dilanda bahagia. Atau, bisa saja bermuram durja sementara di depan sana, banyak pihak yang melontarkan lelucon sampah.

Dan itulah yang tengah dirasakan Nada.

Teman-teman kerjanya sedang sibuk melempar tawa, sementara di kepalanya ragam skenario berbeda sedang berpesta pora. Ia jelas sakit kepala. Berkali-kali surat di atas meja ia baca dan isinya benar-benar tak pernah ia sangka.

Bekerja sebagai sales counter di sebuah dealer motor sejak empat tahun yang lalu, Nada tahu performanya dalam bekerja makin memburuk dari hari ke hari. Bahkan nyaris setahun ini, ia hanya mampu menjual sembilan unit sepeda motor yang setengah di antaranya adalah konsumen yang memilih membeli secara cash. Padahal, untuk mendapatkan insentif, mereka harus gencar-gencarnya merayu konsumen agar memilih kredit sampai setidaknya 36 bulan. Dengan iming-iming potongan angsuran dua atau tiga bulan, biasanya banyak yang tertarik. Atau sertakan saja cashback senilai dua ratus ribu bila memilih mencicil alih-alih membayar kontan.

Bila dihitung-hitung, dalam sebulan belum tentu ia dapat menjual satu unit sepeda motor. Jika boleh membela diri, Nada pasti akan melakukannya. Keberadaan pegawai-pegawai baru yang masih berusia awal 20-an membuat keberadaannya yang kini sudah berusia 34 tahun, kadang kala justru terasingkan. Konsumen laki-laki, kerap memilih sales yang lebih muda dan lebih menarik untuk bertanya-tanya.

Cuci mata dalih mereka.

Lalu Nada hanya bisa memasang senyum penuh kepura-puraan.

"Mbak Nada?"

"Ya?" ia menutup selembar surat yang tadi pagi diterimanya. Mencoba memperlihatkan senyum baik-baik saja, ia menatap juniornya yang menyapa. "Kenapa, Sar?" namanya Sarah. Salah satu dari empat orang sales counter yang usianya jauh di bawa Nada.

"Mbak Nada dapet surat?" gadis berambut sebahu dengan highlight cokelat terang menatap seniornya prihatin. Wajah full make up dengan lensa kontak biru muda terlihat cemas. "Langsung diminta resign, Mbak?"

Nada menggeleng. Senyumnya tak pudar bahkan ketika ia meraih mug berisi teh yang kini telah dingin. "Mungkin karena Mbak titipannya Pak Heru, jadi dikasih pilihan," ia menyengir tuk menutupi pedih.

Ia memiliki rambut panjang yang begitu senang ia kuncir tinggi. Dan hari ini pun demikian. Tak terlampau mahir mengoles kuas-kuas di wajah, Nada hanya mengenakan cushion untuk menutupi noda-noda hitam yang mulai muncul di permukaan kulit wajahnya. Bibirnya berlapis lipstick berwarna rose pink yang kemudian ia sapukan juga tuk mewarnai sedikit pipinya. Ia tidak pintar melukis alis, jadi ia biarkan saja alis tebal berserakan tampil apa adanya. Tidak ada eye liner juga eye shadow yang melintasi kelopaknya, namun ia cukup sadar diri dengan menambahkan maskara demi mempertegas bulu matanya yang pendek.

"Mereka kasih pilihan, kalau mau tetap kerja, harus pindah. Ada dealer baru yang mau buka, Mbak diminta ke sana untuk bantu administrative di sana."

"Wah, ya udah, Mbak. Terima aja," ujar Sarah bersemangat.

Senyum kecut Nada hadir tanpa mampu ia cegah. "Masalahnya, di luar kota, Sar. Perlu perjalanan empat jam ke sana kalau naik kereta," ungkapnya mendesah. Masalahnya, ia tak mungkin mampu pulang pergi ke sana setiap hari. Dan untuk tinggal di kota itu pun, rasanya tak mungkin. Ada anak-anak yang harus ia utamakan.

"Ya, jadi gimana, Mbak?"

"Nanti deh, Mbak coba ngomong dulu sama Pak Ferdy," cicitnya tak yakin.

Supervisor baru dealer ini, terlihat tak menyukainya. Pria awal 40-an itu, hanya menaruh perhatian pada pegawai-pegawai muda yang menyegarkan mata. Tipe-tipe mata keranjang, bila Nada boleh berkomentar. Awalnya, Nada justru merasa senang karena pria berbadan tambun itu tak menaruh perhatian sedikit pun padanya. Namun kini, ia mulai berspekulasi, bisa saja surat yang berada di atas mejanya ini adalah andil dari pria tersebut yang tak ingin melihatnya berlama-lama di sini.

"Kalau nggak minta tolong Pak Heru aja, Mbak? Kan Pak Heru bilang, kalau ada apa-apa, Mbak kudu bilang sama dia."

Masalahnya, Nada yang tidak ingin.

Heru adalah supervisor terlama yang menjabat di dealer ini. Merupakan teman Nada ketika berseragam putih abu-abu. Heru menikah setahun yang lalu. Dan masalahnya, terletak pada istri temannya tersebut. Wanita itu tampak sangat anti sekali pada Nada. Mungkin, karena statusnya sebagai janda. Stigma di masyarakat berhasil membentuk image janda sebagai wanita yang tidak benar begitu melekat kuat. Dan istri Heru termakan stigma itu bulat-bulat.

Heru pernah bercerita dulu, kalau pria itu sempat bertengkar karena sang istri cemburu dengan keberadaan Nada. Dan dari sana, Nada mulai menjaga jarak. Tiga bulan lalu, Heru naik jabatan. Mereka tak lagi bekerja di wilayah yang sama. Dari WhatsApp story istrinya, Nada tahu wanita itu teramat merasa lega dengan kepindahan Heru. Makanya, Nada berjanji pada diri sendiri agar tak lagi menyusahkan Heru hanya tuk kepentingannya.

Tetapi sekarang, ia harus apa?

Pilihan di surat itu ada dua ; bila tidak mengajukan resign, ia harus bersedia pergi ke luar daerah.

Masalahnya, bagaimana dengan anak-anaknya?

Menitipkan mereka pada mantan suaminya?

Hm, Nada tidak yakin.

***

Nada adalah anak kedua dari empat bersaudara.

Kakak perempuannya sudah menikah dan memiliki dua orang anak. Mereka tinggal tak jauh dari rumah orangtua Nada. Suami kakaknya merupakan karyawan BUMN. Hidup kakaknya tentu saja berkecukupan.

Memiliki seorang adik laki-lakinya bekerja sebagai driver ojek online, Oka sering sekali bertengkar dengan adik laki-laki Nada itu. Sementara Adik bungsunya adalah perempuan, sudah bekerja juga sebagai pramuniaga di sebuah toko sepatu yang berada di salah satu pusat perbelanjaan. Dan Lova lebih sering dibuat menangis oleh adik perempuan Nada tersebut.

Entah kenapa, semenjak bercerai dan ditampung bapak kembali di rumah keluarga mereka yang sempit, perlakuan saudara-saudaranya mendadak berubah. Selain tak menghormatinya, mereka juga tampak enggan menyayangi anak-anaknya. Kakak perempuannya yang kerap menyindir adik-adiknya yang terkadang begitu terang-terangan menyatakan bahwa ia dan anak-anaknya beban. Padahal, setiap bulan ia juga memberikan uang pada ibunya untuk berbelanja. Membeli token listrik juga tanggung jawabnya. Ia dan kedua anaknya hanya menempati satu kamar berukuran 3x3 yang berada didekat dapur. Sebuah ruang yang sebenarnya teramat sesak untuk dihuni oleh dua orang remaja dan satu orang dewasa.

"Abang kenapa?" ia menjumpai anak laki-lakinya yang duduk termenung di teras. Mata sang putra terlihat sembab. Tetapi, ketika melihat kepulangannya tadi sang putra langsung membuang muka. Buatnya kontan menepikan kegelisahannya akibat permasalahan ditempat kerja. "Bang?"

Celana pendeknya kotor dengan lumpur. Kedua kakinya tidak beralas selop hitam yang biasa ia kenakan bila sedang di luar rumah. Sambil menyeka keringat di pelipis, Oksata menarik napas panjang. "Nggak apa-apa, Bun," dustanya enggan menatap sang ibu.

Bahu Nada merosot seketika. Ransel kecil yang ia sandang sebagai tas kerja, kini ia turunkan ke tanah. Ikut duduk di sebelah putranya, kepalanya melongok sebentar ke dalam rumah. Terlihat di matanya, lantai keramik tersebut basah. "Abang kenapa kok kotor gini celananya? Sendalnya mana, Bang?"

"Itu," Oka menunjuk kedua sandalnya yang tercebur ke sebuah kubangan air kecil di dekat pot-pot bunga. "Abang dilempar nenek pakai sendal," ia tak berniat mengadu. Hanya saja, nyeri di hatinya merengek meminta perlindungan ibunya. "Yang satu kena celana Abang," ia menunjuk noda lumpur di celananya. "Yang satu lagi kena kepala Abang," ia berbalik demi memperlihatkan rambutnya yang kotor. "Kenapa sih, nenek selalu marahin Abang?" teringatnya ia selalu berbuat baik selama ini. "Kenapa nenek nggak sayang Abang?" ia tumpahkan sedihnya.

Nada meneguk ludah susah payah, hatinya tercubit nyeri. Dengan bibir tergigit dan mata yang berkaca-kaca, ia elus kepala sang putra. "Siapa bilang nenek nggak sayang Abang? Nenek sayang kok sama Abang. Sama adek juga nenek sayang. Pokoknya, nenek sayang sama semua cucu-cucunya."

"Nggak, Bun!" bantah Oka sedikit meninggikan nada. "Nenek nggak sayang sama Abang. Nenek juga nggak sayang Lova. Nenek cuma sayang sama anak-anaknya Bude Indri. Kenapa, Bun?" matanya yang tadi menunduk kini menatap sang ibu dengan berani. "Apa karena suaminya Bude Indri sering kasih nenek duit? Apa karena Bude Indri punya rumah sementara kita cuma numpang di sini?"

"Bang!" Nada menegur anaknya seketika.

Namun Oka tampaknya benar-benar terluka. Matanya yang tadi memerah, kini telah berkaca-kaca. "Padahal, Abang nggak pernah nakal, Bun. Abang selalu nurut," ia usap kelopaknya dengan punggung tangan. Ingin menceritakan pada ibunya tentang isi hati yang selama ini ia simpan sendiri. "Tadi pagi sebelum kakek kerja, kakek nyuruh Abang buat bersihin selokan mampet yang di samping. Abang lagi bersihin itu, Bun, waktu nenek manggil-manggil Abang buat beli gas. Abang bilang sebentar. Tapi nenek nggak sabar. Nenek lempar pakai sendal, Bun. Rasanya memang nggak sakit, cuma Abang sedih, Bun. Kenapa nenek selalu kayak gitu ke kita?"

"Abang ..."

"Apa karena Abang sama Lova nggak ada ayahnya? Apa karena Bunda udah nggak punya suami lagi?"

Air mata Nada jatuh tak tertahankan. Ia peluk kepala anaknya erat-erat. Tubuhnya bergetar hebat, menahan isak di saat hati justru ingin menjerit benar-benar menyakitkan. "Abang," bisiknya pada sang putra. "Abang sama Lova punya ayah, Nak. Maafin Bunda yang nggak bisa kasih keluarga utuh sama Abang. Tapi demi Tuhan, Nak. Ayah sama Bunda sayang kalian. Maafin kami yang udah gagal jadi orangtua."

Bukan salah anaknya.

Dan bukan salah siapa-siapa.

Garis takdir menyedihkan ini, adalah kesalahan mereka sebagai orangtua.

"Maafin kami, Bang. Maafin kami."

Untuk tahun-tahun menyedihkan yang sudah dilewati kedua buah hatinya, dalam bingkai keluarga yang tidak pernah utuh.

"Kenapa ayah ninggalin kita, Bun? Kenapa ayah nggak bawa kita pergi dari sini?"

Dan yang bisa Nada lakukan adalah menerjunkan jutaan kepedihan lewat air mata yang tak kunjung berhenti.

"Maafin aku, Nad. Maafin aku. Demi Tuhan, aku sayang anak-anak. Aku sayang kamu."

***

Kau berbicara padaku

Tentang sebuah romansa merah jambu

Katamu, rindu kita akan bertemu

Katamu, langit tak selamanya sendu

Tetapi ternyata, semua semu

Kau meninggalkanku setelah mengikrar janji-janjimu

Kau menjauh

Dan kita tak lagi bisa bertemu .... 

***

Btw gengs, kemarin katanya ada yg nggak nemu akun karyakarsa ku ya?
Nah, nama akunnya sama kok kyk nama akun wattpadku ; ndaquilla


Nah yg begitu ya profilnya hahaha

Continue Reading

You'll Also Like

387K 43.1K 26
Yg gk sabar jangan baca. Slow up !!! Bagaimana jika laki-laki setenang Ndoro Karso harus menghadapi tingkah istrinya yang kadang bikin sakit kepala. ...
1.4M 123K 43
Lily, itu nama akrabnya. Lily Orelia Kenzie adalah seorang fashion designer muda yang sukses di negaranya. Hasil karyanya bahkan sudah menjadi langga...
613K 55.8K 54
⚠️ BL LOKAL Awalnya Doni cuma mau beli kulkas diskonan dari Bu Wati, tapi siapa sangka dia malah ketemu sama Arya, si Mas Ganteng yang kalau ngomong...
6.9M 47.1K 59
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...