Live a Calvin Life ⁽ᴱᴺᴰ⁾

By permissiontohigh

50.4K 5.6K 747

Calvin punya cara untuk menciptakan bahagianya sendiri. ⚠️ 𝘢𝘯𝘨𝘴𝘵 More

A Glimpse
2. New Partner?
3. Grandpa dan Bunda
4. Bahagia itu sederhana, katanya.
5. A Trap
6. Bad Day(s)
7. Long Story Short
9. It's just the beningging
10. Step-by-step plan
11. One step closer
12. Big bro 👊
13. Well deserved
14. Calvin dan Jiwa-Jiwanya
15. Sepupu Baru
16. Staycation
17. Vakansi
18. Painful Truth
19. Too Much
20. Kusut
21. Papa | End of S1
| Road to Season 2 |
CALV Season 2
- Sequel Calv -

8. Sorry?

1.9K 266 24
By permissiontohigh

️ 'visualisasi' might be triggering

°
°

Di pelajaran olahraga, Regan kian menjadi. Calvin yang loyo karena tadi mondar-mandir menuruti kemauan Regan pun hanya bisa merutuki kesialannya. Tapi ini sudah hari ke-11, sudah separuh dari perjanjian dan dia bersikukuh menuntaskan.

Calvin menggantikan Regan untuk pengambilan nilai lompat jauh. Atas perintah Regan tentu saja. Meski tidak pernah melakukan olahraga berat, nyatanya lompatan Calvin cukup jauh hampir menandingi Nuki. Namun, tenaganya terkuras.

Masih duduk di bak pasir, dia mengatur napas yang tidak karuan. Satu uluran tangan ke depan wajahnya, adalah Nuki, membantu bangun dan menepi. Mungkin karena tiba-tiba berdiri pandangan Calvin sempat gelap sepersekian detik hingga tubuhnya oleng. Dia berkedip-kedip sampai mendapat cahaya kembali.

"Nih minum," kali ini ditawari air mineral yang dengan senang hati Calvin terima lantas diteguk sampai tandas.

"Sorry, nanti gue ganti."

"Harus dari sumber mata air pilihan."

Satu sudut bibir Calvin terangkat berkedut. Dia balas ketus, "Gue kasih segunung-gunungnya."

"Roro Jonggrang kali gue."

"Itu candi!" Kemudian nama Nuki dipanggil sang guru. "Pergi lo! Bikin emosi aja."

"Ck. Ditolong ngelunjak. Ogah gue nolong lo lagi," nada bicara Nuki datar. Dia juga sempat berkata sebelum beranjak, "Lompatan lo keren btw."

...

Waktu Calvin untuk terbebas dari Regan hanyalah ketika belajar mengajar berlangsung, yang artinya Regan berada di dalam kelas. Seperti saat ini, ruang ganti sunyi sebab sudah memasuki pergantian pelajaran.

Ketika membungkuk hendak memakai sepatu, Calvin merasa dadanya seperti dihimpit dan ditusuk-tusuk. Biasanya kalau sudah begini dipijit pusat sakitnya pelan maka akan mereda. Kali ini tidak. Napasnya tercekat, berujung batuk keras. Dia rasakan sesuatu membasahi telapak tangan, lantas bergegas ke wastafel.

Dari salah satu bilik keluarlah Nuki. Mencoba fokus pada kegiatannya sendiri, tapi matanya ingin melirik ke arah anak yang batuk-batuk seraya membasuh area mulut. Sampai Nuki terlihat mencari sesuatu. Ikat pinggangnya tertinggal, kemudian dia kembali masuk ke bilik.

Sementara cengkeraman Calvin di pinggiran wastafel menguat. Rasanya semakin nyeri di tiap tarikan napas. Hingga kakinya tidak sanggup lagi menopang bobot tubuh. Calvin meluruh, ambruk membentur lantai dingin.

Nuki yang sudah mendapatkan ikat pinggangnya berhenti sejenak di ambang pintu, terkejut menemukan Calvin tergeletak di lantai dekat wastafel.

Dia mendekati. Diangkatnya kepala yang berkeringat itu ke pangkuan. "Calv?"

Nuki panik karena ada bercak darah di tepi mulut yang terbuka mengais oksigen. Tangan gemetarnya menepuk pipi Calvin dan direspon tatapan mata sayu berkedip lambat.

"Jangan pingsan dulu. Aih shit一" Nuki mengumpat. Di ruang itu tidak ada satupun orang yang bisa membantunya.

"Hei hei hei! Tetep sadar, Calv!" Dan heboh sendiri kala mata Calvin tampak semakin berat, pelan-pelan menutup. "Calv, Calvin!"

Tangan yang tadinya meremat dada pun jatuh terkulai ke samping tubuh.

Otak Nuki mendadak eror. Lalu dia letakkan Calvin pelan ke lantai untuk mencari bantuan. Di pintu, bertepatan dengan Joe yang tampak tengah mencari sesuatu/seseorang.

"Pas banget! Tolong ... bantuin gue," bicaranya Nuki pun sulit dipahami saking paniknya.

"Bantuin apa?"

"D-di dalem. Calvin pingsan."

Bola mata Joe membulat sempurna mendengarnya. Tanpa basa-basi dia melesat menabrak bahu Nuki. Kemudian keduanya bekerja sama membawa Calvin ke ruang kesehatan menggunakan punggung Joe.

一 •°•°•°• 一

Dari balkon lantai dua pemandangan air kolam beriak tenang, menari bersama dahan melambai diterpa angin. Akan tetapi Harsa lebih tertarik memandangi sebuah foto polaroid, menampilkan satu anak digendong piggy back olehnya.

"That's Calvin?" suara sang Ibu tiba-tiba menyapa rungu dan mengusap bahunya lembut.

Dijawab Harsa dengan anggukan kepala. "He is cute and looks like a nice kid. No wonder you fell in love with him at first sight," komentar sang Ibu.

"Hm," gumam Harsa menyetujui. "Dia ngingetin Harsa di zaman dulupunya ambisi kuat buat bebas. Bedanya kalo Harsa bebas dari didikan keras Papi, sedangkan Calvin dari kurungan tak kasat mata."

Si wanita mengerutkan dahi. "Maksudnya?"

"Calvin itu kegiatannya serba dibatasi. Tapi dasar anaknya teguh dan nggak mau larut-larut sedih, jadi dia keluar nyari kebahagiaan pake caranya sendiri. Sesimpel nonton demo Mom, dia bisa bahagia banget."

Mommynya itu tersenyum atas cerita Harsa yang menggebu-gebu. "Kamu bener-bener jatuh ke pesonanya ya. That's why kamu pengen punya adek lagi padahal udah lama berhenti merengek ke Mom and Dad."

Harsa pamerkan deretan giginya, teringat dulu dia sangat menyukai anak kecil dan ingin memiliki adik laki-laki. Namun, seiring kesibukannya menjalani didikan keras dari sang Ayah, dia pun lupa. Dan begitu mengenal Calvin, keinginannya datang lagi. Dia maunya Calvin, bukan yang lain walau tau itu mustahil.

Benda di saku celana Harsa bergetar. Muncul nama Joe sebagai penelepon. Baru akan mengucap salam tapi dari seberang Joe menyela. Raut mukanya berubah dari sumringah ke terkejut.

"What happened?" dan sang Mommy membaca itu.

"Calvin drop, dilariin ke IGD. I have to go," ujarnya lalu mencium kilat pipi Mommynya.

"Talk to you later, Mom." Kemudian bergegas pergi.

一 •°•°•°• 一

"Hehe," cengir Calvin menyambut kedatangan Basta.

Si pria dewasa hembuskan napas lega melihat Calvin masih bisa mengulas senyum di wajah pucat. Bukan sekali dua kali dia hadapi kondisi seperti ini, tetap saja miris ketika Calvin yang biasa pecicilan menjadi terbaring tak berdaya. Selang serta kabel itu juga selalu diupayakan tidak melekat di tubuh Calvin, tapi kini menjulur sana-sini.

"Jangan hiha hehe aja kamu habis bikin ketar-ketir orang sejagat raya."

Bibir Calvin mencebik karena Basta terlalu berlebihan. "Mau balik apa di sini aja?" goda Basta.

"Balik! Nggak enak di sini bau obat, piyamanya jelek."

Basta menepuk pelan dahi Calvin. "Masih untung ada yang nolong. Lagian namanya rumah sakit dimana mana sama."

"Yaudah mas urus administrasinya dulu," lanjutnya, mengusak rambut Calvin lalu menemui perawat jaga.

Selama Calvin ditangani, melakukan beberapa pemeriksaan, Joe dan Nuki menunggu di depan ruang gawat darurat. Mereka belum diizinkan masuk karena dokter perlu berbicara dengan wali si pasien terlebih dahulu.

Setelah Basta, sekarang Harsa yang datang, berjalan terburu-buru. Raut mukanya tampak sekali sedang khawatir.

Dia pun langsung menuntut penjelasan dari Joe, "Kenapa bisa sampe kaya gini?"

Hening. Joe bingung dari mana mulai bercerita. Dia melirik Nuki yang berdiri di sampingnya. Begitu pula Harsa, menatap bergantian ke Nuki sejenak lalu kembali ke Joe.

"Ada hubungannya sama Regan?" tanya Harsa lagi.

Joe mengangguk, sementara Nuki mengerutkan alis mencoba menelaah situasi. Nuki tau Harsa dekat dengan Calvin, tapi Regan? Apa hubungannya anak itu dengan collapse-nya Calvin? Terlebih wajah Harsa berganti mode sangar seperti akan makan orang.

"Brengsek," desis Harsa sebelum masuk IGD tidak peduli aturan.

...

"Hai," Calvin menyapa riang. "Kak Harsa ngapain ke sini?"

"How do you feel? Mana yang sakit?" ditanya malah balik bertanya. Menatap cemas namun menuntut, tepat ke mata anak sok kuat itu.

"I'm ok. Habis ini juga keluar."

"Keluar tapi tetep perlu perawatan. Cuma pindah rumah sakit aja." Basta muncul, mengimbuhi bagian yang tidak akan dikatakan Calvin.

Dua pria dewasa di salah satu ranjang pasien IGD itu saling melempar kata melalui telepati. Harsa mempertanyakan hasil pemeriksaan, tapi tidak dijawab di sini. Dan Basta pun mengerti maksud dari tatapan yang lebih muda, lalu dia mengangguk.

Calvin dibawa menggunakan ambulance mengingat kondisinya sangat rentan. Tidak lupa berpamitan dengan Nuki serta Joe yang sudah menyelamatkan nyawa Calvin. Keputusan Joe memboyong Calvin ke rumah sakit sangat lah tepat. Nyatanya fasilitas kesehatan di sekolah menyerah, tidak mampu mengobati Calvin dengan baik.

一 •°•°•°• 一

Brankar Calvin disambut beberapa ners mengelilingi dan mendorong pelan menuju kamar. Walau lemas, anak itu tetap menjawab setiap pertanyaan, pun senyumnya tak luntur.

"Kirain kamu selingkuh pindah rumah sakit lain," kata salah satu ners laki-laki sambil berjalan.

Lainnya menimpali, "Kamu kalo balik ke sini normal-normal aja bisa nggak Calv? Sedih akutu tiap liat kamu sakit gini."

Calvin tertawa karena candaan mereka. Dada yang sesak sedikit lapang karena dikelilingi orang baik dan sangat peduli.

"Kalo ngantuk jangan dipaksa," kata Basta begitu tiba di kamar dan Calvin sudah berpindah ranjang.

Anak itu mencari tangan Harsa yang posisinya berdiri paling dekat. Dia angkat lalu diletakkan di dadanya.

"Usap usap."

Bukan tanpa sebab. Calvin ingin tidur, tapi dadanya sakit setiap menarik napas. Selang oksigen tidak sepenuhnya membantu, tetap sedikit sesak. Mulutnya sedikit terbuka tampak turut digunakan untuk menarik oksigen.

Tidak berselang lama, menikmati usapan lembut, Calvin pun terlelap. Harsa berhenti, menarik selimut sebatas dada Calvin lalu beranjak mendatangi Basta di sofa.

"Mas Basta!"

Lamunan Basta buyar seketika. Dia menoleh ke pemuda di sampingnya.

"Kamu kok jadi mahasiswa polos gini kalo sama saya. Beda banget sama Harsa yang kemarin."

Yang lebih muda berdecak. "Disesuaikan sikon." Hening lima detik sebelum Harsa bertanya, "Kalo boleh tau, gimana hasil pemeriksaannya?"

Basta tidak langsung menjawab. Dia kembali memandangi wajah damai Calvin saat tidur. "Belum keluar semua. Masih ada yang harus dipastikan."

"Semua?" Harsa memekik kecil. "Emang banyak?"

"Dokter menyampaikan beberapa diagnosis, tapi karena Calvin punya autoimun, jadi perlu pemeriksaan menyeluruh."

"Yang paling pokok ada di mana?"

Satu hembusan napas berat Basta keluarkan, lalu berucap pelan, "Paru-paru dan otak."

"Kata Joe tadi Calvin batuk darah."

Diangguki oleh Basta dan mengatakan, "Diagnosis pertama emboli paru; ada penyumbatan di pembuluh darah paru-parunya."

Mahasiswa itu pun terdiam. Otaknya berputar cepat. Sampai dia teringat satu hal berbeda.

"Mas, soal Regan一" Terpotong keributan di luar ruangan.

Keduanya datangi sumber suara yang ternyata adalah Nyonya Diana Sanjeeva, menatap nyalang Tyan yang memegangi pipi kirinya. Tuan Arthur tampak menenangkan sang istri. Sementara satu anak remaja hanya berdiri linglung.

"Kenapa sulit banget dengerin Mama?! Udah diperingatkan jangan pernah berhubungan sama Shelvia dan keluarganya, malah kamu bawa anak tirinya ke sini! Buat apa?! Buat nyakitin Calvin?! Di mana otak kamu, Tyan?!"

Tyan yang paling anti dibantah, kini pasrah. Dia mengaku salah. Khawatir mendengar Calvin drop membuat Tyan jadi lupa kalau masih bersama Regan. Rencananya mereka akan makan bersama, tapi hati Tyan tidak bisa berbohong mana yang lebih prioritas.

Tidak disangka berpapasan dengan sang Ibunda di depan kamar Calvin dan langsung mendapat tamparan.

"Jauhkan anak ini dari Calvin atau kamu nggak akan bisa ketemu Calvin lagi!"

Kepala Tyan sontak terangkat, raut mukanya menunjukkan tidak percayai ungakapan sang Mama.

"Ma," suaranya parau lalu menggeleng.

"BAWA DIA PERGI!" Nyonya Diana benar-benar enggan melihat wajah Regan.

Kemudian, daripada semakin runyam, Tuan Arthur perintahkan salah satu bodyguard untuk mengantar Regan pulang. Anak itu jelas bingung. Terus menatap Tyan, dia ikuti saat seorang pria menggeret paksa一sedikit lembut一meninggalkan ketegangan itu.

"Ma," ujar Tyan lagi setelah Regan tak terlihat. "Jangan bilang一"

"Mama akan bawa Calvin ke Belanda daripada di sini kamu bikin tambah sakit."

Dua orang lainnya sama-sama terkejut. Apalagi Harsa yang belum pernah mendengar rencana itu.

Tyan berusaha meraih tangan Ibunya namun selalu ditepis.

"Tolong Ma. Kasih Tyan kesempatan buat benahi semuanya. Tyan masih mau merawat Calvin. Dia anak Tyan, Ma."

Wanita paruh baya nan anggun itu menatap penuh pancaran kecewa pada sang putra bungsu.

"Kamu anggap Calvin anak tapi kamu sakitin dia. Mama tau, Tyan. Mama tau akhir-akhir ini kamu lebih banyak buang waktu sama anak tirinya Shelvia. Terus sekarang mau benahi? Kamu tau sangat sulit untuk memperbaiki kepercayaan Calvin yang dikhianati. Sangat sulit menembus benteng Calvin."

Nyonya Diana memberi jeda. "Karna Mama mengalaminya," sambung beliau.

Kejadian itu mengundang dokter dan suster penasaran. Namun bodyguards yang berjaga berhasil menghadang mereka mendekat. Jadi di koridor khusus itu hanya ada keluarga Sanjeeva, satu anak Hamilton, dan tentunya Basta.

Beberapa saat hanya hembusan napas dan isakan kecil yang mengambil alih suara. Hingga spontan menepi tatkala suster dan dokter berjalan tergesa ke arah mereka. Basta menghentikan salah satu dokter yang akan memasuki kamar Calvin.

"Alarm bedside monitor Calvin bunyi."

Masuk masuk Calvin sudah di posisi duduk. Napasnya cepat dan pendek sementara selang oksigen tanggal, tergeletak di samping bantal.

"Kok dilepas? Calvin mau apa, hm?" Ners pun memasangkannya kembali.

"Thh ... run."

Napasnya mulai teratur, lalu dia menatap sayu keluarganya.

"Jangan berantem," katanya lemas.

Calvin bersuara lirih lagi. "Tyan," memanggil sang paman yang otomatis mendekat.

"Kangen."

Ucapan sang keponakan membuat mata Tyan memanas. Tangan dengan oximeter dia genggam dan diberi ciuman sayang. Lalu mengusap pelipis, memberi afeksi melalui sentuhan.

"Me too. Tyan sorry, ya?"

Dijawab Calvin dengan anggukan. Dia pejamkan mata, mengatur napas kala sesak masih singgah. Sedangkan dokter bersama suster lanjut memeriksa dan menyuntik obat.

Tuan Arthur bersama istrinya hanya berdiri dalam jarak jauh. Bisa melihat secara langsung saja rasanya sedikit lega. Kendati Diana ingin sekali merengkuh cucu malangnya itu, memberi bisikan penguat, dan usapan penenang, namun terlalu takut menerima penolakan jika mendekat. Linangan air mata pun sebagai pelampiasannya.

°

°

The polaroids

♡♡

Continue Reading

You'll Also Like

418K 5.3K 6
Nadine diselingkuhi oleh suami tercintanya dengan sekretaris yang merupakan sahabatnya sendiri. Karena penghianatan itu, membuatnya nekad untuk memb...
2.5K 245 6
Gelar most wanted rasanya sangat pantas di sematkan untuk Raga dan ketiga temannya. Yaitu , Arkan, Galih dan Karel . Cowok-cowok nakal, tetapi di...
22.8K 1.4K 16
Intip keseharian keluarga bapak Bramanta Pramudya dengan istri tercintanya Rania Pramudya dalam menghadapi kelakuan 3 anak kembarnya yang punya sifat...
950 143 4
Zay, sapaan bocah kecil kelas satu sekolah dasar. Anaknya terbilang aktif, apa saja dia lakukan, seolah tenaganya tidak ada habisnya. Bahkan bunda pu...