Just Like Magic [ON HOLD]

By rayhidayata

647 108 35

Aria secara misterius terbangun di sebuah rumah sakit tak dikenal. Tanpa penjelasan. Tidak ada petunjuk. Semu... More

Prakata
0. ... ini bukan kamarku
1. Mereka bilang, namaku Aksara Nada
2. Nathaniel Erlangga
3. Sesuatu yang Penting
4. Bertemu Nada
5. Adaptasi: Rumah
6. Kesepakatan
7. Tawaran
8. Diskusi
9. Bicara
10. "Dunia Perkuliahan Gue ... Enggak Gampang."

11. Berubah

22 3 1
By rayhidayata

Untungnya, demamku turun drastis menjelang jam sembilan. Keadaan yang membuatku bergegas pergi ke rumah sakit bersama Papa dan Mama. Setelah melakukan serangkaian pemeriksaan dan menunggu, dokter membawakan hasilnya.

Bahwa, kabar gembira, aku diperbolehkan kembali kuliah.

Berita itu tentu saja disambut baik oleh Mama dan Papa. Terlihat jelas sekali pancaran wajah mereka begitu senang. Tidak hanya pergi untuk pemeriksaan. Hari ini, usai menyelesaikan tetek bengek di rumah sakit, Mama dan Papa mengajakku pergi ke kampus.

Dan, di sinilah aku sekarang. Di mobil. Dengan Papa menyetir, Mama duduk di sampingnya, dan aku di jok belakang. Menunggu tiba di kampus.

Jujur saja, aku agak penasaran dengan kampus tempat Nona Muda ini berkuliah.

"Hati-hati. Dunia perkuliahan gue ... nggak gampang."

Tiba-tiba, ucapan Nada pagi tadi di telepon kembali terngiang.

Nggak gampang? Apa maksudnya?

Padahal, dia sendiri yang mengaku kalau dia bukan tipikal mahasiswa menonjol. Dia biasa-biasa saja, kalau menurut klaimnya. Harusnya, kehidupan perkuliahan buat tipe mahasiswa kayak itu tidaklah serumit tipe kura-kura atau ambis, misalnya.

Harusnya.

Apa karena mata kuliahnya, ya?

Bisa jadi, sih. Karena Si Nada ini sendiri kan salah jurusan. Siapa suruh mengambil sembarang jurusan yang tidak diminati?

Oke, kayaknya aku sudah terlalu salty. Refleks, aku menggeleng-geleng. Mencoba menata pikiran supaya tidak berpikir yang tidak-tidak.

"Kenapa, Nad?" Suara Mama menyembul dari depan. Beliau melirikku dari spion mobil.

Aku mengangkat wajah, tersenyum dan menggeleng lagi. Bedanya, gelengan satu ini untuk meyakinkan, "Nggak apa-apa, Ma."

Hening sejenak. Kulihat, Mama dan Papa saling pandang.

Papa berdeham. Tangannya memutar kemudi ke arah kanan. "Sebentar lagi kita sampai," katanya singkat.

Aku mengangguk. Kulemparkan tatapan ke luar jendela mobil. Benar apa yang Papa bilang barusan. Sekitar lima menit kemudian, mobil memasuki kawasan sebuah universitas. Beberapa kali Papa berbelok, menyusuri jalan di mana banyak muda-mudi saling berkumpul. Beberapa saat kemudian, mobil berhenti.

Kami sudah sampai.

Buat beberapa detik, aku sama sekali tidak beranjak. Padahal Mama dan Papa sudah turun. Aku justru masih stay di jok belakang.

Entah kenapa, rasanya gugup.

Aku menenggak ludah. Baru ingin membuka pintu, pintu di samping kiriku sudah keburu dibuka duluan dari luar. Mama.

"Nad, ayo turun!" ajak Mama. Ekspresinya terlihat bingung.

"Ah, i-iya Ma." Pada akhirnya, aku hanya bisa menguatkan diri dan turun dengan langkah sedikit gemetar.

Karena ... entah aku saja yang ke-geer-an atau memang para mahasiswa di sekitar kami mulai memandangku dan Mama-Papa?

Ralat .... Menatapku?

"Ayo, Nad!" ajak Papa. Digamitnya pergelangan tanganku, memberi isyarat agar mengikutinya bersama Mama.

Perlahan, aku menghela napas, lalu mengangguk. Bersama Papa dan Mama, aku berjalan menuju sebuah gedung. Dilihat dari posisinya, gedung tersebut tampaknya berada di pusat atau tengah-tengah universitas ini.

Aku sendiri tidak terlalu yakin itu gedung apa. Mungkin rektorat? Administrasi? Entah. Jujur, aku cuma ikut masuk buat sekadar formalitas. Aku juga tidak terlalu banyak bersuara saat Papa dan Mama mengajakku ke sana kemari. Dari satu ruangan ke ruangan lain.

Kira-kira satu jam kemudian, urusan sudah selesai. Di ruang terakhir yang kami datangi, aku dinyatakan bisa berkuliah besok. Beberapa orang yang tampak sebaya dengan Mama dan Papa juga menyapaku. Memberiku selamat karena sudah sehat kembali.

Aku hanya bisa tersenyum dan mengangguk.

"Nad, kamu kenapa, Nak?" tanya Mama tiba-tiba saat kami sudah keluar dari gedung barusan. Suhu yang semula sejuk langsung berganti terik matahari menerpa kulit.

"Kenapa apanya, Ma?" Aku bertanya balik. Karena yah aku tidak tahu mamanya Nada bertanya dalam konteks apa.

"Dari tadi kamu lebih banyak diam." Mama menyahut. Sebelah tangannya terangkat dan menyentuh dahiku. "Kamu sakit?"

Oh, sepertinya Mama tidak tahu kalau aku sempat demam pagi tadi.

Sejenak, kulirik Papa. Dia tidak banyak bicara. Hanya berjalan lebih dahulu dengan langkah lebih lebar dan cepat menuju parkiran.

Hmm ... aku menduga, Papa sepertinya juga tidak tahu.

Berarti Niel menepati janji. Well, benar-benar cowok yang gentle.

"Nada nggak apa-apa, Ma." Aku tersenyum, meyakinkan. Kuraih telapak tangan Mama dan menggenggamnya lembut. "Nada cuma ... agak kecapean. Itu aja."

Aku tidak tahu bagaimana biasanya Nona Muda Aksara Nada ini berinteraksi dengan ibundanya. Namun, seperti inilah caraku meyakinkan Mamak kalau beliau khawatir padaku. Entah itu khawatir karena apa.

Terutama, kalau Mamak khawatir soal aku dengan Abah.

"Kalau gitu, habis ini kamu langsung istirahat, ya." Mama mengusap pucuk kepalaku seraya menarik tanganku menuju parkiran.

Aku mengangguk sebagai tanda setuju.

Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, tidak ada satu pun di antara kami yang bicara. Mau itu aku, Mama, maupun Papa. Mungkin Mama sudah memberitahu Papa kalau aku kelelahan, jadi jangan terlalu diajak bicara.

Kami sampai di rumah setengah jam kemudian. Begitu mobil berhenti tepat di depan beranda, aku langsung membuka pintu mobil dan turun. Dengan langkah sedikit tergesa, aku masuk ke rumah.

Hal pertama yang kulihat adalah ... Niel yang tengah membersihkan perabotan rumah.

Jujur, aku terpana. Caranya membersihkan perabotan rumah dan menggunakan kemoceng terampil sekali. Bahkan, kayaknya aku sebagai cewek tulen kalah darinya.

"Nad?"

Aku tersentak dari lamunan. Di depanku, entah sejak kapan, Niel berdiri. Jarak kami tidak terlalu dekat, sih, memang. Namun, dibanding barusan saat aku masuk, ini jelas lebih dekat.

"Ya?" sahutku.

"Jadi ...." Ucapan Niel menggantung. "Gimana? Apa kata dokter?"

Aku menghela napas pendek, menatapnya lurus. "Dokter bilang, aku udah bisa balik kuliah."

Niel ber-oh pelan. Lalu, dia mengangguk.

Aku juga menambahkan, "Barusan aku sama Mama dan Papa ke kampus buat ngurus beberapa hal. Besok aku udah bisa masuk lagi, katanya."

"I see." Niel kembali mengangguk-angguk. "Selamat kalau gitu. Kalau besok kamu emang bakal balik kuliah, kita bisa bareng. Kebetulan besok kita ada kelas yang sama."

Aku mengerjap, terpana untuk sejenak. "Oh, ya?"

Niel mengiakan. "Kelas pagi menjelang siang. Jam sepuluh."

"Besok aku ada berapa kelas?" tanyaku, penasaran.

"Kamu bisa cek jadwalmu sendiri." Niel menjawab dengan ekspresi agak bingung. "Jadwal kita ada yang beda meskipun kita ada kelas yang sama."

Oh, benar juga. Akan kutanya Nada di mana dia menyimpan jadwal kuliahnya. Karena, sejak pertama kali aku menginjakkan kaki di kamarnya, aku tidak menemukan jadwal kuliah atau apa pun itu jenisnya.

"Niel,"

Bukan aku yang memanggil Niel, tapi Mama yang tengah berjalan masuk bersama Papa.

Refleks, aku menoleh. Begitu juga dengan Niel yang sempat kulirik mengangguk kecil kepada Mama.

Kulihat Mama tersenyum seraya berkata, "Nada agak kecapean. Buat sekarang, jangan tanya-tanya dulu ke dia. Nada harus istirahat."

Ouch ... bukankah itu agak berlebihan?

Aku memalingkan wajah, mendapati Niel yang kembali mengangguk. Bedanya, anggukan ini terlihat ... lebih sopan.

"Iya, Tan."

"Minta Bik Listi buat masak makan siang."

Niel mengiakan lagi.

Setelahnya, Mama dan Papa beranjak pergi. Mungkin ke kamar mereka. Entah. Aku tidak tertarik buat kepo urusan orang tuanya Nada.

Meskipun bisa dibilang sekarang aku berperan sebagai "Nada" mereka.

Niel lantas celangak-celinguk, ssperti memastikan kalau Mama dan Papa sudah tidak terlihat lagi. Dia maju satu langkah, setengah berbisik, "Aku udah bersihin kamar kamu."

... dia tidak se-gentle yang aku kira rupanya.

Aku memelotot tanpa bisa dicegah. "Udah kubilang jangan masuk kamarku sembarangan."

"Aku masuk pas kamu enggak ada."

"Itu jauh lebih parah!"

"Niatku cuma ngebersihin kamar kamu. Nggak lebih." Niel mengangkat bahu.

Aku mendengkus. Lalu, tanpa mengatakan apa pun, aku berlalu untuk menuju kamar. Semoga saja tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.

Ah, ralat. Yang tidak kuinginkan.

"Padahal," Niel tiba-tiba bersuara, membuatku menghentikan langkah tepat di depan tangga. "Dulu kamu sering ngajak aku ke kamar kamu."

Anjir!

Mendengar klaim tersebut langsung membuatku merinding. Aku tidak tahu apakah itu benar atau tidak. Kalau benar ... apa yang dilakukan Nona Muda ini dengan Niel berduaan di kamar? Tidakkah dia risih?

Iya, aku mengerti kalau setiap orang punya sudut pandang dan pemikiran berbeda. Hanya saja ... ah, bagaimana ya? Mbuh. Rasanya aku jadi bingung sendiri.

Aku lantas menoleh dan menatap Niel lekat-lekat. "Orang-orang bakal berubah pada waktunya." Aku mengembuskan napas pendek. "Yang dulu, jangan diungkit lagi. Biarin dia berlalu. Oke?"

Ada hening yang lama sebelum Niel menyahut, "Kamu benar." Dia turut mengangguk. "Aku salah. Maaf."

Sepertinya ... tebakanku benar. Ada sesuatu yang spesial di antara Nada dan Niel. Haruskah aku bertanya?

Ah, mungkin iya.

Atau tidak? []




Continue Reading

You'll Also Like

6.3M 470K 25
[CERITA MASIH LENGKAP SAMPAI END] Syafira tak menyangka apartemen yang disewanya ternyata berhantu. Pantas saja harga sewanya sangat murah dan para t...
2.4K 399 10
Kisah Khaotung yang menjalin kasih dengan pria 30 tahun.
142K 28.1K 33
Sequel Menjadi Putri Duke Terkutuk. Disarankan untuk membaca itu lebih dulu.
778K 125K 62
Sebagai seseorang dengan kekuatan supernatural, Ametys tentunya sudah terbiasa dengan beberapa hal mistis yang terjadi. Namun, tidak disangkanya jika...