Memetik Bulan [Completed]

By nursintarifiani

294K 47.4K 11.9K

* Spin-Off: I Wanna Get Lost With You (Uwi-Raka) Sejak kecil Ruisha selalu bercita-cita memiliki pasangan yan... More

1. RUISHA
2. RAKA
3. RUISHA
4. Salju yang Meleleh
5. Perjalanan Singkat
6. Melawan Tuhan
7. Di Ambang Keraguan
8. Putus atau Terus
9. Bertemu Kembali
10. Pulang
11. Hari Pernikahan
12. Pendekatan?
13. Staycation
14. Perjalanan Pulang
15. Saling Membutuhkan
16. Gosip Merebak
17. Sebulan Pertama
18. LDR
19. Ajakan Serius
20. Gangguan Kecil
21. Jualan di Toko
23. Meminta Izin
24. Kunjungan Camer
25. Menuju Hari H
26. Hanya Kita Berdua
27. Hari yang (Tidak Lagi) Berat
28. Kunjungan Ibu Bos
29. Hari Spesial (1)
30. Hari spesial (2)
31. Susah senang bersama?
32. Terlahap Habis
33. Berjuang Bersama
34. Saling Mencintai
Extra Part
PENGUMUMAN

22. Marahnya Orang Sabar

8.5K 1.5K 623
By nursintarifiani

Maaf lamaa. Settingnya masih di hari yang sama, tapi POV Raka dan (sedikit) Maura yaa.

Raka nggak fokus mendengar keluhan aspirasi yang disampaikan oleh manager produksi. Pertama kalinya Uwi berangkat kerja duluan tanpa memberitahu Raka. Jelas pacarnya sedang menghindar. Uwi masih marah.

Ucapan Raka semalam pasti sangat menyakiti Uwi. Sampai pacarnya semarah ini. Dia berusaha menemui Uwi untuk meminta maaf secara langsung. Tapi Uwi masih menghindar.

Menjelang makan siang, orang yang Raka sewa untuk menyelidiki berita hoaks memberi kabar. Ternyata benar dugaan Uwi, dalang di balik berita heboh ini adalah Maura.

Raka menghubungi Maura saat itu juga. Tanpa bertele-tele dia langsung berseru, "Kamu yang nyebarin berita omong kosong itu kan Mo?"

"Kalau iya, kenapa? Lagipula aku cuma kasih tau fakta. Dia kan memang pelakor," jawab Maura santai. Dia sedang merasa di atas awan. Berkat berita yang Maura sebarkan, followers media sosialnya meningkat signifikan. Memang banyak netizen yang mengasihani, tapi Maura nggak peduli, karena dia jadi kebanjiran job.

"Aku sama Uwi pacaran jauh setelah kita putus, Mo. Takedown beritanya sekarang juga. Kamu harus klarifikasi untuk meluruskan fitnah," perintah Raka tegas.

"Nggak mau."

"Minta maaf sama Uwi. Dia nggak salah apa-apa," ulang Raka lagi.

Maura tersenyum puas. Dia menikmati Raka yang tertekan. "Oke. Syaratnya kamu putusin dia. Aku akan minta maaf sekaligus klarifikasi kalau beritanya hoaks."

"Aku nggak akan putusin Uwi. Kamu harus belajar nggak selamanya dunia berputar di sekitar kamu, Mo. Silahkan kamu lawan aku, sakitin aku. Tapi jangan kamu sentuh Uwi. Dia nggak salah."

Amarah Maura terpancing begitu mendengar jawaban Raka. "Dia jelas salah besar! Berani-beraninya dia rebut kamu dari aku!"

Pekikan Maura ditanggapi Raka dengan tenang. "Nggak ada siapa merebut siapa. Aku dengan sadar memutuskan hubungan kita. Uwi hadir setelah kita selesai, kamu tau itu. Apa yang kamu mau? Akan aku turutin, tapi kamu harus klarifikasi dan minta maaf."

"Aku maunya kamu."

Tanpa memberi jeda otaknya berpikir, Raka menjawab sangat yakin. "Nggak bisa."

"Kamu nggak kangen main di ranjang sama aku? Cuma satu ronde, aku lakuin semua permintaan kamu." Maura menawarkan kenikmatan. Raka biasanya nggak akan menolak.

"Aku nggak mau, Maura." Raka masih sabar menjawab.

"Ayolah, nggak usah sok suci, Raka. Kamu udah berbulan-bulan nggak olahraga di ranjang kan? Kamu bisa dapet satu dua ronde. Tanpa kondom, aku udah pakai pil," goda Maura.

Raka menghela napas berat. "Aku udah pakai cara terhalus untuk berunding sama kamu. Aku kasih waktu sampai jam 3 sore. Kalau kamu nggak minta maaf dan klarifikasi, aku akan menempuh jalur hukum. Jangan kira aku nggak bisa tegas sama kamu, Mo."

"Uw, takut." Maura tertawa kencang. Dia begitu senang Raka terhimpit nggak punya jalan keluar. Maura nggak akan menyerah sampai Raka berbalik mengemis dan menuruti kemauannya. Maura tau betul Raka hanya omong kosong. Mana berani lelaki itu lapor polisi.

===

Setelah visit pabrik dan mengantar mie ayam untuk Uwi, Raka menjalankan mobilnya menuju toko Mama Uwi. Tanpa Uwi tau, sejak Lily ke Bogor, Raka sudah menjadi pelanggan tetap toko itu. Sengaja membeli bahan kue yang kurang laku atau menuju expired. Meskipun nggak suka kue karena tinggi gula dan bergluten, Raka bisa meminta tolong Bi Odah membuat kue, lalu membagikannya untuk para karyawan di pabrik.

"Assalamualaikum Ma, Raka beli cream cheese dua kilo sama whipcream cair dua liter ya. Merk apa aja yang stoknya masih banyak. Bi Odah mau belajar bikin cheese cake, semalam abis video call sama Mbak Lily," ucapan Raka membuyarkan lamunan Mama Uwi.

Setelah setengah hari jaga toko, akhirnya ada pengunjung datang. Dada Mama disesaki perasaan haru. Raka bukan hanya sekedar pacar Uwi. Raka selalu menolong keluarganya. "Mas, Mama nggak tau harus membalas kebaikan Mas Raka dengan apa. Terima kasih banyak ya Mas."

Mata Mama berkaca. Akhir-akhir ini Mama kesulitan menjadi wanita tegar. Apalagi pagi ini beliau disuguhi oleh tayangan televisi mengenai anak sulungnya.

"Ma, Raka beli karena memang butuh. Lagipula Mama udah Raka anggap sebagai orangtua Raka sendiri." Raka meyakinkan Mama. Raka nggak ingin Mama menganggap bahwa Raka membeli karena rasa kasihan.

"Sini kamu masuk dulu, Mas." Bukannya mengambil barang pesanan Raka, Mama malah mengajak masuk.

"Hmm...Sebetulnya Raka cuma mau mampir sebentar. Ini ada mie ayam untuk Mama. Udah makan siang belum Ma?" Raka menaruh sebungkus mie ayam di atas etalase.

Mama sumringah. "Kebetulan belum. Makasih ya Mas Raka. Mie ayamnya Mama makan, tapi harus bagi dua sama kamu ya. Ayo duduk dulu, temani Mama makan."

Setelah memastikan Raka duduk, Mama berjalan ke belakang, mengambil dua mangkuk plastik dan sendok garpu.

"Ma, kalau dibagi dua nanti Mama nggak kenyang." Raka menolak halus.

"Kan memang harus berhenti makan sebelum kenyang, Mas. Ini, dimakan ya Mas. Mama yakin Mas Raka juga belum makan siang." Mama membagi seporsi mie ayam ke dalam dua mangkuk. Di antara dinding lembab dan etalase kaca, Raka bersempitan duduk lesehan dengan Mama Uwi.

Keduanya makan mie ayam dengan perasaan yang hangat. Raka menghabiskannya dengan cepat. Terdiam sejenak, dia memutuskan untuk bertanya pada Mama. "Ma, tadi Uwi berangkat ke kantor naik apa?" Raka resah, Uwi nggak membalas chatnya sejak pagi.

"Dia bawa motor sendiri, Mas. Kalian lagi berantem?"

Raka menggelengkan kepala. "Engga kok, Ma. Cuma salah paham."

Mama menyodorkan segelas air putih ke hadapan Raka. Tersenyum tipis, Mama menyemangati, "Yang sabar ya, Mas. Sebetulnya nggak sulit menghadapi Uwi. Tapi kalau lagi banyak pikiran, dia lebih sensitif."

Wajah Mama berubah murung. Teringat masalah yang menimpa anaknya.

"Ma, mengenai gosip yang beredar, Raka minta maaf. Semua ini salah Raka." Sebetulnya Raka nggak ingin membahasnya sekarang. Dia ingin membereskannya terlebih dahulu. Tapi melihat wajah murung Mama, Raka merasa bertanggungjawab.

"Memangnya Mas Raka yang menyebarkan gosipnya?" tanya Mama.

"Bukan, Ma." Raka menggelengkan kepala.

"Apa kamu termasuk salah satu netizen yang menghina Ruisha?"

"Bukan, Ma."

"Berarti kamu nggak salah apa-apa." Mama menepuk pelan bahu Raka.

Raka menampik, "Tapi Raka salah satu penyebab si pelaku menyebarkan gosip itu."

"Tetap aja, kendali berada di tangan pelaku, Mas. Seluruh netizen pun punya kendali atas jari mereka. Mereka yang menyakiti hati Uwi dan keluarga kami, bukan Mas Raka."

"Maaf Ma. Kehadiran Raka menambah beban hidup Uwi dan keluarga Mama." Sungguh, Raka merasa bersalah. Tapi meninggalkan Uwi bukanlah suatu pilihan.

Mata Mama berkaca. Raka melihat kesedihan di sana. "Mas Raka, kamu itu sudah banyak sekali membantu keluarga kami. Nggak terhitung beban yang sudah kamu angkat. Jutaan terima kasih nggak pernah cukup untuk Mama ucap. Terima kasih ya, Mas."

"Ma..."

"Mama percaya Allah memberi kesulitan selalu disertai dengan kemudahan. Dan di dalam kesulitan-kesulitan yang sedang keluarga kami hadapi, Allah hadirkan Mas Raka. Entah apa kamu akan berjodoh dengan Ruisha atau enggak. Tapi Mama selalu doakan Mas Raka mendapat jodoh terbaik. Semoga Allah lembutkan hati Ruisha ya, Mas."

"Ma, terima kasih doanya. Raka janji akan segera selesaikan masalah ini, Ma."

===

Baru satu jam yang lalu Raka mengumbar janji pada Mama Uwi, berita yang beredar di media sosial malah semakin panas. Sebagian besar judul akun gosip kian memojokkan Uwi. Menggiring opini untuk membully fisik Uwi.

Membandingkan profil Uwi yang ditekankan sebagai wanita miskin pegawai toko dengan Maura sang superstar yang serba bisa dan lulusan luar negeri. Menguliti latar belakang keluarga Uwi, mengatai Papanya sakit kritis nyaris meninggal dan Mamanya yang bangkrut.

Bahkan ada yang menuduh Uwi jual diri pada Raka. Terpampang foto perbedaan sebelum dan setelah Uwi menjadi pacar Raka. Headline yang dibesarkan adalah pegawai toko yang berhasil membawa pajero.

Raka geram sekali. Ini pasti ulah Maura. Bukannya menyerah dan minta maaf, Maura malah kian menantang Raka. Emosi Raka nyaris meledak. Dia segera menghubungi Maura untuk mencecar dengan nada tinggi. "Kamu bener-bener sakit, Mo! Kamu butuh pertolongan."

Maura yang baru bangun tidur terlonjak kaget mendengar makian Raka. "Aku nggak sakit!" Dimaki oleh Raka, Maura jelas emosi.

"Nggak ada manusia normal dan waras yang sejahat kamu, Mo!" desis Raka. Dia mulai kewalahan menahan murka.

Maura yang terbiasa mendengar pujian, jelas nggak terima dikatai oleh Raka. Apalagi lelaki itu nggak pernah mengatainya. Raka adalah pria bodoh yang memiliki stok sabar dan maaf nggak terbatas. "Aku bisa lakukan yang lebih parah dari ini, Raka. Kamu akan lihat sebusuk apa perempuan sundal itu!"

"Maura!" Raka berseru dengan nada tinggi.

"Usaha orangtuanya lagi di ujung tanduk kan? Papanya sebentar lagi juga akan mati. Mudah banget buatku untuk bikin keluarganya makin hancur. Dia pasti menyesal berani-beraninya menantang Maura. Tapi aku bisa batalkan semua rencanaku, karena semua keputusan ada di kamu."

Tangan Raka mengepal dan bergetar menahan amarah. Seumur hidupnya dia nggak pernah merasa semurka ini. Hingga dikepung rasa kecewa. Mengambil napas panjang, Raka berusaha meredakan emosinya yang semakin membara. Dengan suara bergetar dia mendesis, "Gue kecewa banget sama lo, Mo. Nggak pernah gue merasa semenyesal ini kenal sama lo." Lalu Raka memutuskan saluran telepon. Sekaligus hubungannya dengan Maura sebagai mantan kekasih.

Di balik handphone yang sudah mati layarnya, Maura tertegun. Pasti dia sedang mimpi di siang bolong. Raka, lelaki yang dia yakini nggak akan pernah meninggalkannya, mengucapkan hal tak terduga, kata-kata yang sama dengan Maminya, yang selalu kecewa pada selurih pencapaian Maura dan menyesal sudah melahirkannya.

Maura masih kebingungan. Rakanya, Raka yang selalu tunduk pada Maura, sekarang begitu berani menantangnya. Entah berapa lama waktu yang dihabiskan Maura untuk melamun, hingga dia tersadarkan oleh layar ponsel yang terus berkedip. Telepon dari Maminya. Tubuh Maura keringat dingin. Telepon dari Mami pertanda dia sudah melakukan kesalahan besar atau baru saja menciptakan kegagalan kecil dalam hidupnya.

Dengan tangan bergetar, Maura menaruh ponselnya kembali. Maura sengaja nggak mengangkat. Lalu layar ponselnya berganti dengan kedipan tanda telepon masuk dari Sisy.

"Mo, video lo mukul Raka berkali-kali kesebar. Viral banget. Mami lo ngamuk-ngamuk. Semua pihak brand sama PH nelpon gue. Gue harus jawab apa?"

Maura mematikan saluran telepon. Dengan raut datar, dia membuka media sosial. Maura memperhatikan secara seksama video kompilasi kekerasan yang dia lakukan pada Raka. Itu memang dia. Tanpa ada unsur editan maupun rekayasa. Maura menatap ekspresi wajahnya sendiri yang terlihat seperti Mami.

Maura terkejut Raka bisa melangkah sejauh ini.

Kini ponsel Maura dihiasi pop up notifikasi chat dari Raka. Dia langsung membacanya.

my rakahard
Kita berdua itu manusia yang kehilangan arah, Mo. Selama ini gue sama lo saling mencoba berpegangan tangan. Tapi semakin erat, kita semakin menghancurkan diri kita sendiri. Gue udah lama memutuskan untuk pergi, dan saat ini gue udah punya pegangan yg baru, yg bikin gue semakin kuat dan semakin hidup. Ruisha orangnya.

Lo juga harus cari pegangan lo yg baru, Mo.

Gue yang menyebarkan video kekerasan itu, dengan amat sangat sadar. Silahkan tuntut gue, hadapi gue. Lawan lo itu gue, bukan Ruisha, apalagi keluarganya. Gue siap membawa ke ranah hukum mengenai kekerasan yang udah lo lakukan selama empat tahun terakhir. Tapi gue akan diam kalau lo juga diam, berhenti.

Selama ini gue terlalu naif, berpikir mungkin lo bisa berubah. Mungkin lo bisa berubah suatu saat nanti. Enggak, pasti lo bisa berubah entah kapan.

Tp gue baru sadar, yg bisa ngubah lo hanya diri lo sendiri. Keputusan ada di tangan lo, Mo.

Gue udah hubungi Sisy, kasih kontak tenaga profesional yang bisa bantu nyembuhin lo. Gue siap menanggung semua biaya.

Gue harap, kita nggak akan ketemu lagi. Jangan pernah muncul di hadapan gue lagi, Maura. Dan gue nggak akan biarkan lo hadir lagi di hidup gue maupun Ruisha.

Take care, Maura.

Maura dilahirkan oleh Maminya untuk menjadi wanita sempurna. Nggak boleh bercela. Nggak boleh gagal. Pantang terkalahkan. Puluhan tahun hidupnya, dia selalu memastikan berhasil memiliki segala yang dia mau.

Seluruh peluh yang dia peras, segala kerja keras bertahun-tahun yang Maura bangun di dunia entertain sudah terbayang kehancurannya. Detik-detik karirnya berakhir terlihat di ambang mata.

Air mata yang jatuh berderai bukan karena karirnya yang hancur. Tapi karena Raka, sudah hilang dari dunianya. Maura menangis hebat, tersedu dan menjerit kencang. Melempar segala barang yang ada di sekitarnya. Berharap Raka akan kembali, menenangkannya lagi dan lagi.

===

Raka linglung. Puluhan menit dia terpaku di dalam kamar. Mengurung diri. Tanpa memantau berita terkini, Raka yakin berita kekerasan Maura sedang gempar-gemparnya.

Layar ponsel Raka berkedip terus-terusan. Ibu, Bapak, David, Lily, bahkan Dama berusaha menghubungi Raka. Tapi Raka sengaja membiarkan. Dia belum siap berbicara dengan keluarga intinya. Dia nggak mau dihujani pandangan khawatir, menyedihkan dan penuh rasa kasihan dari keluarganya.

Raka melirik jam dinding. Pukul delapan malam. Seharusnya Uwi sudah sampai rumah. Sudah maukah pacarnya bertemu?

Tanpa pikir panjang, dia mengambil kunci mobil dan membawa langkahnya menuju rumah Uwi.

Sesampainya di rumah Uwi, Raka berdiam diri di dalam mobil. Memandangi lampu kamar Uwi yang masih menyala.

Memejamkan mata, Raka bersandar pada jok mobil dengan menghembuskan napas lelah. Meskipun nggak bertatap muka, tapi perasaan Raka lebih tenang karena berada di dekat Uwi. Terpisah dinding rumah, tapi hanya berjarak beberapa meter saja.

Seburuk apapun kelakuan Maura, tapi tetap saja perempuan itu pernah mengisi hari-harinya selama beberapa tahun terakhir. Raka adalah tipe orang yang akan mengingat satu kebaikan orang, meskipun orang tersebut memiliki sejuta kesalahan dan keburukan. Termasuk seorang Maura.

Perasaan Raka campur aduk. Di satu sisi, dia lega dapat melindungi pacarnya. Seluruh akun lambe-lambean, portal berita online, hingga acara gosip beralih menayangkan kekerasan Maura. Berita tentang Ruisha lenyap sekejap.

Tapi ada setitik rasa bersalah yang mengganggu Raka. Dia sudah menghancurkan karir Maura.

Ponsel Raka bergetar, pertanda notifikasi chat. Menyalakan layar handphone, Raka dibanjiri rasa lega. Dia menerima chat dari Uwi.

Ruisha 🖤
Raka, lo yang nyebarin videonya?

You
Ruisha, aku mau ketemu kamu. Boleh?

Ruisha 🖤
Lo dimana?

You
Di depan rumah

Keluar mobil, Raka mendapati pintu rumah Uwi terbuka. Uwi menyambut Raka di depan pintu. Saling pandang sejenak, ribuan kata sudah berkumpul di dalam kepala masing-masing, siap untuk dimuntahkan. Tapi mereka berdua hanya melangkah maju hingga berjarak satu jengkal.

Bertukar isi kepala melalui pandangan mata, tangan Uwi terbuka lebar bersiap menerima Raka yang segera mendarat dalam pelukannya. Mereka berdekapan. Erat. Saling berbagi emosi dan mengisi ulang kekuatan.

"Ruisha..." panggil Raka pelan. Dagunya bertumpu pada kepala Uwi.

"Hmm?" Mengintip Raka, Uwi menengadahkan kepalanya sedikit.

Masih saling terbelit rangkulan tangan pada pinggang masing-masing, Raka menunduk menatap Uwi yang berada di dalam kungkungannya. "Maaf."

"Untuk?"

"Menyeret lo ke dalam masalah ini."

Uwi menggelengkan kepala. "Bukan salah lo. Gue yang mutusin untuk nerima lo. Gue harus siap dengan segala resiko yang lo bawa."

Raka mengangguk.

"Raka." Gantian Uwi yang memanggil.

"Iya, Ruisha?"

Masih sembari menengadahkan kepala, kedua tangan Uwi melingkari pinggang Raka kian erat, dia mengencangkan pelukannya. "Apapun langkah yang udah lo ambil, gue yakin itu hasil pertimbangan lo, bukan sekedar emosi sesaat. Kalaupun karir Maura berakhir, itu bukan salah lo. Yang melakukan kekerasan itu Maura, bukan lo Raka. Ngerti?"

Memejamkan mata dan menghembuskan napas, Raka mengangguk berkali-kali. "Iya, Ruisha."

Menghembuskan napas perlahan, Uwi mengusap punggung Raka naik turun. "Pacar gue emang hebat."

Usapan punggung dan kalimat ajaib Uwi berhasil meluruhkan keresahan Raka. Ketenangan mulai mengisi batin Raka.

Raka terkekeh dengan mata berkaca. "Harusnya gue yang ngehibur elo Wi. Kenapa kebalik ya?"

"Lo udah ngehibur gue dengan nyebarin video itu. Sorry, gue emang manusia jahat dan pendendam. Gue kasian sama dia, tapi jujur gue puas Maura dapet balesan setimpal. Dia udah nyakitin lo berkali-kali, udah ngebuat keluarga gue dibully."

Raka memundurkan kepalanya, dia ingin menatap wajah Uwi dengan jelas meski tangan Uwi masih melingkari pinggang Raka dan membatasi ruang geraknya.

Kedua tangan Raka melepas pelukan, beralih membingkai wajah Uwi. Menghembuskan napas lega, kedua ibu jari Raka mengusap pipi Uwi.

Bulu kuduk Uwi meremang, perutnya melilit. Dia nggak tau mengapa tubuhnya bereaksi seperti ini. Yang jelas ini bukan pertanda sakit perut ingin pup.

"Makasih ya Ruisha, karena masih bertahan," ucap Raka dengan sungguh.

"Hmm..." Uwi hanya sanggup mengangguk-anggukkan kepala. Kedua matanya mulai panas.

"May I kiss you?"

Uwi mengangguk tanpa berpikir dua kali.

Perut Uwi tambah melilit, seluruh tubuhnya lemas dan panas dingin. Dia memejamkan mata, bersiap mendapat ciuman dari Raka. Namun hatinya tergelitik rasa kecewa, karena Raka mendaratkan bibirnya di dahi Uwi, hanya sepersekian detik pula. Ini mah namanya kecupan bukan ciuman. Kok lo mesum sih Wi?

"Udah?" tanya Uwi. Dengan nada penuh ketidaksangkaan.

Tapi Raka menangkap nada yang berbeda. Rasa bersalah seketika menyusup. "Sorry."

Menggigit bibir, Uwi bergerak-gerak gelisah. Sejujurnya perkataan Maura kemarin sangat mempengaruhi Uwi. Mengenai dia yang bisa memuaskan Raka. Memberanikan diri, Uwi membual, "Gue juga jago, Ka."

Mengangkat kedua alis, Raka balik bertanya, "Jago apa, sugar?"

"Jago ciuman," celetuk Uwi cepat. Dia takut menyesal sudah asal ucap.

Raka menyelipkan anak rambut Uwi ke belakang telinga. "Ruisha, gue laki-laki normal, ibarat kucing dikasih ikan asin, pasti nggak akan nolak."

Uwi mendelik. "Jadi maksud lo, gue itu ikan asin?"

Tawa Raka meledak. Setelah mereda, Raka berbicara dengan bibir melengkung penuh. "Ruisha, lo mau gue cium?"

Mata Uwi membola, dia gelagapan.

Raka membalik pertanyaannya. "Gue mau cium lo, apa boleh?"

Tubuh dan otak Uwi membeku. Melihat nggak ada penolakan yang tersirat, Raka berani maju mendekati wajah Uwi. Bibir Raka menempel pada bibir Uwi, mencicipi rasa manis. Sambil memagut pelan, Raka meraih pinggang Uwi. Sedangkan Uwi, terlalu terkejut untuk mengerakkan bibirnya. Bibirnya kelu dan kaku merasakan kenyalnya bibir Raka. Otak Uwi sibuk memilah fokus. Karena jantungnya sedang berdebur kencang.

Lutut Uwi gemetaran dan tiba-tiba kakinya terasa nggak bertulang. Uwi meremas kencang kaus Raka, berusaha menggapai agar tetap bisa berdiri tegak.

Raka mengakhiri pagutan sepihaknya dengan kecupan. Mengusap sudut bibir Uwi yang basah, Raka tersenyum dan berbisik, "I love you so much, Ruisha."

Uwi pura-pura berdeham beberapa kali, menetralkan detak jantung, mengusir rasa malu yang membuat wajahnya panas, berakhir dengan batuk betulan karena tersedak ludah sendiri.

Raka beranjak ke mobilnya sejenak untuk mengambil air mineral botol. Dia membiarkan Uwi duduk dan minum. Batuk Uwi mereda. Ludah sialan, maki Uwi dalam hati.

"Udah mendingan?" Raka duduk bergabung di bangku teras.

Uwi mengangguk pelan. Raka dan Uwi diam terpenjara di dalam kecanggungan. Pandangan Uwi berkeliaran ke segala arah, asal bukan menghadap Raka. Lelaki itu menyadarinya, dia menahan senyum karena pacarnya menggemaskan.

Raka melirik jam di pergelangan tangannya. Nyaris pukul sepuluh malam.

"Udah malam, tapi gue masih belum mau pulang. Nggak apa kan, Ruisha?"

"Nggakpapa." Jangan pulang, Ka.

Mereka terdiam kembali. Mengusir kacanggungan, Raka angkat bicara duluan, sekalian bercerita pada Uwi.
"Keluarga gue lagi nyariin gue, Wi. Telepon mereka belum gue angkat."

"Kenapa, Ka?"

Pandangan Raka menerawang. "Belum siap ngomong sama Ibu."

Uwi bergeming belum menanggapi. Kecanggungan nyaris hilang, tapi kini pikiran Uwi diisi oleh sebuah gagasan besar. Yang mungkin akan mengubah hidupnya 180 derajat.

"Ka, lo udah sejauh apa sama Maura? Kapan terakhir lo berhubungan sama dia?" tanya Uwi tiba-tiba.

"Maksudnya?" Raka nggak mengerti pertanyaan Uwi.

"Gue mau lo tes HIV dan penyakit kelamin lainnya. Gue nggak mau ketularan," ungkap Uwi jujur.

"Ruisha..."

Uwi memotong ucapan Raka. "Jatah sepuluh juta per bulan tetap berlaku kan? Kalau gue jadi istri lo."

"Iya." Raka mengangguk.

"Beserta bonus-bonus lainnya?"

"Iya." Raka mengangguk lagi.

Uwi memandangi wajah Raka. Mencoba mencari keraguan, baik di mata Raka maupun di dalam pikiran Uwi. Nyaris nihil.

Kepala Uwi terangguk sekali. Mengisi keyakinan di dalam diri. "Yaudah, secepatnya angkat telepon keluarga lo, sekalian kasih kabar kalo kita akan menikah."

Raka terpaku, berusaha mencerna kalimat Uwi. Sampai kesadarannya menyeruak, Raka yakin Uwi nggak bercanda. "Lo...terima?"

Uwi mengangguk. "Dengan syarat berlaku. Lo harus tes dulu."

"Gue rutin medical check up, gue negatif. Setelah itu nggak pernah lagi." Raka berusaha terbuka pada Uwi.

Uwi menganggukkan kepala, menghargai kejujuran Raka.

"Gue juga belum bisa keluar dari rumah ini, Ka." Uwi belum bisa meninggalkan rumah Mamanya. Melepas segala tanggung jawab yang membelit. Seenggaknya, sampai Uwi yakin adik-adiknya bisa dilepas sendiri dengan pengasuh tanpa pengawasannya. Atau sampai kesehatan Papanya membaik.

Raka meraih tangan Uwi. "Nggak masalah, Ruisha. Biar gue yang ikut lo tinggal di sini. Kalau Mama Papa nggak keberatan."

"Gue mau nikah di KUA atau di rumah aja, Ka. Sederhana, yang penting Papa bisa jadi wali." Bagi Uwi, uang ratusan juta lebih baik digunakan untuk pengobatan Papa dan modal usaha Mama. Lagipula, kondisi kesehatan Papa nggak memungkinkan untuk beliau mengikuti acara pernikahan berjam-jam.

"Apapun yang lo mau, Wi."

"Lo juga tau kan Ka, menikahi gue berarti menambah tujuh tanggungan manusia di dalam hidup lo?"

"Tau, Ruisha. InsyaAllah gue sanggup."

Mengingat keluarganya, Uwi selalu merasa ada tali yang membelit kencang. Membuat dadanya sesak. Dia nggak pernah menganggap keluarganya sebagai beban. Tapi sebagai anak sulung, Uwi harus bertanggung jawab penuh.

Uwi menengadahkan wajahnya, matanya memanas dan mulai berembun. Uwi mengerjapkan matanya berkali-kali, mencegah setetes air mata yang siap meluncur jatuh. Dia menghembuskan napas perlahan, untuk menyingkirkan sesak.

Uwi mencurahkan isi hati dan pikirannya pada Raka. "Awalnya gue ragu sama lo, Ka. Di pikiran gue, wacana nikah sama lo itu akan nambah tanggung jawab, bahkan beban di hidup gue. Tapi, gue baru sadar, lo justru hadir untuk membantu ngangkat segala beban yang menimpa gue. Tanpa lo membual janji, gue yakin, lo bisa melindungi gue."

Raka yang mengambil langkah besar, berani menghadapi Maura dengan caranya sendiri merupakan pembuktian besar untuk Uwi. Raka betul-betul malaikat pelindungnya. Uwi nggak pernah berani bersandar pada seseorang, kecuali dirinya sendiri. Karena Uwi adalah sandaran keempat adiknya, untuk sekarang dan nanti. Uwi nggak pernah percaya, ada lelaki yang lebih kuat bahunya daripada dia. Nggak mungkin ada lelaki yang memiliki perisai pelindung untuk keluarganya. Sampai dia bertemu Raka.

"Lo ingat 200 euro pertama yang lo kasih buat gue di Munich? Jumlahnya pas untuk bayar utang ke Lily, yang udah satu bulan belum sanggup gue bayar. See? Sejak lo bukan siapa-siapanya gue aja, lo udah jadi penolong di hidup gue, Ka. Apalagi lo jadi suami gue." Uwi tertawa sembari berkali-kali mengusap air matanya yang bergantian jatuh tanpa henti.

Akhirnya Uwi menyerah mengusapnya, dia membiarkan air matanya membanjiri pipi. Lalu terisak semakin kencang. Bukan, ini bukan tangisan sedih dan sakit seperti beberapa jam lalu saat dia berpelukan dengan Mama. Dia menangis lega. Uwi merasa Raka baru saja mengangkat bongkahan batu besar di punggungnya. Dia menemukan lelaki yang dia yakini bisa membawa bebannya pergi.

Lalu Uwi teringat kata-kata Lily. Lo berhak bahagia, Wi. Dan dia merasakan perasaan itu. Membiarkan dirinya menangis bahagia, tanpa memikirkan belitan tanggung jawab.

Raka menjatuhkan lututnya di hadapan Uwi. Sambil berlutut, dia memeluk Uwi yang duduk menangis. Netra Raka berembun, dia nyaris ikut menangis. Mengusap rambut Uwi, dia berbisik, "Kita jalanin hidup bareng-bareng ya, Ruisha. Dalam susah maupun senang. Aku pastikan kamu nggak pernah lagi kesusahan. Kasih semua kesulitan dan beban kamu, mulai sekarang biar aku ikut menanggungnya."

===

Raka-Ruisha ini dimulai akhir Juli, dan akhir Oktober udah jadi 70%. Sumpah nggak nyangka banget, mengingat IWGLWY butuh waktu sampe setahun lebih. Updatenya aja sempet sebulan sekali :').

Iyaa cerita ini udah tercium bau-bau menuju ending yaa. Sisa satu puncak konflik yang belum keluar, sambil beresin masalah-masalah yang lain.

Makasih banyak teman-temankuuu udah ramein kolom komentar dan terus nyemangatin aku, berarti banget loh 🧡. Sayang banget dehh sama kalian 😭.

Nggak nyangka banget soalnya ada yang mau baca Raka Ruisha, sampe chapter ini pulaa. Aku mikirnya ada yang mau baca IWGLWY mungkin karna jalan-jalan onlinenya, kalo di sini kan nyaris gaada wkwkwkwk.

Continue Reading

You'll Also Like

460K 32.1K 43
Lyla tidak berminat menikah. Namun, siapa sangka ia harus terjebak dalam pernikahan dengan sahabatnya sendiri? "You're a jerk, Hanan." "And you're tr...
223K 40.9K 40
Bagi Padaka Upih Maheswari, jatuh cinta pada pandangan pertama sangat mungkin terjadi termasuk ke pria kewarganegaraan Daher Reu yang sering wara-wir...
606 129 5
Setelah sekian lama, Heidy akhirnya mendapat tetangga baru. Sebagai ucapan selamat datang, Heidy bermaksud mengirimkan makanan kepada tetangganya, be...
7.6K 1.3K 47
Yokoso Japan! Hana sangat senang, mimpinya untuk melihat salju dan makan Pocky semua rasa di negara asalnya terwujud. Segala rencana Hana berjalan la...